• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.4. Flavor Beras Aromatik

Flavor merupakan semua sensasi yang dihasilkan oleh atribut rasa, tekstur dan aroma di dalam mulut (Fisher & Scott 1997). Aroma yang terdeteksi oleh panelis adalah komponen volatil produk yang memasuki rongga hidung dan diterima oleh indera penciuman. Jumlah komponen volatil yang dilepaskan oleh suatu produk dipengaruhi oleh suhu dan komponen alaminya (Meilgaard et al.

1999).

Flavor beras aromatik telah banyak diteliti dalam beras yang diekstrak dengan pelarut non polar seperti metilen klorida (Bergman et al. 2000), diklorometana (Jezussek et al. 2001), dietil eter (Wijaya et al. 2008), diisopropil eter (Kusumaningrum 2009) dan pelarut polar seperti etanol (Huang et al. 2008).

Beras-beras aromatik berbeda dari beras non aromatik. Perbedaannya yaitu aroma wangi dan karakteristik kualitas beras. Komponen aroma terpenting yang memberikan kontribusi terhadap karakteristik aroma pada beras adalah komponen

2-acetyl-1-pyrroline (Buttery et al. 1983).Komponen ini ditemukan pada berbagai padi aromatik yang terdapat di seluruh Asia, Eropa dan Amerika (Singh et al.

2000) dan ditemukan juga pada padi aromatik Indonesia varietas Pandan Wangi Garut, Pandan Wangi Cianjur, Sintanur, Rojolele dan Situ Patenggang (Wijaya et al. 2008; Kusumaningrum 2009).

Komponen 2-acetyl-1-pyrroline ini mempunyai karakteristik aroma seperti

‘‘popcorn’‘-like (Buttery et al. 1983; Jezussek et al. 2001; Yang et al. 2008) dan juga memiliki karakter aroma sweet, pleasant (Tsugita 1985 - 1986). Data ini dilengkapi oleh Bryant & McClung (2011), bahwa komponen 2-acetyl-1-pyrroline memberikan aroma sweet, pleasant dan popcorn.

Selain pada beras aromatik, komponen 2-acetyl-1-pyrroline juga ditemukan pada komponen volatil dari daun pandan (Pandanus amaryllifollus) (Gangopadhyay 2004). Komponen ini yang terdapat pada daun pandan memberikan karakter aroma yang mirip dengan beras aromatik varietas Basmati (Thimmaraju et al. 2005). Selain itu, jumlah komponen 2-acetyl-1-pyrroline pada daun pandan lebih tinggi dibandingkan dengan beras aromatik varietas Khao Dawk Mali (Wongpornchai et al. 2003).

Perbedaan lain antara beras aromatik dan non aromatik adalah jumlah

hexanal. Data ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjaja et al.

(1996), mengungkapkan bahwa jumlah hexanal pada beras non-aromatik lebih banyak dari pada beras aromatik dan beras non aromatik juga lebih banyak mengandung komponen (E)-2-heptenal, 1-octen-3-ol, n-nonanal, (E)-2-octenal, (E,E)-2,4-decadienal, 2-penthylfuran, 4-vinylguaiacol dan 4-vinylphenol.

Jumlah komponen 2-acetyl-1-pyrroline berkisar 40 - 90 µg/kg pada beras sosoh aromatik, 100 - 200 µg/kg pada beras aromatik pecah kulit (brown rice), lebih kecil dari 0,008 µg/kg pada beras non aromatik varietas Texas long grain, dan lebih kecil dari 0,008 µg/kg beras non aromatik varietas Calrose (Buttery et al. 1983). Hasil penelitian ini didukung oleh Tava & Bocchi (1999), kandungan 2-acetyl-1-pyrroline berkisar antara 76 - 760 µg/kg pada beras aromatik dan 4 - 15 µg/kg pada beras non aromatik. Kandungan 2-acetyl-1-pyrroline dari berbagai varietas beras aromatik dan beras non aromatik dengan metode SDE Likens-Nickerson dan analisisnya dengan GC-MS tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah 2-acetyl-1-pyrroline dari beras yang dimasak varietas beras aromatik dan beras non aromatik

No Varietas Jumlah µg/kg (ppb) 1. Beras aromatik Malangkit Basmati 370 Basmati 370 IR841-76-1 Goolarah YRF 9 Della Yasmine 760 610 87 560 691 670 76 156 2. Beras non aromatik

Texas long grain Lemont

Pelde

6 4 15

Sumber : Buttery et al. (1986); Tanchotikul & Heish (1991), Widjaja et al. (1996) dalam Grosch & Schieberle (1997)

