• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk memperoleh pemahaman yang jelas terhadap kandungan judul penelitian ini, dan upaya menghindari kesalahpahaman (misunderstanding) terhadap ruang lingkup penelitian yang dilakukan, diperlukan batasan atau fokus penelitian dan matrik penetilian serta deskripsi fokus sebagaimana yang tercakup dalam judul penelitian.

1. Fokus Penelitian

Berdasarkan deskripsi fokus yang telah dikemukakan dalam kaitannya dengan rumusan masalah penelitian ini, maka secara umum

disertasi ini akan berfokus pada upaya perumusan perspektif hukum Islam mengenai tradisi-tradisi masyarakat Bugis yang berkaitan dengan perkawinan, agar tradisi-tradisi yang sedang berlangsung di tengah-tengah masyarakat Kota Parepare dapat didudukan pada proporsinya sebagaimana yang diatur dalam syariat, dan secara khusus fokus penelitian yang dimaksud dapat digambarkan dalam matrik berikut:

Tebel 1: Matriks Fokus Penelitian dan Uraian Masalah

No Fokus Penelitian Uraian Masalah

1 Bentuk-bentuk adat masyarakat Bugis yang berkaitan dengan Perkawinan

- Adat yang terdapat pada pra perkawinan

- Adat yang terdapat pada hari perkawinan

- Adat yang dilakukan setelah perkawinan 2 Filosofis yang terkandung pada

simbol-simbol adat pada Perkawinan Masyarakat Bugis Kota Parepare

- bentuk-bentuk simbol-simbol yang digunakan - keterkaitan simbol dengan

yang disimbolkan - singkronisasi makna

simbol-simbol tersebut nilai ajaran Islam 3 Pandangan Hukum Ulama Kota

Parepare Mengenai Adat Masyarakat Bugis dalam Perkawinan

- Wajib - Sunnah

- Mubah (Boleh) - Makruh

2. Deskripsi Fokus

Untuk memudahkan dalam memahami konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka akan dipaparkan beberapa istilah sebagai pegangan dalam kajian selanjutnya, yakni:

Istilah „eksistensi” yang mengawali judul penelitian ini dalam

Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “keberadaan, kehadiran yang

mengandung unsur bertahan”.17 Jadi eksistensi merupakan proses dinamis yang tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”. Dalam penelitian ini, kata eksistensi merujuk pada keberadaan adat perkawinan masyarakat Bugis Parepare menurut Hukum Islam.

Eksistensi ini, juga berkaitan dengan strategi atau cara masyarakat Bugis Parepare mempertahankan adat perkawinannya dalam menghadapi tekanan modernisasi dan kemajuan zaman. Konsep pertahanan diri tersebut, adalah sesuatu hal yang penting untuk melihat bagaimana proses sosial yang terjalin antara masyarakat Bugis yang satu dengan masyarakat Bugis yang lain di Kota Parepare.

Adat yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah adat lokal yang mengatur interaksi masyarakat. Dalam ensiklopedi disebutkan bahwa adat

adalah “kebiasaan” atau “tradisi” masyarakat yang telah dilakukan berulang

kali secara turun-temurun.18

Menurut khasanah Bahasa Indonesia, adat berarti segala sesuatu seperti tradisi, kebiasaan, ajaran dan sebagainya yang turun-temurun dari

17W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umus Bahasa Indonesia, (Cet. VII; Jakarta: Balai

Pustaka, 1984), h. 267

18

nenek moyang. Ada pula mengatakan bahwa sama dengan tradisi, dan tradisi berasal dari kata traditium, yaitu segala sesuatu yang ditransmisikan, diwariskan oleh masa lalu ke masa sekarang.

Dalam literature Islam, adat disebut al-„adah atau al-„urf yang berarti adat atau kebiasaan. Menurut Abdul Wahab Khallaf Urf adalah:

.ُةَداَعْلَا ىَّمَسُيَو ٍكْرَ تْوَا ٍلْعِف ْوَا ِلْوَ ق ْنِم اوَراَسَو ُساَّنلا َفَراَعَ ت اَمَو ُفْرُعْلَا

ىِعْرَّشلْا ِناَسِل ِفَِو

ِةَداَعلْاِو ِفْرُعلْا َْيَْ ب ُقْرَ ف َلا

19

Artinya:

Al-urf adalah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan

dikerjakan oleh mereka, yang berupa perkataan, perbuatan atau sesuatu yang ditinggal. Hal ini dinamakan pula dengan al-adah. Dalam

bahasa ahli Syara‟ tidak ada perbedaan antara al-„urf dan al-adah.

Berdasarkan tiga sumber tersebut dapat dipahami bahwa adat intinya adalah warisan masa lalu yang dilestarikan, dijalankan dan dipercaya hingga saat ini. Oleh karena itu adat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah adat masyarakat Bugis Parepare yang telah dilakukan secara turun-temurun yang berkaitan dengan perkawinan.

Sementara perkawinan yang dimaksud dalam penelitian ini, dalam

fikhi disebut “nikah”. Kata “nikah” sendiri dipergunakan untuk arti

persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad nikah.20 Rahman Hakim mengemukakan bahwa kata nikah berasal dari bahasa Arab “nikāhun” yang merupakan masdar dari kata “nakaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan.

19Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Bandung: Risalah), h. 131

20

Kata nikah sering juga dipergunakan karena telah masuk dalam bahasa Indonesia.21

Adapun nikah menurut syara‟ para ahli fikih mengatakan nikah

adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata nikah atau tazwīj dan segala hal yang berkaitan dengannya. Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Muhammad Abu Ishrah bahwa Nikah atau Ziwāj ialah:

اَمُهُ نَواَعَ تَو ِةأْرَمْلاَو ِلُجَّرلا َْيَْ ب ِةَرْشُعْلا َّلَح ُدْيِفُي ٌدْقَع َوُى ُحاَكِّنلَا

ِتاَب ِجاَو ْنِم ِوْيَلَع َامَو ِقْوُقُح ْنِم اَمِهْيَلِكِلاَم ُّدَُيَُو

.

22 Artinya:

Nikah adah akad yang memberikan faedah hukum kebolahan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua mahluknya terutama manusia demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaannya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan dilandasi dengan cinta dan kasih sayang.

Masayarakat Bugis adalah kelompok etnis yang menempati bahagian tengah dan selatan pulau Sulawesi Selatan sebagai daerah asal dan tempat menetapnya. Keberadaan masyarakat Bugis diliputi sejumlah mitos.

Sure‟ Lagaligo menceritakan mengenai awal mula dihuninya negeri Bugis,

ketika Batara Guru dari Bottinglangi (dunia atas) bertemu di tanah Luwu

21Rahman Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 11. Lihat

H. M. A. Tihami dkk., Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009), h. 7

22

dengan We‟Nyelli‟ Timo dari Buri‟liung (dunia bawah). Simpuru‟siang di

Luwu, Sengiangridi di Bone, Petta Sekkanyilli di Soppeng. Semuanya adalah to manūrung yang membentuk masyarakat Bugis.23

Populasi masyarakat Bugis merupakan penduduk mayoritas yang berdiam di Bone, Soppeng, Wajo, Sidenreng Rappang, Parepare, Pinrang,

Barru, Pangkaje‟ne Kepulauan, Maros, Bulukumba, dan Parepare. Salah

satu tempat yang disebutkan tersebut di atas yaitu Parepare merupakan lokasi penelitian yang dipilih. Oleh karena itu masyarakat Bugis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat Bugis yang berdiam di Kota Parepare.

Istilah “perspektif” berasal dari bahasa Inggris, yaitu

“perspective”24

yang berarti pemandangan atau cara melukiskan terhadap

suatu obyek. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “Perspektif”

berarti cara melukiskan suatu benda dan lain-lain pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar, dan tingginya); sudut pandang; pandangan.25 Jadi, perspektif yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pandangan hukum Islam terhadap tradisi-tradisi masyarakat Bugis dalam perkawinan.

Istilah hukum Islam merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan dari fiqh Islamy atau dalam konteks tertentu disebut

al-Syari‟at al-Islamiy. istilah ini dalam wacana ahli hukum barat disebut

Islamic Law.

23A. Rahman Rahim, Nilai Kebudayaan Bugis dan Asal Usulnya, (Ujungpandang:

Hasanuddin University Press, 1992), h. 24

24John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dengan judul asli;

English-Indonesia Dictionary (Cet. XVIII; Jakarta: PT. Gramedia, 1989), h. 426

25Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa

Apabila istilah hukum Islam diasosiasikan sebagai fikih, maka dalam perkembangannya produk pemikiran hukum Islam tidak lagi didominasi oleh fikih. Akan tetapi, masih ada tiga produk hukum lainnya, yaitu: Pertama; fatwa ulama yang merupakan ijtihad seorang mufti sehubungan dengan peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Jadi fatwa lebih khusus dari pada fikih atau ijtihad secara umum.26 Kedua; yurisprudensi yaitu produk pemikiran ini merupakan keputusan hakim pengadilan berdasarkan perkara di depan persidangan. Dalam istilah teknis disebut dengan al-qada‟ atau al-hukm, yaitu ucapan (dan atau tulisan) penetapan atau keputusan yang dikeluarkan oleh badan yang berwenang

(al-wilayah al-qada‟). Adapula yang mengartikan sebagai ketetapan hukum

syar‟i yang disampaikan melalui seorang qadi‟ atau hakim yang diangkat

untuk itu.27 Ketiga; Undang-Undang, yaitu peraturan tertulis yang dibuat oleh pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan kata lain peraturan yang dibuat oleh suatu badan legislatif yang mengikat kepada setiap warga Negara di mana undang-undang itu diberlakukan, yang apabila dilanggar akan mendatangkan sanksi. Undang-Undang sebagai hasil „ijtihad kolektif (jama‟iy) dinamikanya relatif lamban. Karena biasanya untuk mengubah suatu undang-undang memerlukan waktu, persiapan, biaya yang tidak kecil. Produk pemikiran hukum jenis ini, memang tidak semua negara muslim memilikinya.

Dengan melakukan penelahan terhadap produk-produk hukum yang berlaku di Indonesia, dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan diformulasikan dalam

26Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqh, (Qahirah: Dar al-Fikr al-„Azaly, t.th), h. 401

27Muhammad salam Mazkur, al-Qada‟ fi al-Islam, diterjemahkan oleh Imron AM dengan

empat produk pemikiran hukum yakni fikih, fatwa, yurisprudensi (keputusan pengadilan), dan undang-undang yang dipedomani diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia.28

Dari uraian pengertian kata tersebut di atas, dapat digambarkan bahwa penelitian ini akan menguraikan eksistensi tradisi/adat perkawinan masyarakat Bugis Parepare dalam perspektif hukum Islam. Tradisi-tradisi yang sesuai dengan hukum Islam supaya dilestarikan, sedangkan tradisi-tradisi yang tidak sesuai dengan hukum Islam dapat diformulasi kembali atau bahkan dihilangkan saja.