• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Fisiologi Lambung dan Duodenum

Lambung memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai tempat pengisian makanan yang masuk ke dalamnya sekaligus menyimpannya sebelum dialirkan ke duodenum, menyekresikan asam hidroklorida atau HCL dan enzim yang memulai pencernaan protein serta melakukan proses pencampuran makanan hingga akhirnya pengosongan isi lambungkm ke dalam duodenum (Sherwood, 2012).

2.2.1. Fungsi Pengisian dan Penyimpanan

Lambung merupakan tempat perlintasan bagi makanan dari esofagus menuju usus halus. Sebelum dimasuki oleh makanan asal esofagus, lambung memiliki volume 50 ml, namun setelah diisi makanan, volum lambung dapat meningkat hingga dua kali lipat volum awal ketika masih kosong, yaitu mencapai 1000 ml. Struktur lipatan dalam permukaan lambung atau ruggae akan melemas dan berkurang kedalamannya, bahkan hingga mendatar ketika makanan masuk ke dalam lambung. Hal ini disebabkan oleh adanya mekanisme relaksasi reseptif pada lambung, yaitu kemampuan relaksasi refleks pada lambung keitika dimasuki makanan, sehingga volum lambung dapat meningkat tanpa terjadi perubahan pada tegangan di dindingnya serta peningkatan tekanan intralambung yang berarti (Sherwood, 2012). Relaksasi reseptif ini diperantarai oleh nervus vagus dan sudah mulai berlangsung ketika terjadi pergerakan pada faring dan esofagus akibat makanan (Ganong, 2008).

Sesaat setelah makanan masuk ke dalam lambung, lebih tepatnya pada daerah fundus, suatu potensial gelombang lambat timbul pada lapisan otot polos di fundus, yang kemudian menyebabkan otot polos tersebut berkontraksi dan menimbulkan suatu gerakan peristaltik yang menyebar dari fundus ke korpus, antrum dan sfingter pylorus, membawa makanan tergerak dari fundus hingga ke pylorus (Sherwood,

2012). Kontraksi otot lambung yang timbul disetiap gelombang ini kadang disebut sistol antrum dan masa waktunya sekitar 10 detik, lalu muncul hingga empat kali setiap menitnya (Ganong, 2008). Struktur otot pada fundus dan korpus yang tipis jika dibandingkan dengan sfingter pylorus mengakibatkan pergerakan kontraksi otot pada fundus dan korpus lebih lemah, sehingga makanan yang masuk ke lambung akan disimpan dibagian yang lebih tenang proses pencampurannya ini (Sherwood, 2012).

2.2.2. Fungsi Sekresi

Lambung memiliki fungsi sekresi, yakni sebanyak 2 liter getah lambung diproduksi setiap harinya. Getah lambung ini diproduksi oleh sel – sel sekretorik lambung yang berada di dinding dari foveola gastrica, imvaginasi – invaginasi dari permukaan dalam lambung (Sherwood, 2012).

Salah satu dari sel sekretorik lambung adalah sel parietal yang memproduksi HCL. Keberadaan HCL di dalam lambung memiliki fungsi, antara lain mengaktifkan prekursor enzim perpsinogen menjadi pepsin yang merupakan enzim aktif, membantu proses pemecahan jaringan ikat dan serat otot dan mengurangi ukuran partikel makanan besar menjadi lebih kecil, menimbulkan terjadinya denaturasi protein dan mematikan sebagian besar mikoorganisme yang tertelan bersama makanan (Sherwood, 2012).

Disamping menghasilkan HCL, sel parietal juga memproduksi suatu produk sekretorik lain, yakni faktor intrinsik yang berfungsi dalam penyerapan vitamin B12 atau sianokobalamin. Vitamin B12, yang hanya dapat diserap jika berikatan dengan faktor inrinsik, memiliki fungsi yang esensial untuk pembentukan normal sel darah merah (Sherwood, 2012). Vitamin B12 yang berikatan dengan faktor intrinsik ini akan membentuk kompleks yang diserap oleh kubilin yaitu suatu apolipoprotein akan dipindahkan ke transkobalamin II, yang merupakan protein pengikat vitamin B12, yang akan mengangkut vitamin ini ke plasma. Jika terjadi defisiensi faktor intrinsik ini maka dapat terjadi anemia dan tidak akan beemanfaat dalam perbaikan jika vitamin B12 diberikan secara oral (Ganong, 2008).

