• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES. Oleh: MITA ARYANI PRATIWI F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES. Oleh: MITA ARYANI PRATIWI F"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES

Oleh:

MITA ARYANI PRATIWI F24103020

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Mita Aryani Pratiwi. F24103020. Pemanfaatan Tepung Hotong (Setaria Italica (L) Beauv.) dan Pati Sagu dalam Pembuatan Cookies. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Elvira Syamsir, STP, MSi..

RINGKASAN

Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan intensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Intensifikasi diarahkan pada pemanfaatan lahan kering. Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman bahan pangan alternatif pengganti beras dan terigu, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan-lahan kering. Pengembangan produk pangan di Indonesia diarahkan pada pemanfaatan potensi sumber bahan pangan lokal demi tercapainya ketahanan pangan. Jenis bahan pangan pokok yang banyak digunakan di Indonesia pada umumnya berasal dari jenis serealia, seperti beras. Terdapat banyak jenis serealia lain yang merupakan sumber bahan pangan lokal yang belum dimanfaatkan secara optimum. Salah satunya adalah buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.). Buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Buru hotong merupakan jenis serealia yang merupakan tanaman asli dari Pulau Buru. Pengolahan buru hotong menjadi produk cookies diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan konsumsi buru hotong.

Penelitian yang dilakukan bertujuan melakukan formulasi produk cookies yang berbahan dasar campuran tepung hotong dan pati sagu, mengamati perubahan karakteristik produk cookies yang dihasilkan selama penyimpanan, serta menduga umur simpannya. Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah adanya alternatif pemanfaatan buru hotong menjadi produk olahan berupa cookies sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buru hotong di daerah asalnya, yaitu Pulau Buru.

Penelitian dibagi ke dalam dua bagian, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari pembuatan tepung hotong, penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong, dan evaluasi tepung hotong (analisis sifat amilografi dan proksimat). Penelitian utama terbagi ke dalam proses pengolahan cookies hotong, formulasi cookies hotong (uji organoleptik), karakterisasi produk cookies hotong (uji rendemen cookies, derajat pengembangan cookies, densitas kamba cookies, pengukuran aktivitas air, analisis proksimat, analisis kadar serat kasar, perhitungan nilai energi, dan penentuan kadar air kritis cookies), dan penyimpanan cookies hotong (pengamatan perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan dan pendugaan umur simpan cookies hotong dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi).

Pembuatan cookies hotong dilakukan dengan menggunakan campuran tepung hotong kukus dan pati sagu dengan rasio tepung hotong kukus : pati sagu 100:0, 80:20, 65:35, dan 50:50. Secara organoleptik, cookies hotong dapat diterima oleh panelis. Nilai kesukaan panelis terhadap semua atribut cookies hotong berada di atas netral (4). Berdasarkan parameter warna, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap warna cookies hotong berkisar antara 4.80-5.60 atau netral hingga agak suka. Berdasarkan parameter aroma, nilai rata-rata kesukaan panelis berkisar antara 5.20-5.87 atau agak suka. Berdasarkan parameter rasa, skor

(3)

rata-rata kesukaan panelis terhadap rasa cookies hotong berkisar antara 4.60-6.23 atau netral hingga suka. Berdasarkan parameter tekstur, skor rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur cookies hotong berkisar antara 4.63-5.73 atau netral hingga agak suka. Secara keseluruhan (overall), tingkat kesukaaan berkisar antara 4.67-6.07 atau netral hingga suka. Penambahan pati sagu pada pembuatan cookies hotong dapat berpengaruh pada penerimaan panelis terhadap seluruh atribut pengujian dan meningkatkan skor rata-rata kesukaan panelis terhadap cookies hotong.

Nilai penerimaan produk (ranking) cookies hotong secara berurutan dari yang tertinggi adalah cookies dengan rasio tepung hotong kukus:pati sagu 50:50, 65:35, 80:20, dan 50:50 Nilai penerimaan cookies dengan rasio tepung hotong kukus:pati sagu 50:50 dan 65:35 memiliki nilai penerimaan yang tidak berbeda nyata. Oleh karena itu, formula cookies yang dipilih sebagai hasil dari tahap formulasi ini adalah cookies dengan rasio tepung hotong kukus:pati sagu 65:35.

Hasil analisis kimia menunjukkan bahwa dalam 100 g cookies hotong terkandung 3.48% air, 1.25% (bb) atau 1.30% (bk) abu, 6.29% (bb) atau 6.52% (bk) protein, 20.99% (bb) atau 21.75% (bk) lemak, 2.24% (bb) atau 2.32% (bk) serat kasar, dan 67.98% (bb) atau 70.43% (bk) karbohidrat. Nilai energi yang dihasilkan sebesar 486.39 kkal. Hasil analisis fisik menunjukkan nilai aktivitas air (aw) yang dimiliki cookies hotong adalah 0.327 dengan derajat pengembangan

produk sebesar 132.32% dan nilai densitas kamba sebesar 0.485 g/ml.

Hasil analisis selama 30 hari penyimpanan cookies hotong menunjukkan bahwa nilai kadar air dan bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) dalam produk cookies hotong cenderung mengalami kenaikan selama penyimpanan. Sebaliknya, hasil analisis fisik menunjukkan nilai kerenyahan dan kekerasan cookies hotong cenderung mengalami penurunan selama penyimpanan. Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa sampai dengan hari penyimpanan ke-25, panelis menilai cookies hotong tidak berbeda nyata dengan reference, sedangkan pada hari penyimpanan ke-30 cookies hotong dinilai berbeda dengan reference.

Pendugaan umur simpan cookies hotong menggunakan pendekatan kadar air kritis termodifikasi membutuhkan beberapa variabel sebagai pendukung. Hasil penentuan kadar air kritis cookies hotong menunjukkan nilai rata-rata kadar air kritis cookies hotong adalah 4.75%. Hasil perhitungan menunjukkan umur simpan produk cookies hotong jika disimpan pada suhu ruang menggunakan kemasan HDPE adalah ±370 hari atau 12.35 bulan atau 1.03 tahun, kemasan PP ±71 hari atau 2.36 bulan atau 0.20 tahun, dan kemasan PET ±37 hari atau 1.23 bulan atau 0.10 tahun.

(4)

PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

MITA ARYANI PRATIWI F24103020

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PEMANFAATAN TEPUNG HOTONG (Setaria italica (L) Beauv.) DAN PATI SAGU DALAM PEMBUATAN COOKIES

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

MITA ARYANI PRATIWI F24103020

Dilahirkan pada tanggal 12 September 1985 di Bandung, Jawa Barat

Tanggal lulus : 21 Januari 2008

Menyetujui, Bogor, 25 Januari 2008

Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. Elvira Syamsir, STP, MSi. Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Mita Aryani Pratiwi, dilahirkan di Bandung, 12 September 1985. Penulis merupakan anak kedua, dari tiga bersaudara, dari pasangan Tata Syafa’at Sastrawiria dan Ati Kusmia.

Pendidikan formal ditempuh penulis di SDN Muktiharjo 10 Semarang (1991-1997), SLTPN 2 Semarang (1997-2000), dan SMUN 3 Semarang (2000-2003). Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selain mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis aktif di berbagai kegiatan kampus. Penulis pernah menjabat sebagai anggota Badan Pengawas Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA) (2005), Ketua Divisi Kesekretariatan HIMITEPA (2006), dan berbagai kepanitiaan kegiatan yang diselenggarakan oleh HIMITEPA, seperti Masa Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan (LCTIP) XIII Tingkat Nasional (2005), National Student Paper Competition (NSPC) IV Tingkat Nasional (2005), maupun kepanitiaan tingkat fakultas. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) (2003-2004), bendahara Paguyuban Putra Atlas Semarang (PATRA ATLAS) (2005), dan anggota PATRA ATLAS (2003-2008). Penulis juga pernah menjadi beaswan BBM (2005) dan PPA (2006-2007).

Tahun 2006, penulis melakukan kegiatan Praktek Lapangan (PL) di Subdivisi Bakery, Divisi Fresh Food, PT. Makro Indonesia Store 5, Bandung. Penulis mengakhiri masa studi di IPB dengan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Tepung Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) dan Pati Sagu dalam Pembuatan Cookies” di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Elvira Syamsir, STP, MSi., sebagai bagian dari Program Kerja sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt., karena atas rahmat dan ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir strata S1 pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis, atas segala doa, dukungan, dan cinta yang tiada henti. 2. Dr. Ir. Sugiyono, MAppSc. dan Elvira Syamsir, STP, MSi. yang selalu

membimbing dan mengarahkan penulis.

3. Ir. Subarna, MSi., atas kesediaan untuk menguji penulis.

4. Program Kerja sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Litbang Pertanian, yang telah mendanai penelitian ini, serta Dr. Ir. Sam Herodian, MS. selaku penanggung jawab dan Ibu Iin selaku bendahara, yang telah memberikan bantuan dan saran selama penelitian.

