• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Fumonisin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Fumonisin"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Fumonisin

Fumonisin adalah kelompok mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. yang pertama kali diisolasi oleh Gelderbloom et al. pada tahun 1988 dari biakan F. verticillioides (F.moniliforme). Kontaminasi fumonisin tersebar luas di berbagai negara di dunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis. Fumonisin terdiri dari 4 kelompok utama, yaitu grup A, B, C, dan P. Grup B paling banyak ditemukan di alam dan paling beracun dibandingkan kelompok lainnya (Rheeder et al. 2002).

Kapang Penghasil Fumonisin

Fumonisin umumnya dihasilkan oleh kapang Fusarium spp. terutama F.

verticillioides dan F. proliferatum. Selain Fusarium spp. kapang lainnya seperti Alternaria alternata juga dilaporkan dapat memproduksi fumonisin selama proses metabolismenya (Abbas & Riley 1996, Mirocha et al. 1996).

Fusarium spp. merupakan kapang tidak sempurna yang hidup sebagai saprofit atau parasit terhadap inangnya. Sebagai saprofit, spora kapang ini dapat bertahan di dalam tanah selama bertahun-tahun (soil born pathogen), membentuk konidia berwarna putih, kuning, orange, atau merah sebagai ciri dari masing- masing spesiesnya (Pitt dan Hocking, 1997).

Infeksi Fusarium spp. biasanya dimulai sejak masa tanam (field fungi) dan menghasilkan fumonisin serta mikotoksin fusarium lainnya. Produksi fumonisin ini terus berlanjut hingga masa penyimpanan terutama jika manajemen pada pra-panen dan pasca-panen kurang baik. Sebagai contoh, pengendalian kapang dan proses pengeringan yang kurang memadai merupakan faktor utama penyebab kontaminasi fumonisin. Infeksi F. verticillioides menyebabkan busuk batang dan tongkol pada jagung (Kommedahl & Windells 1989, De Leon &

Pandey 1989, Desjardin & Plattner 2000). Rheeder et al. (2002) melaporkan bahwa di alam terdapat 15 spesies Fusarium spp. yang dapat menghasilkan fumonisin yang dibagi ke dalam empat kelompok (Tabel 1). Pada tabel tersebut

(2)

terlihat bahwa F. verticillioides, F. proliferatum, dan F. nygamai menghasilkan empat kelompok utama fumonisin, yaitu grup A, B, C, dan P.

Tabel 1 Spesies Fusarium spp. penghasil fumonisin dan pengelompokannya Kelompok Fusarium spp. Fumonisin yang dihasilkan

Liseola

F. verticolloides FA1-3, FB1-5, iso-FB1, FAK1, FBK1, FC1,4, FP1-3, PH1a-b

F. sacchari FB1

F. fujikoroi FB1

F. proliferatum FA1-3, FB1-5, FAK1, FBK1, FC1, FP1-3, PH1a-b

F. subglutinans FB1

F. thapsinum FB1-3

F. anthophilum FB1-2

F. globosum FB1-3

Dlaminia

F. nygamai FA1-3, FB1-5, FAK1, FBK1, FC1, FP1, PH1a-b

F. dlamini FB1

F. napiforme FB1

F. pseudonygamai FB1-2

F. andiyazi FB1

Elogans

F. oxysporum FA1,3-4, N-asetil- FC1, iso-FC1, N-asetil-iso- PC1, OH-FC1, N-asetil-OH-FC1

F. oxysporum var.

redulens

FB1-j

Arthrosporiella F. polyphialidicum FB1

Sumber: Rheeder et al. 2002

Spesies kapang Fusarium yang sering ditemukan di Indonesia adalah F.

verticillioides yang berpotensi menghasilkan fumonisin (Miller et al. 1993, 1996, Dharmaputera et al. 1996, Ali et al. 1998, Trisiwi 1996). Kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang diisolasi dari jagung asal Jawa Barat dan dibiakan pada medium jagung dapat menghasilkan fumonisin B1 masing-masing sebesar 12,80 g/kg dan 1,11 g/kg (Maryam 2000a). Hal ini menunjukkan bahwa kedua kapang

