• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Rasio Ketergantungan

Rasio ketergantungan di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2008 adalah sebesar 60,25 persen dan pada tahun 2012 sebesar 57,45 persen. Hal terseut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.84

Rasio Ketergantungan

Kabupaten Jeneponto Tahun 2010-2014

No Uraian 2010 2011 2012 2013 2014*

1. Jumlah Penduduk Usia < 15 tahun 105.508 106.567 107.179 108.070 109.112 2. Jumlah Penduduk usia > 64 tahun 23.777 19.731 19.843 20.021 20.381 3. Jumlah Penduduk Usia Tidak Produktif (1) &(2) 129.285 126.298 127.022 128.091 129.493 4. Jumlah Penduduk Usia 15-64 tahun 217.657 219.851 221.116 223.009 223.794

5. Rasio ketergantungan (3) / (4) 59,40 57,45 57,45 57.44 57,8

Sumber : Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi & Sosial Kabupaten Jeneponto * Data hasil prediksi berdasarkan tren pertumbuhan.

b. Rasio Lulusan S1/S2/S3

Rasio lulusan S1/S2/S3 di Kabupaten Jeneponto pada tahun 2009 adalah sebesar 9,27 per 1000 penduduk dan pada tahun 2013 menjadi 11,46 per 1000 penduduk. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.85

Rasio Lulusan S1/S2/S3 Kabupaten Jeneponto tahun 2010-2014

NO Uraian 2010 2011 2012 2013 2014* 1. Jumlah lulusan S1 2.957 3.509 3.509 3.613 3.801 2. Jumlah lulusan S2 140 265 265 427 453 3. Jumlah lulusan S3 0 1 1 3 5 4. Jumlah lulusan S1/S2/S3 3.097 3.775 3.775 4.043 4259 5. Jumlah penduduk 342.700 346.149 348.138 351.100 353.287* Rasio lulusan S1/S2/S3 9,04 10,91 10,84 11,52 12,05

Sumber : Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah Kabupaten Jeneponto

Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD ) Kab. Jeneponto Tahun 2016

II-59

Analisis Gambaran Umum

Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, diatas rata-rata nasional, dan pendapatan perkapita yang cukup besar seharusnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, akan tetapi apabila tidak diiringi dengan pemerataan distribusi pendapatan maka hal tersebut merupakan hal yang semu, artinya hasil dari kegiatan ekonomi di wilayah tersebut hanya akan dinikmati oleh sekelompok atau golongan masyarakat tertentu saja, disisi lain rakyat miskin justru terus bertambah, dengan kata lain tidak menciptakan keadilan bagi seluruh masyarakat.

Dalam interval waktu dan dengan memperhatikan hasil pembangunan

yang ada, pergeseran kebijaksanaan pembangunan menyebabkan

pengukuran terhadap hasil-hasil pembangunan yang ada harus disesuaikan, dan kebutuhan untuk melihat fenomena atau masalah dalam perspektif waktu dan tempat sering menuntut adanya ukuran baku. Olehnya itu upaya untuk mengangkat manusia sebagai tujuan utama pembangunan, dimulai pada dekade 60-an, yang ketika itu pembangunan berorientasi pada peningkatan produksi (production centered development) dengan upaya mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Sementara pertumbuhan ekonomi bukanlah akhir dari tujuan pembangunan, akan tetapi hanya sebagai mean/alat/cara untuk mencapai tujuan yang lebih esensial yaitu human security. Dalam kerangka pemikiran ini manusia tidak ditempatkan sebagai faktor variabel, tetapi hanya sebagai faktor produksi. Kemudian pada dekade 70-an paradigma pembangunan bergeser dengan lebih menekankan pada distribusi hasil-hasil pembangunan (distribution-growth development). Selanjutnya muncul paradigma pembangunan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar (basic need development) pada dekade 80-an, dan memasuki tahun 90-an paradigma pembangunan terpusat pada aspek manusia (human centered development).

Dalam konteks ini pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses memperbesar pilihan-pilihan bagi manusia (a process of enlarging people’s choices), dengan melihat sebagai proses upaya ke arah ’perluasan pilihan’ dan sekaligus sebagai taraf yang dicapai dari upaya tersebut. Dalam hal pilihan-pilihan manusia adalah sangat tidak terbatas jumlahnya dan bahkan cenderung berubah setiap waktu. Namun diantara sejumlah pilihan ini, ada 3 pilihan yang sangat esensial untuk dipenuhi yaitu; pilihan untuk hidup sehat dan berumur panjang (Indeks Angka Harapan Hidup); pilihan

Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD ) Kab. Jeneponto Tahun 2016