Sel sekretorik lambung lainnya adalah chief cell yang menghasilkan suatu molekul enzim yang inaktif yang disebut pepsinogen, yang sebelumnya tersimpan dalam granula zimog. Sesaat setelah pepsinogen dilepas menuju lumen lambung, HCL yang dihasilkan sel parietal mengubuh struktur enzim inaktif tersebut, membentuk pepsin, yang selanjutnya pepsin tersebut melakukan suatu proses autokatalisis atau pengaktifan diri, yakni pepsin, suatu enzim yang aktif, mengaktifkan molekum enzim inaktif yang sama, yakni pepsinogen, guna membentuk pepsin yang lebih banyak lagi (Sherwood, 2012).

Sel sekretorik lambung, yaitu sel parietal, chief cell dan mucous cell, dalam memproduksi sekresinya diatur oleh sel – sel sekretorik lain yang menghasilkan faktor regulatorik endokrin. Faktor – faktor regulatorik tersebut terdiri dari sel G yang menghasilkan gastrin, ECL cell yang menghasilkan histamin dan sel D yang menghasilkan somatostatin (Sherwood, 2012).

Sel G dan sel ECL mengeluarkan produknya ketika mendapatkan rangsangan dari asetilkolin atau ACh, yang dibebaskan dari pleksus saraf intrinsik sebagai respon terhadap stimulasi nervus vagus. Sel G lalu mengeluarkan gastrin ke dalam darah, yang kemudian dibawa kembali ke fundus dan korpus lambung lalu merangsang sel parietal dan chief cell menghasilkan produknya. Demikian pula dengan histamin yang dihasilkan oleh sel ECL, yang bekerja secara lokal pada sel – sel parietal disekitarnya (Sherwood, 2012).

Jika sel G dan sel ECL meningkatkan produktivitas sel parietal dan chief cell, maka sel D yang menghasilkan somatostatin berfungsi kebalikannya. Sel D bekerja sebagairespon terhadap tingginya kadar asam dalam lumen lambung, dan menghasilkan somatostatin yang akan menghambat sekresi sel parietal, juga faktor stimulasinya, yakni sel G dan sel ECL, sehingga produksi sel parietal menjadi minimal (Sherwood, 2012).

Seluruh proses sekresi sel sekretorik lambung beserta faktor regulatoriknya dipengaruhi oleh faktor – faktor tertentu yang muncul sebelum makanan masuk ke dalam lambung, ketika makanan berada di dalam lambung, dan ketika makanan sudah keluar dari dalam lambung, di dalam duodenum. Adanya faktor – faktor ini menyebabkan proses sekresi sel sekretorik lambung berlangsung dalam tahap – tahap tertentu, antara lain :

1. Fase sefalik, yang timbul akibat mekanisme umpan sebagai respon terhadap rangsangan yang bekerja di luar lambung, termasuk memikirkan, mencium, mencicipi, mengunyah dan menelan makanan, yang pada akhirnya akan meningkatkan sekresi lambung oleh aktvitas nervus vagus, yang merangsang ACh keluar dari pleksus saraf intrinsik.

2. Fase lambung, yang terjadi ketika makanan telah mencapai lambung sehingga timbul rangsangan – rangsangan yang memicu sekresi lambung.

3. Fase usus yang berlangsung ketika makanan telah mencapai usus halus, sehingga terjadi suatu proses inhibitorik terhadap sekresi lambung pada fase ini (Sherwood, 2012).

Meski sel – sel sekretorik lambung menghasilkan berbagai macam komponen getah lambung, namun permukaan mukosa lampung tetap terlindungi dari iritasi akibat paparan getah lambung yang dapat berperan sebagai perusak endogen (Sherwood, 2012). Selain perusak endogen, permukaan mukosa lampung juga tetap terlindungi dari perusak eksogen seperti obat tertentu, alkohol maupun bakteri (Tarigan, 2014). Komponen yang berfungsi sebagai pelindung tersebut adalah suatu lapisan mukus yang dihasilkan oleh sel mukus (Sherwood, 2012). Mukus ini terdiri atas glikoprotein musin dan membentuk struktur gel yang fleksibel, yang melapisi mukosa lambung (Ganong, 2008). Ketebalan lapisan mukus ini sekitar 0,2 mm. Sebelum membentuk lapisan gel sebagai fase tidak terlarut, mukus ini berada dalam cairan lambung sebagai fase terlarut. Guna membantu fungsi lapisan mukus ini, ion bikarbonat yang diproduksi oleh sel epitel non parietal lambung, akan memasuki

