• Tidak ada hasil yang ditemukan

B. FRAKSINASI CPO

3. Fraksinasi Bertahap Pada Beberapa Suhu

Pada tahap yang sebelumnya, diperoleh konsentrasi penambahan heksana yang terpilih adalah 50% (CPO : heksana = 1 : 1). Awalnya, dilakukan fraksinasi bertahap dengan perbandingan tersebut. Sampel difraksinasi pada suhu kamar selama 2 hari kemudian diambil fraksi cairnya. Fraksi cair yang diperoleh kemudian difraksinasi pada suhu 20°C dengan waktu pengamatan selama 24 jam. Ternyata dalam selang waktu tersebut, seluruh bagian fraksi cair yang disimpan mengalami pembekuan dan tidak menunjukkan tanda-tanda pemisahan. Hal ini disebabkan jumlah heksana yang digunakan sebagai pelarut belum cukup. Fraksi cair yang masih mengandung banyak gliserida tersebar di seluruh bagian sampel dan memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap titik cair sampel

dibandingkan dengan pelarut. Pengurangan waktu inkubasi juga tidak memberikan pengaruh yang nyata. Fraksi cair dengan penambahan 50% heksana tersebut membeku secara serentak di seluruh bagian dan tidak mengalami pengendapan. Sebelumnya, Hasanah (2006) melakukan ekstraksi karotenoid pada CPO dengan pelarut isopropanol dengan perbandingan CPO : pelarut = 1 : 2, 1 : 4, 1 : 6, 1 : 8, dan 1 : 10 (b/v). Oleh karena itu, dilakukan perubahan dengan menggunakan pelarut dengan perbandingan yang lebih besar, yaitu 1 : 2, 1 : 3, 1 : 4, 1 : 5, dan 1 : 6.

Suhu fraksinasi setelah pengadukan tidak melalui suhu kamar terlebih dahulu, tetapi langsung pada suhu 20°C. Hal ini dikarenakan, pada suhu kamar tidak terjadi pengendapan yang cukup baik selain pada sampel dengan perbandingan 1 : 2. Jumlah pelarut yang cukup besar melarutkan sampel CPO dengan sempurna dan mempengaruhi titik cair gliserida di dalamnya. Oleh karena itu, fraksinasi awal dilakukan pada suhu 20°C. Waktu fraksinasi juga bervariasi berdasarkan perbandingan jumlah pelarut yang digunakan. Perbandingan 1 : 2 dan 1: 3 memerlukan waktu kurang dari 24 jam untuk mencapai kondisi jumlah fraksi padat konstan pada suhu 20°C , yaitu sekitar 16 jam. Pada perlakuan suhu yang selanjutnya, waktu untuk mencapai kondisi jumlah fraksi padat konstan untuk semua perbandingan relatif sama, yaitu selama 4-5 hari.

Gliserida tidak jenuh mempunyai titik cair rendah sehingga cenderung berbentuk cair, sedangkan gliserida jenuh cenderung berbentuk padat karena titik cairnya yang tinggi. CPO mengandung 39-45 % gliserida tidak jenuh dalam bentuk asam oleat sehingga CPO mempunyai fraksi cair (Ketaren, 1986). Karotenoid lebih cenderung mudah larut dalam fraksi cair yang banyak mengandung gliserida tidak jenuh. Oleh karena itu, prinsip pemisahan ini dapat diaplikasikan pula untuk memekatkan karotenoid dari CPO ke dalam fraksi cairnya.

a. Pengaruh Perbandingan Pelarut terhadap Konsentrasi Karotenoid pada Setiap Suhu Fraksinasi

Gambar 15. menunjukkan pengaruh perlakuan perbandingan pelarut pada fraksinasi bertahap terhadap konsentrasi karotenoid

2015 105 0 -5 -10 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 0 100 200 300 400 500 600 700 800 Kons entrasi karotenoid (ppm) Suhu fraksinasi (°C) Rasio CPO:heksana 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6

sampel pada setiap suhu fraksinasi. Pada kondisi suhu yang sama, konsentrasi karotenoid cenderung menurun dengan bertambahnya jumlah pelarut heksana yang digunakan.

