• Tidak ada hasil yang ditemukan

FUMONISIN PADA BAHAN PANGAN DAN PAKAN

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA. Fumonisin (Halaman 105-120)

ABSTRAK

Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk standardisasi metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal (AbMk) yang dikembangkan untuk mendeteksi fumonisin pada bahan pangan dan pakan. Parameter untuk standardisasi metode yang dilakukan meliputi: penentuan kondisi optimum ELISA kompetitif langsung, presisi, akurasi, linearitas, reaksi silang (cross reaction), limit deteksi, pengaruh matrik sampel dan perbandingan dengan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Kondisi optimum ELISA kompetitif langsung tercapai pada pengenceran antibodi 1:10.000 dan konjugat enzim 1:400 pada konsentrasi antigen (FB1) 50 ng/ml. Metode ini memiliki presisi yang baik yang terlihat dari hasil analisis sampel jagung dengan 5 ulangan diperoleh hasil yang konsisten dengan SD 1,55%. Akurasi metode diketahui melalui uji rekoveri, di mana penambahan 40 ng/g standar FB1 ke dalam sampel jagung dihasilkan kisaran rekoveri 88,16–103,07% dengan rataan 96,82%. Kurva kalibrasi menunjukkan pola grafik standar FB1 yang linear pada konsentrasi 1-50 ng/ml (R2

= 0,9949) dengan persamaan garis Y = 7,1862 ln(x) + 68,35. Antibodi monoklonal (AbMk) yang digunakan bereaksi spesifik dengan FB1 (100%) dan memberikan reaksi silang dengan fumonisin B2 (FB2) sebesar 49%. Limit deteksi dari metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini yaitu 0,5 ng/ml dengan IC50 2,9 ng/ml. Percobaan dengan menggunakan jagung sebagai model menunjukkan bahwa linearitas kurva kalibrasi standar dipengaruhi oleh matriks sampel (R2=0,9841). Aplikasi metode ini untuk mendeteksi FB1 pada sampel jagung (n=10) menunjukkan adanya kontaminasi FB1 pada kisaran 49,1-413,7 ng/g dan rataan 260,51 ng/g. Deteksi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur yang disimpan selama 42 hari (6 minggu) menunjukkan adanya pengaruh penyimpanan terhadap konsentrasi fumonisin (P<0,05) pada pakan ayam pedaging, namun tidak berpengaruh terhadap pakan ayam petelur (P>0,05). Hasil pengujian sampel jagung (n=10) secara ELISA kompetitif langsung yang dibandingkan dengan metode KCKT memiliki korelasi yang baik (R2=0,9898).

Dari hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan dengan menggunakan antibodi monoklonal memiliki performan yang baik untuk mendeteksi fumonisin pada jagung dan pakan yang digunakan sebagai model.

ABSTRACT

The objective of this experiment was to standardize the direct competitive ELISA (dc-ELISA) based on monoclonal antibodies which were developed for the detection of fumonisin in foods and feeds. Parameters measured including determination of the optimum condition of dc-ELISA, precision, accuracy, linearity, cross reaction, detection limit, matrix effects, and comparison of dc-ELISA to HPLC method. The optimum condition of dc-dc-ELISA reached at the antibody dilution of 1:10.000 and the enzyme conjugate of 1:400 for detecting 50 ng/ml FB1. The method showed a good precision which was indicated by the consistency of the results of corn analysis (n=5) with standard deviation of 1.55%. The accuracy of the method indicated by the recovery tests. The addition of FB1 standard 40 ng/g into corn samples resulted the recovery ranged between 88.16% - 103.07% with the average of 96.82%. Calibration curve of FB1 standard showed a good linearity (R2 = 0,9949) at the concentration ranging from 1-50 ng/ml and the equation of Y = 7,1862 ln(x) + 68,35. Cross reactivity of monoclonal antibodies were 100% to FB1 and 49% to fumonisin B2 (FB2).

Detection limit of the method was 0.5 ng/ml and the IC50 was 2,9 ng/ml. An experiment using corn as a model indicated that the linearity of the calibration curve of FB1 standard was affected by the sample matrix (R2=0,9841).Application of dc-ELISA for detecting FB1 in corn samples indicated the contmination at levels ranged between 49,1-413,7 ng/g and the average of 260.51 ng/g. Detection of FB1 in broiler and layer feed sampels stored for 6 weeks indicated the effect of storage on fumonisin concentration (P<0.05) on the broiler feeds. However, there was no effect of storage on the layer feeds (P<0.05). The dc-ELISA methode showed a good correlation with HPLC method when applied to analyse 10 corn samples (R2=0,9898). All results obtained in this experiment lead to the conclusion that the ELISA methode using monoclonal antibodies had a good performance in the detection of fumonisin in corn and feed samples.

