• Tidak ada hasil yang ditemukan

Minyak dapat mengalami kristalisasi karena penurunan suhu. Sifat ini sangat bermanfaat dalam proses fraksinasi untuk pemisahan olein dan stearin. Faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal stearin adalah suhu awal minyak, suhu akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, dan metode separasi. Variabel tersebut mempengaruhi ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, solid fat content, titil leleh, profil asam lemak dari fraksi cair dan fraksi padat (kristal) (Breeding dan Marshall, 1995).

Mekanisme pembentukan kristal karena penurunan suhu diawali dengan melambatnya gerakan termal molekul-molekul minyak karena hilangnya panas. Kondisi ini menyebabkan jarak antara molekul-molekulnya lebih kecil. Jika jarak antara molekul tersebut mencapai 5 Å, maka akan timbul gaya tarik menarik antarmolekul yang disebut gaya Van der Waalls. Akibatnya, asam- asam lemak dalam molekul minyak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta berikatan membentuk kristal. Kristal-kristal yang terbentuk ini berbeda sifat dan titik cairnya (Winarno, 1997). Fardiaz et al. (1992) menambahkan bahwa gaya tarik menarik pada pembentukan kristal minyak tidak hanya oleh gaya Van der Waalls, tetapi juga karena adanya ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen dapat menyebabkan molekul-molekul tertarik satu sama lain. Apabila rantai molekul minyak cukup panjang, maka daya tarik kumulatif dapat menyebabkan asam-asam lemak dalam molekul minyak berjejer secara paralel membentuk kristal.

Kristal lemak dapat terjadi dalam beberapa bentuk polimorfis. Tiga bentuk yang utama adalah alfa, beta, dan beta intermediet. Bentuk alfa merupakan bentuk yang tidak stabil dengan sifat rapuh, transparan, pipih dengan ukuran 5 μm. Bentuk beta adalah bentuk yang paling stabil dengan

ukuran besar-besar (25-50, kadang-kadang 100μm) dan berkelompok. Kestabilan beta intermediet ada diantara alfa dan beta, bentuk seperti jarum halus dengan ukuran 1μm (Winarno, 1997).

Proses kristalisasi mempunyai tahap yang berlanjut secara simultan. Tahap pertama adalah pembentukan partikel kecil, yang disebut dengan inti (nucleid). Pembentukan inti terjadi saat beberapa molekul lemak berkumpul membentuk agregat dan energi potensialnya turun sampai nilai minimum. Tahap kedua dalam proses kristalisasi adalah pertumbuhan inti. Inti kristal dapat tumbuh menjadi kristal bila probabilitas molekul lemak untuk teradsorpsi di permukaan inti kristal cukup besar. Semakin besar agregat yang terbentuk, semakin rendah energi potensialnya dan probabilitas untuk mengadsorpsi molekul lemak semakin besar. Minyak yang mengalami kristalisasi membentuk molekul yang rigid, beraturan, dan berbentuk tiga dimensi (Coulson dan Ricardson, 1955; Nawar, 1995; dan Fardiaz et al., 1992).

Pendinginan yang relatif cepat akan menghasilkan kristal yang transparan, rapuh, dan pipih. Keadaan ini akan menghasilkan polimorfis bentuk alfa. Pendinginan yang terlalu lama akan memperlambat pembentukan kristal yang disebabkan oleh penurunan energi potensial yang tidak secara tiba-tiba. Bentuk kristal yang dihasilkan adalah bentuk seperti jarum halus dengan bentuk polimorfis beta intermediet (Oh, et al., 1990). Kristal yang terlalu halus dan terlalu kecil dapat mengakibatkan pemisahan tidak efisien (Tirtaux, 1990).

E. KAROTENOID

1. Karakteristik Karotenoid

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak. Karena itulah, karotenoid sering dibuat menjadi konsentrat yang dimanfaatkan sebagai pewarna makanan yang aman dan alami sekaligus menjadi suplemen provitamin A.

