• Tidak ada hasil yang ditemukan

Simbol-Simbol dalam Upacara Adat Perkawinan

KERANGKA TEORITIS

F. Simbol-Simbol dalam Upacara Adat Perkawinan

“Simbol” berasal dari kata Yunani Simbolos artinya tanda atau ciri

yang memberitahukan sesuatu hal kepada orang lain35. Liang Gie menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan yang bukan berwujud kata-kata untuk mewakili atau menyingkat suatu artian apapun36. Kamus Besar Bahasa Indonesia, simbol berarti lambang yaitu tanda yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu37. Sedangkan makna mengandung arti atau maksud, suatu pengertian yang diberikan kepada sesuatu bentuk kebahasaan38. Jadi simbol merupakan bentuk lahiriah yang mengandung maksud, sedangkan makna adalah arti yang terkandung di dalam lambang tertentu. Dengan demikian simbol dan makna merupakan dua unsur yang berbeda tetapi saling berkaitan bahkan saling melengkapi. Kesatuan simbol dan makna akan menghasilkan suatu bentuk yang mengandung maksud.

Lambang dan simbol juga merupakan manifestasi langsung yang bertumpu pada penghayatan terhadap jiwa dan raga yang mempunyai bentuk serta watak dengan unsurnya masing-masing, dan sebagai wujud manifestasi batin seseorang yang dapat berupa hasil karya seni. Kebudayaan manusia sangat erat hubungannya dengan simbol,

35Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hinindita,1984), h. 10

36

The Liang Gie, Administrasi Perkantoran Modern (Yogyakarta: Liberty, 2000). 46

37M. Moeliono Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikibud Balai Pustaka,

1990), h. 840

38M. Moeliono Anton, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikibud Balai Pustaka,

sehingga manusia disebut makhluk bersimbol.39 Turner mendefenisikan simbol sebagai sesuatu yang dianggap, dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau mengingatkan kembali dengan memiliki kwalitas yang sama atau dengan membayangkan kenyataan atau pikiran.40 Charon berpendapat bahwa simbol merupakan obyek sosial yang dipakai untuk mempersentasikan atau menggantikan apa pun yang disetujui orang yang akan representasikan.41 Lebih lanjut Charol mengatakan simbol merupakan aspek penting yang memungkinkan orang bertindak menurut cara-cara yang khas yang dilakukan manusia. Karena simbol, manusia tidak memberikan respon secara pasif terhadap realitas yang memaksa dirinya sendiri, tetapi secara aktif menciptakan dan mencipta ulang dunia tempat mereka melakoni kehidupan.42

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa simbol sebagai obyek sosial dalam suatu interaksi, ia digunakan sebagai perwakilan dan komunikasi yang ditentukan oleh orang-orang yang menggunakannya orang tersebut memberi arti, menciptakan dan mengubah obyek fisik (benda-benda), kata-kata (untuk mewakili obyek fisik, perasaan, ide-ide dan nilai-nilai) serta tindakan yang dilakukan orang untuk memberi arti dalam berkomunikasi dengan orang lain. Pada dasarnya segala bentuk-bentuk upacara yang dilaksanakan oleh manusia adalah sebuah bentuk-bentuk

39Herusatoto, Simbolisme dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Hinindita,1984), h. 10

40Victor Witter Turner, The Forest Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, (Cornell University

Press,1967), h.9

41Joel M. Charol, Symbolic Interactionism: An Introduction, an Interpretatin, an Integration.

(6th ed. Englewood Chilffs, N.J. Prentice-Hall, 1998), h. 47

42Joel M. Charol, Symbolic Interactionism: An Introduction, an Interpretatin, an Integration

simbolisme, maksud dan makna upacara itulah yang menjadi tujuan manusia untuk memperingatinya.

Turner melihat begitu pentingnya peranan, simbol-simbol dalam masyarakat karena sistem simbol merupakan simbol dimana sipemilik kebudayaan menemukan dan mewariskan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya43. Penggunaan simbol inilah yang membedakan proses belajar manusia dengan binatang karena manusia menciptakan dan memanfaatkan berbagai simbol dalam kehidupannya.

Geertz menyebutkan bahwa sumber dari pada simbol-simbol pada upacara tradisional pada hakekatnya ada dua, yaitu simbol yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud dalam kenyataan-kenyataan sosial dan simbol yang berasal dari dalam yang terwujud dalam konsepsi-konsepsi dan sturktur sosial masyarakat, sehingga dapatlah dikatakan bahwa simbol sangatlah berperan dalam suatu kebudayaan khususnya dalam upacara tradisional.44 Geertz juga menyatakan bahwa kebudayaan adalah pengorganisasian pengertian-pengertian yang tersimpul dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan eksistensi.

Dalam ritus keagamaan yang periodik menurut Durkeimhkan, masyarakat dalam kelompok sosial mengukuhkan kembali dirinya dalam perbuatan simbolik yang merupakan sikapnya, yang dengan itu memperkuat masyarakat itu sendiri, selain itu ritus keagamaan juga merupakan transformasi simbolis dari pengalaman-pengalaman yang tidak dapat diungkapkan dengan tepat oleh media lain. Karena berasal dari kebutuhan

43Victor Witter Turner, The Forest Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, (Cornell University

Press,1967), h. 34

44Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya,

primer manusia, maka ritual keagamaan yang penuh dengan simbolisme tersebut merupakan kegiatan yang spontan dalam arti betapapun peliknya, ritus keagamaan betapapun peliknya, ritus keagamaan lahir tanpa ada niat, tanpa disesuaikan dengan suatu tujuan yang didasari pertumbuhannya tanpa rancangan, polanya benar-benar alamiah.