5. My luvly brother, Ryan Adhitya Nugraha, ‘n sister, Nadia Indriani Karina. 6. TiLo & LiChan,, terima kasih untuk persaudaraan yang luar biasa.

7. The incredible, d’Vill++ : Adie MR (“Thanks a lot ya Bang! Maaf sering membuatmu shock,,☺”), n’Chüz (“Klo ada kata yang lebih dari ‘Terima Kasih’, that’s 4 u Chuz,,☺”), Ujo (“Ganbatte ne,,”), p’Dé, Arie, Tathan, Eja, bang Oma, Sarwo (Sang Penasihat ☺), èRTé, TiLo, LiChan, Yoga, Gading (“Best wishes,,☺”), Ados & Onig,,,, para sahabat terbaikku, juga saudaraku, kini dan selalu,, semoga persaudaraan ini selamanya...

8. Teman-teman seperjuangan dan sebimbingan (Sarwo, Hanifah, Helmi), atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan, it was so nice bisa sebimbingan sama kalian...

9. Seluruh anggota ‘Tim Hotong Ceria’ (Sarwo, Hanifah, Helmi, Kindy, Yandra, Bagus, Kaltika, Siska, dan Chacha), atas kerja sama dan semangat yang telah diberikan. Ganbatte kudasai!!

10. Mio bello amico, Ratri Hanindha Majid (and my cutest nephew Tubagus Alifiyan Akhyar) & Umi Hartatik (“Don’t know what to say anymore,, thanks gals..”).

(8)

11. Warga Ponytail Bawah + “the-X”: Umul, Anul, d’Sitoel, m’Ocha, Ratna, Ndhiet, Nira, Abank Pepenk, m’Mpiet, m’Catur, m’Yulvi, m’Febi, m’Ade, Ririn, m’Ninid, m’Ririn, m’Nova, Dimin, Nira, m’Neni, Ratih, m’Dian, t’Uli, Maya, m’Susi, m’Nana, Ike,, trima kasih utk setiap saat yg akan selalu mjd memori yg akan menimbulkan kerinduan kelak...

12. Teman-teman TPG’40 (Fena, Oneth, Dhea, Montje, Boss Fina, m’Asih, Her2, Hay2, Ade, Dion, Primuz, I2n, Teddy, Susanto, Nunu, Gonggo, Agus, Sindhu, Sinung, Gilang, bang Ma2t, Kanin, Martin, Steph, Aca, Om Wid, dll), “reunian yah 10 taun lagi.!!”.

13. Kakak2ku TPG’39 (mas Ulik, m’Alin, mas Dadik, k’Di2n (alm.), a Deddy, k’Ijal, k’Ajeng, k’Dora, k’Ina, mas Tmin, k’Ami, dkk.) dan IPN (k’Fenny, k’Hana, k’Cynthia, da Akhyar), serta adik2ku TPG’41 (Ririn, Tika, Bima, dkk.).

14. Para dosen Departemen ITP dan para karyawan (pa Muchtadin, pa Misdi, pa Sopiyan, bu Sri, bu Ratna).

15. Para laboran dan teknisi: bu Rub, bu Antin, pa Wahid, pa Sob, pa Rojak, pa Koko, pa Sidik, pa Yahya, pa Mul, teh Ida, mas Edi, m’Darsih, pa Iyas, pa Nur, ‘abah’ Karna, pa Taufik, mba Sri, mba Ari, bi Cacih, bi Sari, pa Jun, dan mang Ujang, atas segala bentuk bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 16. Para pustakawan PITP, LSI, dan PAU, atas bantuan yang telah diberikan. 17. Astrea-nya Ujo, Supra Fit + Kompi-nya Sarwo, Kompi-nya Adie, Moty-nya

Gading, mas Ben-nya Umul, mas Com-nya d’Sitoel, ‘n of course My Kompi (dan segala ‘penyerang’nya incl. "tati.my love”).

18. Semua pihak telah ada dalam kehidupan penulis, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, namun telah menjadikan penulis seperti sekarang ini, terima kasih,,,

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Harapan penulis, semoga skripsi ini bermanfaat bagi mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Penulis Bogor, Januari 2008

(9)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

RIWAYAT HIDUP... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xv

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 2

C. Manfaat ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA... 3

A. Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) ... 3

1. Botani ... 3

2. Karakteristik ... 5

B. Sagu... 7

1. Agronomi... 7

2. Pati Sagu... 7

3. Potensi dan Pemanfaatan Sagu... 9

C. Biskuit ... 9

1. Definisi ... 9

2. Parameter Mutu Cookies ... 11

3. Bahan Pembuat Cookies... 11

4. Proses Pembuatan Cookies... 15

D. Kemasan... 16

(10)

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 21

A. Bahan Dan Alat... 21

B. Tahapan Penelitian... 21

1. Penelitian Pendahuluan ... 21

a. Pembuatan tepung hotong... 21

b. Penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong ... 22

c. Evaluasi tepung hotong... 23

2. Penelitian Utama ... 23

a. Proses pengolahan cookies hotong ... 23

b. Formulasi cookies hotong ... 24

c. Karakterisasi produk cookies hotong... 25

d. Penyimpanan cookies hotong... 26

C. Metode Analisis ... 28

1. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)... 28

2. Sifat Amilografi (AACC, 1983)... 29

3. Rendemen Cookies ... 30

4. Derajat Pengembangan Produk ... 30

5. Densitas Kamba Cookies... 30

6. Aktivitas Air (Aw) ... 31

7. Analisis Tekstur... 31

8. Analisis Proksimat... 32

a. Kadar air, metode oven (AOAC, 1995)... 32

b. Kadar abu, metode gravimetri (AOAC, 1995) ... 33

c. Kadar protein, metode mikro Kjeldahl (AOAC, 1995) ... 34

d. Kadar lemak, metode Soxhlet (AOAC, 1995)... 34

e. Kadar karbohidrat by difference ... 35

9. Kadar Serat Kasar (Fardiaz et al., 1986) ... 35

10. Nilai Energi Cookies (Almatsier, 2001) ... 36

11. Kadar Bilangan TBA (Thiobarbituric Acid), Metode Tarladgis (Apriyantono et al., 1989) ... 37

12. Kadar Air Kritis Produk Cookies Hotong, Metode Konvensional 38 13. Penentuan Variabel Pendukung Umur Simpan ... 38

(11)

a. Penentuan berat kering per kemasan dan luas kemasan ... 38

b. Penentuan permeabilitas kemasan ... 39

14. Penentuan Perbedaan Tekanan di Luar dan di Dalam Kemasan 39 15. Pendugaan Umur Simpan Cookies Hotong, Pendekatan Kadar Air Kritis Termodifikasi... 39

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

A. Penelitian Pendahuluan... 41

1. Pembuatan Tepung Hotong ... 41

2. Penentuan Perlakuan Pendahuluan pada Tepung Hotong... 44

3. Evaluasi Tepung Hotong ... 46

B. Penelitian Utama ... 54

1. Proses Pengolahan... 54

2. Formulasi Cookies Hotong... 55

a. Warna... 58

b. Aroma ... 59

c. Rasa... 61

d. Tekstur ... 62

e. Keseluruhan (overall) ... 64

3. Karakterisasi Produk Cookies Hotong ... 65

a. Uji rendemen cookies... 65

b. Derajat pengembangan produk ... 66

c. Pengukuran densitas kamba cookies... 66

d. Pengukuran aktivitas air (aw) ... 67

e. Analisis proksimat ... 68 1) Kadar air... 68 2) Kadar abu ... 69 3) Kadar protein... 69 4) Kadar lemak ... 71 5) Kadar karbohidrat... 71

f. Kadar serat kasar... 72

(12)

h. Analisis kadar air kritis produk cookies hotong, metode

konvensional ... 73

4. Penyimpanan Cookies Hotong ... 76

a. Pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan ... 76

1) Perubahan kadar air selama penyimpanan ... 76

2) Perubahan kadar bilangan TBA (Thiobarbituric Acid) dalam produk cookies hotong... 77

3) Analisis objektif fisik terhadap tekstur (kekerasan dan kerenyahan) ... 79

4) Uji organoleptik (duo-trio) ... 81

b. Pendugaan umur simpan cookies hotong, pendekatan kadar air kritis termodifikasi ... 83

1) Penentuan variabel pendukung umur simpan... 83

2) Pendugaan umur simpan cookies hotong ... 84

c. Perbandingan umur simpan hasil perhitungan berdasarkan perubahan karakteristik selama penyimpanan ... 86

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. Kesimpulan ... 88

B. Saran ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil analisis kandungan biji buru hotong... 6

Tabel 2 Kandungan gizi buru hotong dibandingkan dengan biji hermada dan beras ... 6