Sekitar 200 komponen volatil beras teridentifikasi oleh banyak peneliti, hanya beberapa komponen yang mempunyai character impact compounds dari flavor beras (Champagne 2008). Data ini didukung dengan hasil penelitian dari

Zheng et al. (2009) menyatakan bahwa terdapat 96 komponen volatil yang dapat teridentifikasi dari beras varietas tatsukomochi, kinunohoda, dan miyakagoganemochi. Beberapa komponen volatil beras yang teridentifikasi dapat dikelompokkan ke dalam beberapa golongan kimia seperti hidrokarbon, aldehida, alkohol alisiklik, alkohol alifatik, heterosiklik, ester, terpen, keton dan asam karboksilat (Tava & Bocchi 1999; Zheng et al. 2009).

Buttery et al. (1983) berhasil mengidentifikasi 2-acetyl-1-pyrroline

sebagai komponen utama aroma pada beras yang telah dimasak. Data ini juga didukung oleh Jezussek et al. (2001), bahwa 2-acetyl-1-pyrroline sebagai salah satu character impact compounds dari beras varietas Basmati 370, Improved Malangkit Sungsong (IMS) dan Khaskani.

Komponen 2-acetyl-1-pyrroline (Gambar 2) diyakini menjadi komponen yang penting pada aroma compounds pada beras dan diidentifikasi oleh indera manusia sebagai popcorn-like. Pada penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa komponen aroma tersebut merupakan termally produced, karena komponen tersebut hanya teridentifikasi pada beras yang telah dimasak, bukan pada beras mentah (Buttery et al. 1983). Proses pembentukan aroma 2-acetyl-1-pyrroline seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 2. Senyawa kimia 2-acetyl-1-pyrroline (Huang et al. 2008).

Gambar 3. Diagram proses pembentukan aroma 2-acetyl-1-pyrroline (Blank et al. 2003). Proline degradasi α-dikarbonil 1-pyrroline kondensasi Oksidasi spontan 2-acetyl-1-pyrrolidine 2-acetyl-1-pyrroline

Hasil penelitian dari Buttery et al. (1983) berbeda dengan hasil yang diperoleh Yoshishashi et al. (2002), bahwa komponen 2-acetyl-1-pyrroline tidak terbentuk selama beras dimasak atau proses pasca panen, akan tetapi komponen ini telah tersedia secara alami dari beras.

Data ini didukung oleh Bradbury et al. (2005) dan Jain et al. (2006), mengemukakan bahwa komponen aroma pada beras ditentukan oleh kromosom no. 8. Berdasarkan hasil penelitian dari Seno et al. (2009), gen BADH2 pada beras aromatik Indonesia sama dengan varietas beras aromatik asing sehingga jalur pembentukan 2-acetyl-1-pyrroline pada beras aromatik Indonesia sama dengan beras aromatik asing seperti yang dijelaskan oleh Bradbury et al. (2005).

Secara jelas Bradbury et al. (2005) mengemukakan bahwa jalur pembentukan 2-acetyl-1-pyrroline dimulai dari pemecahan prolin menjadi putresin kemudian membentuk komponen gama aminobutiraldehid (GABald), yang merupakan substrat dari enzim BADH2. Apabila enzim BADH2 aktif, maka enzim ini dapat mengubah GABald menjadi asam gama-aminobutirat (GABA), sedangkan jika enzim BADH2 tidak aktif, maka GABald mengalami asetilasi (penambahan gugus asetil) membentuk 2-acetyl-1-pyrroline. Putresin akan ditemukan dalam jumlah tinggi pada jaringan yang tumbuh aktif membelah. Putresin dipecah menjadi GABald oleh diamina oksidase (DAO) selama proses pembentukan lignin dan dinding sel, setelah sebagian besar pembelahan sel telah terjadi. Oleh karena itu, pembentukan GABald cenderung terjadi di jaringan muda yang secara aktif membelah dan dinding sel menjadi kaku.

Hasil penelitian dari Buttery et al. (1983) juga berbeda dengan yang dilaporkan oleh Zheng et al. (2009), 2-acetyl-1-pyrroline tidak terdeteksi dengan analisis GC-MS pada beras yang dimasak varietas Tatsukomochi, Kinunohada, dan Miyakoganemochi. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan oleh perbedaan metode ekstraksi dan cara pemasakan nasi (Champagne 2008).

Secara rinci, Champagne (2008) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi flavor dan aroma beras dijabarkan seperti di bawah ini :

a. Genetik

Gen Beras wangi terletak pada ekson nomor 7 pada kromosom nomor 8. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Bradbury et al.

(2005) dan Jain et al. (2006), sifat beras aromatik dibawa oleh genetis tertentu terutama pada kromosom 8.