Dalam menginterpretasi suatu simbol, Turner, mengungkapkan adanya tiga dimensi arti simbol45, yaitu:

1. Tingkat dimensi eksegenetik, interpretasi masyarakat bumi pemakai simmbol. Tingkat ini dinamakan juga sebagai tingkat penafsiran makna. Penafsiran makna diperoleh dari informan-informan pemilik simbol tentang tingkah laku upacaranya. Disini harus dibedakan lagi antara informasi yang diberikan oleh mereka yang ahli dan orang awam, juga diperlukan kehati-hatian untuk memastikan apakah suatu penjelasan yang diberikan benar-benar bersifat mewakili atau hanya suatu pandangan personal saja.

2. Tingkat makna operasional.

Pada tingkat ini kita tidak boleh hanya mendengar apa yang dikatakan oleh sipemilik simbol tentang makna suatu simbol, tetapi mengamati apa yang sedang mereka lakukan. Peranan interpretasi dari pihak peneliti diperlukan hal ini dikarenakan ada hal-hal yang tidak diungkapkan secara benar, sebab kadang-kadang mereka tidak sungguh melakukannya, bisa saja orang memanipulasi simbol-simbol yang mereka ciptakan. Tingkat makna operasional ini berkaitan dengan problem-problem dinamika sosial. Pengamat tidak hanya

45Victor Witter Turner, The Forest Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, (Cornell University

mempertimbangkan simbol-simbol, tetapi juga struktur masyarakat yang diamati. Disini akan tampak bahwa simbol itu mengandung penggambaran atau penjelasan budaya masyarakat pelaku masyarakat pemangku masyarakat tersebut.

3. Tingkat makna posisional.

Pada tingkat ini makna suatu simbol upacara dilihat secara totalitas, berhubungan dengan simbol yang lain yang elemen-elemennya memperoleh arti dari sistem sebagai suatu keseluruhan, ini berhubungan dengan sifat simbol yang polisemi atau multi vocal, yaitu bahwa suatu simbol mempunyai keanekaan makna, tetapi berdasarkan atas konteksnya mungkin penting untuk menekankan suatu atau beberapa makna saja.

Ketiga tingkatan simbol ini dipakai semuanya, sebab ketiganya saling menunjang dan melengkapi. Pendekatan lain yang digunakan oleh

Turner disebut sebagai “Procesual simbology”, yaitu kajian mengenai

bagaimana simbol menggerakkan tindakan sosial dan melalui proses yang bagaimana simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan pribadi, lewat pendekatan ini kita melihat bagaimana masyarakat menjalankan, melanggarkan dan memanipulasi norma-norma dan nilai-nilai yang diunkapkan oleh simbol untuk kepentingan mereka46, pendekatan ini memungkinkan kita untuk mengungkapkan arti-arti simbol dan selanjutnya mengetahui pikiran atau ide-ide mereka.

Ritzer mengemukakan bahwa simbol pada umunya dan bahasa pada khususnya, mempunyai sejumlah fungsi khusus bagi aktor.47 Pertama,

46Victor Witter Turner, The Forest Symbols: Aspects of Ndembu Ritual, (Cornell University

Press,1967), h.44

47Giorge Ritzer, Teori Sosiologi Modern, Edisi 7 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

simbol memungkinkan orang menghadapi dunia material dan dunia sosial dan memungkinkan mereka untuk mengatakan, menggolongkan, dan mengingat objek yang mereka jumpai. Dengan cara ini manusia mampu menata kehidupan, agar tidak membingunkan.

Kedua, simbol meningkatkan kemampuan mansia utnuk memahami

lingkungan. Daripada dibanjiri oleh banyak stimuli yang tak dapat dibeda-bedakan, aktor dapat berjaga-jaga terhadap lingkungan tertentu saja ketimbang terhadap bagian lingkungan yang lain.

Ketiga, simbol meningkatkan kemampuan utnuk berpikir, jika

sekumpulan simbol bergambar hanya dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara terbatas, maka bahasa akan dapat lebih meningkatkan kemampuan ini. Dalam artian ini, berpikir dapat dibayangkan sebagai berinteraksi secara simbolik dengan diri sendiri.

Keempat, simbol meningkatkan kemampuan menyelesaikan

berbagai masalah. Binatang harus menggunakan cara trial and error, tapi manusia dapat memikirkan dengan menyimbolkan berbagai alternative tindakan sebelum benar-benar melakukannya.

Kelima, simbol memungkinkan aktor mendahului waktu, ruang,

dan bahkan pribadi mereka sendiri. Melalui penggunaan simbol, aktor dapat membayangkan seperti apa kehidupan di masa yang lalu atau seperti apa kemungkinan hidup di masa depan.

Keenam, simbol memungkinkan kita membayangkan realitas

metafisik, seperti surge dan neraka. Ketujuh, simbol memungkinkan orang menghindar dari diperbudak oleh lingkungan mereka. Mereka dapat lebih aktif mengatur sendiri mengenai apa yang akan mereka kerjakan.

Geertz mengemukakan bahwa benda-benda yang ditampilkan dalam upacara adalah sistem simbol yang berfungsi sebagai

wahana pengintegrasian antara etos dan pandangan hidup merupakan konsepsi warga masyarakat yang menyangkut dirinya, masyarakatnya, alam dan lingkungan sekitarnya.48

Pendapat tersebut di atas mendedikasikan bahwa upacara mengandung makna-makna yang diinterprestasikan oleh pendukung suatu kebudayaan sebagai sesuatu yang berarti dalam hidup. Karena dianggap berarti hampir setiap suku bangsa diberbagai jenis upacara baik itu perkawinan ataupun peringatan lainnya masih dilaksanakan walaupun upacara-upacara itu kemudian mengalami berbagai perubahan tetapi makna yang terkandung sama.