lapisan mukus dan memungkinkan terjadinya reaksi pendaparan atau buffering, membentuk pH basa, yaitu pada kisaran pH 1 sampai dengan 2. Ion bikarbonat ini diproduksi dengan perangsangan kalsium dan prostaglandin (McGuigan, 2012). Keberadaan lapisan mukus ini mampu melindungi mukosa lambung dari cedera mekanis akibat sifat pelumasan yang dimilikinya, juga melindungi lambung dari cedera asam karena sifat basa yang dimilikinya mampu menetralkan HCL di dekat lapisan mukosa lambung tanpa mengganggu fungsi HCL di lambung (Sherwood, 2012).

Mukosa lambung juga memiliki mekanisme pelindung terhadap getah lambung yang lain. Lapisan mukosa lambung membentuk suatu sawar mukosa lambung yang dapat mencegah rusaknya lapisan mukosa oleh getah lambung. Sawar pada membran luminal sel mukosa membuat membran tersebut tidak dapat ditembus oleh asam ke dalam sel. Disamping itu, tepi – tepi lateral sel mukosa juga saling menyatu membentuk taut erat sehingga asam tidak dapat melintas lewat ruang antar sel mukosa menuju lapisan dibawahnya (Sherwood, 2012).

Prostaglandin juga berpengaruh dalam mekanisme perlindungan mukosa lambung. Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa sejumlah prostaglandin juga berpengaruh dalam sekresi mukus lambung dan ion bikarbonat mukosa lambung dan duodenum. Prostaglandin juga berpengaruh dalam mempertahankan aliran darah pada mukosa lambung dan dalam mempertahankan intaknya lapisan sawar mukosa lambung, serta dalam pembaruan sel epitel terhadap luka pada epitel mukosa (McGuigan, 2012).

2.2.3. Fungsi Pencampuran dan Pengosongan

Proses pencampuran makanan berlangsung di bagian antrum dari lambng. Gelombang kontraksi peristaltik lambung lebih kuat di antrum dibandingkan dengan daerah lain kaarena lapisan ototnya yang lebih tebal. Kontraksi pada natrum akan

menyebabkan makanan di dalamnya akan tercampur dan membentuk campuran cairan kental makanan yang disebut sebagai kimus. Sambil mencampur, kontraksi peristaltk juga mendorong kimus untuk terus maju menuju ke sfingter pylorus. Meski kimus telah sampai di dekat sfingter pylorus, kimus tersebut tidak akan, atau setidaknya hanya sedikit yang bisa melewati sfingter tersebut menuju duodenum. Hal ini disebabkan kontraksi pada otot lambung yang juga menyebar sampai ke otot sfingter pylorus akan menyebabkan sfingter itu berkontraksi dan nyaris menutup sempurna. Akibatnya setiap kimus yang terdorong ke arah sfingter namun tidak dapat mencapai duodenum akan tertahan di sfingter yang menutup lalu memantul kembali ke arah antrum, menimbulkan suatu gerakan berpola maju mundur yang berperan dalam proses pencampuran makanan (Sherwood, 2012).

Proses kontraksi pada otot sfingter pylorus, juga pada bagian lambung lain tergantung pada seberapa besar intensitas kontraksi tersebut. Intensitas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari dalam lambung itu sendiri, dari dalam duodenum, maupun dari luar saluran cerna (Sherwood, 2012).

Jumlah kimus menjadi faktor yang besar dalam mempengaruhi kontraksi otot lambung. Jumlah dan volume kimus yang besar akan menimbulkan terjadinya peregangan pada lambung, yang secara langsung berefek pada meningkatnya eksitabilitas kontraksi otot lambung. Disamping itu, kontraksi otot lambung juga dipengaruhi oleh seberapa lama kimus diubah dari bentuk padat menjadi cair kental, karena semkin cepat keenceran kimus diperoleh makan akan semakin cepat juga pengosongan isi lambung ke dalam duodenum (Sherwood, 2012). Selain volume dan keenceran kimus, jenis makanan yang dikonsumsi ikut mempengaruhi kontraksi otot lambung. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat akan lebih cepat meninggalkan lambung, namun pada protein akan lebih lambat dan lemak adalah zat yang paling lambat meninggalkan lambung (Ganong, 2008).