(3)

tersebut merupakan kapang yang sangat potensil sebagai penghasil FB1, sehingga baik untuk digunakan untuk produksi FB1. Kontaminasi kapang Fusarium spp.

pada jagung hibrida lokal, morfologi kapang F. verticillioides dan F. nygamai terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Kontaminasi kapang Fusarium spp. pada jagung lokal, morfologi F. verticillioides dan F. nygamai dari BBALITVET Culture Collection (BCC)

Sifat Kimia Fisika

Fumonisin merupakan senyawa yang memiliki struktur kimia serupa dengan sfingosin, yaitu senyawa yang berperan penting dalam proses metabolisme sel. Karena kemiripan struktur keduanya, sintesis fumonisin dianalogikan melalui jalur yang sama dengan sfingosin. Struktur inti dari senyawa fumonisin terlihat pada Gambar 2. Senyawa-senyawa fumonisin bersifat polar, sehingga mudah larut dalam air dan pelarut organik polar seperti metanol dan campuran asetonitril-air (EHC 2000).

CH3 R 2 R 1

CH3 R 3

R 4

R 6 R 5

OH R 7

Gambar 2 Struktur dasar fumonisin (Rheeder et al. 2002)

F. verticillioides F. nygamai

(4)

Biosintesis Fumonisin

Biosintesis fumonisin terjadi melalui proses kondensasi heksadekanoil- koenzim A (palmitat KoA, C16) dengan serin atau alanin. Karena adanya kemiripan struktur yang dimiliki fumonisin dan sfingosine, biosintesis fumonisin pada tanaman terjadi melalui proses yang sama dengan sfingolipid yang terbentuk melalui proses kondensasi heksadekanoil-koenzim A (palmitat, C16) dengan serin atau alanin menghasilkan 1-hidroksi-2D-amino-3-okso oktadekana. Reduksi gugus keton menghasilkan dihidrosfinganin dan sfinganin yang merupakan analog fumonisin. Kemudian gugus amino terasetilasi dan membentuk ikatan rangkap pada karbon yang mengikat gugus hidroksil (Gambar 3).

Gambar 3 Biosintesis Fumonisin (Abbas et al. 1996) CH3 (CH2)16 C

O S CoA Stearoyl CoA

+ HO C CH3

O CH

NH2 Alanine

CoASH+CO2

(CH2)16 CH3 C

O

NH2 CH

1deoxy 3 ketosphinganine NADPH+H+

NADP+

CH NH2 CH3 (CH2)16 C

OH CH3

1deoxysphinganine

2[H]

CH3 CH3 C

NH2 (CH2)14 CH

H CH OH

1 deoxysphingosine

H

2

O

OH (CH2)14 CH CH

NH2 CH3 C CH3

OH

C

CH2

methylation steps S adenosylmethionine and2hydroxylation steps

2

AP2hydroxylation AP1

CoA PTAC

CoASH CoASH CoA PTAC

CH3

O PTCA

PTCA

O CH3 OH

OH OH

NH2

Fumonisin B1

Palmitoil-KoA

hidroksilasi 2 tahap metilasi

S- adenosilmetionin 2 tahap hidroksilasi

1-deoksisfinganin 1-deoksisfingosin

1-deoksi-3-ketosfinganin Alanin

(5)

Jenis-jenis fumonisin

Hingga saat ini telah diketahui 28 jenis fumonisin yang terbagi dalam 4 kelompok utama, yaitu fumonisin group A, B, C dan P (Rheeder et al. 2002).

Tabel 2 menunjukkan jenis-jenis fumonisin yang telah diketahui dengan gugus fungsinya. Setiap jenis fumonisin memiliki gugus fungsi dan aktivitas biologis yang berbeda. Fumonisin grup B terdiri dari fumonisin B1 (FB1), B2 (FB2), B3

(FB3), dan B4 (FB4) yang memiliki gugus amina dan paling banyak ditemukan di alam.

