C. Metode Analisis
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Kadar air
2. Kadar protein (minimum) 9.00%
3. Kadar lemak (minimum) 9.50%
4. Kadar abu (maksimum) 1.50%
5. Kadar serat kasar (maksimum) 0.50% 6. Kadar karbohidrat (minimum) 70.00%
7. Kalori (minimum) 400 kal/100 g
8. Jenis tepung terigu
9. Kadar logam berbahaya negatif
10. Warna normal
11. Bau dan rasa normal, tidak tengik Sumber: DSN (1992)
Fungsi tepung dalam adonan adalah membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya, serta mendistribusikannya secara merata, mengikat selama proses fermentasi, dan membentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978). Bermacam-macam tepung dapat digunakan untuk pembuatan cookies. Menurut Matz dan Matz (1978), tepung yang mengandung protein tinggi akan menghasilkan tekstur cookies yang keras, tekstur bagian dalam dan penampakan luar kasar. Penambahan tepung sebaiknya sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Apabila penambahan tepung terlalu sedikit, lemak yang berasal dari margarin akan menjadi berlebih sehingga biskuit akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz dan Matz, 1978).
Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberikan flavor (Matz dan Matz, 1978). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Penggunaan margarin bertujuan mengurangi
kekerasan produk, memperkuat tekstur, memberi rasa lezat, sebagai penghantar panas, menurunkan kebutuhan air untuk memperoleh konsistensi adonan tertentu sehingga gluten yang terbentuk menjadi sedikit, dan mencegah tekstur menjadi sangat lunak (Dirjen POM, 1994). Selain itu, margarin mengandung lemak yang dapat mencegah campuran adonan dari curdling pada waktu creaming. Lemak dapat membuat cookies menjadi renyah karena lemak melapisi molekul pati dan gluten dalam tepung dan memutuskan ikatannya (Kaplon, 1971). Kandungan lemak cookies yang baik yaitu berkisar antara 65-70% dari berat tepung (Sultan, 1981).
Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, pembentuk warna pada permukaan cookies, dan pengontrol penyebaran (Matz dan Matz, 1978). Selain itu juga membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai energi (Sultan, 1981). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus atau tepung gula. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran cookies yang terlalu besar (Matz dan Matz, 1978). Penggunaan gula dengan struktur kristal yang kasar akan menyebabkan gula mengalami pelelehan selama pembakaran sehingga mengakibatkan penyebaran cookies yang berlebihan sehingga akan menyebabkan kesulitan dalam penanganan adonan (Sultan, 1981).
Jumlah gula yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan cookies. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa meningkatnya kadar gula di dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan menjadi semakin keras. Selain itu, waktu pembakaran harus sesingkat mungkin agar tidak hangus karena gula yang terdapat di dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna.
Susu berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tekstur, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung dalam susu merupakan disakarida pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan
warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang (Manley, 1983). Penambahan susu skim dimaksudkan untuk memperbaiki nilai gizi cookies, meningkatkan keharuman dan kelezatan cookies, mempertinggi volume cookies, memperbaiki butiran dan susunan cookies, serta memperbaiki umur simpan.
Telur berpengaruh terhadap tekstur produk sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, rasa, dan melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat pada kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Indrasti, 2004). Penggunaan kuning telur berkaitan dengan komponen lemak (lesitin) kuning telur sebesar 7-10% sehingga dapat digunakan untuk improve creaming dan volume adonan (Sultan, 1981).
Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna. Tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunaan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz, 1978).
Garam berfungsi memberikan rasa gurih, mengontrol waktu fermentasi, dan menambah keliatan gluten (US Wheat Associates, 1981). Sebagian besar formula cookies menggunakan 1% garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz, 1978).