Selain faktor dari dalam lambung itu sendiri, faktor dari dalam duodenum juga mempengaruhi kontraksi otot lambung. Faktor – faktor dari dalam duodenum itu akan mengaktifkan reseptor yang sesuai dengan masing – masing faktor tersebut di

duodenum, lalu memicu berbagai mekanisme yang dapat mengurangi eksitabilitas otot lambung. Mekanisme tersebut antara lain :

1. Melalui respon saraf yang diperantarai oleh pleksus saraf intrinsik sebagai refleks pendek dan saraf otonom sebagai refleks panjang, sehingga refleks – refleks ini disebut sebagai refleks enterogastrik.

2. Melalui respon hormon yang melibatkan sejumlah hormon yang kesemuanya disebut enterogastron, dimana enterogastron yang paling penting adalah sekretin dan kolesistokinin atau CCK. Enterogastron ini akan dibawa oleh darah ke lambung dan akhirnya aka mengurangi kecepatan pengosongan lambung (Sherwood, 2012).

Terdapat empat faktor dari dalam duodenum yang dapat mengurangi kecepatan pengosongan lambung, antara lain lemak, asam, hipertonisitas dan peregangan. Faktor yang pertama adalah lemak, yang bersifat lambat pencernaannya daripada zat lain dan proses pencernaan tersebut hanya berlangsung di dalam usus halus, menyebabkan setiap pengosongan lemak di duodenum haruslah menunggu proses pencernaan lemak lainnya di dalam usus halus. Lemak sendiri merupakan zat yang paling lama laju pengosongannya di dalam lambung, sehingga banyaknya kadar lemak dalam lambung maupun duodenum akan memperlambat laju pengosongan lambung (Sherwood, 2012). Karena lemak efektif dalam mempelambat pengosongan lambung, maka banyak orang yang akan mengkonsumsi susu, krim, atau zat makanan yang mengandung lemak lainnya sebelum mengkonsumsi alkohol. Proses pengosongan di lambung dan pencernaan lemak yang lama akan menahan alkohol di lambung dalam waktu yang lebih lama dan proses pemasukan alkohol ke dalam usus halus juga akan berlangsung perlahan – lahan, sehingga intoksikasi alkohol akibat peningkatan kadar alkohol dalam darah yang mendadak dapat dihindari (Ganong, 2008).

Faktor yang kedua adalah sifat asam kimus lambung yang berasal dari HCL, membutuhkan proses netralisasi ketika memasuki duodenum guna tidak mengiritasi

mukosa duodenum dan menginaktifkan enzim penccernaan yang disekresikan pankreas ke dalam lambung. Netralisasi tersebut berlangsung ketika kimus bercampur dengan natrium bikarbonat yang disekresikan ke dalam lumen duodenum oleh pankreas. Jika masih ada kimus yang belum ternetralkan maka proses pengosongan isi lambung lebih lanjut akan melambat hingga proses netralisasi tuntas (Sherwood, 2012).

Faktor yang ketiga adalah hipertonisitas sebagai akibat dari lebih lambatnya proses penyerapan molekul asam amino dan glukosa dibandingkan dengan kecepatan pencernaan protein dan tepung untuk membentuk molekul asam amino dan glukosa di dalam duodenum. Hal ini akan mengakibatkan menumpuknya sejumlah besar molekul tersebut di dalam kimus, sehingga akan meningkatkan osmolaritas kimus tersebut. Hal ini secara refleks akan menghambat proses pengosongan kimus lebih lanjut dari dalam lambung (Sherwood, 2012).

Faktor yang keempat adalah peregangan pada duodenum sebagai akibat dari kelebihan volume kimus yang ditampung di dalam duodenum. Hal ini akan menyebabkan melambatnya waktu pengosongan isi lambung lebih lanjut guna menunggu duodenum dalam memproses kimus di dalamnya sebelum menerima kimus tambahan dari lambung (Sherwood, 2012).