Fumonisin B1

FB1 merupakan senyawa diester dari propana-1,2,3-asam trikarboksilat dengan gugus 2-amino-12,16-dimetil-3,5,10,14,15-pentahidroksi ikosana dimana gugus hidroksil pada C14 dan C15 teresterifikasi oleh gugus terminal dari asam karboksilat. FB1 mempunyai bobot molekul 721 dengan rumus molekul C34H59NO15 (Gambar 4). Di antara grup B, FB1 adalah senyawa yang paling beracun dan dikenal dengan nama makrofusin. Hal ini disebabkan oleh gugus hidroksil pada FB1 lebih banyak dari grup B lainnya.

OH

CH3

O O

CH3

CCH2CHCH2COOH O COOH

CCH2CHCH2COOH O COOH

O H

OH

NH2

Gambar 4 Struktur kimia fumonisin B1 (EHC 2000)

FB1 merupakan serbuk higroskopik, mudah larut dalam air, campuran metanol-air atau asetonitril-air. Kelarutannya dalam pelarut polar ini disebabkan oleh adanya 4 gugus karboksil bebas, gugus hidroksil dan gugus amino. Dua gugus hidroksil teresterifikasi menjadi asam propane-1,2,3-trikarboksilat. FB1 dan FB2 stabil dalam metanol pada penyimpanan –18oC, namun mudah terdegradasi pada suhu 25oC atau lebih. Penyimpanan yang lebih lama pada suhu 25oC dapat dilakukan dalam asetonitril-air (1:1) (EHC 2000).

(6)

Tabel 2 Jenis-jenis fumonisin dan gugus fungsinya Jenis

Fumonisin R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7

FA1 TCA TCA OH OH H NHCOCH3 CH3

FA2 TCA TCA H OH H NHCOCH3 CH3

FA3 TCA TCA OH H H NHCOCH3 CH3

PHFA3a TCA OH OH H H NHCOCH3 CH3

PHFA3b OH TCA OH H H NHCOCH3 CH3

H FA1 OH OH OH H H NHCOCH3 CH3

FAK1 =O TCA OH OH H NHCOCH3 CH3

FK1 =O TCA OH OH H NH2 CH3

FB1 TCA TCA OH OH H NH2 CH3

Iso-FB1 TCA TCA OH H OH NH2 CH3

PHFB1a TCA OH OH OH H NH2 CH3

PHFB1b OH TCA OH OH H NH2 CH3

HFB1 OH OH OH OH H NH2 CH3

FB2 TCA TCA H OH H NH2 CH3

FB3 TCA TCA OH H H NH2 CH3

FB4 TCA TCA H H H NH2 CH3

FB5 Belum diketahui secara pasti

FC1 TCA TCA OH OH H NH2 CH3

N-asetil-FC1 TCA TCA OH OH H NHCOCH3 CH3

Iso-FC1 TCA TCA OH H OH NH2 H N-asetil-iso-FC1 TCA TCA OH H OH NHCOCH3 H OH-FC1 TCA TCA OH OH OH NH2 H N-asetil-OH-FC1 TCA TCA OH OH OH NHCOCH3 H FC3 TCA TCA OH H H NH2 H FC4 TCA TCA H H H NH2 H FP1 TCA TCA OH OH H 3HP CH3

FP2 TCA TCA H OH H 3HP CH3

FP3 TCA TCA OH H H 3HP CH3

Sumber: Rheeder et al. (2002) TCA: asam trikarbalilat; 3HP: 3-hidroksi piridinum

(7)

Toksisitas Fumonisin B1

Informasi mengenai toksikokinetik FB1 pada hewan masih sangat terbatas dan belum jelas. Pada tubuh hewan penyerapan FB1 sangat rendah, namun distribusi dan elminasinya pada beberapa spesies sangat cepat seperti pada ayam petelur, babi, sapi, tikus dan primata (EHC 2000). Toksisitas fumonisin disebabkan oleh struktur kimianya yang menyerupai sfingosin, yaitu enzim yang berperanan penting dalam proses metabolisme sel. Gambar 5 memperlihatkan persamaan struktur inti antara fumonisin dan sfingosin.