PENDAHULUAN

Enzyme-linked imunosorbent assay (ELISA) adalah salah satu teknik imunoasai dengan menggunakan enzim yang dikonjugasikan pada antibodi atau antigen sebagai label. Teknik ini dinyatakan sebagai metode deteksi yang mudah, cepat, sensitif, spesifik, dan paling ekonomis dibandingkan dengan metode lainnya. Namun, untuk mendapatkan keuntungan tersebut suatu metode ELISA perlu distandardisasi dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti sensitivitas, afinitas dan reaksi silang (Barna-Vetro 2002).

Pada percobaan sebelumnya telah dihasilkan antibodi monoklonal (AbMk) yang disekresikan oleh sel hibridoma (klon 2B1F6). Hibridoma tersebut diproduksi

melalui fusi antara sel limfosit mencit yang diimunisasi dengan FB1-Ova dengan sel mieloma (Sp2/0-Ag14). AbMk yang dipurifikasi dari supernatan memiliki titer yang tinggi (10.000) dengan konsentrasi 2,81 mg/ml. Pada percobaan ini antibodi tersebut digunakan sebagai komponen dalam ELISA untuk mendeteksi fumonisin pada jagung dan pakan sebagai model.

Dalam aplikasinya, ELISA digunakan dalam berbagai format yang digunakan untuk mendeteksi antigen atau antibodi. Di antaranya yaitu ELISA langsung, tak langsung, penangkap antigen (sandwich), penangkap antibodi, dan kompetitif (Burgess 1995). Di antara format tersebut, ELISA kompetitif langsung adalah metode yang paling umum dan banyak digunakan untuk mendeteksi antigen, seperti halnya fumonisin (Wang et al. 2006, Barna-Vetro et al. 2000, Park et al. 2002, Bird et al. 2002).

Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk standardisasi metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal (AbMk) yang dihasilkan dengan menggunakan antigen FB1-Ova. Parameter standardisasi yang diukur adalah optimasi ELISA, presisi dan akurasi, sensitivitas dan spesifisitas, linearitas dan pengaruh matriks sampel dan perbandingan dengan metode KCKT. Tujuan lain dari percobaan ini adalah untuk mengaplikasikan metode ELISA tak langsung yang dikembangkan pada pakan ayam yang diberi perlakuan penyimpanan.

MATERI DAN METODE Bahan dan Alat

Pada percobaan ini digunakan standar FB1 dan FB2, antibodi monoklonal (AbMk) dari supernatan yang telah dipurifikasi, FB1-HRP enzim konjugat, buffer karbonat-bikarbonat (pH 9,6), phosphate buffer saline (PBS, pH 7,4), buffer tris-HCl, kasein, tween-20, substrat tetrametilbenzidin (TMB), dan asam sulfat (H2SO4). Seluruh bahan dipersiapkan dengan cara kerja seperti yang diuraikan pada Lampiran 1.

Peralatan yang digunakan meliputi pelat mikro ELISA (maxisorp, 96 sumur), pipet mikro multichannel, ELISA reader dan seperangkat alat KCKT.

Penentuan Kondisi Optimum ELISA Kompetitif Langsung

Format yang digunakan untuk mendeteksi fumonisin yaitu ELISA kompetitif langsung. Optimasi dilakukan dengan melakukan pengenceran terhadap antigen, antibodi dan konjugat. Pengenceran AbMk yang diuji coba yaitu 1:500, 1:1.000, 1:5.000, 1:10.000 dan 1:50.000; pengenceran FB1-HRP enzim konjugat 1:400 dan 1:800 pada konsentrasi antigen (FB1) 50 ng/ml. AbMk (50 µl) dilapiskan pada pelat mikro ELISA dan dibiarkan satu malam. Setelah melalui pencucian, ditambahkan secara berturut-turut standar FB1 atau ekstrak sampel dan konjugat enzim FB1-HRP. Setelah pencucian dan penambahan substrat TMB, warna yang terbentuk dibaca optical density (OD) pada ELISA reader. Tahapan kerja selengkapnya seperti diuraikan pada prosedur ELISA kompetitif langsung yang terdapat pada Lampiran 4.