Karotenoid terdapat dalam kloroplas (0.5%) bersama-sama dengan klorofil (9.3%) terutama pada bagian permukaan atas daun, dekat dengan dinding sel palisade (Winarno, 1997). Karena warnanya mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka deteksi panjang gelombangnya diperkirakan antara 430 – 480 nm (Schwartz dan Elbe, 1996).

Komponen karotenoid memiliki sifat penyerapan panjang gelombang tertentu. Pada pelarut yang berbeda, karotenoid akan menyerap panjang gelombang yang berbeda secara maksimum. Sifat penyerapan ini dijadikan dasar untuk menentukan jumlah karotenoid secara spektrofotometri (Simpson et al., 1987). PORIM (1995) telah menguji bahwa karotenoid minyak sawit yang dilarutkan pada heksana mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 446 nm.

Menurut Meyer (1966), karotenoid dibagi atas empat golongan, yaitu: 1) karotenoid hidrokarbon, C40H56 seperti α, , dan karoten dan

likopen; 2) xantofil dan derivat karoten yang mengandung oksigen dan hidroksil antara lain kriptosantin, C40H55OH dan lutein, C40H54(OH)2; 3)

asam karotenoid yang mengandung gugus karboksil; dan 4) ester xantofil asam lemak, misalnya zeasantin.

Karotenoid termasuk senyawa lipida yang tidak tersabunkan, larut dengan baik dalam pelarut organik tetapi tidak larut dalam air (Ranganna, 1979). Menurut Meyer (1966) sifat fisika dan kimia karotenoid adalah larut dalam minyak dan tidak larut dalam air, larut dalam kloroform, benzena, karbon disulfida dan petroleum eter, tidak larut dalam dalam etanol dan metanol dingin, tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum, peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya, dan mempunyai ciri khas absorpsi cahaya.

Reaksi oksidasi dapat menyebabkan hilangnya warna karotenoid dalam makanan (Schwartz dan Elbe, 1996). Reaksi oksidasi karotenoid juga dipicu oleh suhu yang relatif tinggi. Karotenoid mengalami kerusakan oleh pemanasan pada suhu di atas 60oC (Naibahi, 1983). Ikatan ganda pada karotenoid menyebabkan percepatan laju oksidasi karena sinar dan katalis logam, seperti tembaga, besi dan mangan (Walfford, 1980).

Karotenoid lebih tahan disimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh, karena asam lemak lebih mudah menerima radikal bebas dibandingkan dengan karotenoid. Sehingga apabila ada faktor yang menyebabkan oksidasi, asam lemak akan teroksidasi terlebih dahulu dan karotenoid akan terlindungi lebih lama (Chichester et al., 1970).

Karotenoid merupakan sumber vitamin A yang berasal dari tanaman, sedangkan yang berasal dari hewan berbentuk vitamin A. Beberapa jenis karotenoid dalam tanaman dan aktivitas provitamin A-nya disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3. Beberapa jenis karotenoid dalam tanaman dan aktivitas provitamin A-nyaa

Jenis Karotenoid Aktivitas provitamin A (%)

β-karoten 100 α-karoten 50-54 γ-karoten 42-50 β-zeakaroten 20-40 β-karoten-5,6-monoepoksida 21 3,4 dehidro-β-karoten 75 a Hasanah (2006)

β-karoten sering juga disebut anti xerophtalmia karena defisiensi β- karoten dapat menimbulkan gejala rabun mata. β-karoten dalam minyak sawit selain merupakan provitamin A juga dapat mengurangi peluang terjadinya penyakit kanker, mencegah proses penuaan dini, meningkatkan imunitas tubuh, dan mengurangi terjadinya penyakit degeneratif (Muhilal, 1991; Murakoshi et al., 1989). Struktur β-karoten dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur β-karoten

1 2 4 3 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 14’ 12’ 10’ 8’ 15’ 13’ 11’ 9’ 7’ 4’ 5’ 1’ 6’ 2’ 3’

Gambar 2. Struktur β-karoten

1 2 4 3 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 14’ 12’ 10’ 8’ 15’ 13’ 11’ 9’ 7’ 4’ 5’ 1’ 6’ 2’ 3’

Tubuh manusia mempunyai kemampuan mengubah sejumlah besar -karoten menjadi vitamin A (retinal), sehingga -karoten ini disebut provitamin A. Mengkonsumsi -karoten jauh lebih aman daripada mengkonsumsi vitamin A yang dibuat secara sintetis. Pendekatan yang terbaik untuk mencegah defisiensi vitamin A adalah dengan menghimbau agar suplementasi -karoten dosis tinggi dilakukan pada diet intake (Winarno, 1997).

2. Pemekatan Karotenoid

Menurut Gross (1991), belum terdapat metode standar untuk ekstraksi karotenoid. Namun untuk mendapatkan hasil yang optimal, sebaiknya digunakan bahan yang segar, tidak rusak, dan contoh yang digunakan harus terwakili. Selain itu, ekstraksi dilakukan secepat mungkin untuk mencegah kerusakan akibat oksidasi. Karena itulah dicoba dilakukan ekstraksi sederhana dengan menggunakan teknik fraksinasi. Banyak metode lain yang sudah dilakukan untuk memperoleh konsentrat karotenoid dari minyak kelapa sawit. Diantaranya disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Metode ekstraksi dan pemekatan karotenoid

Metode Keterangan Capaian Peneliti

Penyabunan

Pada CPO Pemekatan 22 kali Rahayu (1996) Pada CPO, skala

digandakan Pemekatan 54.31 kali Sanjaya (1996) Ekstraksi pelarut

Pada tomat, wortel, bayam Taungbodithan (1998) Pada Brassica oleraceae Kurilich et al. (1999) Pada brokoli, cantaloupe, wortel, jeruk, peach, bayam, ubi jalar, tomat

Lessin, Catigani

dan Schwartz (1997) Pada buah dan

sayuran

Konings dan

Roomans (1997) Pada cabe merah,

paprika dengan aseton, oleoresin Ittah et al. (1993) Dengan pelarut heksana-aseton- metanol (80:10:10 v/v/v) Burdick dan Fletcher (1985)

Tabel 4. Metode ekstraksi dan pemekatan karotenoid (lanjutan)

Metode Keterangan Capaian Peneliti

Ekstraksi pelarut Pada jaringan tanaman, dengan pelarut aseton- heksana (1:9 v/v) Schwartz dan Patroni (1985)

Pada limbah serat sawit, dengan pelarut heksana- aseton (10:1 v/v) Konsentrasi produk 1283 µg/g Masni (2004)

Pada sawit, dengan pelarut isopropanol (6:1 v/b CPO) Meningkatkan konsentrasi dari 498 µg/g menjadi 744 µg/g Hasanah (2006) Adsorpsi Pada sawit, adsorben resin sintetis (Diaion HP- 20) Tingkat recovery 40-65 % Baharin et al. (1998) Pada sawit, adsorben bentonit:alumina (4:1) Tingkat recovery 79 %

Desai dan Dubash (1994)

Pada buah segar dan olahan, adsorben polimer sintetis Lessin et al. (1997) Pada sawit, adsorben MgO2 :AlO3 (1:1) Tingkat recovery 82.41% Sahidin et al. ( 2001) Pada sawit,

adsorben abu sekam padi Pemekatan 6 kali, tingkat recovery 86% Masni (2004) Adsorpsi berulang dengan adsorben abu sekam padi dan silika gel Pemekatan 7.44 kali, tingkat recovery 28.8% Zulkipli (2007) CME sawit,

adsorben abu sekam padi dan silika gel

Pemekatan 6 kali, tingkat recovery 70.25%

Widayanto (2007)

Pada sawit Pemekatan 15 kali, tingkat recovery 49%

Tabel 4. Metode ekstraksi dan pemekatan karotenoid (lanjutan)

Metode Keterangan Capaian Peneliti

Destilasi Molekuler

Pada metil ester Kemurnian dan hasil tinggi

Masni (2004) Bahan baku di-

metanolisis, 2 tahap destilasi molekuler

Kemurnian 75% Ooi et al. (1994)

Fluida Superkritik T 400C, 3000-5000 psi, 4 jam Penurunan total karotenoid 26.8% Muchtadi (1992) Pada metil ester

sawit Pemekatan 39 kali, tingkat recovery 42% Sulaswatty (1998) F. FRAKSINASI

Minyak kelapa sawit yang disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7ºC dapat terpisah menjadi dua bagian (fraksi), yaitu fraksi cair yang disebut olein dan fraksi semi padat yang disebut stearin (Law dan Thiagarajan, 1989).