OH

CH3 O

O

CH3

CCH2CHCH2COOH O COOH

CCH2CHCH2COOH O COOH

R1

R2

NHR3

Fumonisin

Gambar 5 Perbandingan Struktur Fumonisin dan Sfingosin

Karena kemiripan struktur tersebut, fumonisin berkompetisi dengan sfingosin dan mempengaruhi pembentukan sfingolipid melalui penghambatan kerja sfinganin-N-asiltransferase (seramid sintase). Sfingolipid merupakan senyawa pemberi sinyal yang dapat dikenali oleh sel-sel imun dan tempat menempelnya mikroba penyebab penyakit dan racun-racun mikroba (Schroeder et al. 1994, Merril et al. 1997b).

Dengan terhambatnya pembentukan sfingolipid menakibatkan terjadinya penurunan kekebalan terhadap penyakit infeksius dan penimbunan sfingosin yang mengakibatkan berbagai penyakit diantaranya kanker esofagus dan radang ginjal pada manusia seperti di Afrika Selatan dan Cina (Marasas 1995, Zhang et al.

NH2 OH OH

Sphingosine Sfingosin

(8)

1997). Penyakit pada hewan yang ditimbulkan oleh fumonisin diantaranya leukoencephalomalacia (LEM) pada kuda (Uhlinger 1997), pembengkakan paru- paru pada babi (porcine pulmonary edema, PPE) (Smith et al. 1999), kanker hati pada tikus (Gelderblom 1996b), dan penurunan sistem kekebalan pada ayam (Merril et al. 1997b; Martinova et al. 1998; Eriksen & Alexander, 1998). Oleh karena itu peningkatan rasio sfinganin / sfingosin (Sa/So) dalam serum dan jaringan dapat dijadikan sebagai bioindikator mikotoksikosis yang disebabkan oleh FB1 (Tang et al. 2005).

Toksisitas FB1 dapat terjadi karena adanya pemaparan dosis tunggal maupun atau dengan pemaparan berulang karena adanya kontaminasi pada bahan pangan/pakan. Dosis tunggal FB1 1,25 mg/kg yang diberikan secara intra vena pada tikus jantan (Sprague-Dowley) menunjukkan adanya lesi yang parah pada ginjal, peningkatan proliferasi sel esofagus, dan peningkatan mitosis baik pada esofagus maupun pada hati (Lim et al. 1996).

Pada pemaparan berulang, kerusakan pada organ hati (hepatotoksik) dan ginjal (nefrotoksik) terlihat pada tikus yang diberi FB1 50 mg/kg bobot badan selama lebih dari 11 hari (Gelderblom et al. 1994). Sementara itu, efek imunosupresi terlihat pada ayam pedaging yang diberi ransum dari biakan F.

verticillioides (MRC 826) mengandung FB1 30-300 mg/kg, dimana terjadi penurunan bobot limpa dan bursa, serta meningkatnya parameter-parameter hematologi (Espada et al. 1997). Pada babi, efek imunosupresi juga terjadi setelah pemberian ransum terdiri dari biakan kapang yang sama dengan konsentrasi FB1

sebanyak 1 mg/kg, dimana terlihat penurunan kemampuan eliminasi Pseudomonas aeruginosa dan penghambatan fungsi sel-sel makrofag pada intravaskuler paru-paru (Rotter et al. 1996, Smith et al. 1996). Penghambatan fungsi sel-sel makrofag ini dapat meningkatkan kepekaan terhadap penyakit mikrobial (Smith et al. 1996c).

Kontaminasi Fumonisin pada Bahan Pangan dan Pakan

Kontaminasi FB1 banyak dijumpai pada jagung (Gutema et al. 2000, Hennigen et al. 2000, Shephard et al. 2000), beras (Desjardin et al. 2000, Abbas et al. 2002), gandum (Bakker et al. 2003) dan serealia lain (Barna-Vetro et al.

(9)

2000), serta hasil olahannya (Sugita-Konishi et al. 2006). Selain itu, FB1 juga ditemukan pada tanaman obat, teh hitam (Martins et al. 2001), dan bir yang dihasilkan dari fermentasi gandum terkontaminasi FB1 (Torres et al. 1998).

