• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Saham Syariah Indonesia

4. Forcasted earning per share terhadap harga saham syariah

Dari hasil regresi uji t pada model 2 dan model 5, terlihat bahwa

ForcastedEarning Per Share menunjukan pengaruh positif terhadap harga

124

menawarkan informasi tambahan tentang prospek masa depan perusahaan. Perkiraan laba yang tinggi akan mengindikasikan laba yang tinggi pada tahun berikutnya, sehingga dengan laba yang tinggi maka semakin besar laba yang diberikan dalam setiap lembar saham, maka akan semakin besar harga dari saham.

Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stephanus Remond Waworuntu dan Hendra Suryanto (2011) pada saham di LQ45 menunjukkan bahwa variabel FEPS berpengaruh secara signifikan terhadap harga saham. Penelitian tersebut konsisten dengan pengujian yang dilakukan oleh Bettman dkk. (2009), yang dimana hasil dari pengujiannya adalah bahwa perkiraan EPS (Forecast Earning Per Share)

memiliki hubungan yang lebih signifikan terhadap harga saham daripada EPS itu sendiri. Hal ini juga konsisten dengan Dechow dkk. (1999) yang juga menyatakan bahwa penambahan perkiraan laba per saham dapat meningkatkan kekuatan penjelas dari pada hanya menggunakan EPS.

5. Harga saham masa lalu terhadap harga saham syariah

Dari hasil regresi uji t untuk setiap model analisis teknikal dan gabungan pada model 3, model 4 dan model 5, terlihat bahwa harga saham masa lalu menunjukan pengaruh positif terhadap harga saham syariah. Hasil ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa harga saham masa lalu mempengaruhi harga saham sekarang yang mempunyai pola tertentu dan berulang sehingga berpengaruh secara psikologis terhadap investor dalam melakukan transaksi perdagangan (Husnan, 2003). Hasil ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Wulandari (2009) dan

125

Wijayanti (2010) yang menunjukkan bahwa harga saham masa lalu mempunyai pengaruh yang positif terhadap harga saham.

6. Variabel Dummy Up (Bullish) terhadap harga saham syariah

Dari hasil regresi uji t untuk setiap model analisis teknikal dan gabungan pada model 3, model 4 dan model 5, terlihat bahwa Variabel Dummy Up menunjukan tidak ada pengaruh terhadap harga saham syariah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stephanus Remond Waworuntu dan Hendra Suryanto (2011), menunjukan ada pengaruh yang positif antara Dup dengan harga saham di Indonesia yang tergabung dalam LQ45 pada tahun 2007-2009. Hasil ini juga tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bettman dkk. (2009), dimana hasil pengujiannya menunjukkan ada hubungan signifikan antara Dup dengan harga saham. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaaan sampel dan periode pengamatan. Karena sampel yang digunakan berpusat pada saham syariah yang terdaftar pada JII dan ISSI dan juga karena penelitian dilakukan antara rentang tahun 2011-2014 sebagai periode pengamatan.

7. Variabel Dummy Down (Bearish) terhadap harga saham syariah

Dari hasil regresi uji t untuk setiap model analisis teknikal dan gabungan pada model 3, model 4 dan model 5, terlihat bahwa Variabel Dummy Down menunjukan tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham syariah. Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Stephanus Remond Waworuntu dan Hendra Suryanto (2011), menunjukan ada pengaruh yang negatif antara Ddown dengan harga saham

126

di Indonesia yang tergabung dalam LQ45 pada tahun 2007-2009. Hasil ini juga tidak konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bettman dkk. (2009), dimana hasil pengujiannya menunjukkan ada hubungan negatif antara Ddown dengan harga saham. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaaan sampel dan periode pengamatan. Karena sampel yang digunakan berpusat pada saham syariah yang terdaftar pada JII dan ISSI dan juga karena penelitian dilakukan antara rentang tahun 2011-2014 sebagai periode pengamatan. Perbedaan periode pengamatan tersebut mengindikasikan perbedaan pergerakan tren harga saham pada penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, sehingga menunjukkan hasil yang berbeda.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat di simpulkan, bahwa pergerakan harga saham syariah lebih dapat dijelaskan oleh faktor yang menggabungkan analisis fundamental dengan analisis teknikal. Hal ini dapat dilihat pada kelima model yang digunakan untuk menganalisis. Pada model 1 hingga 3 digunakan untuk menganalisis harga saham berdasarkan analisis fundamental dan analisis teknikal yang secara terpisah tanpa interaksi apapun. Pada model 1 dan 2 yang hanya menggunakan analisis fundamental untuk menjelaskan harga saham memiliki nilai Adjusted R2 sebesar 93,0186% dan 93,6709% berarti bahwa pada kedua model tersebut masih mampu menprediksi harga saham syariah di masa depan. Model 2 memiliki nilai

Adjusted R2 lebih tinggi dari model 1, hal ini karena ditambahkan variabel

Forcasted Earning Per Share (FEPS) sebagai pelengkap Earning Per Share

127

(1999) yang menyatakan bahwa penambahan FEPS dapat meningkatkan kekuatan penjelas terhadap harga saham.