Secara genetik, perbedaan gen antara padi aromatik dan non aromatik adalah akumulasi dari komponen 2-acetyl-1-pyrroline dalam genotip padi aromatik dapat disebabkan oleh adanya mutasi delesi pada ekson 7 di kromosom nomor 8 yang mengakibatkan kodon stop sehingga menyebabkan hilangnya aktivitas enzim betain aldehida dehidrogenase (BADH2). Ketika prolin mensintesis asam amino glutamat maka enzim BADH2 memainkan peranan kunci dalam jalur konversi ke arah glutamat. Penghambatan lintasan ini akan meningkatkan ketersediaan prolin untuk sintesis 2-acetyl-1-pyrroline (Bradbury et al. 2005). Berbeda dengan padi non aromatik, pada kromosom nomor 8 tidak terjadi delesi ekson 7 sehingga prolin lebih mengarah ke pembentukan asam amino glutamat dan pembentukan 2-acetyl-1-pyrroline lebih sedikit (Seno et al. 2009).

b. Perlakuan sebelum panen

Perlakuan sebelum panen (kondisi cuaca, kesuburan tanah, dan cara tanam) perlu diperhatikan karena mempengaruhi kandungan amilosa dan protein pada beras, sehingga dapat mempengaruhi flavor dan aroma dari beras yang dimasak, contohnya jumlah 2-acetyl-1-pyrroline bervariasi tergantung dengan kondisi lingkungan. Jumlah 2-acetyl-1-pyrroline lebih banyak pada beras merah matang pada suhu rendah (25 oC siang hari, 20 oC malam hari) dibandingkan dengan beras merah matang pada suhu tinggi (35 o

C siang hari, 30 oC malam hari) untuk beras merah varietas short-grain

Hieri dan long-grain Sari (Itani et al. 2004). c. Sistem irigasi dan waktu pemanenan

Waktu pemanenan dan sistem irigasi yang baik dengan mempertimbangkan berbagai faktor yaitu tingkat kematangan, kadar air dan kondisi cuaca akan dapat menghasilkan gabah dengan kualitas tinggi. Contohnya seperti beras varietas IR-42. Beras varietas IR-42 dipanen pada umur tanam 20 - 38 hari setelah 50% dari varietas tersebut berbunga. Pada kondisi tersebut terjadi peningkatan kadar amilosa dan protein, setelah itu terjadi penurunan aroma dan flavor dengan peningkatan kematangan. Beras

varietas IR-42 memiliki flavor yang lebih baik pada umur tanam 20 hari (50% berbunga) (Champagne 2008).

d. Kadar air

Diantara pemanenan dan pengeringan, padi yang dibiarkan selama 24 jam dapat meningkatkan kadar air padi yaitu 16% menjadi lebih besar dari 26%. Mikroba dapat tumbuh pada kondisi ini, sehingga dapat menghasilkan senyawa volatil yang mempengaruhi flavor atau aroma pada beras putih setelah pengeringan dan penggilingan (Champagne 2008).

e. Kondisi pengeringan beras, kadar air akhir dan penyimpanan gabah

Pengeringan pada suhu 18 - 60 oC tidak mempengaruhi peningkatan atau penurunan flavor beras (Champagne et al. 1997). Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Sunthonvit et al. (2005), 2-acetyl-1-pyrroline akan terjadi peningkatan konsentrasi dengan peningkatan suhu pengeringan 100 - 150 oC.

f. Derajat penggilingan

Derajat penggilingan yang berbeda akan mempengaruhi flavor dari beras giling. Puffed corn flavor, raw rice flavor, hay like flavor dan bitter taste

akan menjadi rendah ketika rasa manis lebih tinggi dengan peningkatan derajat penggilingan 8 sampai 14% (Park et al. 2001). Hasil penelitian ini didukung oleh Champagne et al. (1997), mengemukakan bahwa efek dari derajat penggilingan terhadap intensitas atribut flavor tergantung dari kadar air, kultivar dan lokasi budidaya.

Derajat penggilingan dapat mempengaruhi jumlah 2-acetyl-1-pyrroline. Jumlah komponen 2-acetyl-1-pyrroline lebih banyak diperoleh pada tepung beras dibandingkan dengan beras giling. Hal ini dapat disebabkan oleh derajat penggilingan (dehulling) yang lebih rendah pada tepung beras dibandingkan dengan beras giling, sehingga ditemukan bahwa rata-rata

recovery 2-acetyl-1-pyrroline pada tepung beras lebih tinggi dibandingkan dengan beras giling (Yoshihashi et al. 2005).

g. Waktu dan suhu penyimpanan beras giling

Efek dari penyimpanan terhadap flavor beras giling kurang baik (undermilled rice) dan beras giling kualitas baik (wellmilled rice) ditentukan oleh deskripsi panelis (Piggott et al. 1991). Asam lemak bebas dibentuk lebih besar pada beras giling kualitas kurang baik (undermilled rice) dibandingkan beras giling kualitas baik (wellmilled rice). Perbedaan flavor antara kedua beras giling tersebut kemudian diteliti dari segi aroma, rasa dan tekstur (mouth-feel)pada berbagai suhu penyimpanan.