II-60

untuk memiliki ilmu pengetahuan (Indeks Melek Huruf dan Lama Sekolah),

dan pilihan untuk mencapai akses ke berbagai sumber yang diperlukan agar dapat memenuhi standar kehidupan yang layak (a decent standard of living) atau Indeks Daya Beli (Purchasing Power Parity (PPP). Apabila ketiga pilihan mendasar tersebut dapat dipenuhi maka seseorang akan mudah meningkatkan kemampuannya dalam aktifitas sehari-hari serta memiliki kemampuan menangkap peluang yang ada untuk meningkatkan kehidupannya serta memiliki kemampuan pula untuk meraih pilihanpilihan lain yang juga tidak kalah pentingnya seperti pilihan untuk berpartisipasi dalam bidang politik, kebebasan mengeluarkan pendapat dan sebagainya.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI) merupakan kerangka untuk menempatkan dimensi manusia sebagai titik sentral dalam pembangunan, dengan bercirikan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga diharapkan daerah mempunyai indikator yang berfungsi untuk mengukuran pencapaian pembangunan, terutama yang terkait erat dengan upaya-upaya peningkatan kualitas hidup manusia. Disamping itu, IPM berfungsi sebagai input dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), RENSTRA dan RKPD agar jiwa pembangunan pada era reformasi ini terimplementasi dalam dokumen perencanaan dan untuk penajaman prioritas pembangunan daerah berdasarkan analisis situasional, analisis kebijakan, implikasi kebijakan di daerah, sehingga tujuan dan sasaran pembangunan lebih terarah pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Selain itu juga untuk menggali potensi, peluang, tantangan dan kendala pembangunan di daerah berdasarkan kajian lokal situasional.

Nampaknya setiap tahun tingkat kesejahteraan dan pemerataan ekonomi terus mengalami peningkatan dan perbaikan. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi Jeneponto yang ditandai dengan angka kumulatif kenaikan nilai PDRB atas dasar harga konstan selama periode 2009-2013 mengalami peningkatan rata-rata mencapai 17,91% per tahun, yang kemudian mengalami perlambatan pertumbuhan pada tahun 2009 dengan 5,38%. Perlambatan ini disinyalir akibat dari krisis ekonomi global yang melanda dunia walaupun efeknya tidak begitu terasa di Indonesia. Pada tahun 2010, terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dengan 7,25% dan terus naik pada 2011 dengan 7,32%. Namun memasuki tahun 2012, pertumbuhan ekonomi kembali mengalami perlambatan dengan 7,27%.

Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD ) Kab. Jeneponto Tahun 2016

II-61

Walaupun terjadi perlambatan pada tahun 2012 namun pertumbuhan

ekonomi masih tetap diatas rata-rata pertumbuhan nasional. Disamping itu pendapatan perkapita masyarakat Jeneponto juga cenderung mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2008 yang mencapai Rp 4.693.927, meningkat pada tahun 2009 hingga mencapai Rp 5.604.180 perkapita pertahun, dan tahun 2010 telah mencapai Rp 6.634.100. Pada tahun 2011 pendaptan perkapita kembali mengalami peningkatan menjadi Rp. 7.229.211 dan pada 2012 menjadi Rp. 8.890.871. Kita berharap agar trend peningkatan seperti ini akan terus berlanjut dengan laju perkembangan yang lebih besar sebagai pertanda bahwa pemerataan kesejahteraan telah terpenuhi. Peningkatan ekonomi dan pendapatan perkapita berdampak pada semakin tingginya angka penduduk yang hidup diatas garis kemiskinan pada tahun 2012 (88,40%)

Percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita penduduk Jeneponto, juga tentu tidak terlepas dari peningkatan produktivitas padi atau bahan pangan utama lokal lainnya per hektar mendorong nilai tambah bruto sektor pertanian dominasi kontribusi dari seluruh sektor pembentuk PDRB Jeneponto yang mencapai 50,84% pada tahun 2013, sekaligus sebagai sumber pendapatan andalan masyarakat Jeneponto. Hal yang menggembirakan juga terlihat dari besarnya kontribusi sektor jasa-jasa terhadap PDRB pada tahun 2013 yang mencapai 29,98%. Hal ini menandakan bahwa perkotaan di Jeneponto sudah bisa menjalankan fungsinya sebagai pusat jasa bagi masyarakat sekitar.

Hal yang sama dengan tingkat kesejahteraan dan pemerataan ekonomi, tingkat kesejahteraan sosial (Social Capital) Jeneponto juga terus mengalami peningkatan walaupun tidak secara significant, bahkan cenderung stagnan dalam 3 tahun terakhir (2010-2012). Pada tahun 2010 IPM Jeneponto hanya mencapai 64,92 point, dan pada tahun 2011 meningkat 0,35 point menjadi 65,27 dan pada tahun 2012 hanya meningkat 0,29 poin menjadi 65,56. Pada tahun 2013 yterjadi lonjakan peningkatan yang cukup besar yaitu menjadi 66,22 atau meningkat hampir satu poin. Meskipun begitu, Jeneponto masih menjadi daerah dengan IPM terendah di Provinsi Sulawesi Selatan.

2.2 Evaluasi Pelaksanaan Program Kegiatan RKPD sampai Tahun 2014 dan

Dokumen terkait