Konsentrasi karotenoid tertinggi dihasilkan oleh sampel yang difraksinasi hingga suhu -10°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 2, yaitu 719.93 ppm. Sedangkan konsentrasi karotenoid terendah dihasilkan oleh sampel yang difraksinasi hingga suhu 20°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 5 sebesar 428.07 ppm. Data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.

Pada saat pengadukan dengan shaker, sampel CPO terpecah-pecah menjadi droplet-droplet yang berukuran lebih kecil, begitu pula dengan heksana sehingga terbentuk larutan/campuran yang homogen. Sampel dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 2 yang mengandung lebih sedikit heksana mempunyai kemungkinan ukuran droplet minyak yang terbentuk lebih besar dibandingkan dengan perbandingan lain yang jumlah heksananya lebih banyak. Akibatnya, gliserida pada sampel lebih mudah membentuk kristal. Kandungan gliserida dalam

Gambar 15. Pengaruh perbandingan pelarut terhadap konsentrasi karotenoid sampel pada setiap suhu fraksinasi

fraksi cair berkurang dan konsentrasi karotenoidnya dapat meningkat. Sebaliknya, pada sampel dengan jumlah heksana lebih banyak, kristalisasi lebih sulit dicapai karena ukuran droplet minyak yang kecil membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai jarak yang dapat menimbulkan gaya Van der Waalls antar droplet minyak. Sehingga jumlah gliserida yang terdapat pada sampel masih banyak dan peningkatan konsentrasi karotenoidnya tidak besar.

Minyak yang merupakan senyawa non polar dan heksana yang merupakan pelarut non polar mempunyai interaksi Van der Waalls (Casiday dan Frey, 2001). Droplet-droplet minyak akan dikelilingi oleh droplet heksana yang jumlahnya lebih banyak dalam campuran. Ketika campuran minyak dan heksana disimpan dalam suhu rendah, mekanisme pembentukan kristal terjadi. Ketika suhu diturunkan, gerakan termal molekul dalam campuran melambat sehingga jarak antar molekul menjadi lebih kecil (Winarno, 1997). Droplet heksana yang mengelilingi droplet minyak saling mendekat satu sama lain. Sehingga mengakibatkan jarak droplet minyak yang satu dengan yang lain juga semakin dekat. Droplet minyak yang ukurannya lebih besar akan lebih mudah bergabung dengan droplet minyak yang lain karena gaya tarik menarik antarmolekul (gaya Van der Waalls) lebih mudah timbul dan lebih mudah membentuk kristal.

Pada perbandingan pelarut yang digunakan dalam perlakuan, konsentrasi karotenoid sampel menunjukkan kecenderungan yang meningkat dengan menurunnya suhu fraksinasi.

Terdapat perbedaan laju kristalisasi yang terjadi pada masing- masing suhu. Pada suhu 20°C laju kristalisasi lambat, sehingga kristal yang terbentuk strukturnya halus. Semakin rendah suhu, laju kristalisasi semakin cepat dan kristal yang terbentuk ukurannya semakin besar. Hal ini menguntungkan dalam fraksinasi bertahap karena dapat mempercepat proses fraksinasi.

Bila sampel difraksinasi langsung pada suhu yang rendah tanpa adanya penurunan suhu secara bertahap, laju kristalisasi yang cepat

20 15 10 5 0 -5 -10 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Re cove ry karote noid (%) Suhu fraksinasi (°C) Rasio CPO:he ksana 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6

akan membuat sampel membeku dan tidak menunjukkan pemisahan yang baik. Pada penelitian ini, sebelumnya pernah dilakukan uji coba dengan menyimpan sampel langsung pada suhu rendah yang akan diuji. Sampel tersebut mengalami pembekuan dan tidak terjadi fraksinasi. Bila sampel difraksinasi secara bertahap, gliserida dengan titik cair tinggi akan mengendap pada suhu awal. Bila suhu fraksinasi diturunkan maka akan diikuti oleh pengendapan gliserida lain yang titik didihnya lebih rendah, begitu seterusnya sehingga kandungan gliserida dalam fraksi cair semakin rendah dan karotenoid yang terlarut dalam heksana semakin pekat.

b. Pengaruh Perbandingan Pelarut terhadap Recovery Karotenoid pada Setiap Suhu Fraksinasi

Gambar 16. menunjukkan pengaruh perlakuan perbandingan pelarut terhadap recovery karotenoid di masing-masing suhu fraksinasi. Berlawanan dengan kecenderungan konsentrasi karotenoid di setiap suhu fraksinasi, recovery karotenoid sampel menunjukkan kecenderungan yang naik dengan bertambahnya jumlah pelarut heksana yang digunakan. Recovery karotenoid sampel pada perbandingan CPO : heksana = 1 : 2 lebih rendah kemudian cenderung naik pada berbandingan CPO : heksana yang lebih besar.