Disamping faktor – faktor yang masih berhubungan pada saluran cerna, faktor lain yang tidak ada kaitannya dengan saluran cerna juga bisa mempengaruhi waktu pengosongan lambung. Faktor tersbut antara lain emosi yang dapat mengubah motilitas lambung melalui saraf otonom sehingga mempengaruhi eksitabilitas otot lambung. Faktor lainnya adalah nyeri dari nagian tubuh manapun yang dapat juga menghambat motilitas, tidak hanya di lambung, tetapi juga di bagian saluran cerna lainnya, melalui mekanisme peningkatan saraf simpatis (Sherwood, 2012).

2.3. Dispepsia

Istilah dispepsia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata dys yang berarti buruk dan kata pepsis yang berarti pencernaan. Istilah ini, menurut Konsensus Rome II tahun 2000, digunakan untuk menggambarkan berbagai gejala yang dirasakan sebagai rasa ketidaknyamanan yang terpusat pada abdomen bagian atas (Djojoningrat, 2014). Menurut Tarigan (2014), dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala dari berbagai penyakit pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang. Istilah lain yang dapat menggambarkan klinis yang sama dengan dispepsia adalah indigesti (Friedman, 2012). Menurut ada atau tidaknya etiologi atau penyebab munculnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi dua yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional (Djojoningrat, 2014).

2.3.1. Klasifikasi Dispepsia

Berdasarkan ada atau tidaknya penyakit organik yang menyertai timbulnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik (Djojoningrat, 2014). Kedua bagian dari dispepsia tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.1.1. Dispepsia Fungsional

Menurut Konsesus Rome III, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai suatu sindroma yang mencakup satu atau lebih dari gejala perasaan penuh pada perut setelah makan, cepat kenyang, nyeri pada ulu hati / epigastrium atau rasa terbakar di ulu hati / epigastrium, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula munculnya gejala tersebut sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan dan tidak ada suatu bukti kelainan struktural yang dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut muncul (Abdullah, 2012). Istilah dispepsia fungsional juga

diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai evaluasi klinis tidak dapat mengungkapkan penyebab timbulnya gejala dispepsia tersebut (Friedman, 2012).

Sebelum ada Konsesus Rome III, disepsia fungsional dibagi menjadi tiga yaitu ulcer like dyspepsia yang didominasi nyeri epigastrium dan mirip dengan gejala tukak peptik namun tidak ditemui kelainan organik seperti tukak saat pemeriksaan diagnostik, dismotility like dyspepsia yang didominasi keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang namun tidak ditemui kelainan organik seperti dismotilitas saluran cerna saat pemeriksaan diagnostik, serta dispepsia non spesifik yang tidak disertai dengan dominannya salah satu keluhan. Setelah adanya Konsesus Rome III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua, yaitu post – prandial distress syndrome yang keluhannya didominasi oleh perasaan penuh pada perut dan cepat

kenyang setelah makan dalam porsi yang umumnya tidak menimbulkan keluhan tersebut, dan epigastric pain syndrome yang keluhannya didominasi perasaan nyeri dan terbakar yang hilang timbul di ulu hati / epigastrium (Djojoningrat, 2014).

2.3.1.2. Dispepsia Organik

Istilah dispepsia organik diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berkaitan dengan berbagai penyakit pada saluran cerna maupun pada sistem organ lain (Friedman, 2012). Menurut Tarigan (2014), dispepsia organik secara klinis dapat dibagi atas dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia akibat tukak, dispepsia akibat refluks dan dispepsia yang tidak spesifik. Pengertian lain dari dispepsia organik yakni dispepsia yang berkaitan dengan penyakit organik seperti gastritis dan tukak peptik (Djojoningrat, 2014).

Menurut Prio (2011) dalam Anggita (2012), istilah gastritis berasal dari bahasa Yunani, yakni gastro yang berarti perut atau lambung, dan itis yang berarti peradangan. Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa maupun submukosa lambung (Hirlan, 2014). Gastritis bukanlah suatu penyakit tunggal,

melainkan suatu kelompok penyakit yang memiliki perubahan peradangan pada mukosa lambung yang sama, namun memiliki ciri klinis, karakteristik histologik dan patogenesis yang berlebihan (McGuigan, 2012).