Presisi dan Akurasi

Presisi dilakukan dengan mengukur konsentrasi FB1 dalam sampel jagung (n=3) dan akurasi diukur melalui uji rekoveri dengan menambahkan standar FB1

40 ng/g ke dalam sampel jagung dan dideteksi dengan ELISA kompetitif langsung (n=3).

Sensitivitas dan Spesifisitas

Pada uji sensitivitas digunakan larutan FB1 standar dalam metanol 70%

pada tingkat konsentrasi 0 ; 0,5; 1; 2,5; 5; 10; 25; 50; 100 dan 500 ng/ml.

Sensitivitas metode diketahui melalui penentuan limit deteksi yang dihitung berdasarkan konsentrasi FB1 yang dapat menghambat 15% reaksi pembentukan warna (IC15) (Wang et al. 2006).

Spesifisitas ditentukan melalui reaksi silang terhadap FB2 pada variasi konsentrasi 0, 1; 2,5; 5; 10; 25; 50 ng/ml dan dibandingkan dengan FB1 pada variasi konsentrasi yang sama. Reaksi silang dihitung berdasarkan nilai IC50

dengan menggunakan persamaan yang dugunakan oleh Fremy dan Usleber (2003).

Reaksi silang (%) = (IC50 FB1/IC50 FB2) x 100

Linearitas dan Pengaruh Matriks Sampel

Linearitas dari standar FB1 diketahui melalui pembuatan kurva kalibrasi standar FB1 pada 0,1; 0,5; 1; 2,5; 5; 10; 25; 50 dan 100 ng/ml dan dideteksi dengan menggunakan metode ELISA kompetitif langsung dengan tahapan kerja seperti yang diuraikan pada Lampiran 4.

Pengaruh matriks sampel diamati dengan membuat kurva kalibrasi standar FB1 dalam ekstrak jagung. Jagung diekstrak dengan metanol 70%, disaring dan filtratnya digunakan sebagai pelarut standar FB1 yang dibuat pada tingkat konsentrasi yang sama seperti pada pengukuran linearitas.

Perbandingan Metode ELISA dengan KCKT

Pada percobaan ini digunakan sampel jagung yang diperoleh dari pengecer di pasar tradisional di Bogor. Sampel digiling dengan menggunakan saringan (100 mesh), dihomogenkan dan ditimbang sesuai jumlah yang dibutuhkan untuk masing-masing metode.

Untuk analisis secara ELISA, sampel jagung ditimbang 5 gram, diekstrak dengan 25 ml metanol 70%, disaring dan disentrifus pada 3000 rpm selama 5 menit. Diambil 50 µl ekstrak dan dilarutkan dengan 150 µl akuades. Ekstrak sampel atau standar masing-masing 75 µl dicampur dengan volume yang sama enzim konjugat (FB1-HRP), dan dimasukkan ke dalam pelat mikro yang telah dilapisi 50 µl AbMk (pengenceran 1:10.000) selama satu malam dan diblok dengan larutan trisHCl–tween 20-kasein (TTC). Campuran dibiarkan bereaksi selama 10 menit, selanjutnya dicuci dengan PBS mengandung 0,05% tween-20 (PBST) sebanyak tiga kali, dikeringkan, dan ditambahkan 50 µl larutan substrat (TMB). Setelah 5 menit ditambahkan 50 µl larutan penghenti (H2SO4 1,25M) dan dibaca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 450-650 nm.

Analisis sampel jagung secara KCKT menggunakan metode Omurtag (2001). Sampel jagung (25 g) ditambahkan 125 ml campuran metanol-air (3:1, v/v) dan diblender selama 5 menit dan disaring melalui kertas saring Whatman no.

4. pH diatur hingga pH 5,8-6,5 dengan NaOH dan 1 ml ekstrak dimurnikan melalui kolom SPE (solid phase extraction) yang berisi penukar anion kuat.

Kolom dikondisikan dengan 2 ml metanol yang diikuti dengan 1 ml akuades.