Leavening agent (pengembang adonan) yang sering digunakan dalam pembuatan cookies adalah baking powder. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti sitrat atau tartarat. Biasanya baking powder mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifatnya cepat larut pada suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Kombinasi sodium bikarbonat dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas
karbondioksida baik sebelum dipanggang maupun pada saat dipanaskan dalam oven (Manley, 1983).
4. Proses Pembuatan Cookies
Menurut Matz (1992), pembuatan cookies meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Metode yang digunakan untuk pencampuran adonan adalah metode krim atau creaming method (Whiteley, 1971). Pada metode ini, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama dengan pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna, flavor, dan garam. Pengembang dilarutkan dengan air atau susu cair lalu dimasukkan ke dalam krim. Terakhir yang dicampurkan adalah tepung (Soenaryo, 1985). Metode ini baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan seperti pada pembuatan roti (Matz, 1992).
Setelah adonan terbentuk, biasanya adonan mengalami aging. Waktu aging tergantung pada jenis pengembang yang digunakan. Aging dipelukan untuk memberi kesempatan kepada bahan pengembang untuk bekerja. Menurut US Wheat Associates (1981), lamanya aging pada adonan yang menggunakan baking powder ada dua jenis, yaitu baking powder yang reaksinya lambat dan baking powder yang reaksinya cepat. Jenis baking powder yang reaksinya cepat misalnya kalsium pirofosfat di mana setelah mixing jenis ini akan melepaskan banyak gas dalam waktu yang relatif pendek (5-15 menit). Jenis baking powder yang reaksinya lambat yaitu sodium pirofosfat dan sodium alumunium sulfat. Jenis ini tidak terlalu banyak membebaskan gas sampai adonan dipanaskan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 15-30 menit.
Sebelum dicetak, adonan mengalami penipisan terlebih dahulu sampai dengan ketebalan ±0.5 cm kemudian dicetak dengan bentuk tertentu. Untuk menghindari kelengketan adonan dengan alat digunakan tepung pada permukaan adonan untuk dusting atau digunakan alat yang gesekannya rendah seperti teflon.
Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Adonan dipanggang dalam oven pada suhu ±176.7ºC (350ºF) selama 10 menit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177-204ºC). Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies.
Perubahan yang kompleks terjadi selama pemanggangan. Pada awal pemanggangan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40ºC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 52-99ºC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65ºC. Selanjutnya pada suhu 70ºC terjadi penguapan air serta denaturasi dan koagulasi protein (Kamel di dalam: Faridi, 1994). Pada waktu pemanggangan struktur cookies akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat sampai 4-5 kali. Kadar air dari 21% menjadi lebih kecil dari 1.5%.
Setelah keluar dari oven, cookies harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan cookies akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley, 1983).
Menurut Vail et al. (1978), mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat.
G. Kemasan
Kemasan memegang peranan penting dalam pengawetan suatu produk pangan. Adanya wadah atau pembungkus dapat mencegah atau mengurangi
kerusakan dan melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik, seperti gesekan, benturan, dan getaran. Bahan kemas dapat terbuat dari logam, plastik, gelas, kertas, dan karton. Bahan kemas seharusnya mempunyai enam fungsi utama, yaitu: a) menjaga produk pangan tetap bersih; b) melindungi makanan terhadap kerusakan fisik; c) mempunyai fungsi yang baik, efisien, dan ekonomis; d) memberikan kemudahan dalam membuka, menutup, mencetak, serta menangani distribusi; e) mempunyai ukuran, bentuk, dan bobot yang sesuai dengan standar yang ada; dan f) menampakkan identifikasi, informasi, dan penampilan yang jelas (Buckle et al., 1987).
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan, dan sifat bahan kemasan. Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap lingkungan. Bahan pangan yang bersifat higroskopis, faktor suhu dan kelembaban sangat penting. Produk pangan kering yang bersifat higroskopis harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya, produk pangan kering mempunyai kadar air rendah sehingga harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah untuk menghambat penurunan mutu produk seperti menjadi tidak renyah (Buckle et al., 1987).