Kontaminasi FB1 juga terdapat pada pakan (Labuda et al., 2005). Sebagai akibat dari pemberian pakan yang terkontaminasi fumonisin ditemukan adanya residu pada produk peternakan seperti susu (Spotti et al. 2001) dan daging, hati dan ginjal (Smith & Thakur 1996). Umumnya residu FB1 pada produk peternakan rendah, namun hasil hidrolisisnya yaitu HFB1 memiliki toksisitas yang lebih tinggi sehingga perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap kesehatan (Maragos et al.

1996).

Kontaminasi fumonisin pada jagung dan produk olahannya telah dilaporkan di berbagai negara di dunia. Di USA, konsentrasi FB1 pada produk pangan asal jagung (corn-based products) berkisar antara 0,075-5,916 mg/kg (Castelo et al. 1998), Amerika Latin 0,07-38,5 mg/kg, dan Amerika Utara 0,004- 330 mg/kg. Sedangkan di Asia kontaminasi FB1 berkisar 0,01-153 mg/kg dan Eropa 0,007-250 mg/kg (EHC 2000). Di Australia, cemaran fumonisin pada jagung berkisar antara 1–40 mg/kg dan hasil olahannya 0,85-5,8 (Maryam 1999), sedangkan jagung dari kasus ELEM di New South Wales konserntrasi FB1

mencapai 164 mg/kg (Bryden et al. 1995).

Diperkirakan pemaparan FB1 di USA 0,08 µg/kg BB/hari, Kanada berkisar antara 0,017-0,089 µg/kg BB/hari, Eropa 0,006-7,1 µg/kg BB/hari, dan yang tertinggi di Afrika Selatan yaitu 14-440 µg/kg BB/hari (EHC 2000).

Di Indonesia meskipun belum ada laporan mengenai mikotoksikosis pada manusia dan hewan yang disebabkan oleh fumonisin, namun Ali et al. (1998) telah berhasil mengisolasi kapang F. verticillioides dan mendeteksi FB1 pada jagung asal Yogyakarta, Purworejo, dan Surakarta dengan konsentrasi FB1 0,016- 2,44 mg/kg. Demikian pula Yamashita et al. (1995) telah mendeteksi FB1 pada jagung dari Jawa Tengah dengan kisaran konsentrasi 0,05-1,8 mg/kg. Secara umum, kontaminasi fumonisin pada berbagai bahan pangan dan pakan di Pulau Jawa dapat dilihat pada Tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa FB1 tertinggi ditemukan pada jagung asal Jawa Barat (54,54 g/kg) yang digunakan sebagai bahan dasar untuk pakan ayam dengan indikasi adanya pertumbuhan kapang

(10)

Fusarium sp. berwarna merah muda keunguan (Maryam et al. 2000). Sedangkan konsentrasi tertinggi FB1 pada jagung yang digunakan sebagai bahan dasar pangan sebesar 2,97 g/kg (Ali et al. 1998).

Tabel 3 Kontaminasi Fumonisin pada berbagai komoditas pertanian yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan di Indonesia

Jenis sampel (N)

Asal sampel

Jumlah &

% positif

Rataan konsentrasi dan kisaran

(mg/kg)

Pustaka

Jagung (8)* Jatim 8 (100 %) 514,25 (64-1672) Maryam et al., 2000 Bekatul (5) Jatim 5 (100 %) 700,4 (288-1467) Idem Konsentrat (4) Jatim 4 (100 %) 637,5 (372-1055) Idem Pakan (19) Jatim 19 (100 %) 631,5 (22-1816) Idem Jagung (12)* Jatim 7 (58,3 %) (50-1800) Idem Jagung (11)** Bandung,

Jabar

8 (73 %) 11540 (470-35000) Maryam, 2000b

Dedak (1) Idem 1 11200 Idem

Pakan jadi Idem 1 6450 Idem

Jagung (6)** Cianjur, Jabar

6 (100 %) 8150 (240-24220) Idem

Dedak (2) Idem 2 (100 %) 6830 (4300-9370) Idem Pakan jadi (3) Idem 3 (100 %) 11240 (1070-30160) Idem Jagung (7)** Sukabumi,

Jabar

7 (100 %) 28380 (1240-54540) Idem

Jagung (8) Bogor, Jabar

8 (100 %) 3540 (2120-5750) Idem

Dedak (2) Idem 2 (100 %) 9560 (7720-11390) Idem Pakan jadi (1) Idem 1 (100%) 16530 Idem Jagung (16)* Jateng 16(100 %) 895 (tertinggi 2970) Ali, et al.