Pada model 3 hanya menggunakan analisis teknikal untuk memprediksi harga saham syariah di masa depan. Hasil pada model 3 tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Bettman dkk. (2009) yang hasilnya menunjukkan semua faktor teknikal signifikan terhadap harga saham. Dalam penelitian ini hanya harga saham masa lalu yang memiliki pengaruh terhadap harga saham. Perbedaan ini terjadi karena pada penelitian ini memiliki objek penelitian dan rentang waktu yang berbeda dengan penelitian sebelumnya.

Akan tetapi, meskipun hanya satu variabel yang berpengaruh terhadap harga saham, nilai Adjusted R2 pada model 3 lebih tinggi dari kedua model sebelumnya, yaitu sebesar 99,3753%. Hal ini karena analisis teknikal dengan pergerakan tren saham melalui chart sendiri memainkan peran utama dalam lingkungan perdagangan di Indonesia

.

Sebagian besar broker saham menyediakan layanan charting, sehingga banyak investor dapat melihat pergerakan tren harga saham. Dengan lebih banyaknya investor yang menggunakan pergerakan harga dan harga masa lalu maka hal ini menjadi sangat penting dalam menentukan keputusan trading investor dan investor sangat bergantung terhadap dua alat tersebut untuk menentukan kapan waktu membeli atau menjual.

Ketika kedua analisis digabungkan dalam model 4 dan 5, model membuktikan adanya peningkatan dalam menjelaskan prediksi harga saham dengan nilai Adjusted R2 lebih tinggi dari ketiga model sebelumnya yaitu

128

sebesar 99,4299% dan 99,4368%. Ketika analisis fundamental terintegrasi dengan analisis teknikal, BVPS tidak lagi positif terhadap harga saham, hal ini karena terdapat hubungan komplementer antara analisis fundamental dan analisis teknikal. Sehingga kekuatan prediksi yang tinggi dari analisis teknikal menolak kekuatan penjelas dari BVPS.

Nilai Adjusted R2 pada model 5 menunjukkan lebih tinggi dari semua model persamaan, hal ini karena didukung dengan adanya FEPS sebagai pelengkap EPS dan juga analisis fundamental yang terintegrasi dengan analisis teknikal. Maka hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis fundamental atau teknikal saja dapat memberikan kekuatan penjelas yang cukup untuk memprediksi harga saham di masa depan. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya dari Bettman dkk. (2009) yang terdiri dari beberapa faktor analisis fundamental dikombinasikan dengan harga saham masa lalu dan dua variabel dummy.

Nilai Adjusted R2 menyimpulkan bahwa terintegrasinya model analisis fundamental dan teknikal memberikan kekuatan penjelas yang lebih besar daripada yang hanya analisis fundamental atau teknikal saja. Selain itu dilihat dari besarnya nilai Akaike Information Criterion (AIC) pada tabel 4.38 berikut:

Tabel 4.38

Akaike Information Criterion (AIC)

S

Sumber: Hasil Olah Data Cross-section fixed (dummy variables)

Model 1 Model 2 Model 3 Model 4 Model 5

129

Tabel di atas menunjukkan model terbaik adalah model 5 dengan nilai AIC yang lebih kecil dibandingan dari model lainnya. Model 1 memiliki nilai AIC sebesar 18.77, model 2 memiliki nilai AIC sebesar 18.17, model 3 memiliki nilai AIC sebesar 15.86, model 4 memiliki nilai AIC sebesar 15.77 dan model 5 memiliki nilai AIC sebesar 15.76. Menurut metode AIC, model regresi terbaik adalah model regresi yang mempunyai nilai AIC terkecil (Widarjono, 2007).

Sifat pelengkap dari analisis fundamental dan teknikal ini konsisten dengan survei dari Naveen Kumar (2014) setidaknya 90% dari pialang saham menggunakan analisis teknikal ketika membentuk suatu pandangan pada satu atau lebih periode waktu. Jika melihat pada periode waktu yang lebih singkat, penggunaan lebih bergantung pada analisis teknikal dibandingkan dengan analisis fundamental, tetapi dalam jangka waktu yang lama terjadi pergeseran yang meningkat ke penggunaan analisis fundamental. Sebagian besar pialang saham melihat analisis teknikal merupakan pelengkap dari analisis fundamental.

130 BAB V

Dokumen terkait