Kemasan sintetik berbasis bahan plastik telah berkembang. Kelebihan plastik dari kemasan lain di antaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Menurut Buckle et al. (1987), kemasan plastik mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan kemasan logam, yaitu kuat tapi ringan, inert, tidak berkarat, termoplastik, dan dapat diberi warna.
Beberapa jenis plastik yang dapat dibuat sebagai kemasan produk cookies adalah High Density Polyethylene (HDPE), Polyprophylene (PP) dan Polyethylene Terephtalat (PET). Masing-masing jenis plastik tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda. HDPE tergolong jenis plastik polietilen, yang merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat umum polietilen yaitu: a)
penampakannya bervariasi dari transparan, berminyak, sampai keruh; b) mudah dibentuk, lemas, dan mudah ditarik; c) daya rentang tinggi tanpa sobek; d) tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya; e) transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas bahan makanan yang beraroma; dan f) memiliki sifat kedap air dan uap air. HDPE banyak digunakan sebagai kemasan kaku. Sifat-sifat utama dari polipropilen adalah : a) ringan, mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih dalam bentuk film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; b) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE; c) lebih kaku dari PE dan tidak mudah sobek; d) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak; dan e) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang. Beberapa sifat umum PET adalah: a) transparan, bersih, dan jernih; b) tidak tahan terhadap asam kuat, fenol, benzil, dan alkohol; c) tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam pada buah-buahan sehingga dapat digunakan untuk kemasan sari buah; dan d) permeabilitas uap air dan gas sangat rendah.
H. Umur Simpan
Umur simpan produk pangan menurut Institute of Food Technology adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma tekstur dan nilai gizi. Sedangkan menurut National Food Processor Association, umur simpan suatu produk didefinisikan sebagai berikut: suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000).
Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat balik) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan disebut
rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut telah mengalami penurunan mutu gizi meskipun penampakannya masih bagus (Syarief dan Halid, 1993).
Penentuan batas kadaluwarsa dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluwarsa dilakukan untuk menentukan umur simpan (shelf life) produk. Menurut Ellis di dalam Man dan Jones (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor-faktor tersebut misalnya adalah keadaan alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsungnya perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal). Faktor lain adalah ukuran kemasan (volume), kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta daya tahan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau (Astawan, 2007).
Produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang mengandung sukrosa tinggi (misalnya permen), maka akan sulit tercapai kondisi kadar air kesetimbangannya dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier, karena pada RH tertentu kadar airnya akan terus meningkat (tidak mencapai kondisi kesetimbangan) (Kusnandar, 2006). Model kadar air kritis termodifikasi ini mengganti variabel kurva sorpsi isotermis dan kadar air kesetimbangan yang tidak dimiliki oleh produk pangan yang memiliki kelarutan tinggi dengan mengukur perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan (∆P) untuk mengetahui pola penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam produk pangan.
Variabel pendukung umur simpan terdiri atas permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat solid per kemasan cookies hotong. Variabel tersebut digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:
Keterangan:
Mc = kadar air kritis produk (%) Mi = kadar air awal produk (%)
Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)
k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)
ΔP = (P out – P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di dalam produk (mmHg)
Nilai permeabilitas kemasan (k/x) digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk pangan (Labuza, 2002). Nilai k/x ini tidak dipengaruhi oleh ketebalan kemasan. Permeabilitas uap air kemasan didefinisikan sebagai kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Robertson, 1993).
Perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan digunakan untuk menggantikan kurva sorpsi isotermis yang tidak dimiliki oleh semua produk pangan. Produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi, misalnya permen, tidak memiliki kurva sorpsi isotermis yang bagus karena pada RH tertentu kadar air permen akan semakin meningkat (Kusnandar, 2006). Akibat dari kenaikan kadar air tersebut, kadar air kesetimbangan produk pangan tidak akan tercapai. Adanya perbedaan tekanan antara produk pangan dengan lingkungan akan menyebabkan proses difusi uap air baik dari produk pangan ke lingkungan maupun sebaliknya tergantung nilai aw produk pangan dan RH tempat penyimpanan. Penentuan perbedaan tekanan (∆P) memerlukan waktu yang singkat karena menggunakan perhitungan matematis saja berdasarkan nilai aw produk pangan dan RH tempat penyimpanan pada suhu tertentu.
( )
P A x k Ws Mi Mc t Δ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = ) (III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Bahan Dan Alat
Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung hotong. Bahan-bahan lain yang digunakan meliputi pati sagu, air, gula halus, margarin, mentega, santan, susu skim, telur, garam, dan baking powder. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah n-heksana, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, H3BO3, NaOH, Na2S2O3, HCl, asam asetat glasial, alkohol 95%, indikator methylene blue dan methylene red, pereaksi TBA, dan air destilata.
Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah mixer, baskom plastik, roller, alat cetak, loyang, oven, kompor, retort, timbangan, sendok, dan kuas kue. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah alat-alat Kjeldahl, alat-alat-alat-alat Soxhlet, alat-alat-alat-alat uji organoleptik, alat-alat-alat-alat distilasi, Texture Analyzer TA-XT2i, Brabender Viscoamylograph, spektrofotometer, pH-meter, aw-meter, dan alat-alat gelas lainnya.
B. Tahapan Penelitian
1. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan merupakan tahap awal penelitian ini. Penelitian pendahuluan terdiri dari tiga tahap, yaitu pembuatan tepung hotong, penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong, dan evaluasi tepung hotong.
a. Pembuatan tepung hotong
Pada tahapan pembuatan tepung hotong, biji buru hotong yang digunakan disosoh menggunakan alat penyosoh hotong. Biji sosoh kemudian digiling, tepung yang diperoleh diayak dengan ayakan 100 mesh. Penepungan biji buru hotong mengikuti metode Sutanto (2006) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada tahap sebelum penyosohan, yaitu tanpa proses pengeringan. Diagram alir pembuatan tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung hotong (modifikasi Sutanto, 2006) Biji hotong Disosoh Diayak 100 mesh Tepung hotong
Biji hotong tersosoh & tepung Digiling
b. Penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong
Tahap kedua pada penelitian pendahuluan adalah penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong untuk mengurangi tekstur berpasir cookies hotong yang dihasilkan. Tahap ini dilakukan dengan trial and error terhadap proses dan waktu proses. Kombinasi proses dan waktu proses yang dilakukan adalah pengukusan dengan pencampuran air (tepung : air = 1 : 1) selama 15 menit, pengukusan tanpa penambahan air selama 30 menit, pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 15 menit, pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 30 menit, dan pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 60 menit.
Tepung yang telah diberikan perlakuan kemudian digunakan untuk membuat cookies yang lalu diujikan secara organoleptik dengan atribut penilaian yaitu tekstur berpasir yang minimum pada cookies. Pengujian dilakukan terhadap 15 panelis tidak terlatih melalui diskusi. Hasil dari tahap ini adalah tepung hotong yang telah mengalami perlakuan pendahuluan, untuk digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya.
c. Evaluasi tepung hotong
Evaluasi tepung hotong dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku tepung hotong yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebagai berikut:
1) Analisis sifat amilografi
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat amilografi tepung. Analisis dilakukan terhadap tiga contoh tepung, yaitu tepung hotong mentah (tanpa pengukusan), tepung hotong yang mendapat perlakuan pendahuluan (pengukusan), dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu hasil formula terpilih dari tahap formulasi.