Selanjutnya, kolom dibilas dengan 0,5 ml akuades dan 0,5 ml metanol, kemudian fumonisin dielusi dengan 1 ml asam asetat- metanol (99:1, v/v) pada kecepatan ≤ 1 ml/menit. Ekstrak ditampung ke dalam botol kecil, dikeringkan, dan dilarutkan kembali dengan 200 µl metanol. Sleanjutnya, 50 µl ekstrak diderivatisasi dengan larutan 200 µl o-ftaldialdehida (OPA) dan 50 µl 2-merkaptoetanol, kemudian dideteksi pada KCKT. Deteksi dilakukan dengan menggunakan alat KCKT Hitachi yang dilengkapi dengan pompa model L-7100, injektor Ryodyne, detektor fluorescence L 7485 (λeksitasi 335 nm dan λemisi 440 nm) dan interface D-7000.

Kolom yang digunakan yaitu µ-Bondapak C18 dengan fasa gerak larutan metanol -natrium dihidrogen fosfat 0,1 M (7:3) pada kecepatan alir 1,0 ml/menit.

Identifikasi FB1 dilakukan dengan membandingkan waktu retensi (retention time, RT) puncak yang terdapat pada tiap fraksi dan standar FB1. Konsentrasi FB1

dihitung berdasarkan perbandingan area sampel dengan area standar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Optimum ELISA Kompetitif Langsung

Kondisi optimum untuk ELISA kompetitif langsung tercapai pada pengenceran AbMk 1:10.000 (0,28 µg/ml) dan FB1-HRP enzim konjugat 1:400 dengan konsentrasi antigen (FB1) 50 ng/ml. Pengenceran Antibodi dan enzim konjugat tersebut digunakan untuk deteksi FB1 pada sampel. Pada metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan oleh Barna-Vetro et al. (2002) untuk mendeteksi fumonisin dibutuhkan pengenceran AbMk 1:100.000 dan FB1-HRP enzim konjugat 1:140.000. AbMk yang digunakan tersebut diproduksi dengan menggunakan FB1-KLH sebagai imunogen yang memiliki rantai lebih panjang daripada FB1-Ova yang digunakan pada penelitian ini. Menurut Wang et al.

(2006) semakin panjang rantai yang dimiliki suatu imunogen, titer antibodi yang dihasilkanpun semakin tinggi.

FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan melalui reaksi anhidrida juga akan memperpanjang rantai, sehingga menghasilkan reaksi yang lebih sensitif.

Namun, pada ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk yang dihasilkan melalui imunisasi dengan anti anti-idiotipe dari antigen FB1-CT

digunakan pengenceran antibodi 1:1.000 (Yu & Chu 1999). FB1-HRP enzim konjugat yang dihasilkan oleh Christenen et al. (2000) melalui konjugasi melalui reaksi dengan glutaraldehida juga digunakan pada pengenceran yang rendah, yaitu 1:500.

Presisi dan Akurasi

Hasil analisis sampel jagung secara ELISA kompetitif langsung menunjukkan keterulangan yang baik dengan simpangan baku yang rendah (1,55%). Rekoveri FB1 yang ditambahkan ke dalam sampel jagung (40 ng/g) (n=3) berkisar antara 88,16-103,07% dengan nilai rataan sebesar 96,82% (Tabel 16). Hasil ini menunjukkan bahwa metode ELISA kompetitif langsung yang diaplikasikan untuk mendeteksi fumonisin pada sampel jagung memiliki presisi dan akurasi yang baik. Dibandingkan dengan metode yang dikembangkan oleh Azcona-Olivera et al. (1992) rataan rekoveri yang diperoleh pada percobaan ini hampir mendekati (96,82% vs 103%) dan dengan SD yang lebih baik (1,55% vs 11-15%). Demikian pula dengan ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk yang diproduksi menggunakan FB1-KLH sebagai imunogen hanya memberikan rekoveri FB1 dengan kisaran 61-84% (Barna-Vetro et al.

2000). Begitu pula dengan metode ELISA yang dikembangkan oleh Yu dan Chu (1999) yang hanya menghasilkan rekoveri 71,3%.

Tabel 16 Rekoveri FB1 pada sampel jagung yang dideteksi menggunakan metode ELISA kompetitif langsung berbasis antibodi monoklonal

OD

* Hasil ELISA dikalikan faktor pengenceran (2x)

Sensitivitas dan Spesifisitas

Sensitivitas metode ELISA diukur berdasarkan konsentrasi terendah yang dapat menghambat reaksi warna atau konsentrasi yang dapat menghambat 15%

reaksi warna (IC15), dan berdasarkan konsentrasi yang dapat menghambat 50%

reaksi warna (Wang et al. 2006). Berdasarkan IC15, metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 0,5 ng/ml dan IC50 2,9 ng/ml. Sensitivitas metode yang dikembangkan ini jauh lebih baik dari pada metode ELISA yang dikembangkan oleh Barna-Vetro et al. (2000) yang memiliki limit deteksi FB1 7,6 ng/g, di mana AbMk dihasilkan menggunakan imunogen FB1-KLH yang memiliki rantai lebih panjang dari FB1 -Ova yang digunakan pada penelitian ini.

