• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Metode Analisis

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Formulasi Cookies Hotong

Cookies yang dibuat dalam penelitian ini adalah cookies berbahan dasar tepung hotong yang telah dikukus dengan penambahan pati sagu sebagai salah satu bahan bakunya. Penggunaan pati sagu dilakukan dengan tujuan mengoptimumkan penggunaan bahan pangan lokal dari Maluku. Penambahan pati sagu dilakukan mulai 0% hingga 50% dari total tepung yang digunakan dalam pembuatan cookies.

Formulasi cookies hotong dilakukan secara trial and error untuk menentukan formulasi cookies yang secara organoleptik disukai oleh konsumen. Cookies hotong tersebut dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, relatif renyah, dan penampangnya memiliki tekstur berongga jika dipatahkan. Formula cookies hotong yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 11.

Penentuan jumlah air yang ditambahkan saat pembuatan adonan dilakukan dengan mengamati konsistensi adonan secara visual. Konsistensi adonan yang diharapkan pada penelitian ini adalah adonan yang kalis (tidak lengket) dan dapat dicetak dengan cara dropping (alat cetak tekan). Perbedaan konsistensi adonan yang dihasilkan sebelum ditambahkan air disebabkan adanya perbedaan jumlah pati sagu yang dicampurkan ke dalam adonan, yang mempengaruhi daya serap air pada adonan. Semakin besar jumlah pati sagu dalam adonan, adonan menjadi semakin lunak. Akibatnya, penambahan jumlah air ke dalam adonan dilakukan dalam jumlah yang semakin berkurang.

Tabel 11 Formulasi cookies hotong dalam 100 g tepung Perlakuan Komposisi

A1 A2 A3 A4

Tepung hotong kukus (g) 100 80 65 50

Pati sagu (g) 0 20 35 50 Margarin (g) 25 Mentega (g) 10 Gula halus (g) 48 Kuning telur (g) 12 Putih telur (g) 3.7 Garam (g) 0.5 Baking powder (g) 0.5 Air (g) 4 2 1.4 0.7

Air (dari tepung hotong) (g) 8.59 6.87 5.58 4.30 Pembuatan cookies dilakukan tanpa penambahan flavor dan pewarna makanan dengan tujuan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap rasio penggunaan tepung hotong dan pati sagu dalam adonan dan mengetahui perubahan aroma dan rasa cookies akibat berkurangnya rasio tepung hotong dalam adonan. Adonan cookies dicetak dengan menggunakan alat cookies maker dan dipanggang dalam oven bersuhu 125oC (257°F). Cookies yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan: A1 = tepung hotong : pati sagu 100 : 0 (100%)

(A1) (A2) (A3) (A4) A2 = tepung hotong : pati sagu 80 : 20 (80%)

A3 = tepung hotong : pati sagu 65 : 35 (65%) A4 = tepung hotong : pati sagu 50 : 50 (50%)

Gambar 11 Cookies hotong

Uji organoleptik terhadap cookies hotong dilakukan untuk mengetahui daya terima panelis terhadap beberapa atribut sensori cookies, meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan (overall). Panelis diminta untuk memberikan penilaian seberapa banyak panelis menyukai produk tersebut tanpa membandingkan antar produk dengan menggunakan skala hedonik sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (7). Lembar penilaian yang digunakan pada uji hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1. Panelis yang melakukan penilaian sebanyak 30 orang panelis tidak terlatih. Hasil penilaian organoleptik disajikan pada Lampiran 4 sampai Lampiran 9. Rekapitulasi penilaian rata-rata uji organoleptik dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Hasil analisis statistik uji organoleptik Atribut Organoleptik Formula

Warna Aroma Rasa Tekstur Overall Ranking A1 4.80a 5.20a 4.60a 4.63a 4.67a 3.70a A2 5.47b 5.63b 5.60b 5.03ab 5.33b 2.80b A3 5.43b 5.70b 5.80b 5.37bc 5.73c 1.93c A4 5.60b 5.87b 6.23c 5.73c 6.07c 1.57c Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan

nilai tidak berbeda nyata (uji Duncan α = 5%)

Hasil penilaian rata-rata karakteristik organoleptik cookies hotong selajutnya dianalisis secara statistik. Pengujian statistik yang dilakukan adalah analisis ragam (ANOVA) dengan uji lanjut Duncan. Hasil

pengujian statistik dapat dilihat pada Lampiran 10 sampai dengan Lampiran 15.

a. Warna

Warna merupakan kesan pertama yang diperoleh konsumen dari suatu produk pangan. Oleh karena itu, warna memegang peranan yang penting dalam menentukan penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Menurut Meilgaard et al. (1999), warna merupakan salah satu atribut penampilan pada suatu produk yang sering kali menentukan tingkat penerimaan konsumen terhadap produk tersebut secara keseluruhan.