2) Analisis proksimat, meliputi: a) Kadar air b) Kadar abu c) Kadar protein d) Kadar lemak e) Kadar karbohidrat 2. Penelitian Utama
a. Proses pengolahan cookies hotong
Tahap proses pengolahan bertujuan menentukan parameter proses yang digunakan dalam tahap formulasi cookies hotong. Parameter yang ditentukan dalam tahap ini adalah waktu pengadukan, suhu pemanggangan, dan waktu pemanggangan. Tahap ini dilakukan dengan trial and error terhadap waktu dan suhu proses.
Penentuan parameter waktu pengadukan dilakukan pada saat pembentukan cream dan pencampuran telur. Pengujian dilakukan pada 0.5 menit, 1 menit, dan 2 menit. Evaluasi terhadap hasil
pengujian dilakukan dengan melihat penampakan visual dari cream dan adonan yang dihasilkan.
Penentuan parameter suhu dan waktu pemanggangan dilakukan terhadap beberapa kombinasi suhu dan waktu pemanggangan, yaitu 140oC, 20 menit; 130oC, 10 menit; 120oC, 30 menit; dan 125oC, 18 menit. Evaluasi dilakukan dengan mengamati penampakan visual (warna) dan tekstur cookies yang dihasilkan.
b. Formulasi cookies hotong
Tahap formulasi cookies hotong merupakan tahapan pembuatan cookies dari bahan dasar campuran tepung hotong kukus dan pati sagu sesuai dengan perlakuan. Tahapan ini bertujuan memperoleh formula cookies hotong yang optimum, yaitu formula yang memiliki basis bahan tepung hotong terbanyak dan memiliki nilai terbaik dalam penerimaan konsumen terhadap produk.
Metode pengujian yang dilakukan pada tahap ini adalah uji organoleptik (hedonik) metode rating dan ranking. Pengujian dilakukan terhadap 30 orang panelis tidak terlatih. Hasil dari tahap formulasi cookies hotong adalah satu formula cookies hotong terpilih yang digunakan dalam tahap karakterisasi produk dan penyimpanan cookies hotong. Metode pembuatan cookies hotong mengikuti metode Tasman (1981), dengan modifikasi dilakukan pada suhu dan waktu pemanggangan. Diagram alir pembuatan cookies dapat dilihat pada Gambar 3.
Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel, yaitu rasio komposisi tepung hotong dan pati sagu dalam adonan cookies (A). Rasio yang diterapkan pada formulasi adalah sebagai berikut:
A1 = tepung hotong kukus:pati sagu 100:0 (100%) A2 = tepung hotong kukus:pati sagu 80:20 (80%) A3 = tepung hotong kukus:pati sagu 65:35 (65%) A4 = tepung hotong kukus:pati sagu 50:50 (50%)
Keterangan:
(A) : Perbandingan tepung hotong dan pati sagu sesuai dengan perlakuan
Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies hotong (modifikasi Tasman, 1981) Cookies Hotong Cooling Baking (125oC, 18 menit) Forming Adonan Tepung hotong &
pati sagu(A), garam, baking powder
Telur Mixing (1 menit)
Gula, margarin, mentega
Cream Mixing (1 menit)
Mixing Air
c. Karakterisasi produk cookies hotong
Karakterisasi produk cookies hotong dilakukan untuk mengetahui karakteristik awal produk cookies hotong, baik dari segi kimia maupun fisik. Karakterisasi dilakukan terhadap produk cookies hotong formula terpilih hasil uji organoleptik pada tahap formulasi. Analisis yang dilakukan meliputi:
1) Rendemen cookies
2) Derajat pengembangan cookies 3) Densitas kamba cookies
4) Aktivitas air (aw)
5) Analisis proksimat, meliputi: a) Kadar air
c) Kadar protein d) Kadar lemak e) Kadar karbohidrat 6) Kadar serat kasar 7) Nilai energi cookies 8) Kadar air kritis cookies
d. Penyimpanan cookies hotong
Tahap ketiga dari penelitian utama adalah tahap penyimpanan cookies hotong. Tahap ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan dan pendugaan umur simpan produk cookies hotong.