1998 Sumber: Bahri dan Maryam (2003)

* Jagung sebagai bahan pangan tanpa indikasi adanya cemaran Fusarium sp.

** Jagung sebagai bahan pakan dengan indikasi adanya cemaran Fusarium sp.

(11)

Kontaminasi fumonisin seringkali ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin (Johansson dan Whitaker, 2006; Abbas et al. 2002, Li et al. 2001, Maryam et al. 2000) dan mikotoksin lain seperti okratoksin, zearalenon, dan deoksinivalenol (Sugita-Konishi et al. 2006, Park et al. 2002). Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena adanya beberapa mikotoksin secara bersamaan dalam suatu komoditi dapat saling bersinergi sehingga memperkuat efek toksik.

Metode Analisis Fumonisin

Metode analisis mempunyai peranan yang penting untuk mengetahui secara kualitatif dan kuantitatif adanya kontaminasi fumonisin dalam bahan pangan dan pakan, serta membantu diagnosis penyakit yang ditimbulkannya.

Secara umum metode analisis meliputi ekstraksi dan deteksi dengan menggunakan instrumen atau peralatan tertentu.

Ekstraksi

Karena tingkat polaritasnya yang tinggi, ekstraksi fumonisin umumnya dilakukan dengan menggunakan campuran metanol-air atau asetonitril-air terutama untuk analisis secara khromatografi. Gutema et al. (2000) dan Desjardin et al. (2000) menggunakan campuran pelarut asetonitril-air (1:1) untuk mengekstrak fumonisin dari jagung yang diikuti pemurnian melalui kolom solid phase extraction (SPE) C18. Sedangkan Shephard et al. (2000), Martins et al.

(2001), dan Sugita-Konishi et al. (2006) menggunakan campuran methanol-air (3:1) yang diikuti dengan pemurnian melalui kolom SPE penukar anion kuat (SAX).

Deteksi

Deteksi fumonisin umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik khromatografi seperti kromatografi lapis tipis (KLT), khromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan khromatografi gas/cair yang dihubungkan dengan spektroskopi massa (GC/LC-MS). Selain untuk analisis kuantitatif LC-MS dapat juga digunakan untuk konfirmasi atau identifikasi fumonisin (Musser et al. 2002).

(12)

Teknik khromatografi ini merupakan metode yang umum digunakan untuk mendeteksi fumonisin. Meskipun metode ini dapat memberikan hasil secara kualitatif dan kuantitatif dari tiap jenis fumonisin, namun membutuhkan pereaksi dan peralatan yang mahal, serta waktu analisis yang lama.

Metode lain seperti biosensor (van der Gaag et al. 2003), imunosensor (Maragos & Thompson 1999), imunohistokimia (Buim et al. 1999), polymerase chain reaction (PCR)(Bluhm et al. 2002, Patino et al. 2004) atau PCR-ELISA (Grimm & Geisen 1998) telah dikembangkan untuk deteksi fumonisin dan kapang Fusarium spp. penghasil fumonisin, namun metode tersebut jarang digunakan karena membutuhkan ketrampilan dan pengalaman yang tinggi.

Di antara metode analisis, imunoasai merupakan metode yang paling menguntungkan karena mudah diaplikasikan, cepat, sensitif, spesifik, dan tidak membutuhkan pereaksi atau peralatan yang mahal (Chu 1996). Salah satu metode imunoasai yang banyak dikembangkan yaitu enzyme-linked immunoassay (ELISA) dengan menggunakan antibodi poliloklonal atau monoklonal.

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

KLT merupakan teknik kromatografi yang paling mudah diaplikasikan untuk mendeteksi fumonisin. Teknik ini umumnya digunakan untuk analisis kualitatif dan semi kuantitatif. Pemisahan pada KLT didasarkan pada distribusi komponen pada lempeng KLT dengan pelarut, yang diindikasikan dengan faktor hambatan (Rf). Lempeng KLT yang digunakan dapat berupa lempeng KLT fasa normal (Silika gel 60) atau fasa terbalik (C18). Untuk visualisasi, digunakan p- anisaldehida (Sydenham et al. 1990) jika menggunakan KLT fasa normal, atau fluoresamin untuk menambah fluoresensi pada pengamatan di bawah sinar ultra violet jika menggunakan lempeng KLT fasa terbalik (Shephard & Sewram 2004).