Warna cookies dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan cookies terutama oleh lemak, gula, dan telur. Pada cookies hotong ini, rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan juga akan mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan. Secara visual, warna cookies yang dihasilkan berkisar antara coklat sampai coklat muda (Gambar 11). Semakin banyak tepung hotong yang digunakan ke dalam adonan cookies, maka warna cookies menjadi semakin coklat. Warna kecoklatan terbentuk karena reaksi Maillard, yaitu reaksi yang terjadi antara gula pereduksi dengan asam amino yang terjadi pada saat pemanggangan, juga karamelisasi gula sederhana. Pada Gambar 12 dapat dilihat skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna cookies hotong.

Berdasarkan uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies hotong berkisar antara 4.80-5.60 atau netral hingga agak suka. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 10) diketahui bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan berpengaruh nyata terhadap warna cookies hotong pada taraf kepercayaan 95%. Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa terdapat keragaman antar perlakuan. Warna yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh

panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 80% (formula A2).

Gambar 12 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50)

Penambahan pati sagu ke dalam adonan dapat mempengaruhi warna cookies yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi pati sagu yang ditambahkan, warna cookies yang dihasilkan semakin terang. Hal ini dapat disebabkan oleh warna pati sagu yang lebih putih jika dibandingkan warna tepung hotong. Akibatnya, pencampuran pati sagu yang semakin banyak ke dalam adonan menghasilkan warna cookies yang semakin terang (semakin coklat muda) jika dibandingkan warna cookies hotong tanpa pencampuran pati sagu. Berdasarkan hasil uji organoleptik, semakin terang warna cookies yang dihasilkan, nilai kesukaan panelis semakin meningkat.

4.80 5.47 5.43 5.60 4.40 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 A1 A2 A3 A4 Sampel Sk o r b. Aroma

Setser (1995) menjelaskan bahwa aroma merupakan hasil rangsangan kimia dari syaraf-syaraf olfaktori yang berada di bagian akhir dari rongga hidung. Aroma merupakan bau yang dicium karena sifatnya yang volatil (mudah menguap). Aroma pada cookies dipengaruhi oleh beberapa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan cookies, antara lain lemak, susu, telur, dan tepung yang

digunakan. Aroma cookies tercium terutama setelah cookies selesai dipanggang. Sebagian besar aroma yang tercium pada cookies hotong merupakan aroma hotong, lemak, telur. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50)

Perlakuan perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan pada pembuatan cookies ternyata berpengaruh nyata pada aroma cookies (Lampiran 11) pada taraf kepercayaan 95%. Nilai rata-rata uji organoleptik berkisar antara 5.20-5.87 atau agak suka. Aroma yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 80% (formula A2).

Penambahan pati sagu ke dalam adonan mempengaruhi aroma cookies hotong yang dihasilkan. Semakin besar konsentrasi pati sagu yang ditambahkan, aroma hotong dalam cookies semakin berkurang. Berkurangnya aroma khas hotong dalam cookies meningkatkan nilai kesukaan panelis terhadap produk cookies hotong.

5.20 5.63 5.70 5.80 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 A1 A2 A3 A4 Sampel Sko r

c. Rasa

Rasa merupakan faktor yang menentukan tingkat kesukaan konsumen terhadap produk pangan. Atribut rasa meliputi asin, manis, asam, dan pahit. Sebagian dari atribut ini dapat terdeteksi pada makanan pada kadar yang sangat rendah. Rasa pada makanan sangat ditentukan oleh formulasi produk tersebut (Fellows, 2000). Rasa dinilai dengan adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh lidah. Pada Gambar 14 dapat dilihat skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa cookies hotong.

Gambar 14 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50)

Berdasarkan uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong berkisar antara 4.60-6.23 atau netral hingga suka. Hasil analisis ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan pada pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa rasa yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 80%.

Rasa pada cookies terutama dipengaruhi oleh lemak, susu, dan gula yang digunakan dalam formulasi. Cookies hotong yang

4.60 5.60 5.80 6.23 4.20 4.40 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 6.40 A1 A2 A3 A4 Sampel Sk o r

dihasilkan memiliki rasa manis dan gurih. Faktor yang menyebabkan perbedaan rasa cookies hotong adalah perbedaan komposisi tepung hotong yang digunakan. Penggunaan tepung hotong sebagai salah satu bahan baku cookies menghasilkan rasa khas hotong pada cookies. Semakin banyak komposisi tepung hotong maka rasa hotong pada cookies semakin tidak dapat ditutupi oleh komponen lainnya. Di Indonesia, penggunaan tepung hotong dalam produk cookies masih baru dan belum dikembangkan, sehingga rasa hotong pada cookies merupakan hal baru bagi konsumen. Namun demikian, panelis masih dapat menerima rasa hotong pada cookies, walaupun belum dapat menyukai karena nilai rata-rata penerimaan panelis terhadap cookies hotong tanpa penambahan pati sagu berada dalam kisaran netral.

d. Tekstur

Tekstur merupakan parameter kritis pada penampakan, flavor, dan penerimaan keseluruhan dari produk bakery (Setser, 1995). Pada cookies, tekstur merupakan atribut produk yang cukup penting karena cookies biasanya dinilai dari teksturnya. Tekstur pada cookies meliputi kekerasan, kemudahan untuk dipatahkan, dan konsistensi pada gigitan pertamanya (Fellows, 2000). Lebih lanjut Fellows menerangkan bahwa tekstur pada makanan sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jumlah serta jenis karbohidrat dan protein yang menyusunnya. Dalam hal ini, tekstur cookies dipengaruhi oleh semua bahan baku yang digunakan meliputi tepung hotong, gula, lemak, susu, telur, dan bahan pengembang. Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong dapat dilihat pada Gambar 15.