Pemisahan olein dan stearin dari CPO dapat dilakukan dengan fraksinasi. Menurut Gunstone dan Padley (1997), fraksinasi merupakan proses thermomechanical di mana bahan dasar dipisahkan menjadi dua atau lebih fraksi. Proses ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu proses kristalisasi dengan cara mengatur kondisi suhu dan filtrasi dengan penyaringan. Breeding dan Marshal (1995) melakukan fraksinasi dengan suhu rendah dan menyaringnya dengan membran press filter. Fraksinasi asam lemak dan turunannya menggunakan teknik kristalisasi dengan suhu rendah diperkenalkan oleh Brown dan Kolb. Brown melakukan kristalisasi suhu rendah dari renatang 0°C hingga -75°C menggunakan dry ice (Fogerty, 1971).

Proses fraksinasi dijelaskan oleh Winarno (1997) dengan mekanisme dimana lemak didinginkan sehingga menyebabkan hilangnya panas dan memperlambat gerakan molekul. Jarak antar molekul menjadi lebih kecil. Pada jarak tertentu terjadi gaya vander walls dimana radikal asam lemak saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik tergantung jenis asam lemaknya dan terjadilah pemisahan. Fraksi kristal yang diperoleh mempunyai titik leleh yang lebih tinggi daripada fraksi cair (Moran dan Rajah, 1994).

Moran dan Rajah (1994) menyebutkan bahwa ada tiga metode yang digunakan dalam proses fraksinasi, yaitu dry fractionation, lanza fractionation, dan solvent fractionation. Dry fractionation biasanya dilakukan secara semi kontinyu terhadap minyak yang dimurnikan. Proses ini tidak membutuhkan bahan kimia atau bahan tambahan lainnya. Minyak dihomogenkan pada suhu 70°C untuk menghilangkan kristal yang telah terbentuk sebelumnya agar tidak terjadi proses yang tidak diinginkan saat pendinginan. Pembentukan dan pertumbuhan kristal terjadi pada minyak yang diaduk dan didinginkan dengan pendinginan sirkulasi air. Dry fractionation biasanya menghasilkan olein sebanyak 70-75%.

Lanza fractionation (fraksinasi deterjen) biasanya dilakukan pada minyak sawit kasar. Pertama, minyak didinginkan pada crystallizer dengan pendingin air untuk mendapatkan kristal dari gliserida dengan titik leleh tinggi. Ketika suhu yang diinginkan tercapai, massa yang mengkristal dicampur dengan larutan deterjen yang mengandung 0.5% natrium lauril sufat dan MgSO4 sebagai elektrolit. Pemisahan berlangsung dalam suspensi cair.

Kemudian dilakukan sentrifugasi agar fraksi olein dan stearin terpisah. Fraksi olein kemudian dicuci dengan air panas untuk menghilangkan sisa deterjen lalu dikeringkan dengan vaccum dryer untuk mendapatkan olein mencapai 80% (Moran dan Rajah, 1994).

Solvent fractionation merupakan fraksinasi menggunakan pelarut, dan proses ini relatif mahal karena terjadi penyusutan jumlah pelarut, memerlukan perlengkapan untuk recovery pelarut, membutuhkan suhu rendah, dan membutuhkan penanganan untuk mencegah bahaya pelarut yang digunakan. Pelarut yang biasanya digunakan adalah heksana atau aseton. Minyak harus dilarutkan dalam pelarut diikuti dengan pendinginan sehingga suhu yang diinginkan tercapai untuk mendapatkan kristal yang diinginkan. Proses ini biasanya digunakan untuk mendapatkan produk bernilai tinggi, seperti mentega coklat atau mendapatkan lemak tertentu berdasarkan titik cairnya (Moran dan Rajah, 1994).