Tabel 3 Komposisi kimia dalam 100 g tepung pati sagu ... 8

Tabel 4 Persyaratan mutu biskuit... 12

Tabel 5 Setting alat texture analyzer TA-XT2i untuk produk cookies ... 32

Tabel 6 Hasil pengujian perlakuan pendahuluan pada tepung hotong... 45

Tabel 7 Hasil analisis kimia tepung hotong ... 46

Tabel 8 Sifat amilografi tepung hotong mentah, tepung hotong kukus, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu... 49

Tabel 9 Hasil trial and error penentuan waktu pengadukan ... 54

Tabel 10 Hasil trial and error penentuan suhu dan waktu pemanggangan .... 55

Tabel 11 Formulasi cookies hotong dalam 100 g tepung... 56

Tabel 12 Hasil analisis statistik uji organoleptik ... 57

Tabel 13 Perhitungan densitas kamba cookies hotong... 67

Tabel 14 Hasil analisis kimia cookies hotong per 100 g cookies... 68

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Tanaman buru hotong dan biji buru hotong... 5

Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung hotong ... 22

Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies hotong... 25

Gambar 4 Cookies hotong yang dikemas menggunakan toples... 26

Gambar 5 Profil parameter sifat amilografi ... 29

Gambar 6 Profil kerenyahan dan kekerasan yang diuji dengan texture analyzer ... 32

Gambar 7 Mesin penyosoh biji buru hotong... 41

Gambar 8 Biji buru hotong kulit dan sosoh ... 43

Gambar 9 Tepung hotong mentah dan kukus ... 45

Gambar 10 Grafik amilografi tepung hotong mentah, tepung hotong kukus, dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu... 48

Gambar 11 Cookies hotong... 57

Gambar 12 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut warna cookies hotong... 59

Gambar 13 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut aroma cookies hotong... 60

Gambar 14 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut rasa cookies hotong... 61

Gambar 15 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap atribut tekstur cookies hotong... 63

Gambar 16 Skor rata-rata kesukaan panelis terhadap keseluruhan atribut (overall) cookies hotong... 64

Gambar 17 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai penerimaan panelis 74 Gambar 18 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong... 75

Gambar 19 Hubungan nilai kerenyahan dengan nilai penerimaan panelis ... 75

Gambar 20 Perubahan kadar air cookies hotong selama penyimpanan ... 77

Gambar 21 Perubahan nilai bilangan TBA cookies hotong selama penyimpanan ... 78

(15)

Gambar 22 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kerenyahan cookies hotong... 80 Gambar 23 Hubungan waktu penyimpanan dengan nilai kekerasan cookies

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Form uji organoleptik formulasi... 98

Lampiran 2 Form uji organoleptik duo-trio ... 99

Lampiran 3 Form uji rating penentuan kadar air kritis... 100

Lampiran 4 Hasil penilaian organoleptik atribut warna... 101

Lampiran 5 Hasil penilaian organoleptik atribut aroma ... 102

Lampiran 6 Hasil penilaian organoleptik atribut rasa ... 103

Lampiran 7 Hasil penilaian organoleptik atribut tekstur... 104

Lampiran 8 Hasil penilaian organoleptik atribut keseluruhan (overall) ... 105

Lampiran 9 Hasil penilaian organoleptik uji rangking ... 106

Lampiran 10 Hasil pengujian statistik atribut warna ... 107

Lampiran 11 Hasil pengujian statistik atribut aroma ... 108

Lampiran 12 Hasil pengujian statistik atribut rasa... 109

Lampiran 13 Hasil pengujian statistik atribut tekstur ... 110

Lampiran 14 Hasil pengujian statistik atribut keseluruhan (overall)... 111

Lampiran 15 Hasil pengujian statistik uji rangking ... 112

Lampiran 16 Hasil pengolahan data uji organoleptik duo-trio ... 114

Lampiran 17 Tabel peluang binomial α = 0.05... 115

Lampiran 18 Tabel uap air (Labuza, 1982)... 116

(17)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan yang sangat mendasar bagi manusia karena berhubungan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Ketahanan pangan suatu negara sangat penting bagi kelangsungan hidup masyarakatnya, sehingga sudah seharusnya mendapatkan perhatian khusus. Indonesia sebagai negara agraris dan maritim yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat potensial sudah sewajarnya dapat memenuhi kebutuhan pangan bagi penduduknya.

Upaya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri dewasa ini dilakukan dengan intensifikasi pertanian dan diversifikasi bahan pangan. Intensifikasi pertanian diarahkan pada pemanfaatan lahan kering untuk penanaman. Diversifikasi bahan pangan dilakukan dengan mengembangkan tanaman bahan pangan alternatif pengganti beras dan terigu, khususnya yang dapat tumbuh pada lahan-lahan kering.

Pengembangan produk pangan di Indonesia diarahkan pada pemanfaatan potensi sumber bahan pangan lokal demi tercapainya ketahanan pangan. Jenis bahan pangan pokok yang banyak digunakan di Indonesia pada umumnya berasal dari jenis serealia, seperti beras. Terdapat banyak jenis serealia lain yang merupakan sumber bahan pangan wilayah yang belum dimanfaatkan secara optimum. Salah satunya adalah buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.).

Buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang merupakan tanaman asli dari Pulau Buru.Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Di tempat asalnya, pemanfaatan buru hotong dalam pembuatan produk pangan terbatas pada pembuatan nasi hotong sebagai makanan pokok masyarakat setempat.

Studi ilmiah tentang pemanfaatan buru hotong masih sangat kurang. Oleh karena itu, penelitian tentang pemanfaatan buru hotong sebagai bahan baku dalam pembuatan produk pangan bermutu tinggi perlu terus dilakukan.

(18)

Salah satu di antaranya adalah dengan pembuatan cookies. Pengolahan hotong menjadi produk cookies diharapkan mampu menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan konsumsi buru hotong. Hal ini merupakan suatu alternatif yang cukup baik untuk meningkatkan nilai ekonomis buru hotong dengan biaya produksi yang rendah.

B. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah melakukan formulasi produk cookies yang berbahan dasar campuran tepung hotong dan pati sagu, mengamati perubahan karakteristik produk cookies yang dihasilkan selama penyimpanan, serta menduga umur simpannya.

C. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah adanya alternatif pemanfaatan buru hotong menjadi produk olahan berupa cookies sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomis buru hotong di daerah asalnya, yaitu Pulau Buru.

(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

D. Buru Hotong (Setaria italica (L) Beauv.) 1. Botani

Buru hotong (Setaria italica (L) Beauv.) merupakan tanaman asli Pulau Buru, Maluku. Tanaman buru hotong merupakan sejenis padi atau alang-alang yang tumbuh di dataran rendah sampai dengan dataran tinggi pada semua jenis lahan. Tanaman buru hotong merupakan tanaman pangan alternatif pengganti beras yang dapat tumbuh dengan baik di lahan-lahan kering yang tidak beririgasi teknis. Hingga kini tanaman tersebut ditanam dan dibudidayakan secara terbatas di Pulau Buru (Maluku). Budi daya tanaman buru hotong tidak memerlukan pemeliharaan yang intensif sebagaimana tanaman padi, sehingga memungkinkan untuk dapat ditanam hampir pada semua tempat dengan cara menaburkan biji.

Tanaman buru hotong merupakan tanaman semusim. Tanaman ini tumbuh dalam bentuk rumpun dengan tinggi 60-150 cm (Dassanayake, 1994). Umur panen tanaman ini 75-90 hari setelah tanam, tergantung jenis tanah dan lingkungan tempat budi dayanya. Waktu penanaman terbaik pada bulan Juli hingga pertengahan Agustus di daerah beriklim tropis (Krishiworld, 2005).

Menurut Dassanayake (1994), jenis-jenis buru hotong yang banyak dibudidayakan adalah: Setaria italica (L) Beauv., Setaria italica (Var.) Metzgeri, dan Setaria italica (Var.) Stramiofructa. Botani tanaman buru hotong dapat dilihat sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta

Division : Magnoliophyta (Angiospermae) Class : Liliopsida

Subclass : Commelinidae Ordo : Cyperales

(20)

Family : Poaceae (Graminae) Genus : Setaria Beauv.

Species : Setaria italica (L) Beauv.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman buru hotong di antaranya adalah tanah, varietas tanaman, iklim, dan tindakan budi daya. Setiap tanaman menghendaki kondisi tanah yang berbeda-beda sebagai tempat hidup yang optimum. Pada budi daya tanaman graminae maka pengolahan tanah yang intensif dengan pencacahan tanah akan sangat menguntungkan dari segi kemampuan perkembangan akar dan penghambatan pertumbuhan gulma. Tanaman buru hotong tidak memerlukan tanah khusus untuk tumbuh, namun perlu dilakukan perlakuan-perlakuan terhadap jenis tanah tertentu (Baker, 2003).

Menurut Baker (2003) dan Krishiworld (2005), tanaman buru hotong dapat tumbuh pada daerah beriklim tropis maupun subtropis dengan curah hujan yang tidak terlalu besar. Swarbrick (1997) menyatakan bahwa secara umum, tanaman buru hotong tumbuh baik pada lahan tadah hujan sampai kering, karena tanaman ini relatif sedikit membutuhkan air. Krishiworld (2005) melaporkan bahwa di India, tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah aluvial, bahkan pada tanah liat. Tanah dengan sifat liat yang tinggi harus mendapatkan pengolahan tanah yang baik agar dapat mendukung perakaran dan meningkatkan perkolasi air tanah, karena tanaman buru hotong memerlukan drainase yang baik. Tanaman buru hotong dapat tumbuh pada tanah yang kurang subur, namun tanaman ini bereaksi positif terhadap fosfor (P) dan nitrogen (N), sehingga tanah dengan kandungan fosfor dan nitrogen yang cukup akan menghasilkan produksi yang lebih baik.

(21)

2. Karakteristik

Batang tanaman buru hotong bersifat liat, semakin kering batang tanaman buru hotong setelah dikeringkan akan semakin berkurang sifat liatnya. Malai sebenarnya adalah lanjutan dari batang, hanya saja tumbuh cabang-cabang yang semakin ujung posisinya semakin kompak. Cabang terdiri dari koloni kulit ari yang berisi biji buru hotong. Panjang malai buru hotong rata-rata 15.2 cm dengan diameter 1.2 mm dan memiliki berat rata-rata 5.7 g per malai. Biji buru hotong memiliki ukuran panjang 1.7 mm, lebar 1.3 mm, dan ketebalan 1.1 mm (Kharisun, 2003). Biji buru hotong yang telah dikupas berwarna putih.

Buru hotong sebenarnya bukan hal baru di kalangan masyarakat setempat, sebab selama ini tanaman buru hotong telah diolah oleh para petani untuk dijadikan tanaman sela. Proses pengolahan biji buru hotong (kulitnya berwarna coklat tua) sampai tahap siap tanak (dimasak) tak jauh berbeda dengan padi. Hanya saja proses pengupasan kulitnya tidak dapat menggunakan alat yang biasa dipakai untuk mengupas kulit padi, karena biji buru hotong lebih kecil dibanding padi. Gambar tanaman dan biji buru hotong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Tanaman buru hotong (a) dan biji buru hotong (b)

Kandungan karbohidrat buru hotong lebih tinggi atau sama dengan kandungan karbohidrat pada beras-beras di Indonesia, sedangkan kandungan proteinnya lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein pada bahan pangan sumber karbohidrat lainnya (beras, kentang). Hasil analisis kandungan gizi buru hotong dapat dilihat pada Tabel 1.

(22)

Tabel 1 Hasil analisis kandungan biji buru hotong

Kandungan Jumlah (%) Metode analisis

Air 11.78 oven

Abu 1.32 gravimetri

Protein 11.18 Mikro Kjeldahl

Lemak 2.36 Soxhlet

Karbohidrat 73.36 by different Energi* 359 kkal/100 g

Keterangan: *Energi diukur sebagai kkal/100 g tepung Sumber: Andarwulan (2003)

Dibandingkan dengan beras dan hermada, kandungan karbohidrat biji buru hotong hampir sama dengan kandungan karbohidrat pada beras maupun hermada (Sorghum bicolour (L) Moench) seperti tercantum pada Tabel 2. Dengan demikian, biji buru hotong diharapkan dapat dijadikan alternatif makanan pokok sumber karbohidrat nonberas dengan tetap memperoleh protein dan lemak untuk mendukung upaya diversifikasi pangan.

Tabel 2 Kandungan gizi buru hotong dibandingkan dengan biji hermada dan beras

Hermada Komponen

Jepanga) ASa) Buru hotong

b) Berasa) Karbohidrat 75% 72% 73% 70-80% Protein 9.4% 11.3% 11.2% 4.0-5.0% Lemak 4.2% 5.2% 2.4% 1.0-2.0% Serat kasar 8.3% 8.5% - 8.0-15.0% Abu 3.8% 3.3% 1.3% 2.0-5.0% Keterangan : a) http//www.republika.co.id/9810/11/341.htm b) hasil analisis dari laboratorium IPB

Sumber: Hasbullah et al. (2003)

Keberhasilan dalam penanaman dan pengembangan buru hotong akan memberikan dampak yang sangat positif bagi usaha mencapai diversifikasi pangan. Hal ini juga akan memberikan manfaat bagi negara. Oleh karena itu, diperlukan masukan teknologi yang tepat agar dapat memberikan hasil yang maksimum.

(23)

E. Sagu

1. Agronomi

Sagu merupakan salah satu tanaman sumber karbohidrat (Ruddle et al., 1978). Batang sagu yang merupakan bagian terpenting dalam tanaman sagu adalah tempat penyimpanan cadangan makanan (karbohidrat) yang dapat menghasilkan pati sagu. Batang sagu berbentuk silinder dan berdiameter 35-60 cm (McClatchey et al., 2004). Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam yang mengandung pati dan serat. Tebal kulit luar yang keras sekitar 3-5 cm. Secara makroskopis, struktur batang sagu dari arah luar terdiri dari lapisan sisa-sisa pelepah daun, lapisan kulit luar yang tipis dan berwarna kemerah-merahan, lapisan kulit dalam yang keras dan padat berwarna coklat, lapisan serat, dan empulur (Haryanto dan Pangloli, 1992). Batang pohon sagu mempunyai pusat yang lunak berwarna ”pale pink” yang merupakan tempat terakumulasinya sebagian besar pati. Pusat yang lunak (empulur) ini dilindungi oleh suatu lapisan setebal kurang lebih 2 cm berupa serat-serat kulit kayu (Cecil et al., 1982).

Menurut Haryanto dan Pangloli (1992), tanaman sagu dapat dipanen untuk diambil patinya pada umur 11 tahun ke atas. Ukuran batang sagu serta pati yang terkandung di dalamnya tergantung pada jenis sagu, umur, dan habitat pertumbuhannya. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan pati di dalam empulur makin besar. Kandungan pati yang terdapat dalam empulur batang ketika sagu berumur 3-5 tahun jumlahnya belum terlalu banyak. Namun ketika sagu berumur sekitar 11 tahun ke atas, empulur sagu mengandung pati sekitar 15-20%.

2. Pati Sagu

Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji-bijian atau umbi-umbian. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari udara dan air dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari (Hodge dan Osman, 1976).

(24)

Secara mikroskopik, granula pati sagu terkonsentrasi pada empulur batang sagu. Empulur batang sagu mengandung 20.2-29% pati, 50-66% air, dan 13.8-21.3% bahan lain atau ampas. Dihitung dari berat kering, empulur batang sagu mengandung 54-60% pati dan 40-46% ampas. Untuk mengekstrak pati dari jaringan empulur maka dinding sel harus dipecahkan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara pemarutan sehingga granula pati akan terbebaskan dan dapat dipisahkan dengan cara pemberian air secara berlebihan. Dalam pengolahan untuk mendapatkan pati sagu biasanya batang sagu akan dipisahkan menjadi tiga bagian. Bagian pertama merupakan pati yang akan diendapkan, kedua adalah bagian dinding sel, dan ketiga adalah jaringan-jaringan pembuluh yang akan menjadi bahan kering (Flach, 1983). Komposisi kimia yang terkandung dalam 100 g pati sagu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi kimia dalam 100 g pati pagu

Komposisi Jumlah Air (g) 14.0 Protein (g) 0.7 Karbohidrat (g) 84.7 Serat kasar (g) - Lemak (g) 0.2 Abu (g) - Fosfor (mg) 13.0 Kalsium (mg) 11.0 Besi (mg) 1.5 Kalori (kkal) 353 Sumber: Depkes (1991)

Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak larut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Pati sagu mengandung 27% amilosa dan 73% amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati (Flach, 1983). Pati sagu juga memiliki suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69oC (Cecil et al., 1982).

(25)

Cecil et al. (1982) menyebutkan bahwa granula pati sagu berbentuk oval dengan ukuran yang cukup besar, yaitu 20-60 μm. Lebih lanjut, Griffin di dalam Tan (1977) menambahkan, kisaran ukuran granula pati sagu adalah 5-80 μm dengan ukuran rata-rata sekitar 30 μm. Ukuran granula pati sagu lebih besar daripada ukuran granula pati tanaman yang lainnya, misalnya ukuran granula pati singkong hanya 18 μm.

3. Potensi dan Pemanfaatan Sagu

Dewasa ini, sagu merupakan salah satu komoditi yang penting bagi perekonomian dan secara komersial tumbuh di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Papua Nugini untuk menghasilkan pati sagu, pakan ternak, dan bahan bakar etanol (McClatchey et al., 2004). Maluku, Papua, Kalimantan, dan Riau dikenal sebagai daerah sagu potensial (Djoefrie, 1999). Di Papua terdapat 6 juta hektar lahan sagu, sedangkan di Papua Nugini terdapat 1 juta hektar lahan sagu liar dan 20 ribu hektar lahan sagu budi daya (McClatchey et al., 2004).

Produksi tanaman sagu bervariasi dari 200-350 kg/pohon. Apabila di Indonesia diasumsikan terdapat 3 juta hektar pohon sagu dan setiap hektarnya terdapat 30 pohon dan setiap pohonnya diperoleh 300 kg pati sagu, maka dalam setahun dapat diperoleh pati sagu sebanyak 27 juta ton (Djoefrie, 1999).

Di Indonesia, penggunaan pati sagu secara umum bukan merupakan hal asing, terutama bagi masyarakat di propinsi Papua atau Malaku. Pati sagu banyak digunakan sebagai bahan campuran produk mie, soun, roti, dan bakso (Anonim, 2006).

F. Biskuit 1. Definisi

Biskuit merupakan makanan kering yang tergolong makanan panggang atau kue kering. Biskuit merupakan produk kering yang mempunyai daya awet yang tinggi, sehingga dapat disimpan dalam

(26)

waktu yang lama dan mudah dibawa dalam perjalanan, karena volume dan beratnya yang relatif ringan akibat adanya proses pengeringan (Whiteley, 1971).

Menurut Faridi (1994), biskuit merupakan produk yang berasal dari tepung terigu halus dan dalam formulanya mengandung gula dan lemak yang tinggi, tapi mengandung sedikit air. Menurut DSN (1992), biskuit adalah sejenis makanan yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan.

Pengklasifikasian biskuit didasarkan pada beberapa sifat, yaitu tekstur dan kekerasan biskuit, perubahan bentuk akibat pemanggangan, serta ekstensibilitas dan jenis adonannya (Manley, 1983). Menurut sifat adonannya, biskuit dibedakan menjadi tiga, yaitu adonan pendek atau lunak, adonan keras, dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak, gluten tidak sampai mengembang akibat efek shortening dari lemak dan efek pelunakan dari gula atau kristal sukrosa. Pada adonan keras, gluten mengembang sampai batas tertentu dengan penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten mengembang penuh karena air yang ditambahkan, sehingga memungkinkan kondisi tersebut yang berakibat pada perubahan bentuk akhir dengan penyusutan panjang setelah pencetakan dan pembakaran (Soenaryo, 1985).

Jenis adonan lunak memiliki kadar gula 25-40% dan kadar lemak 15%, contohnya pada biskuit glukosa, biskuit krim, biskuit buah, biskuit jahe, dan biskuit kacang. Pada adonan keras terjadi pengikatan pati dengan protein, pelarutan garam, gula, pengembang, dan dispersi lemak ke seluruh adonan. Adonan ini mengandung kadar gula 20% dan kadar lemak 12-15%, contohnya yaitu biskuit marie dan rich tea. Pada adonan fermentasi, produk akhir memiliki sifat kerenyahan tertentu. Kadar gula rendah dan kadar lemak 25-30%, contonya adalah crackers (Soenaryo, 1985).

Biskuit dapat digolongkan berdasarkan cara pencampuran dan resep yang dipakainya. Berdasarkan cara pencampurannya, biskuit

(27)

dibagi menjadi dua golongan, yaitu busa dan adonan. Kue kering yang dapat dicetak merupakan biskuit jenis adonan, sedangkan biskuit jenis busa adalah meringue dan sponge (Purnawati, 1999).

Menurut Deprin (1978), biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, crackers, cookies, dan wafer. Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Crackers adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki struktur yang berlapis-lapis. Cookies merupakan jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak dengan sifat yang lebih renyah karena tekstur yang kurang padat. Wafer adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan cair dengan sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.

2. Parameter Mutu Cookies

Umumnya cookies berwarna coklat keemasan, permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah dan ringan, serta memiliki aroma yang menyenangkan. Cookies terbuat dari bahan dasar tepung (Vail et al., 1978) dan diproses dengan pemanggangan dengan kadar air tidak lebih dari 5% (Deprin, 1978). Kadang-kadang pada bahan dasar diberi beberapa bahan tambahan untuk memperbaiki cita rasa dan penampakan.

Persyaratan mutu cookies mengacu kepada persyaratan mutu biskuit dalam SNI 01-2973-1992, seperti terdapat pada Tabel 4.

3. Bahan Pembuat Cookies

Menurut Matz (1972), bahan baku utama pembuatan cookies adalah terigu, gula, minyak, dan lemak. Sedangkan bahan pembantu yang digunakan adalah garam, susu, flavor, pewarna, pengembang, ragi, air, dan pengemulsi.

Bahan-bahan pembuat cookies dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tenderizing materials). Bahan pengikat terdiri dari tepung, susu, putih telur, dan air. Bahan-bahan ini berfungsi membentuk adonan yang

(28)

kompak. Sedangkan bahan pelembut terdiri dari gula, kuning telur, shortening, dan bahan pengembang (Matz dan Matz, 1978).

Tabel 4 Persyaratan mutu biskuit

No. Karakteristik Syarat Mutu

1. Kadar air (maksimum) 5.00%

2. Kadar protein (minimum) 9.00%

3. Kadar lemak (minimum) 9.50%

4. Kadar abu (maksimum) 1.50%

5. Kadar serat kasar (maksimum) 0.50% 6. Kadar karbohidrat (minimum) 70.00%

7. Kalori (minimum) 400 kal/100 g

8. Jenis tepung terigu

9. Kadar logam berbahaya negatif

10. Warna normal

11. Bau dan rasa normal, tidak tengik Sumber: DSN (1992)

Fungsi tepung dalam adonan adalah membentuk adonan selama proses pencampuran, menarik atau mengikat bahan lainnya, serta mendistribusikannya secara merata, mengikat selama proses fermentasi, dan membentuk struktur biskuit selama pemanggangan (Matz dan Matz, 1978). Bermacam-macam tepung dapat digunakan untuk pembuatan cookies. Menurut Matz dan Matz (1978), tepung yang mengandung protein tinggi akan menghasilkan tekstur cookies yang keras, tekstur bagian dalam dan penampakan luar kasar. Penambahan tepung sebaiknya sesuai dengan takaran yang telah ditentukan. Apabila penambahan tepung terlalu sedikit, lemak yang berasal dari margarin akan menjadi berlebih sehingga biskuit akan kehilangan bentuk dan mudah patah (Matz dan Matz, 1978).

Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening dengan memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan, serta memberikan flavor (Matz dan Matz, 1978). Lemak nabati (margarin) lebih banyak digunakan karena memberikan rasa lembut dan halus. Penggunaan margarin bertujuan mengurangi

(29)

kekerasan produk, memperkuat tekstur, memberi rasa lezat, sebagai penghantar panas, menurunkan kebutuhan air untuk memperoleh konsistensi adonan tertentu sehingga gluten yang terbentuk menjadi sedikit, dan mencegah tekstur menjadi sangat lunak (Dirjen POM, 1994). Selain itu, margarin mengandung lemak yang dapat mencegah campuran adonan dari curdling pada waktu creaming. Lemak dapat membuat cookies menjadi renyah karena lemak melapisi molekul pati dan gluten dalam tepung dan memutuskan ikatannya (Kaplon, 1971). Kandungan lemak cookies yang baik yaitu berkisar antara 65-70% dari berat tepung (Sultan, 1981).

Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pembentuk flavor, pembentuk warna pada permukaan cookies, dan pengontrol penyebaran (Matz dan Matz, 1978). Selain itu juga membantu pembentukan krim dan pengocokan pada proses pencampuran serta menambah nilai energi (Sultan, 1981). Gula yang digunakan bisa dalam bentuk gula pasir, gula pasir halus atau tepung gula. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak menyebabkan pelebaran cookies yang terlalu besar (Matz dan Matz, 1978). Penggunaan gula dengan struktur kristal yang kasar akan menyebabkan gula mengalami pelelehan selama pembakaran sehingga mengakibatkan penyebaran cookies yang berlebihan sehingga akan menyebabkan kesulitan dalam penanganan adonan (Sultan, 1981).

Jumlah gula yang ditambahkan akan berpengaruh terhadap tekstur dan penampakan cookies. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa meningkatnya kadar gula di dalam adonan akan membuat produk yang dihasilkan menjadi semakin keras. Selain itu, waktu pembakaran harus sesingkat mungkin agar tidak hangus karena gula yang terdapat di dalam adonan dapat mempercepat proses pembentukan warna.

Susu berfungsi memberikan aroma, memperbaiki tekstur, dan memperbaiki warna permukaan. Laktosa yang terkandung dalam susu merupakan disakarida pereduksi, yang jika berkombinasi dengan protein melalui reaksi Maillard dan adanya proses pemanasan akan memberikan

(30)

warna coklat menarik pada permukaan cookies setelah dipanggang (Manley, 1983). Penambahan susu skim dimaksudkan untuk memperbaiki nilai gizi cookies, meningkatkan keharuman dan kelezatan cookies, mempertinggi volume cookies, memperbaiki butiran dan susunan cookies, serta memperbaiki umur simpan.