Beras yang disimpan pada suhu 30oC memiliki skor tertinggi untuk

pungent, oily, muddy/musty, sour (rasa), bitter, smooth (aroma) dan muddy, sedangkan beras yang disimpan pada suhu -20oC memiliki skor tertinggi untuk rasa (sweet), wangi (fragrant), smooth (aroma) dan muddy/earthy.

Skor flavor tersebut pada saat uji sensori akan meningkat dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selain itu, penyimpanan pada suhu -20oC dapat menekan peningkatan free fatty acid (FFA). Komponen hexanal

dan carbonil pada suhu tersebut akan memiliki tren yang sama seperti FFA (Champagne 2008).

Penyimpanan pada suhu 5oC dapat menghambat penguapan 2-acetyl-1-pyrroline dan mencegah off flavor (Yoshihashi et al. 2005). Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Tava & Bocchi (1999) suhu penyimpanan yang rendah dapat mempertahankan jumlah 2-acetyl-1-pyrroline. Lebih jauh lagi, Kongkiattikajorn (2008) menemukan bahwa perubahan aroma beras dapat disebabkan oleh penurunan komponen 2-acetyl-1-pyrroline dan peningkatkan jumlah komponen hexanal.

Penyimpanan juga dapat mempengaruhi sifat fisikokimia beras varietas Khao Dawk Mali 105. Hasil penelitian ini didukung oleh Zhou et al.

(2002), bahwa perubahan protein, lemak dan pati pada beras dapat mempengaruhi gel, pasta, flavor dan tekstur nasi.

Faktor lain yang mempengaruhi aroma beras adalah lamanya penyimpanan. Data ini didukung oleh Wongpornchai et al. (2004), bahwa karakteristik aroma beras dipengaruhi oleh penanganan setelah pemanenan misalnya lamanya penyimpanan dan metode pengeringan padi.

h. Pencucian

Monsoor & Proctor (2002), mengemukakan bahwa pencucian beras merupakan salah satu cara praktis untuk mereduksi off-flavor pada beras giling. Selanjutnya Monsoor & Proctor (2004), mengemukakan bahwa pencucian beras juga dapat secara efektif mengurangi komponen volatil yang menyebabkan off-flavor pada beras giling kepala (head milled) dan beras rusak (broken rice), ketika disimpan lebih dari 30 hari pada suhu 37 o

C dan RH (70%). Sebagian besar komponen volatil pada kedua jenis tersebut adalah komponen pentanal, pentanol, hexanol, penthylfuran, octanal dan nonanal, dimana jumlah keenam komponen ini lebih banyak pada beras rusak (broken rice) dibandingkan beras giling kepala (head milled). Pencucian beras juga dapat meningkatkan nilai ekonomi pada beras rusak (broken rice).

i. Cara pemasakan

Ada 3 macam metode pemasakan nasi yaitu excess method, pilaf method, dan penguapan (steaming). Excess method merupakan salah satu metode pemasakan nasi dengan penggunaan jumlah air yang tepat untuk menemukan cara pemasakan yang optimum. Pilaf method merupakan metode pemasakan nasi optimum menggunakan rice cooker dengan penggunaan jumlah air yang tepat. Pemasakan nasi menggunakan pilaf method menghasilkan flavor yang lebih diterima konsumen bila dibandingkan excess method (Crowhurst & Creed 2001).

j. Pengaruh dari rasio air dengan beras terhadap flavor nasi yang dimasak Rasio antara air dan beras yang digunakan pada pilaf method tidak berpengaruh nyata terhadap atribut flavor pada keempat varietas beras (Bett-Garber et al. 2007).

k. Suhu penyediaan dari nasi

Yau & Huang (1996) menemukan bahwa aroma dari nasi akan dapat dipengaruhi oleh suhu penyediaan nasi dan aroma beras yang dilepaskan biasanya berasal dari komponen tunggal atau campuran yang spesifik, akan tetapi Yau & Liu (1999) menyatakan bahwa tidak ada suhu penyediaan nasi yang jelas untuk mempengaruhi aroma dari semua sampel beras.

Dokumen terkait