Fraksinasi dilakukan secara bertingkat agar diperoleh konsentrat karotenoid dengan konsentrasi karotenoid yang tinggi. Olein yang ada pada

produk sedikit tetapi kandungan karotenoidnya tinggi (pekat) sedangkan fraksi padatnya diharapkan jumlahnya lebih banyak, kandungan karotenoidnya rendah, dan dapat diolah lagi menjadi produk turunan lemak yang lain.

G. PELARUT HEKSANA

Pemilihan pelarut merupakan tahap paling penting dalam proses ekstraksi. Pertimbangan dalam pemilihan pelarut antara lain, pelarut mempunyai daya larut yang tinggi, tidak berbahaya, dan tidak beracun. Selain itu, pelarut dipilih tergantung pada titik didih yang diperlukan, mudah tidaknya terbakar, pengaruh terhadap peralatan ekstraksi, inert terhadap bahan baku, mudah didapat, dan murah harganya (Goldman, 1949). Dalam penelitian ini, dipilih heksana sebagai pelarut dalam proses fraksinasi.

Heksana merupakan campuran beberapa isomer parafin yang terdiri dari enam atom karbon (Mirghani dan Man, 2003). Heksana tergolong dalam hidrokarbon alkana (ikatan tunggal) dengan rumus kimia CH3(CH2)4CH3.

Isomer heksana yang lain, kebanyakan tidak reaktif dan sering digunakan sebagai pelarut inert dalam reaksi-reaksi organik karena sifatnya yang non polar (Institut national de recherche et de sécurité, 2005). Heksana banyak digunakan untuk mengekstrak minyak dari bahan nabati, seperti sawit dan kedelai (ATSDR, 1999).

Heksana memang beracun, tetapi tingkatnya relatif rendah. Menghirup heksana dalam konsentrasi yang tinggi akan menyebabkan efek euforia ringan yang diikuti dengan sakit kepala. Namun efek ini tidak permanen dan biasanya hilang dengan sendirinya setelah beberapa saat menghentikan kontak dengan heksana (Institut national de recherche et de sécurité, 2005). Residu heksana juga tidak terkonsentrasi pada tanaman maupun hewan sehingga tidaklah benar jika dikatakan bahwa heksana dapat menyebabkan kanker pada manusia.

The Department of Health and Human Services (DHHS), International Agency for Research on Cancer (IARC) and The Environmental Protection Agency (EPA) tidak menggolongkan heksana sebagai bahan karsinogenik. The National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH)

menganjurkan bahwa kandungan heksana di udara dalam ruang kerja tidak lebih dari 50 ppm, sedangkan The Occupational Health and Safety Administration (OSHA) masih memberikan toleransi hingga batas 500 ppm (ATSDR, 1999). Food and Drug Administration (FDA, 1987) memberikan batasan jumlah sisa pelarut yang masih diperkenankan dalam bahan makanan yang ditunjukkan oleh Tabel 5.

Tabel 5. Residu pelarut organik yang diizinkan dalam makanana Jenis Pelarut Residu (ppm)

Aseton 30 Etilen klorida 30 Etanol 30 Heksana 25 Isopropil alkohol 50 Metilen diklorida 30 Metanol 50 a

Food and Drug Administration (1987)

Heksana biasanya berbentuk cair dengan viskositas rendah, mudah menguap, mudah terbakar dan tidak larut air. Berat jenis heksana adalah 0.6548 g/ml, dengan titik cair −95°C dan titik didih 69°C (Institut national de recherche et de sécurité, 2005). Dengan karakteristik titik didih heksana yang rendah, akan memudahkan pemisahan heksana dengan olein tanpa merusak kandungan karotenoid dalam olein secara signifikan. Selain itu, karena evaporator yang digunakan hampa udara, maka titik didih heksana dapat diturunkan dengan mengatur tekanan sehingga proses pemurnian olein lebih optimal dan aman.

III. METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait