• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2 Struktur Komunitas Lamun

4.2.2 Frekuensi, Kerapatan, Penutupan dan Nilai Penting Spesies Lamun

tabel = 42.557

Frekuensi kehadiran spesies lamun pada keempat lokasi memiliki kisaran nilai yang berbeda. Hal ini berarti bahwa jika nilai frekuensi baik nilai frekuensi mutlak maupun frekuensi relatif rendah, maka spesies tersebut tidak ditemukan pada setiap kuadrat. Sebaliknya jika nilai frekuensi mutlak maupun frekuensi relatif tinggi, maka spesies tersebut ditemukan pada hampir setiap kuadrat. Pada Tabel 4, T. hemprichii menunjukkan nilai frekuensi yang tinggi, namun spesies ini tidak ditemukan di lokasi Wosi. Spesies T. hemprichii menyukai perairan dengan tipe substrat carbonat (yang terdiri atas pasir dan pecahan karang) dan dapat tumbuh dominan, seperti tipe substrat yang terdapat pada lokasi Rendani, Briosi dan Padarni. Pada lokasi Wosi yang memiliki tipe substrat terrigenous (yang terdiri atas lumpur dan pasir), tidak cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan T. hemprichii, sehingga tidak ditemukan spesies ini di lokasi Wosi.

Tabel 4 Frekuensi dan frekuensi relatif tiap spesies lamun pada lokasi penelitian

Spesies Lamun

Lokasi

Rendani Wosi Briosi Padarni

Fi Fri Fi FRi Fi FRi Fi FRi

C. rotundata 0.700 31.343 0.367 18.966 0.733 32.353 - - C. serrulata 0.133 5.970 0.200 10.345 0.033 1.471 0.067 4.255 H. pinifolia - - 0.467 24.138 0.300 13.235 0.233 14.894 H. uninervis 0.367 16.418 0.733 37.931 0.333 14.706 0.033 2.128 H. ovalis 0.233 10.448 0.167 8.621 0.200 8.824 0.100 6.383 S. isoetifolium 0.067 2.985 - - - - 0.300 19.149 T. hemprichii 0.733 32.836 - - 0.667 29.412 0.833 53.191 Total 2.233 100 1.933 100 2.267 100 1.567 100 Keterangan: Fi FR

= Frekuensi spesies ke-i i = Frekuensi relatif spesies ke-i

Spesies H. ovalis, C. serrulata, H. uninervis yang ditemukan pada keempat lokasi penelitian, namun nilai frekuensinya rendah. Hal ini diduga karena ketiga spesies tersebut memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan yang berbeda, namun tidak dapat tumbuh dominan. Kemampuan adaptasi lamun terhadap kondisi lingkungan sangat berbeda antara satu spesies dengan spesies lainnya (Keough & Jenkins 1995). Berdasarkan pada kemampuan tersebut maka lamun dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu spesies climax dan spesies pioneer. Spesies climax merupakan spesies dengan morfologi tubuh yang besar, pertumbuhan lambat dan berumur panjang, contohnya spesies E. acoroides dan T. hemprichii (Short et al. 2001). Spesies pioneer memiliki bentuk tubuh yang relatif lebih kecil, pertumbuhan cepat dan berumur pendek, contohnya spesies H. ovalis, H. uninervis, H. pinifolia.

Frekuensi kehadiran spesies lamun pada lokasi Rendani, Wosi dan Briosi yang ditunjukkan pada Tabel 4, memiliki nilai frekuensi spesies yang tidak berbeda jauh dengan hasil perhitungan frekuensi spesies lamun yang dilakukan oleh Lefaan (2008) pada lokasi yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terjadi penurunan frekuensi tiap spesies lamun yang ditemukan. Satu hal yang berbeda adalah spesies C. serrulata ditemukan pada semua lokasi penelitian, sedangkan Lefaan (2008) hanya menemukan C. serrulata di lokasi Rendani dengan frekuensi kehadiran yang sangat rendah (0.030).

Kehadiran lamun di suatu lokasi sangat berkaitan dengan ruang dan tipe substrat dasar (Hemminga & Duarte 2000). Jika tipe substrat cocok untuk pertumbuhan lamun, maka populasi lamun dapat berkembang dengan baik. Kebanyakan spesies lamun sangat cocok dengan tipe substrat berpasir sampai berlumpur, namun ada beberapa spesies yang mampu tumbuh di atas karang seperti Phyllospadix spp, Thalassodendron spp dan Posidonia oceanica (Den Hartog 1970 in Hemminga & Duarte 2000). Spesies-spesies ini mampu tumbuh di atas karang karena memiliki akar yang dapat menembus masuk ke lapisan dalam karang. Spesies T. hemprichii yang teramati di lokasi penelitian, juga ditemukan tumbuh pada rataan terumbu yang terdiri atas pasir dan patahan karang, yang berbatasan dengan terumbu karang. Menurut Short et al. (2001), T. hemprichii seringkali berasosiasi dengan terumbu karang dan umumnya pada rataan terumbu karang yang dapat membentuk hamparan yang padat. Spesies ini juga dapat ditemukan membentuk koloni pada substrat berlumpur, pada zona yang dangkal dalam kolom air saat surut.

Kerapatan spesies lamun yang ada di lokasi penelitian memiliki kisaran nilai yang bervariasi, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5. Kerapatan spesies tertinggi terdapat di lokasi Wosi, yaitu spesies H. uninervis (1070.533 tegakan/m2) selanjutnya H. pinifolia (465.733 tegakan/m2

Nilai kerapatan dari C. rotundata paling tinggi terdapat di lokasi Briosi yaitu 537.467 tegakan/m

). Nilai kerapatan spesies yang tinggi pada lokasi Wosi sangat berkaitan dengan tekstur substrat yang cocok bagi pertumbuhan dan penyebaran dari kedua spesies ini, yaitu tekstur substrat pasir berlumpur (Tabel 5). Selain itu kedua spesies ini merupakan spesies pioneer yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang selalu terganggu (Phillips & Menez 1988).

2

, selanjutnya pada lokasi Rendani 458.267 tegakan/m2, dan yang terendah ditemukan pada lokasi Wosi 204.533 tegakan/m2. Kerapatan spesies C. rotundata umumnya ditemukan dominan pada lokasi dengan tipe substrat carbonat yang terdiri atas pasir dan pecahan karang. Namun spesies ini juga mampu hidup pada tipe substrat terigenous atau tipe substrat berlumpur tetapi tidak membentuk hamparan dengan kerapatan yang tinggi (Kiswara, 1992), seperti ditunjukkan dalam Tabel 5.

Tabel 5 Kerapatan dan kerapatan relatif tiap spesies lamun pada lokasi penelitian

Spesies Lamun

Lokasi

Rendani Wosi Briosi Padarni

Ki Kri Ki KRi Ki KRi Ki KRi

C. rotundata 458.267 56.123 204.533 11.1556 537.467 62.073 - - C. serrulata 14.133 1.731 46.000 2.5089 2.933 0.339 5.200 0.761 H. pinifolia - - 465.733 25.4018 41.600 4.804 249.867 36.587 H. uninervis 102.667 12.573 1070.533 58.3885 45.600 5.266 0.667 0.098 H. ovalis 30.133 3.690 46.667 2.5453 24.933 2.880 3.867 0.566 S. isoetifolium 20.267 2.482 - - - - 202.000 29.578 T. hemprichii 191.067 23.400 - - 213.333 24.638 221.333 32.409 Total 816.533 100 1833.467 100 865.867 100 682.933 100 Keterangan: Ki KR

= Kerapatan spesies ke-i i = Kerapatan relatif spesies ke-i

Penilaian terhadap tutupan spesies lamun bertujuan untuk mengetahui berapa besar spesies lamun menempati ruang yang tersedia dalam hamparan lamun. Diharapkan nilai penutupan tiap jenis yang diperoleh dapat memberikan gambaran tentang berapa luasan yang ditutupi oleh tiap spesies lamun dalam tiap kuadrat (English et al. 1997). Nilai penutupan masing-masing spesies lamun sangat berkaitan dengan ukuran morfologi dan jumlah tegakan masing-masing spesies tersebut.

Tabel 6 Penutupan spesies dan penutupan relatif tiap spesies lamun pada lokasi penelitian

Spesies Lamun

Rendani Wosi Briosi Padarni

Pi PRi Pi PRi Pi PRi Pi PRi

C. rotundata 11.882 0.260 8.049 0.239 22.735 0.483 C. serrulata 2.569 0.056 5.270 0.156 0.368 0.008 1.790 0.062 H. pinifolia - - 6.410 0.190 1.667 0.035 6.162 0.214 H. uninervis 2.948 0.065 12.837 0.380 1.773 0.038 0.274 0.010 H. ovalis 3.859 0.085 1.179 0.035 1.545 0.033 0.434 0.015 S. isoetifolium 3.527 0.077 - - 8.516 0.296 T. hemprichii 20.853 0.457 19.023 0.404 11.618 0.403 Total 45.638 1 33.744 1 47.111 1 28.794 1 Keterangan : Pi ```` PR

= Penutupan spesies lamun (%) i = Penutupan relatif spesies lamun

Hasil perhitungan penutupan lamun yang ditunjukkan pada Tabel 6, terlihat bahwa T. hemprichii dan C. rotundata memiliki nilai tutupan yang relatif lebih tinggi pada hampir seluruh lokasi penelitian. Kecuali pada lokasi Wosi, spesies H. uninervis memiliki nilai tutupan yang lebih tinggi yang diikuti oleh H. pinifolia. Tutupan lamun yang tinggi dari T. hemprichii dan C. rotundata. disebabkan karena kedua spesies ini memiliki morfologi yang lebih besar dibandingkan dengan spesies yang lain. Apabila nilai total pentupan pada tiap lokasi disesuaikan dengan kriteria status padang lamun berdasarkan KEPMEN Lingkungan Hidup nomor 200 tahun 2004, lokasi Wosi, Rendani dan Briosi tergolong padang lamun yang kurang kaya atau kurang sehat, dan lokasi Padarni tergolong padang lamun yang miskin.

Dalam pengamatan lamun, perlu juga mengetahui seberapa penting spesies lamun tertentu terhadap komunitas lamun, yang dapat diketahui berdasarkan indeks nilai penting (INP) tiap spesies lamun. Semakin besar INP suatu spesies berarti semakin besar pula peranan spesies tersebut dalam komunitasnya. Berdasarkan hasil perhitungan INP yang ditunjukkan pada Tabel 8, secara keseluruhn C. rotundata dan T. hemprichii memiliki nilai INP yang relatif tinggi di semua lokasi, kecuali pada lokasi Wosi. Nilai INP yang rendah dari C. rotundata dan tidak ditemukannya T. hemprichii di Wosi berkaitan dengan tekstur sedimen dan tingginya sedimentasi yang terjadi di lokasi tersebut. Menurut Kiswara (1992) kedua spesies ini sangat dominan pada lokasi dengan tekstur sedimen pasir yang bercampur dengan pecahan karang, atau pada daerah rataan terumbu karang, Spesies C. rotundata yang ditemukan di pulau Pari, sangat dominan terdapat pada substrat pasir, dan pada lokasi berlumpur tidak ditemukan. C. rotundata juga dilaporkan berasosiasi dengan T. hemprichii dan membentuk hamparan yang dominan.

Spesies H. uninervis yang memiliki nilai penting paling tinggi dibandingkan spesies lainnya dan diikuti H. pinifolia pada lokasi Wosi, menunjukkan bahwa kedua spesies ini sangat cocok hidup pada daerah dengan tipe sedimen lumpur berpasir (liat). kedua spesies ini tergolong spesies pioneer yang mampu mentolerir kondisi lingkungan yang selalu terganggu seperti tingginya sedimentasi, yang ditunjukkan oleh nilai kekeruhan yang tinggi serta

suhu yang tinggi ketika terkspose saat air surut (Tabel 7).Kondisi tekstur substrat yang sama juga ditemukan di zona bagian tengah intertidal pada lokasi Padarni, sehingga nilai penting spesies H. pinifolia cukup tinggi di lokasi ini.

Gambar 5 Indeks nilai penting (INP) tiap spesies lamun pada lokasi penelitian. 4.3 Karakteristik Fisika-Kimia Air dan Tekstur Substrat

Pertumbuhan, kelimpahan, bentuk morfologi dan kemampuan reproduksi lamun sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dalam lingkungannya (Short et al. 2001). Sumber nutrien yang terdapat dalam ruang antara butiran sedimen dan yang larut dalam kolom air merupakan penyokong utama bagi peningkatan produksi primer lamun. Namun jika suatu perairan memiliki kandungan unsur nutrien yang melimpah, dapat memberikan pengaruh pada bloom mikroalga sehingga dapat mengurangi penetrasi cahaya sampai ke lamun. Dampak yang akan terjadi pada lamun adalah pertumbuhan terhambat, penyebaran sangat dibatasi oleh kedalaman air dan ketidakmampuan untuk bertahan hidup (Short et al. 2001; Bach et al. 1998).

87,727 7,757 29,056 14,223 5,924 56,313 Rendani C. rotundata C. serrulata H. uninervis H. ovalis S. isoetifolium T. hemprichii 94,908 1,817 18,075 20,010 11,736 29,412 25,042 Briosi C. rotundata C. serrulata H. pinifolia H. uninervis H. ovalis S. isoetifolim T. hemprichii 30,360 13,010 49,730 96,700 11,166 Wosi C. rotundata C. serrulata H. pinifolia H. uninervis H. ovalis 5,079 51,695 2,235 6,964 49,023 86,004 Padarni C. rotundata C. serrulata H. pinifolia H. uninervis H. ovalis S. isoetifolim T. hemprichii

Tabel 7 Nilai rata-rata dan standar deviasi parameter fisika-kimia air pada keempat lokasi penelitian

Keterangan: STDV = Standar deviasi

Parameter Kualitas Air Rendani Wosi Briosi Padarni

Rata-Rata STDV Rata-Rata STDV Rata-Rata STDV Rata-Rata STDV Fisika suhu (oC) 31.10 0.30 30.47 1.38 31.80 0.00 33.53 0.32 Kekeruhan (NTU) 4.67 0.02 5.97 0.39 4.25 0.12 3.59 0.49 Kecep Arus (m/s) 0.10 0.00 0.10 0.00 0.10 0.00 0.10 0.00 Kimia pH air 7.81 0.07 7.83 0.13 7.91 0.00 7.94 0.01 Oksigen Terlarut (mg/l) 7.26 0.06 7.02 0.36 5.67 0.42 5.35 0.14 Salinitas (‰) 29.33 1.15 29.33 1.53 35.00 0.00 35.00 0.00 Nitrat (NO3) (mg/l) 0.63 0.06 0.50 0.10 0.27 0.06 0.13 0.06 Ammonia(NH3-N) (mg/l) 0.45 0.02 0.66 0.01 0.46 0.05 1.06 0.03 Phosphat (PO4) (mg/l) 0.26 0.04 0.64 0.05 0.28 0.01 0.28 0.04 BOD5 (mg/l) 12.35 0.53 11.39 0.52 9.39 0.39 6.17 0.41 TOM (mgKMnO4/l) 14.57 0.25 12.77 0.40 13.53 0.28 15.57 0.25

4.3.1 Suhu

Kisaran suhu air permukaan selama pengambilan sampel tergolong tinggi dan berada di atas kisaran suhu optimum yang dibutuhkan oleh lamun, yaitu 28– 30oC (Dahuri 2003; KEPMEN Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004). Suhu rata-rata air permukaan yang terukur berkisar antara 30.47–33.53 o

Berdasarkan nilai rata-rata suhu air permukaan dalam Tabel 7, menunjukkan bahwa fluktuasi suhu berada dalam kondisi normal tidak dalam kisaran suhu yang lebar. Hal ini berarti fluktuasi suhu yang ada tidak menimbulkan pengaruh yang besar terhadap proses pertumbuhan lamun maupun proses reproduksi gastropoda. Menurut Berwick (1983), kisaran optimum bagi fotosintesis lamun berkisar antara 25-35

C (Tabel 7). Suhu air permukaan yang rendah terdapat di Wosi dan yang tinggi terdapat di Padarni. Kisaran suhu air permukaan yang tinggi ini disebabkan karena panas yang berasal dari cahaya matahari yang menerpa permukaan perairan saat pengukuran (terutama pada lokasi Briosi dan Padarni), mengingat pengambilan data dilakukan pada jam 11.00-15.30 WIT. Selain itu pengukuran dilakukan pada kedalaman air berkisar 0.50-1.00 m, sehingga pada kondisi demikian maka suhu permukaan air berada pada level yang tinggi.

0

C pada saat cahaya matahari penuh, sehingga kisaran suhu di Perairan Pesisir Manokwari berada dalam kisaran suhu yang optimum bagi proses fotosintesis dan pertumbuhan lamun. Bagi gastropoda, bentuk adaptasi untuk menghindari peningkatan suhu yang ekstrim adalah dengan membenamkan diri ke dalam substrat, atau berlindung di bawah rebahan daun lamun (Nybakken 1997).

4.3.2 Salinitas

Penyebaran lamun dan gastropoda di perairan intertidal sangat dipengaruhi oleh sebaran salinitas. Daerah intertidal memiliki kisaran salinitas yang cepat berubah, yang dipengaruhi oleh aliran air tawar yang berasal dari sungai maupun air hujan. Kondisi ini membuat lamun maupun gastropoda harus mampu beradaptasi dengan menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuh dengan tekanan osmotik lingkungannya (Nybakken 1997).

Pada keempat lokasi penelitian, salinitas berkisar antara 29.3-35‰ (Lampiran 3), kisaran terendah terdapat di Rendani dan Wosi sedangkan tertinggi

terdapat di Briosi dan Padarni. Salinitas yang rendah di Rendani disebabkan adanya hujan saat pengambilan data, sedangkan salinitas yang rendah di Wosi disebabkan adanya masukan air tawar yang berasal dari Sungai Wosi dekat lokasi pengambilan data serta turun hujan saat pengambilan data. Sebaliknya salinitas yang tinggi di Briosi dan Padarni disebabkan oleh teriknya cahaya matahari yang menerpa permukaan air saat pengambilan data dilakukan dan kurangnya curah hujan, serta kedua lokasi ini jauh dari aliran sungai.

Kisaran salinitas pada seluruh lokasi pengambilan data masih tergolong dalam kisaran optimum bagi pertumbuhan lamun dan gastropoda. Dahuri (2003) mengemukakan bahwa spesies lamun memiliki kemampuan mentolerir salinitas yang berbeda-beda, namun sebagian besar memiliki kemampuan mentolerir kisaran salinitas yang lebar yaitu antara 10-40 ‰.

Dokumen terkait