Telur berpengaruh terhadap tekstur produk sebagai hasil dari fungsi emulsifikasi, pelembut tekstur, dan daya pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi, yaitu kemampuan menangkap udara pada saat adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan. Telur dapat mempengaruhi warna, rasa, dan melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat pada kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Indrasti, 2004). Penggunaan kuning telur berkaitan dengan komponen lemak (lesitin) kuning telur sebesar 7-10% sehingga dapat digunakan untuk improve creaming dan volume adonan (Sultan, 1981).

Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna. Tetapi struktur cookies tidak sebaik pada penggunaan telur secara keseluruhan. Oleh karena itu, agar adonan lebih kompak sebaiknya ditambahkan putih telur secukupnya (Matz dan Matz, 1978).

Garam berfungsi memberikan rasa gurih, mengontrol waktu fermentasi, dan menambah keliatan gluten (US Wheat Associates, 1981). Sebagian besar formula cookies menggunakan 1% garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah kelarutannya (Matz dan Matz, 1978).

Leavening agent (pengembang adonan) yang sering digunakan dalam pembuatan cookies adalah baking powder. Baking powder merupakan campuran sodium bikarbonat (NaHCO3) dan asam seperti

sitrat atau tartarat. Biasanya baking powder mengandung pati sebagai bahan pengisi. Sifatnya cepat larut pada suhu kamar dan tahan lama selama pengolahan (Matz dan Matz, 1978). Kombinasi sodium bikarbonat dan asam dimaksudkan untuk memproduksi gas

(31)

karbondioksida baik sebelum dipanggang maupun pada saat dipanaskan dalam oven (Manley, 1983).

4. Proses Pembuatan Cookies

Menurut Matz (1992), pembuatan cookies meliputi tahap pembuatan adonan, pencetakan, dan pemanggangan. Metode yang digunakan untuk pencampuran adonan adalah metode krim atau creaming method (Whiteley, 1971). Pada metode ini, bahan baku dicampur secara bertahap. Pertama dengan pencampuran lemak dan gula, kemudian ditambah pewarna, flavor, dan garam. Pengembang dilarutkan dengan air atau susu cair lalu dimasukkan ke dalam krim. Terakhir yang dicampurkan adalah tepung (Soenaryo, 1985). Metode ini baik untuk cookies karena menghasilkan adonan yang bersifat membatasi pengembangan gluten yang berlebihan seperti pada pembuatan roti (Matz, 1992).

Setelah adonan terbentuk, biasanya adonan mengalami aging. Waktu aging tergantung pada jenis pengembang yang digunakan. Aging dipelukan untuk memberi kesempatan kepada bahan pengembang untuk bekerja. Menurut US Wheat Associates (1981), lamanya aging pada adonan yang menggunakan baking powder ada dua jenis, yaitu baking powder yang reaksinya lambat dan baking powder yang reaksinya cepat. Jenis baking powder yang reaksinya cepat misalnya kalsium pirofosfat di mana setelah mixing jenis ini akan melepaskan banyak gas dalam waktu yang relatif pendek (5-15 menit). Jenis baking powder yang reaksinya lambat yaitu sodium pirofosfat dan sodium alumunium sulfat. Jenis ini tidak terlalu banyak membebaskan gas sampai adonan dipanaskan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 15-30 menit.

Sebelum dicetak, adonan mengalami penipisan terlebih dahulu sampai dengan ketebalan ±0.5 cm kemudian dicetak dengan bentuk tertentu. Untuk menghindari kelengketan adonan dengan alat digunakan tepung pada permukaan adonan untuk dusting atau digunakan alat yang gesekannya rendah seperti teflon.

(32)

Adonan yang telah dicetak selanjutnya ditata dalam loyang yang telah diolesi dengan lemak lalu dipanggang dalam oven. Adonan dipanggang dalam oven pada suhu ±176.7ºC (350ºF) selama 10 menit. Matz dan Matz (1978) menerangkan bahwa semakin sedikit jumlah gula dan lemak yang digunakan dalam adonan, suhu pemanggangan dapat dibuat lebih tinggi (177-204ºC). Suhu dan lama waktu pemanggangan akan mempengaruhi kadar air cookies.

Perubahan yang kompleks terjadi selama pemanggangan. Pada awal pemanggangan belum terjadi perubahan, tetapi setelah lemak meleleh pada suhu 37-40ºC, ada tiga perubahan yang terjadi, yaitu lemak menjadi bentuk tetesan, emulsi air dalam minyak (W/O) berubah menjadi minyak dalam air (O/W), dan gelembung udara bergerak dari fase lemak ke fase air. Pada suhu 52-99ºC terjadi gelatinisasi pati. Udara dibebaskan dari adonan pada suhu 65ºC. Selanjutnya pada suhu 70ºC terjadi penguapan air serta denaturasi dan koagulasi protein (Kamel di dalam: Faridi, 1994). Pada waktu pemanggangan struktur cookies akan terbentuk akibat gas yang dilepaskan oleh bahan pengembang dan uap air akibat kenaikan suhu. Ketebalan biasanya meningkat sampai 4-5 kali. Kadar air dari 21% menjadi lebih kecil dari 1.5%.

Setelah keluar dari oven, cookies harus cepat didinginkan untuk menurunkan suhu dan mengeraskan cookies akibat pemadatan gula dan lemak. Waktu mendinginkan biasanya 2-3 kali lebih lama daripada waktu pemanggangan (Manley, 1983).

Menurut Vail et al. (1978), mutu cookies tergantung pada komponen pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan tidak dalam proporsi dan cara pembuatan yang tepat.

G. Kemasan

Kemasan memegang peranan penting dalam pengawetan suatu produk pangan. Adanya wadah atau pembungkus dapat mencegah atau mengurangi

(33)

kerusakan dan melindungi bahan pangan dari bahaya pencemaran serta gangguan fisik, seperti gesekan, benturan, dan getaran. Bahan kemas dapat terbuat dari logam, plastik, gelas, kertas, dan karton. Bahan kemas seharusnya mempunyai enam fungsi utama, yaitu: a) menjaga produk pangan tetap bersih; b) melindungi makanan terhadap kerusakan fisik; c) mempunyai fungsi yang baik, efisien, dan ekonomis; d) memberikan kemudahan dalam membuka, menutup, mencetak, serta menangani distribusi; e) mempunyai ukuran, bentuk, dan bobot yang sesuai dengan standar yang ada; dan f) menampakkan identifikasi, informasi, dan penampilan yang jelas (Buckle et al., 1987).

Faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah sifat bahan pangan tersebut, keadaan lingkungan, dan sifat bahan kemasan. Bahan pangan mempunyai sifat yang berbeda-beda dalam kepekaannya terhadap lingkungan. Bahan pangan yang bersifat higroskopis, faktor suhu dan kelembaban sangat penting. Produk pangan kering yang bersifat higroskopis harus dilindungi terhadap masuknya uap air. Umumnya, produk pangan kering mempunyai kadar air rendah sehingga harus dikemas dengan kemasan yang mempunyai daya tembus atau permeabilitas uap air yang rendah untuk menghambat penurunan mutu produk seperti menjadi tidak renyah (Buckle et al., 1987).

Kemasan sintetik berbasis bahan plastik telah berkembang. Kelebihan plastik dari kemasan lain di antaranya adalah harga yang relatif rendah, dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, dan mengurangi biaya transportasi. Menurut Buckle et al. (1987), kemasan plastik mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan kemasan logam, yaitu kuat tapi ringan, inert, tidak berkarat, termoplastik, dan dapat diberi warna.

Beberapa jenis plastik yang dapat dibuat sebagai kemasan produk cookies adalah High Density Polyethylene (HDPE), Polyprophylene (PP) dan Polyethylene Terephtalat (PET). Masing-masing jenis plastik tersebut memiliki sifat-sifat yang berbeda. HDPE tergolong jenis plastik polietilen, yang merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri. Menurut Syarief et al. (1989), sifat-sifat umum polietilen yaitu: a)

(34)

penampakannya bervariasi dari transparan, berminyak, sampai keruh; b) mudah dibentuk, lemas, dan mudah ditarik; c) daya rentang tinggi tanpa sobek; d) tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya; e) transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas bahan makanan yang beraroma; dan f) memiliki sifat kedap air dan uap air. HDPE banyak digunakan sebagai kemasan kaku. Sifat-sifat utama dari polipropilen adalah : a) ringan, mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih dalam bentuk film, tidak transparan dalam bentuk kemasan kaku; b) mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE; c) lebih kaku dari PE dan tidak mudah sobek; d) tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak; dan e) permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang. Beberapa sifat umum PET adalah: a) transparan, bersih, dan jernih; b) tidak tahan terhadap asam kuat, fenol, benzil, dan alkohol; c) tahan terhadap pelarut organik seperti asam-asam pada buah-buahan sehingga dapat digunakan untuk kemasan sari buah; dan d) permeabilitas uap air dan gas sangat rendah.

H. Umur Simpan

Umur simpan produk pangan menurut Institute of Food Technology adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi di mana produk berada dalam kondisi memuaskan pada sifat-sifat penampakan, rasa, aroma tekstur dan nilai gizi. Sedangkan menurut National Food Processor Association, umur simpan suatu produk didefinisikan sebagai berikut: suatu produk dikatakan berada pada kisaran umur simpannya bilamana kualitas produk secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti yang diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas serta memproteksi isi kemasan (Arpah dan Syarief, 2000).

Hasil atau akibat dari berbagai reaksi kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible (tidak dapat balik) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan disebut

(35)

rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut telah mengalami penurunan mutu gizi meskipun penampakannya masih bagus (Syarief dan Halid, 1993).

Penentuan batas kadaluwarsa dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluwarsa dilakukan untuk menentukan umur simpan (shelf life) produk. Menurut Ellis di dalam Man dan Jones (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor-faktor tersebut misalnya adalah keadaan alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsungnya perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal). Faktor lain adalah ukuran kemasan (volume), kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta daya tahan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau (Astawan, 2007).

Produk pangan yang memiliki kelarutan yang tinggi, seperti produk yang mengandung sukrosa tinggi (misalnya permen), maka akan sulit tercapai kondisi kadar air kesetimbangannya dan kurva sorpsi isotermis tidak dapat diasumsikan linier, karena pada RH tertentu kadar airnya akan terus meningkat (tidak mencapai kondisi kesetimbangan) (Kusnandar, 2006). Model kadar air kritis termodifikasi ini mengganti variabel kurva sorpsi isotermis dan kadar air kesetimbangan yang tidak dimiliki oleh produk pangan yang memiliki kelarutan tinggi dengan mengukur perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan (∆P) untuk mengetahui pola penyerapan uap air dari lingkungan ke dalam produk pangan.

Variabel pendukung umur simpan terdiri atas permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat solid per kemasan cookies hotong. Variabel tersebut digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:

(36)

Keterangan:

Mc = kadar air kritis produk (%) Mi = kadar air awal produk (%)

Ws = berat kering produk dalam kemasan (g)

k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg) A = luas permukaan kemasan (m2)

ΔP = (P out – P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di dalam

produk (mmHg)

Nilai permeabilitas kemasan (k/x) digunakan untuk mengetahui pengaruh kemasan terhadap umur simpan produk pangan (Labuza, 2002). Nilai k/x ini tidak dipengaruhi oleh ketebalan kemasan. Permeabilitas uap air kemasan didefinisikan sebagai kecepatan atau laju transmisi uap air melalui suatu unit luasan bahan dengan ketebalan tertentu sebagai akibat perbedaan unit tekanan uap air antara permukaan produk pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu (Robertson, 1993).

Perbedaan tekanan di dalam dan di luar kemasan digunakan untuk menggantikan kurva sorpsi isotermis yang tidak dimiliki oleh semua produk pangan. Produk pangan yang memiliki kandungan sukrosa tinggi, misalnya permen, tidak memiliki kurva sorpsi isotermis yang bagus karena pada RH tertentu kadar air permen akan semakin meningkat (Kusnandar, 2006). Akibat dari kenaikan kadar air tersebut, kadar air kesetimbangan produk pangan tidak akan tercapai. Adanya perbedaan tekanan antara produk pangan dengan lingkungan akan menyebabkan proses difusi uap air baik dari produk pangan ke lingkungan maupun sebaliknya tergantung nilai aw produk pangan

dan RH tempat penyimpanan. Penentuan perbedaan tekanan (∆P) memerlukan waktu yang singkat karena menggunakan perhitungan matematis saja berdasarkan nilai aw produk pangan dan RH tempat

penyimpanan pada suhu tertentu.

(

)

P A x k Ws Mi Mc t Δ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = ) (

(37)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Bahan Dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung hotong. Bahan-bahan lain yang digunakan meliputi pati sagu, air, gula halus, margarin, mentega, santan, susu skim, telur, garam, dan baking powder. Bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah n-heksana, K2SO4, HgO,

H2SO4 pekat, H3BO3, NaOH, Na2S2O3, HCl, asam asetat glasial, alkohol

95%, indikator methylene blue dan methylene red, pereaksi TBA, dan air destilata.

Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan cookies adalah mixer, baskom plastik, roller, alat cetak, loyang, oven, kompor, retort, timbangan, sendok, dan kuas kue. Alat-alat yang digunakan untuk analisis adalah alat-alat Kjeldahl, alat-alat-alat-alat Soxhlet, alat-alat-alat-alat uji organoleptik, alat-alat-alat-alat distilasi, Texture Analyzer TA-XT2i, Brabender Viscoamylograph, spektrofotometer, pH-meter, aw-meter, dan alat-alat gelas lainnya.

B. Tahapan Penelitian

1. Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan merupakan tahap awal penelitian ini. Penelitian pendahuluan terdiri dari tiga tahap, yaitu pembuatan tepung hotong, penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong, dan evaluasi tepung hotong.

a. Pembuatan tepung hotong

Pada tahapan pembuatan tepung hotong, biji buru hotong yang digunakan disosoh menggunakan alat penyosoh hotong. Biji sosoh kemudian digiling, tepung yang diperoleh diayak dengan ayakan 100 mesh. Penepungan biji buru hotong mengikuti metode Sutanto (2006) yang dimodifikasi. Modifikasi dilakukan pada tahap sebelum penyosohan, yaitu tanpa proses pengeringan. Diagram alir pembuatan tepung hotong dapat dilihat pada Gambar 2.

(38)

Gambar 2 Diagram alir pembuatan tepung hotong (modifikasi Sutanto, 2006) Biji hotong Disosoh Diayak 100 mesh Tepung hotong

Biji hotong tersosoh & tepung Digiling

b. Penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong

Tahap kedua pada penelitian pendahuluan adalah penentuan perlakuan pendahuluan terhadap tepung hotong untuk mengurangi tekstur berpasir cookies hotong yang dihasilkan. Tahap ini dilakukan dengan trial and error terhadap proses dan waktu proses. Kombinasi proses dan waktu proses yang dilakukan adalah pengukusan dengan pencampuran air (tepung : air = 1 : 1) selama 15 menit, pengukusan tanpa penambahan air selama 30 menit, pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 15 menit, pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 30 menit, dan pengukusan tanpa penambahan air dengan retort (suhu 121.5oC, tekanan 1.3 atm) selama 60 menit.

Tepung yang telah diberikan perlakuan kemudian digunakan untuk membuat cookies yang lalu diujikan secara organoleptik dengan atribut penilaian yaitu tekstur berpasir yang minimum pada cookies. Pengujian dilakukan terhadap 15 panelis tidak terlatih melalui diskusi. Hasil dari tahap ini adalah tepung hotong yang telah mengalami perlakuan pendahuluan, untuk digunakan dalam tahap penelitian selanjutnya.

(39)

c. Evaluasi tepung hotong

Evaluasi tepung hotong dilakukan untuk mengetahui karakteristik bahan baku tepung hotong yang digunakan dalam penelitian ini. Analisis yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebagai berikut:

1) Analisis sifat amilografi

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat amilografi tepung. Analisis dilakukan terhadap tiga contoh tepung, yaitu tepung hotong mentah (tanpa pengukusan), tepung hotong yang mendapat perlakuan pendahuluan (pengukusan), dan tepung campuran hotong kukus-pati sagu hasil formula terpilih dari tahap formulasi.

2) Analisis proksimat, meliputi: a) Kadar air b) Kadar abu c) Kadar protein d) Kadar lemak e) Kadar karbohidrat 2. Penelitian Utama

a. Proses pengolahan cookies hotong

Tahap proses pengolahan bertujuan menentukan parameter proses yang digunakan dalam tahap formulasi cookies hotong. Parameter yang ditentukan dalam tahap ini adalah waktu pengadukan, suhu pemanggangan, dan waktu pemanggangan. Tahap ini dilakukan dengan trial and error terhadap waktu dan suhu proses.

Penentuan parameter waktu pengadukan dilakukan pada saat pembentukan cream dan pencampuran telur. Pengujian dilakukan pada 0.5 menit, 1 menit, dan 2 menit. Evaluasi terhadap hasil

(40)

pengujian dilakukan dengan melihat penampakan visual dari cream dan adonan yang dihasilkan.