Berdasarkan uji organoleptik, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong berkisar antara 4.63-5.73 atau netral hingga agak suka. Hasil analisis ragam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan

pada pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa penambahan pati sagu hingga 20% menghasilkan nilai kesukaan yang tidak berbeda nyata dengan cookies hotong tanpa penambahan pati sagu. Tekstur yang berbeda dari cookies hotong tanpa penambahan pati sagu mulai disukai oleh panelis pada cookies dengan komposisi tepung hotong 65%.

Gambar 15 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50)

Perubahan pada tekstur cookies terutama disebabkan oleh berkurangnya tekstur berpasir pada produk seiring dengan meningkatnya jumlah pati sagu yang ditambahkan. Penambahan pati sagu ke dalam adonan menyebabkan tekstur cookies menjadi lebih lembut. Hal ini disebabkan oleh tekstur pati sagu yang lebih halus dibandingkan tekstur tepung hotong yang lebih banyak mengandung serat. Penambahan konsentrasi pati sagu yang ditambahkan menyebabkan nilai kesukaan panelis terhadap cookies yang dihasilkan meningkat. 4.63 5.03 5.37 5.73 4.20 4.40 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 A1 A2 A3 A4 Sampel Sko r

e. Keseluruhan (overall)

Parameter keseluruhan (overall) digunakan dalam uji hedonik untuk mengukur tingkat kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut yang ada pada produk. Hal ini dilakukan karena hasil pengujian terhadap atribut tertentu saja, seperti warna, aroma, rasa, dan tekstur, menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Misalnya pada atribut warna, penggunaan tepung hotong sebanyak 80% menunjukkan hasil yang berbeda dengan cookies hotong 100%, sedangkan pada atribut tekstur hasil yang berbeda diperoleh pada penggunaan tepung hotong 65%. Dengan pengujian atribut keseluruhan diharapkan dapat diketahui rasio tepung hotong dan pati sagu yang terpilih oleh konsumen. Pada Gambar 16 dapat dilihat skor rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut (overall) cookies hotong.

4.67 5.33 5.73 6.07 4.20 4.40 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 A1 A2 A3 A4 Sampel Sko r

Gambar 16 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut (overall) cookies hotong (untuk perbandingan tepung hotong dan pati sagu A1 = 100 : 0; A2 = 80 : 20; A3 = 65 : 35; A4 = 50 : 50)

Berdasarkan hasil pengujian organoleptik dapat diketahui bahwa tingkat kesukaan panelis tertinggi adalah pada cookies dengan komposisi tepung hotong 50%, yaitu sebesar 6.07. Tingkat kesukaaan keseluruhan berkisar antara 4.67-6.07 atau netral sampai suka. Hasil analisis ragam (Lampiran 14) menunjukkan bahwa perbedaan rasio tepung hotong dan pati sagu yang digunakan pada

pembuatan cookies berpengaruh nyata pada skor kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut cookies hotong. Hasil ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan yang menunjukkan bahwa perubahan komposisi tepung hotong menghasilkan nilai penerimaan yang berbeda mulai komposisi tepung hotong 80%. Tetapi cookies yang paling disukai adalah cookies dengan komposisi tepung hotong 50%.

Hasil uji organoleptik cookies hotong menunjukkan bahwa nilai penerimaan konsumen terhadap seluruh produk cookies hotong, baik formula A1 (tepung hotong : pati sagu = 100 : 0), A2 (tepung hotong : pati sagu = 80 : 20), A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35), maupun A4

(tepung hotong : pati sagu = 50 : 50), berada pada kisaran netral hingga suka. Hal tersebut menunjukkan bahwa cookies hotong memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan lebih lanjut. Namun, dalam penelitian ini dilakukan penentuan formula cookies yang terpilih berdasarkan nilai penerimaan tertinggi pada produk. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa cookies hotong yang menghasilkan penerimaan tertinggi adalah formula A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50). Namun, hasil analisis LSD menunjukkan bahwa formula A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35) dan A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50) memiliki nilai penerimaan yang tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, formula cookies yang dipilih sebagai hasil dari tahap formulasi ini adalah cookies hotong formula A3 (tepung hotong : pati sagu = 65 : 35) karena komposisi tepung hotong yang digunakan pada formula A3

(tepung hotong : pati sagu = 65 : 35) lebih banyak daripada komposisi pada formula A4 (tepung hotong : pati sagu = 50 : 50).

3. Karakterisasi Produk Cookies Hotong

Dokumen terkait