Tukak peptik merupakan suatu kumpulan penyakit ulseratif yang berlokasi pada saluran cerna bagian atas, utamanya adalah bagian proksimal dari lambung dan duodenum. Tukak biasanya lebih dalam, setidaknya hingga lapisan sub mukosa. Hal ini berbeda dengan erosi, yang umumnya superfisial dan hanya ada pada lapisan mukosa saja. Tukak peptik yang sering terjadi adalah tukak lambung dan tukak duodenum (McGuigan, 2012). Tukak lambung merupakan suatu luka yang berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lebih besar dari 5 mm dengan pinggirnya yang oedem, disertai dengan indurasi dan dasarnya ditutupi debris. Kedalaman dari tukak lambung ini mencapai lapisan sub mukosa lambung sehingga terjadi pemutusan pada kontinuitas lapisan mukosa lambung yang terletak di atasnya (Tarigan, 2014). Biasanya disekeliling ulkus lambung terdapat gambaran peradangan atau gastritis (McGuigan, 2012).

Tukak duodenum merupakan suatu kerusakan atau luka pada lapisan mukosa dan sub mukosa duodenum, bahkan dapat mencapai lapisan muskularis mukosa hingga serosa pada duodenum sehingga bisa menimbulkan perforasi (Akil, 2014). Diameter luka biasanya lebih dari 5 mm namun kurang dari 1 cm, dalam, berbatas tegas, dan disertai hilangnya epitel superfisial pada daerah tukak tersebut. Bentuk tukak umumnya bulat atau oval, namun dapat juga tidak teratur (McGuigan, 2012).

Dismotilitas saluran cerna juga bisa memicu dispepsia organik. Dismotilitas saluran cerna merupakan kumpulan gejala pada saluran cerna yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran cerna sehingga otot dan saraf pada saluran cerna tidak bekerja dengan baik. Dismotilitas saluran cerna yang dapat menyebabkan timbulnya dispepsia terutama jika terjadi di saluran cerna bagian atas, utamanya pada lambung dan duodenum (Simadibrata, 2014). Dispesia dapat berlangsung secara fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional yaitu post – prandial distress syndrome (Djojoningrat, 2014). Meski demikian, kasus ini dapat pula terjadi sebagai

komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik (Simadibrata, 2014).

2.3.2. Faktor Risiko Dispepsia

Banyak hal – hal yang menjadi faktor, yang memiliki pengaruh terhadap timbulnya dispepsia bagi seseorang. Faktor tersebut dapat terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal tersebut meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat – obatan, sedangkan faktor internal meliputi faktor jenis kelamin , faktor usia, faktor genetik, faktor hormonal dan faktor stres (Djojoningrat, 2014). Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.2.1. Faktor Eksternal

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat – obatan (Djojoningrat, 2014). Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut.

2.3.2.1.1. Faktor Makanan

Pola makan yang tidak teratur dan kurang baik dapat menimbulkan timbulnya gejala dispepsia. Ketidakteraturan pola makan tersebut meliputi jeda waktu makan yang tidak menentu, tidak terbiasa untuk sarapan setiap hari, terbiasa mengonsumsi makanan selingan dan biasa membatasi makan. Suatu penelitian case control oleh Susanti (2011) mengemukakan bahwa pola dan kebiasaan makan pada kelompok kontrol yang tidak mengalami dispepsia ternyata lebih baik dibanding kelompok kasus yang mengalami dispepsia, meskipun tingkat persentasinya masih mayoritas di kedua kelompok tersebut, yakni 91.7 % terhadap 60 sampel kontrol dan 76.7 % terhadap 60 sampel kasus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Andre (2013) terhadap

40 penderita dispepsia juga mengemukakan hal yang sama yaitu pola makan pada penderita dispepsia lebih banyak yang tidak teratur yakni sebanyak 57.5 % berbanding 42.5 % yang teratur. Kedua hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Reshetnikov (2007) dengan subyek penelitian sebanyak 1562 orang dewasa, berhasil menyimpulkan bahwa pola makan yang tidak teratur berkaitan dengan timbulnya gejala dispepsia (Susilawati, 2013).

Menurut Firman (2009) dalam Anggita (2012), pola makan yang tidak teratur sangat besar dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, karena pola makan yang teratur setiap harinya akan memudahkan lambung dalam mengenal

Dokumen terkait