Gambar 16. Pengaruh perbandingan pelarut terhadap recovery karotenoid sampel pada setiap suhu fraksinasi

Recovery karotenoid tertinggi terjadi pada sampel yang difraksinasi hingga suhu 0°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 5, yaitu 91.66 %. Sedangkan recovery karotenoid terendah dihasilkan oleh sampel yang difraksinasi hingga suhu -10°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 2 sebesar 17.29 % (Lampiran 9).

Perolehan recovery ini berkaitan dengan proses pembentukan kristal gliserida. Pada sampel dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 2, pembentukan kristal pada suhu awal terjadi sangat cepat. Jumlah heksana yang ada belum dapat mempengaruhi pembentukan kristal trigliserida pada sampel karena suhu rendah. Karena itu, endapan yang terbentuk cukup banyak dan masih memerangkap fraksi cair yang mengandung karotenoid.

Pada fraksinasi suhu yang paling rendah (-10°C), jumlah fraksi cairnya lebih sedikit, fraksi padat yang dipisahkan masih berwarna agak jingga yang menunjukkan fraksi padat tersebut masih mengandung karotenoid cukup tinggi. Sedangkan pada sampel dengan jumlah heksana yang lebih banyak, kristalisasi gliserida terjadi secara lambat sehingga karotenoid yang terperangkap lebih sedikit ditunjukkan oleh warna padatan kuning cerah. Selain itu, karena heksana lebih banyak jumlahnya, titik cair gliserida terpengaruh oleh heksana menjadi lebih rendah. Masih banyak gliserida yang belum terpisahkan dan masih terdapat pada produk hasil pemekatan (konsentrat).

Semakin rendah suhu fraksinasi, recovery karotenoid konsentrat semakin menurun. Hal ini dikarenakan dengan semakin rendah suhu fraksinasi, semakin banyak gliserida yang membentuk kristal. Pada saat pembentukan kristal ini, ada sebagian karotenoid yang terperangkap dalam gliserida dan ikut mengkristal bersama gliserida tersebut. Salah satu faktor yang menyebabkan penurunan recovery karotenoid konsentrat selama penurunan suhu adalah proses pemisahan fraksi padat dan fraksi cair di setiap suhunya. Pada suhu-suhu awal, kristal yang terbentuk ukurannya kecil, halus, dan semi solid (Gambar

17). Pemisahan fraksi cair dari fraksi padat dengan bentuk kristal seperti ini lebih sulit dilakukan. Oleh karena itu, pada saat pemisahan, masih ada fraksi cair yang mengandung karotenoid yang tertinggal karena bercampur dengan fraksi padat tersebut. Semakin rendah suhu fraksinasi, kristal yang terbentuk semakin kompak sehingga lebih mudah dipisahkan dari fraksi cair.

Gambar 17. Kristal fraksi padat yang terbentuk pada fraksinasi bertahap pada perbandingan CPO : heksana = 1 : 3 (a) suhu 20°C, pengendapan, kristal kecil

(b) suhu -5°C, kristalisasi, kristal besar (a)

20 15 10 5 0 -5 -1 0 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 0,6 0,7 0,8 0,9 1,0 1,1 1,2 1,3 1,4 1,5 Pemekatan (kali) Suhu fraksinasi (°C) Rasio CPO:heksana 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6

c. Pengaruh Perbandingan Pelarut terhadap Tingkat Pemekatan Karotenoid pada Setiap Suhu Fraksinasi

Gambar 18. menunjukkan pengaruh perlakuan perbandingan pelarut terhadap tingkat pemekatan karotenoid sampel di masing- masing suhu fraksinasi. Pada suhu fraksinasi yang digunakan dalam perlakuan, tingkat pemekatan karotenoid sampel menunjukkan kecenderungan menurun dengan bertambahnya jumlah pelarut heksana yang digunakan.

Tingkat pemekatan karotenoid tertinggi dihasilkan oleh sampel yang difraksinasi hingga suhu -10°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 2, yaitu 1.46 kali. Sedangkan tingkat pemekatan karotenoid terendah dihasilkan oleh sampel yang difraksinasi hingga suhu 20°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 5 sebesar 0.87 kali.

Semakin besar jumlah pelarut yang digunakan, pelarut akan semakin mempengaruhi titik cair dari gliserida yang terlarut di dalamnya. Gliserida akan mengalami penurunan titik cair karena titik

Gambar 18. Pengaruh perbandingan pelarut terhadap pemekatan karotenoid sampel pada setiap suhu fraksinasi

cair heksana yang sangat rendah. Pada perbandingan pelarut yang besar, gliserida yang mengalami kristalisasi lebih sedikit dibandingkan dengan sampel dengan jumlah pelarut yang sedikit. Masih banyaknya kandungan gliserida pada fraksi cair menyebabkan pemekatan karotenoid belum optimal. Oleh karena itu, pemekatan karotenoid semakin menurun dengan meningkatnya jumlah pelarut. Efektivitas pemekatan karotenoid pada sampel dengan jumlah pelarut yang besar dapat ditingkatkan dengan cara menurunkan suhu fraksinasi lebih rendah lagi.

Pada perbandingan CPO : heksana yang digunakan dalam perlakuan, tingkat pemekatan karotenoid sampel menunjukkan kecenderungan meningkat dengan menurunnya suhu fraksinasi.

Pada suhu fraksinasi 20, 15, 10, dan 5°C terjadi penurunan konsentrasi karotenoid sampel sehingga nilai pemekatannya kurang dari satu (tidak ada pemekatan). Banyak faktor yang menyebabkan penurunan konsentrasi karotenoid sehingga tidak ada pemekatan, di antaranya adalah belum optimalnya proses kristalisasi sehingga masih banyak gliserida yang terdapat pada fraksi cair yang mempengaruhi konsentrasi karotenoid, pemanasan saat menggunakan rotavapor, dan lamanya penyimpanan.

Efektivitas pemekatan karotenoid semakin meningkat dengan suhu yang semakin menurun. Hal ini dikarenakan semakin rendah suhu fraksinasi, semakin banyak gliserida yang mengkristal sehingga kandungan gliserida pada fraksi cair menurun dan karotenoid yang terlarut meningkat konsentrasinya. Kenaikan pemekatan karotenoid ini sebanding dengan kenaikan konsentrasi karotenoid pada sampel. Kenaikan pemekatan cukup drastis terjadi pada suhu 0°C.

d. Pengaruh Perbandingan Pelarut terhadap Rendemen Konsentrat Karotenoid pada Setiap Suhu Fraksinasi

Gambar 19. menunjukkan pengaruh perbandingan pelarut terhadap rendemen konsentrat karotenoid. Yang dimaksud dengan konsentrat

20 15 10 5 0 -5 -10 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Rendemen fraksi cair (% ) Suhu fraksinasi (°C) Rasio CPO:heksana 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6

karotenoid di sini adalah hasil fraksinasi minyak yang mengandung karotenoid yang telah dihilangkan pelarutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan rendemen konsentrat karotenoid adalah jumlah konsentrat karotenoid dibandingkan dengan jumlah minyak pada awal fraksinasi.

Rendemen konsentrat karotenoid menunjukkan efektivitas proses fraksinasi. Bila rendemen konsentrat rendah, maka proses fraksinasi efisien karena dapat memisahkan fraksi cair dan fraksi padat sesuai dengan yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu menghasilkan konsentrat karotenoid dengan sesedikit mungkin minyak yang terdapat pada konsentrat.

Rendemen konsentrat sampel menunjukkan kecenderungan meningkat dengan bertambahnya jumlah pelarut heksana yang digunakan. Semakin banyak pelarut, kristalisasi lemak menjadi semakin lambat dan membutuhkan suhu yang semakin rendah untuk dapat memulai mekanisme kristalisasi. Akibatnya, pada sampel dengan Gambar 19. Pengaruh perbandingan pelarut terhadap rendemen

jumlah heksana lebih banyak, jumlah minyak yang mengkristal menjadi lebih sedikit, sebagian besar minyak masih banyak terdapat pada fraksi cairnya, dan rendemen fraksi cairnya menjadi lebih besar. Penurunan suhu fraksinasi memberikan pengaruh terhadap rendemen konsentrat yang diperoleh. Rendemen konsentrat karotenoid semakin berkurang dengan semakin rendahnya suhu fraksinasi. Penyebabnya adalah adanya minyak yang mengkristal pada saat fraksinasi suhu rendah. Semakin rendah suhu fraksinasi, jumlah minyak yang mengkristal semakin banyak sehingga jumlah minyak yang terdapat pada konsentrat semakin berkurang dan rendemen konsentrat yang diperoleh semakin rendah.

Rendemen konsentrat karotenoid yang diperoleh pada suhu 20°C pada setiap perbandingan mempunyai nilai yang paling besar. Jumlah gliserida yang ada di dalamnya masih cukup banyak. Hal ini menunjukkan bahwa fraksinasi belum efektif dilakukan pada suhu ini. Konsentrat karotenoid yang diperoleh pada suhu ini pun tampak keruh dan mengandung fraksi-fraksi padat dengan ukuran kristal yang cukup besar. Begitu pula dengan konsentrat karotenoid yang dihasilkan oleh suhu fraksinasi 15°C. Namun kristal fraksi padatnya lebih halus dan tersebar di seluruh bagian. Konsentrat karotenoid yang dihasilkan pada suhu fraksinasi di bawah 10°C mulai jernih tanpa adanya kristal fraksi padat dan berwarna merah pekat. Gambar 20. berikut menunjukkan kenampakan konsentrat yang dihasilkan pada proses fraksinasi bertahap.

Gambar 20. Kenampakan konsentrat karotenoid sampel Kiri- kanan : suhu 20°C, 15°C, 10°C

20 15 10 5 0 -5 -10 1:2 1:4 1:6 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Rendemen fraksi padat (%) Suhu fraksinasi (°C) Rasio CPO : heksana 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6

e. Pengaruh Perbandingan Pelarut Terhadap Rendemen Fraksi Padat

Gambar 21. menunjukkan pengaruh perlakuan perbandingan pelarut terhadap rendemen fraksi padat di masing-masing suhu fraksinasi. Yang dimaksud dengan fraksi padat adalah hasil fraksinasi minyak yang berupa kristal minyak yang dipisahkan pada setiap suhu fraksinasi. Sedangkan yang dimaksud dengan rendemen fraksi padat adalah akumulasi perolehan fraksi padat minyak di akhir proses fraksinasi dibandingkan dengan jumlah minyak pada awal fraksinasi.

Sama halnya dengan rendemen fraksi cair, rendemen fraksi padat juga menunjukkan efektivitas proses fraksinasi. Bila rendemen fraksi padat tinggi, maka proses fraksinasi efisien karena dapat memisahkan fraksi cair dan fraksi padat sesuai dengan yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu menghasilkan konsentrat karotenoid dengan sesedikit mungkin minyak yang terdapat pada konsentrat. Minyak diharapkan mengkristal dan terpisah sabagai fraksi padat, sehingga jumlah fraksi padat diharapkan besar.

Rendemen fraksi padat sampel menunjukkan kecenderungan menurun dengan bertambahnya jumlah pelarut heksana yang Gambar 21. Pengaruh perbandingan pelarut terhadap rendemen fraksi

digunakan. Rendemen fraksi padat terbesar dihasilkan oleh sampel yang difraksinasi hingga suhu -10°C dengan perbandingan CPO : heksana = 1 : 2, yaitu 88.17 %.

Semakin banyak jumlah pelarut, kristalisasi semakin lambat dan membutuhkan suhu yang semakin rendah untuk dapat memulai mekanisme kristalisasi. Akibatnya, pada sampel dengan jumlah heksana lebih banyak, jumlah minyak yang mengkristal masih sedikit, masih banyak terdapat pada fraksi cairnya, dan rendemen fraksi padatnya menjadi lebih rendah.

Penurunan suhu fraksinasi memberikan pengaruh terhadap rendemen fraksi padat yang diperoleh. Rendemen fraksi padat semakin bertambah dengan semakin rendahnya suhu fraksinasi. Semakin rendah suhu fraksinasi, jumlah minyak yang mengkristal semakin banyak sehingga jumlah fraksi padat semakin bertambah dan rendemen fraksi padat yang diperoleh semakin meningkat.