Demikian pula dengan metode ELISA yang dikembangkan oleh Yu dan Chu (1999) yang menggunakan AbMk anti anti-idiotipe IC50 sebesar 75 ng/ml.

Bahkan ELISA yang dikembangkan dengan menggunakan antibodi yang dihasilkan menggunakan imunogen FB1-BSA sensitivitasnya sangat rendah dengan IC50 430 ng/ml (Savard et al. 2003). Jika dibandingkan dengan kit ELISA komersial (Veratox) yang menggunakan antibodi poliklonal yang dilaporkan oleh Abouzied et al. (1996), sensitivitas metode ini lebih rendah (0,5 ng/ml vs 0,1 ng/ml), karena penggunaan antibodi poliklonal dapat menyebabkan kesalahan pengukuran yang diebabkan oleh adanya reaksi silang dengan senyawa lain yang memiliki struktur serupa dengan fumonisin.

Spesifisitas dari antibodi monoklonal yang digunakan dalam metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini memberikan reaksi yang spesifik terhadap FB1 (100%) dengan reaksi silang terhadap fumonisin B2 (FB2) sebesar 49%. Gambar 32 menunjukkan performan dari standar FB1 dan FB2 yang dideteksi menggunakan metode ELISA kompetitif langsung menggunakan antibodi monoklonal dari klon 2B1F6 yang dimurnikan melalui pengendapan dengan ammonium sulfat 50% dan kolom HiTrap Protein A HP. Dari persamaan garis kedua standar tersebut dapat dihitung nilai IC50 dan reaksi silang. Reaksi silang dari AbMk terhadap FB2 yang dihasilkan ini lebih rendah dari yang dilaporkan oleh Savard et al. (2003) yaitu 94%. Dengan demikian AbMk yang dihasilkan ini memiliki spesifisitas yang tinggi terhadap FB1.

y = 6.5731Ln(x) + 59.577

Gambar 32 Performan standar FB1 dan FB2 yang dideteksi secara ELISA kompetitif langsung menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari klon 2B1F6

Linearitas dan Pengaruh Matriks Sampel

Uji linearitas menunjukkan pola grafik standar FB1 yang linear (R2 = 0,9949) pada konsentrasi 1, 2,5; 5, 25, dan 50 ng/mL yang ditunjukkan dengan persamaan garis Y = 7,1862 Ln(x) + 68,35 (Gambar 33).

Gambar 33 Pola grafik ELISA kompetitif langsung dan linearitas FB1

menggunakan antibodi monoklonal (supernatan) dari klon 2B1F6

Linearitas standar FB1 dalam ekstrak sampel jagung yang digunakan sebagai model terlihat menurun. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh komponen lain yang terdapat di dalam matriks sampel. Gambar 34 menunjukkan pola kurva kalibrasi standar FB1 dalam ekstrak jagung. Linearitas standar FB1

pada tingkat konsentrasi yang digunakan menghasilkan persamaan garis Y=

6,1961Ln(X) + 2,6715 dengan nilai R2 lebih rendah dari linearitas standar FB1

dalam pelarut metanol 70% (0,9842 vs 0,9949).

0

Gambar 34 Kurva kalibrasi standar FB1 dalam matriks jagung pada pengujian FB1 secara ELISA kompetitif langsung

Perbandingan Metode ELISA dengan KCKT

Hasil analisis FB1 dengan metode ELISA kompetitif langsung yang telah dikembangkan dan KCKT pada jagung yang dijual secara komersial terlihat pada Tabel 17. Dari tabel tersebut terlihat bahwa konsentrasi FB1 pada sampel jagung yang dianalisis dengan metode ELISA lebih tinggi dibandingkan dengan metode KCKT. Hal ini dapat terjadi karena pada metode ELISA dapat terjadi reaksi silang dengan komponen lain yang menyebabkan hasil pembacaan lebih tinggi. Namun, hasil tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Yamashita et al. (1995), Ali et al. (1998), dan Maryam (2000).

Tabel 17 Analisis FB1 pada jagung dengan ELISA kompetitif langsung dan KCKT

Metode analisis

Kisaran FB1 (ng/g)

Rataan FB1 (ng/g) ELISA kompetitif langsung 49,1- 413,7 260,5

KCKT 40,4-454,7 254,7

Data hasil analisis FB1 dengan menggunakan kedua metode tersebut menunjukkan korelasi yang baik ( R2= 0,9898) seperti terlihat pada Gambar 35.

R2 = 0.9898

50 150 250 350 450

50 150 250 350 450

ELISA

KCKT

Gambar 35 Korelasi metode ELISA kompetitif langsung dengan menggunakan AbMk dari klon 2B1F6 dan metode khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)

Hasil ini selaras dengan percobaan Savard et al. (2003) yang melaporkan korelasi metode ELISA kompetitif langsung dengan metode KCKT, di mana korelasi yang sangat baik ditunjukkan dari nilai slope 0,985 dan R2 0,987. Hasil percobaan ini juga sesuai dengan hasil percobaan yang dilakukan oleh Kim et al. (2002) yang dilaporkan bahwa ELISA kompetitif langsung yang diaplikasikan pada jagung dan hasil olahannya memiliki korelasi yang baik dengan R2 = 0,992. Namun, metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan ini memiliki korelasi dengan KCKT yang lebih baik daripada ELISA kompetitif tak langsung yang dilaporkan oleh Elisabete et al. (2000) dengan nilai R2 = 0,91.

Aplikasi ELISA untuk Deteksi FB1 pada Pakan

Hasil analisis FB1 pada pakan ayam pedaging yang diberi perlakuan penyimpanan disajikan pada Tabel 18. Sedangkan hasil analisis pakan ayam petelur seperti terlihat pada Tabel 19. Dari kedua tabel tersebut terlihat bahwa FB1

terdeteksi pada kedua jenis pakan tersebut. Deteksi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur yang disimpan selama 42 hari (6 minggu) menunjukkan adanya pengaruh penyimpanan terhadap konsentrasi fumonisin (P<0,05) pada pakan ayam pedaging, namun tidak berpengaruh terhadap pakan ayam petelur (P>0,05).

Tabel 18 Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam pedaging selama penyimpanan

Jenis pakan

Konsentrasi FB1 selama penyimpanan (ng/g)

7 hari 14 hari 21 hari 28 hari 35 hari 42 hari Broiler-0

(kontrol) 2,16 3,85 5,56 7,11 6,92 6,99

Broiler-1 38,87 44,35 51,89 91,46 104,72 413,58

Broiler-2 57,31 69,89 82,82 103,12 107,59 450,25 Broiler-3 50,50 80,02 170,48 195,19 204,20 569,96 Broiler-4 37,84 57,82 81,34 124,90 211,93 497,56 Rataan 46,13 63,02 96,63 128,67 157,11 482,84

SD 9,41 15,41 51,25 46,47 58,94 67,49

Tabel 19 Konsentrasi FB1 dalam pakan ayam petelur selama penyimpanan

Jenis pakan

Konsentrasi FB1 selama penyimpanan (ng/g) 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari 35 hari 42 hari Layer-0

(kontrol) 0,08 0,08 0,17 0,08 0,17 2,78

Layer-1 19,46 40,90 43,42 45,73 57,11 84,69

Layer-2 18,70 19,26 34,53 28,57 58,56 95,68

Layer-3 16,42 27,58 50,43 50,93 59,24 61,56

Layer-4 28,14 32,35 47,98 86,25 93,83 99,97

Rataan 20,68 30,02 44,09 52,87 67,18 85,47

SD 5,14 9,05 7,00 24,22 17,78 17,19

Konsentrasi fumonisin terlihat meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan (Gambar 36). Hal ini menunjukkan bahwa kapang Fusarium spp.