Penentuan parameter suhu dan waktu pemanggangan dilakukan terhadap beberapa kombinasi suhu dan waktu pemanggangan, yaitu 140oC, 20 menit; 130oC, 10 menit; 120oC, 30 menit; dan 125oC, 18 menit. Evaluasi dilakukan dengan mengamati penampakan visual (warna) dan tekstur cookies yang dihasilkan.

b. Formulasi cookies hotong

Tahap formulasi cookies hotong merupakan tahapan pembuatan cookies dari bahan dasar campuran tepung hotong kukus dan pati sagu sesuai dengan perlakuan. Tahapan ini bertujuan memperoleh formula cookies hotong yang optimum, yaitu formula yang memiliki basis bahan tepung hotong terbanyak dan memiliki nilai terbaik dalam penerimaan konsumen terhadap produk.

Metode pengujian yang dilakukan pada tahap ini adalah uji organoleptik (hedonik) metode rating dan ranking. Pengujian dilakukan terhadap 30 orang panelis tidak terlatih. Hasil dari tahap formulasi cookies hotong adalah satu formula cookies hotong terpilih yang digunakan dalam tahap karakterisasi produk dan penyimpanan cookies hotong. Metode pembuatan cookies hotong mengikuti metode Tasman (1981), dengan modifikasi dilakukan pada suhu dan waktu pemanggangan. Diagram alir pembuatan cookies dapat dilihat pada Gambar 3.

Perlakuan yang diterapkan dalam penelitian ini terdiri dari satu variabel, yaitu rasio komposisi tepung hotong dan pati sagu dalam adonan cookies (A). Rasio yang diterapkan pada formulasi adalah sebagai berikut:

A1 = tepung hotong kukus:pati sagu 100:0 (100%)

A2 = tepung hotong kukus:pati sagu 80:20 (80%)

A3 = tepung hotong kukus:pati sagu 65:35 (65%)

(41)

Keterangan:

(A) : Perbandingan tepung hotong dan pati sagu sesuai dengan perlakuan

Gambar 3 Diagram alir pembuatan cookies hotong (modifikasi Tasman, 1981) Cookies Hotong Cooling Baking (125oC, 18 menit) Forming Adonan Tepung hotong &

pati sagu(A), garam, baking powder

Telur Mixing (1 menit)

Gula, margarin, mentega

Cream Mixing (1 menit)

Mixing Air

c. Karakterisasi produk cookies hotong

Karakterisasi produk cookies hotong dilakukan untuk mengetahui karakteristik awal produk cookies hotong, baik dari segi kimia maupun fisik. Karakterisasi dilakukan terhadap produk cookies hotong formula terpilih hasil uji organoleptik pada tahap formulasi. Analisis yang dilakukan meliputi:

1) Rendemen cookies

2) Derajat pengembangan cookies 3) Densitas kamba cookies

4) Aktivitas air (aw)

5) Analisis proksimat, meliputi: a) Kadar air

(42)

c) Kadar protein d) Kadar lemak e) Kadar karbohidrat 6) Kadar serat kasar 7) Nilai energi cookies 8) Kadar air kritis cookies

d. Penyimpanan cookies hotong

Tahap ketiga dari penelitian utama adalah tahap penyimpanan cookies hotong. Tahap ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan dan pendugaan umur simpan produk cookies hotong. 1) Pengamatan terhadap perubahan karakteristik cookies hotong

selama penyimpanan

Pada bagian ini, cookies hotong yang sudah dikemas dalam toples (Gambar 4) disimpan selama 30 hari pada suhu ruang. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pola perubahan karakteristik cookies hotong selama penyimpanan, baik dari segi fisik (analisis tekstur, kerenyahan dan kekerasan), kimia (kadar air dan nilai bilangan TBA), maupun organoleptik (uji perbedaan dari produk yang telah disimpan terhadap kontrol). Uji organoleptik dilakukan dengan metode duo-trio terhadap 35 orang panelis tidak terlatih.

(43)

2) Pendugaan umur simpan cookies hotong dengan pendekatan kadar air kritis termodifikasi

Prinsip utama dari pendekatan ini adalah menentukan perbedaan tekanan (ΔP) di dalam kemasan dan di luar kemasan. Tekanan di dalam kemasan berhubungan dengan aktivitas air (aw) sedangkan tekanan di luar kemasan berhubungan dengan

RH lingkungan. Nilai (ΔP) ini digunakan untuk mengetahui pola penyerapan uap air cookies hotong sehingga umur simpan cookies hotong dapat ditentukan. Tahapan analisisnya adalah sebagai berikut;

a) Penentuan kadar air awal (Mi) cookies hotong

b) Penentuan aktivitas air (aw) cookies hotong

c) Penentuan kadar air kritis (Mc) cookies hotong

d) Penentuan perbedaan tekanan (ΔP) di dalam dan di luar kemasan

e) Penentuan variabel pendukung umur simpan cookies hotong

f) Penentuan umur simpan cookies hotong

Variabel pendukung umur simpan terdiri atas permeabilitas kemasan, luas kemasan, dan berat padatan per kemasan cookies hotong. Variabel tersebut digunakan untuk melengkapi persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut:

Keterangan:

Mc = kadar air kritis produk (%) Mi = kadar air awal produk (%)

Ws = berat kering produk dalam kemasan (g) k/x = konstanta permeabilitas uap air kemasan

(g/m2.hari.mmHg)

(

)

P A x k Ws Mi Mc t Δ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = ) (

(44)

A = luas permukaan kemasan (m2)

ΔP = (P out – P in) selisih antara tekanan udara di luar dan di

dalam produk (mmHg)

C. Metode Analisis

1. Uji Organoleptik (Soekarto, 1985)

Uji organoleptik yang dilakukan pada tahap penentuan perlakuan pendahuluan pada tepung hotong adalah diskusi kepada 15 orang panelis tidak terlatih. Penilaian difokuskan pada tekstur berpasir cookies. Pada uji ini, panelis menerima contoh produk yang dibuat dari masing-masing perlakuan tepung. Melalui diskusi, ditentukan satu jenis perlakuan optimum, yaitu proses yang paling sederhana dan menghasilkan produk cookies hotong dengan tekstur berpasir yang minimum dan diterima panelis.

Uji organoleptik yang digunakan untuk tahap formulasi cookies adalah uji hedonik rating dan ranking. Panelis yang digunakan untuk uji hedonik adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Skor penilaian yang digunakan dalam uji ini ada 7 tingkat, yaitu 7 = sangat suka, 6 = suka, 5 = agak suka, 4 = netral, 3 = agak tidak suka, 2 = tidak suka, dan 1 = sangat tidak suka. Penilaian tingkat kesukaan didasarkan pada karakteristik produk meliputi warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan (overall). Lembar kuisioner uji organoleptik hedonik dapat dilihat pada Lampiran 1.

Produk yang diujikan adalah produk dalam keadaan matang, yaitu yang sudah melewati proses pemanggangan. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap tingkat kesukaan panelis, dilakukan analisis ragam terhadap data hasil uji organoleptik. Jika berdasarkan analisis ragam (ANOVA) dinyatakan ada pengaruh nyata pada perlakuan maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan.

Uji organoleptik yang dilakukan selama penyimpanan produk cookies hotong adalah uji duo-trio. Panelis yang digunakan untuk uji ini adalah 35 orang panelis tidak terlatih. Pada uji ini, tiga contoh disajikan

Gambar

Gambar 1  Tanaman buru hotong (a) dan biji buru hotong (b)
Tabel 2  Kandungan gizi buru hotong dibandingkan dengan biji hermada  dan beras
Gambar 2  Diagram alir pembuatan tepung hotong (modifikasi  Sutanto, 2006)  Biji hotongDisosoh  Diayak 100 mesh Tepung hotong
Gambar 3  Diagram alir pembuatan cookies hotong (modifikasi  Tasman, 1981)   Cookies Hotong Cooling Baking (125o C, 18 menit) Forming Adonan  Tepung hotong &
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 2, terlihat bahwa fortifikasi beras siger dengan tepung jagung sebanyak 50% akan meningkatkan kandungan serat kasar, lemak,

Selain itu terpenuhinya syarat-syarat ‘urf, mengindikasikan tradisi madduta dapat dikategorikan sebagaial-‘urf yang shahih atau al-‘adahasshahih.Bisa dilihat dari proses awal

Oil purifier berfungsi untuk memisahkan minyak dengan air dan kotoran – kotoran halus yang masih ada dalam minyak, pemisahan minyak dilakukan dengan cara

Dalam kegiatan belajar mengajar terdapat (RPP) yang digunakan untuk merancang proses pebelajaran. Dari Kurikulum 2013 PJOK pada kelas VIII, terdapat pembelajaran

Nilai sig sebesar 0,610 > 0,05 berarti variabel kepemilikan perusahaan oleh dewan komisaris tidak signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel

Aplikasi perhitungan laba kotor menawarkan kemudahan dalam melakukan pencatatan persediaan barang, pembelian, penjualan serta pembuatan laporan laba kotor dengan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana

Pemberian pupuk P yang berimbang dapat meningkatkan hasil tanaman, hal ini diduga suplai P selain diambil dari pupuk P yang diberikan juga berasal dari P