Bila jumlah fraksi padat yang terbentuk pada setiap suhu fraksinasi dibandingkan, diperoleh hasil bahwa fraksi padat yang terbentuk pada suhu awal fraksinasi jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah fraksi padat yang terbentuk pada suhu fraksinasi yang lebih rendah. Trigliserida jenuh mempunyai titik cair yang tinggi sehingga pada suhu awal fraksinasi mudah membentuk kristal. Pada suhu fraksinasi yang lebih rendah, jumlah minyak pada sampel yang difraksinasi semakin berkurang dan komposisi trigliserida yang ada di dalamnya juga berbeda. Akibatnya, untuk mencapai kondisi yang dapat mendorong terjadinya kristalisasi minyak menjadi lebih sulit, membutuhkan waktu yang lebih lama, dan suhu yang lebih rendah lagi. Namun secara akumulasi, semakin rendah suhu fraksinasi, jumlah fraksi padat yang diperoleh semakin meningkat.

Terdapat hubungan yang berkebalikan antara rendemen fraksi cair dan fraksi padat. Semakin rendah suhu fraksinasi, rendemen fraksi cair semakin menurun, sedangkan rendemen fraksi padat semakin meningkat (Gambar 20. dan Gambar 21.). Perolehan fraksi padat dan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 -10 -5 0 5 10 15 20 suhu fraksinasi (°C) fr a k si p a d a t mi n y a k (% ) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 fr a k si c a ir min y a k (% ) fraksi padat 1 : 2 fraksi padat 1 : 3 fraksi padat 1 : 4 fraksi padat 1 : 5 fraksi padat 1 : 6 fraksi cair 1 : 2 fraksi cair 1 : 3 fraksi cair 1 : 4 fraksi cair 1 : 5 fraksi cair 1 : 6

fraksi cair yang menunjukkan kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 22.

Gambar 22. menunjukkan bahwa persentase fraksi padat mempunyai kecenderungan meningkat dengan semakin menurunnya suhu fraksinasi, sedangkan persentase fraksi cair mempunyai kecenderungan menurun. Rendemen fraksi padat dan fraksi cair sampel dengan perbandingan CPO : heksana 1 : 6 dan 1: 5 menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Begitu pula dengan fraksi padat dan fraksi cair sampel dengan perbandingan CPO : heksana 1 : 3 dan 1: 4. Rendemen fraksi padat sampel dengan perbandingan CPO : heksana 1 : 2 memberikan hasil yang lebih tinggi pada setiap suhu fraksinasi, sedangkan rendemen fraksi cair sampel dengan perbandingan CPO : heksana 1 : 2 memberikan hasil yang lebih rendah pada setiap suhu fraksinasi.

Sampel dengan konsentrasi karotenoid tertinggi dianalisis komposisi asam lemaknya untuk mengetahui jenis asam lemak yang terdapat di dalamnya (Lampiran 8.). Komposisi asam lemak fraksi cair pada sampel dengan perbandingan CPO : heksana 1 :2 pada fraksinasi suhu -10°C dapat dilihat pada Tabel 9.

Gambar 22. Grafik hubungan antara suhu fraksinasi dengan persentase fraksi cair dan fraksi padat yang diperoleh

Tabel 9. Kadar asam lemak konsentrat karotenoid hasil fraksinasi bertahap pada perbandingan CPO : heksana = 1 : 2 dibandingkan dengan literatur.

Jenis Asam Lemak Satuan Sampel Literatur a

Asam Kaprilat (C 8:0) % 0.01 - Asam Kaprat (C 10:0) % 0.01 - Asam Laurat (C 12:0) % 0.18 0.1 - 0.5 Asam Miristat (C 14:0) % 0.97 0.9 - 1.4 Asam Palmitat (C 16:0) % 30.03 37.9 - 41.7 Asam Stearat (C 18:0) % 10.77 4.0 - 4.8 Asam Arakhidat (C 20:0) % 0.22 0.2 - 0.5 Total Asam Lemak Jenuh % 42.18 - Asam Oleat (C 18:1, n-9) % 36.48 40.7 - 43.9 Asam Linoleat (C 18:2, n-6) % 19.53 10.4 - 13.4 Asam Linolenat (C 18:3, n-3) % 0.7 0.1 - 0.6 Total Asam Lemak Tidak Jenuh % 56.7 - Asam Lemak Tidak Dikenal % 0.08 -

Total Asam Lemak % 98.96 -

a

Bailey (1994)

Bila komposisi asam lemak CPO dan konsentrat karotenoid yang dihasilkan dari penelitian ini dibandingkan, jenis asam lemak jenuh yang terdapat pada konsentrat karotenoid lebih banyak dibandingkan jenis asam lemak CPO (Tabel 7.). Hal ini kemungkinan terjadi karena minyak mengalami proses kimia, seperti oksidasi dan hidrolisis, pada saat fraksinasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh rantai pendek lain pada konsentrat karotenoid.

Persentase minyak yang terdapat pada CPO sebesar 84.34%. Sisanya yang mencapai 15.66% adalah bahan lain, seperti gum, kotoran, dan air. Persentase minyak yang terdapat pada konsentrat karotenoid jumlahnya mencapai 98.96%. Itu artinya, proses fraksinasi juga dapat membuang bahan yang tidak diinginkan dalam minyak, sehingga minyak menjadi lebih murni.

Persentase asam palmitat CPO yang merupakan asam lemak jenuh yang paling dominan pada minyak sawit sebesar 34.47%, sedangkan persentase asam palmitat konsentrat karotenoid sebesar 30.03%. Hal ini menunjukkan, proses fraksinasi dapat mengeluarkan sebagian asam lemak jenuh dari konsentrat karotenoid.

Asam lemak jenuh cenderung berbentuk padat karena titik cairnya yang tinggi. Konsentrat karotenoid yang berbentuk cair ternyata masih mengandung asam lemak jenuh. Asam lemak yang terkandung di dalam minyak dapat berbentuk asam lemak bebas, monogliserida, digliserida dan trigliserida. Variasi bentuk ini menyebabkan variasi titik cair dari asam lemak sehingga tidak setiap asam lemak yang sama dapat mengkristal pada suhu yang sama pada saat fraksinasi. Kristalisasi asam lemak dipengaruhi oleh bentuk asam lemak di dalam minyak. Oleh karena itu, kemungkinan asam lemak jenuh yang terdapat pada konsentrat karotenoid mempunyai variasi bentuk yang menyebabkan asam lemak tersebut belum mengalami kristalisasi pada saat fraksinasi suhu rendah.

Persentase asam lemak tidak jenuh pada CPO lebih rendah dibandingkan dengan asam lemak tidak jenuh pada konsentrat karotenoid. Persentase asam lemak tidak jenuh pada CPO sebesar 46.87%, sedangkan pada konsentrat karotenoid sebesar 56.70% dengan asam lemak dominan adalah asam oleat dan asam linoleat. Persentase asam lemak tidak jenuh pada konsentrat karotenoid dapat meningkat karena sebagian asam lemak jenuh dan bahan pengotor pada minyak sudah dikeluarkan.

4. Perbandingan Metode Pengambilan Fraksi Cair

Pada proses fraksinasi bertahap, pemisahan fraksi dilakukan dalam dua cara. Pertama, dilakukan pemisahan fraksi padat dan fraksi cair pada setiap suhu fraksinasi, selanjutnya disebut dengan pemisahan bertahap. Kedua, pemisahan fraksi padat dan fraksi cair hanya dilakukan pada suhu akhir dimana sampel akan dianalisis, selanjutnya disebut dengan pemisahan langsung. Penurunan suhu pada kedua perlakuan tetap dilakukan secara bertahap. Penelitian ini menggunakan cara yang pertama dalam fraksinasi bertahap. Belum diketahui apakah kedua cara tersebut juga akan memberikan hasil yang berbeda secara signifikan atau tidak terhadap recovery dan pemekatan karotenoid. Pada uji perbandingan ini,

20 40 60 80 100 1 : 2 1 : 3 1 : 4 1 : 5 1 : 6

perbandingan CPO : heksana

reco v ery k a ro ten ( % )

pemisahan bertahap pemisahan langsung

akan dilakukan pengamatan hasil pemekatan dengan kedua cara tersebut pada suhu fraksinasi 5oC. Data selengkapnya pada Lampiran 10.

a. Pengaruh Proses Pemisahan Terhadap Recovery Karotenoid Produk Pada Suhu 5°C

Secara umum, recovery karotenoid pemisahan langsung lebih

Dokumen terkait