terus tumbuh dan menghasilkan fumonisin selama penyimpanan. Namun, Ono et

al. (2002) melaporkan bahwa konsentrasi fumonisin pada jagung tidak mengalami peningkatan selama 12 bulan penyimpanan. Hal ini terjadi karena pada percobaan tersebut jagung dikeringkan terlebih dahulu hingga kelembaban 11-14%, sedangkan pada percobaan ini sampel pakan tidak dikondisikan kelembabannya untuk mengetahui pengaruh kondisi penyimpanan pada tingkat pengecer di Indonesia terhadap konsentrasi FB1. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan kelembaban pada masa panen dan sebelum pengeringan sangat penting untuk mengendalikan pertumbuhan kapang Fusarium dan produksi fumonisin. Hingga akhir masa simpan (6 minggu) masih berada pada level yang aman untuk ayam yaitu 10 ppm (FDA 2001). Dengan mempertimbangkan bahwa mikotoksin bersifat akumulatif, konsentrasi FB1 pada pakan ayam pedaging pada akhir penyimpanan (482,84 ng/g) dapat berpengaruh terhadap sistem kekebalan ayam yaitu menghambatan proliferasi sel 50% (Martinova 1996) dan toksik bagi makrofag (Qureshi dan Hagler, 1992). Selain itu, jika terdapat mikotoksin lain, seperti aflatoksin maka akan terjadi efek sinergis antara kedua miktoksin terebut sehingga berpengaruh terhadap produksi dan reproduksi ternak unggas (Ogido et al. 2004).

0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

FB1 (ng/g)

1 2 3 4 5 6

Lama Penyimpanan (Minggu)

Br Lyr

Gambar 36 Pengaruh penyimpanan terhadap peningkatan konsentrasi FB1 pada pakan ayam pedaging dan petelur yang disimpan selama 42 hari (6 minggu)

KESIMPULAN

Kondisi optimum yang dibutuhkan untuk mendeteksi antigen (FB1) 50 ng/ml secara ELISA kompetitif tak langsung dibutuhkan AbMk dari klon 2B1F6

pada pengenceran 1:10.000 dan FB1-HRP enzim konjugat 1:400.

ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan memiliki presisi dan akurasi yang baik. Standar deviasi (SD) yang dihasilkan dari tiga ulangan yaitu 1,55% dan kisaran rekoveri 88,16 – 103,07% dengan rataan 96,82%.

Metode ELISA kompetitif langsung yang dikembangkan mempunyai spesifisitas yang tinggi terhadap FB1 (100%) dengan reaksi silang dengan FB2

49%. Metode ini sangat sensitif dengan limit deteksi 0,5 ng/ml dan IC50 2,9 ng/ml Kurva kalibrasi FB1 menunjukkan pola grafik standar yang linear pada konsentrasi 1, 2,5; 5, 25, dan 50 ng/ml (R2 = 0,9949) dengan persamaan garis Y = 7,1862 Ln(x) + 68,35. Namun, linearitas tersebut dipengaruhi oleh adanya matriks dari sampel jagung jagung yang digunakan sebagai model (R2=0,9841).

Pada percobaan penyimpanan pakan, konsentrasi FB1 semakin meningkat sesuai dengan lama penyimpanan (42 hari) yang dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban pakan selama penyimpanan.

Aplikasi ELISA kompetitif langsung untuk mendeteksi kontaminasi fumonisin pada pakan menunjukkan bahwa konsentrasi FB1 pada ayam pedaging lebih besar dibandingkan pada pakan ayam petelur. Meskipun konsentrasi FB1

hingga akhir penyimpanan (42 hari) masih rendah, namun mengingat sifat akumulatif dari fumonisin hal ini perlu diwaspadai karena pada konsentrasi FB1 di atas 400 ng/g dapat berpengaruh terhadap sistem kekebalan tubuh ayam.

DAFTAR PUSTAKA

Abouzied MM, Askegard SD, Bird CB, and Miller BM. 1996.Fumonisins Veratox. A new rapid quantitative ELISA for determination of fumonisin in food and feed. Advances in Experimental Medicines and Biology 392:

135-144.

Barna-Vetro I, Szabo E, Fazekas B, and Solti L. 2000. Development of a sensitive ELISA for the determination of fumonisin B1 in cereals. Journal of Agricultural and Food Chemistry 48: 2821-2825.

Bird CB, Malone B, Rice LG, Ross PF, Eppley R, and Abouzied MM. 2002.

Determination of total fumonisins in corn by competitive direct enzyme-linked immunosorbent assay: collaborative study. JAOAC International 85(2): 404-410.

Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan Variasi konfigurasinya. Teknologi

Burgess GW. 1995. Prinsip dasar ELISA dan Variasi konfigurasinya. Teknologi

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA. Fumonisin (Halaman 105-120)

Dokumen terkait