Khromatografi gas

Deteksi fumonisin dengan kromatografi gas dilakukan menggunakan kolom fused-silica capillary yang melibatkan hidrolisis asam dari fumonisin untuk melepas ikatan esternya yang dilanjutkan dengan deteksi TCA yang diesterifikasi dengan isobutanol (Shephard 1998). Plattner dan Branham (1994)

(13)

mendeteksi fumonisin dengan melakukan isolasi inti fumonisin (aminopoliol) yang diperoleh melalui hidrolisis alkalis pada resin XAD-2, dan kemudian mengubahnya menjadi derivatif trimetilsilil untuk dianalisis dengan kromatografi gas. Metode ini tidak dapat digunakan untuk mendeteksi inti FB2 dan FB3 sebagai derivatif sililnya.

Khromatografi cair kinerj tinggi (KCKT)

KCKT atau yang lebih dikenal dengan high performance liquid chromatography (HPLC) merupakan metode analisis yang berdasarkan pada perbedaan distribusi senyawa yang disebabkan oleh adanya interaksi senyawa pada fasa gerak (mobile phase) dan fasa diam (stationary phase). Deteksi fumonisin dengan KCKT meskipun dapat memberikan hasil yang sangat memuaskan, namun teknik ini membutuhkan proses preparasi yang panjang dengan pereaksi dan peralatan yang mahal. Karena fumonisin tidak memiliki serapan pada gelombang ultra violet, deteksinya dengan KCKT dilakukan melalui proses derivatisasi menggunakan fluorescamine (Shephard et al. 1990, Sydenham et al. 1990) atau o-ftaldialdehida (Hopmans & Murphy 1993) untuk meningkatkan daya fluoresensi pada detektor fluoresensi. Dengan menggunakan naftalen-2,3- dikarboksaldehida dengan KCN sebagai bahan penderivatisasi sensitivitas dapat ditingkatkan hingga 50 pg (Shephard et al. 1990), namun reaksi menggunakan KCN tidak dianjurkan karena bersifat sangat toksik. Selain menggunakan detektor fluoresensi, deteksi fumonisin dapat juga dilakukan dengan menggunakan detektor ultraviolet (UV) melalui proses derivatisasi yang melibatkan reaksi amina primer sebelum dipisahkan dalam kolom. Derivat maleil yang terbentuk dideteksi dan dikuantifikasi pada detektor UV dengan limit deteksi 10 μg/kg.

Metode ini kurang sensitif sehingga tidak dapat digunakan untuk analisis fumonisin pada sampel yang terkontaminasi fumonisin secara alami (Gelderblom et al. 1988).

Khromatografi cair-spektroskopi massa

Pada umumnya, deteksi fumonisin dengan menggunakan KLT dan KCKT membutuhkan proses derivatisasi untuk meningkatkan sensitifitas. Dengan

(14)

menggunakan interface MS pada KCKT, deteksi fumonisin dapat dilakukan tanpa derivatisasi (Shephard 1998, Masayo et al. 2006). Selain untuk analisis kuantitatif, LC-MS juga digunakan untuk konfirmasi struktur fumonisin.

Salah satu metode LC-MS yang digunakan untuk analisis fumonisin adalah fast atom bombardment (FAB-MS). Dengan menggunakan metode ini limit deteksi fumonisin pada jagung yang terkontaminasi secara alami melalui SAX clean up sekitar 100 ng/g (Plattner & Branham 1994). Korfmacher et al.

(1991) membandingkan teknik thermospray (TS) dan electronspray (ES) untuk mendeteksi fumonisin. Berdasarkan studi tersebut terlihat bahwa ES-MS dapat mendeteksi FB1 hingga level nanogram dengan memberikan sinyal ion molekul dan fragmentasi yang sedikit. