• Tidak ada hasil yang ditemukan

KERANGKA TEORITIS

G. Pengertian Hukum Islam

I. Tujuan Hukum Islam

Syariat Islam adalah peraturan hidup yang datang dari Allah Ta‟ala. Ia adalah pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. Sebagai pedoman

hidup ia memiliki tujuan utama yang dapat diterima oleh seluruh umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk kebaikan seluruh umat manusia. Dalam ruang lingkup ushul fiqh tujuan ini disebut dengan

maqāshid as-syari‟ah yaitu maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam. Maqāshid al-Syari‟ah terdiri dari dua kata yaitu maqāshid dan

asy-syari‟ah. Sebelum menjelaskan pengertian maqāshid asy-syari‟ah secara

istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi). Secara bahasa, maqāshid merupakan jama‟ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud. Secara akar bahasa, maqāshid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qāshidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja. 63 Namun, dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada

ilaihi).64 Sebagaimana firman Allah swt: “Wa‟alallahi Qashdussabili”, yang artinya, Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.65

Sedangkan kata asy-syari‟ah berasal dari kata syara‟a as-syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari asy-syar‟ah dan asy-syari‟ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat.66 Terkadang juga diartikan sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu asy-syari‟ah berasal dari akar kata syara‟a, yasri‟u, syar‟an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan, dengan demikian asy-syari‟ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara‟a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar‟a lahum syar‟an berarti mereka

63Ahsan Lihasanah, al-Fiqh al-Maqāshid „Inda al-Imami al-Syatibi‟ (Mesir: Dar al-Salam,

2008), h. 11

64Mahmud Yunus, “Kamus Arab-Indonesia” (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah,

1990), h. 243

65 Ibn Manzur, “Lisan al-„Arab”, Juz V. (Mesir: Dar al-Ma‟arif), h. 3643

66

telah menunjukkan jalan kepada mereka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan. Jadi, secara bahasa syari‟ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.67

Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. al- Jatsiyah/45:18





























Terjemahnya:

Kemudian kami jadikan kamu berada di atas sebuah syariat, peraturan dari urusan agama itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui.68

Dengan mengetahui pengertian maqāshid dan asy-syari‟ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan

pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syari‟at,

dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqāshid asy-syari‟ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.69

67

Hasbi Umar, “Nalar Fiqih Kontemporer” (Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), hal. 36

68Departemen Agama RI, Al-Qura‟an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

2002), h. 720

69Al-Syatibi, Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari‟ah, Juz I. (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,

Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqāsid asy-syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syara‟ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari‟ dalam setiap ketentuan hukum.70

Yusuf Al-Qardhawi mendefinisikan maqāshid asy-syari‟ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat, atau juga disebut dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak. Karena dalam setiap hukum yang

disyari‟atkan Allah kepada hamba-Nya pasti terdapat hikmat, yaitu tujuan

luhur yang ada di balik hukum.71

Ulama Ushul Fikih mendefinisikan maqāshid asy-syari‟ah dengan

makna dan tujuan yang dikehendaki syara‟ dalam mensyari‟atkan suatu

hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqāshid asy-syari‟ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrār al-syari‟ah, yaitu

rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara‟, berupa

kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya,

syara‟ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk

menegakkan agama Allah swt.72 Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah maqāshid al-syari‟ah ini diidentikan dengan filsafat hukum Islam.73

70Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh Islami, Juz II, (Damaskus: Dar al Fikri, 1986), hal. 225

71

Yusuf Al-Qardhawi, “Fikih Maqāshid Syari‟ah” (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2007), h. 18-19

72Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th), h. 1108

73Yusuf al-Qadharawi, Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern (Kairo: Makabah Wabah,

Dilihat dari sudut kerasulan Nabi Muhammad saw, dapat diketahui bahwa syariat Islam diturunkan oleh Allah adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia secara keseluruhan.74 Abu Ishaq al-Syatibi

mengungkapkan bahwa tujuan pokok disyariatkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akherat. Lebih lanjut Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Alquran dan Sunnah Rasulullah bahwa hukum-hukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kemaslahatan yang akan diwujudkan itu menurut al-Syatibi terbagi kepada tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharūriyat, kebutuhan hājiyat, dan kebutuhan tahsīniyat.75

Kebutuhan dharūriyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Menurut al-Syatibi ada lima hal yang termasuk dalam kategori ini, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara kehormatan dan keturunan, serta memelihara harta. Untuk memelihara lima pokok inilah Syariat Islam diturunkan. Setiap ayat hukum bila diteliti akan ditemukan alasan pembentukannya yang tidak lain adalah untuk memelihara lima pokok diatas. Misalanya, firman Allah dalam Q.S. Al- Baqarah/2: 193

74Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 121

75



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ

ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ



ٌ ٌ Terjemahnya:

Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.76

Dan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah/2: 179



















Terjemahnya:

Dan dalam qishāsh itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.77

Dari ayat pertama dapat diketahui tujuan disyariatkan perang adalah untuk melancarkan jalan dakwah bilamana terjadi gangguan dan mengajak umat manusia untuk menyembah Allah. Dan dari ayat kedua diketahui bahwa mengapa disyariatkan qishāsh karena dengan itu ancaman terhadap kehidupan manusia dapat dihilangkan.

Kebutuhan hājiyat adalah kebutuhan-kebutuhan sekunder, bilamana tidak terwujudkan tidak sampai mengancam keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan. Syariat Islam menghilangkan segala kesulitan itu. Adanya hukum rukhshah (keringanan) seperti dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, adalah sebagai contoh dari kepedulian Syariat Islam terhadap kebutuhan ini.

76Departemen Agama RI, Al-Qura‟an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

2002), h. 37

77Departemen Agama RI, Al-Qura‟an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

Dalam lapangan ibadat, Islam mensyariatkan beberapa hukum

rukhshah (keringanan) bilamana kenyataannya mendapat kesulitan dalam

menjalankan perintah-perintah taklīf. Misalnya, Islam membolehkan tidak berpuasa bilamana dalam perjalanan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari yang lain dan demikian juga halnya dengan orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.

Dalam lapangan mu‟āmalat disyariatkan banyak macam kontrak (akad), serta macam-macam jual beli, sewa menyewa, syirkah (perseroan) dan mudhārabah (berniaga dengan modal orang lain dengan perjanjian bagi laba) dan beberapa hukum rukhshah dalam mu‟āmalat. Dalam lapangan

„uqūbat (sanksi hukum), Islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi

pembunuhan tidak sengaja, dan menangguhkan hukuman potong tangan atas seseorang yang mencuri karena terdesak untuk menyelamatkan jiwanya dari kelaparan. Suatu kesempitan menimbulkan keringanan dalam Syariat Islam adalah ditarik dari petunjuk-petunjuk ayat Alquran juga. Misalnya, Firman Allah dalam Q.S. al-Ma‟idah/5: 6

ٌ َلِإٌْمُكَيِدْيَأَوٌْمُكَىوُجُوٌاوُلِسْغاَفٌِة َلََّصلاٌ َلِإٌْمُتْمُقٌاَذِإٌاوُنَمَآٌَنيِذَّلاٌاَه ـيَأٌَيَ

ٌاوُرَّهَّطاَفٌاًبُـنُجٌْمُتْـنُكٌْنِإَوٌِْيَـبْعَكْلاٌ َلِإٌْمُكَلُجْرَأَوٌْمُكِسوُءُرِبٌاوُحَسْماَوٌِقِفاَرَمْلا

ٌَلَعٌْوَأٌىَضْرَمٌْمُتْـنُكٌْنِإَو

ٌُمُتْسَم َلاٌْوَأٌِطِئاَغْلاٌَنِمٌْمُكْنِمٌٌدَحَأٌَءاَجٌْوَأٌٍرَفَسٌى

ٌْمُكيِدْيَأَوٌْمُكِىوُجُوِبٌاوُحَسْماَفٌاًبِّيَطٌاًديِعَصٌاوُمَّمَيَـتَـفًٌءاَمٌاوُدَِتٌَْمَلَـفٌَءاَسِّنلا

ٌُيِلٌُديِرُيٌْنِكَلَوٌ ٍجَرَحٌْنِمٌْمُكْيَلَعٌَلَعْجَيِلٌَُّللَاٌُديِرُيٌاَمٌُوْنِم

ٌُوَتَمْعِنٌَّمِتُيِلَوٌْمُكَرِّهَط

ٌَنوُرُكْشَتٌْمُكَّلَعَلٌْمُكْيَلَع

Terjemahnya:

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan usaplah kepalamu dan (basuh kedua) kakimu sampai ke dua mata kaki. Jika kamu junub maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh (menyetubuhi) wanita, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.78

Kebutuhan tahsīniyat adalah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, seperti dikemukakan al-Syatibi, hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan moral dan akhlak.

Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibādat, mu‟āmalat, dan

„uqūbat, Allah telah mensyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan

kebutuhan tahsīniyat. Dalam lapangan ibadat, kata Abd. Wahhab Khallaf, umpamanya Islam mensyariatkan bersuci baik dari najis atau hadas, baik pada badan maupun pada tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berhias ketika hendak ke Masjid, menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.

Dalam lapangan mu‟āmalat Islam melarang boros, kikir, menaikkan harga, monopoli, dan lain-lain. Dalam bidang „uqūbat Islam

78Departemen Agama RI, Al-Qura‟an dan Terjemahnya (Semarang: PT. Karya Toha Putra,

mengharamkan membunuh anak-anak dalam peperangan dan kaum wanita, melarang melakukan muslah (menyiksa mayit dalam peperangan).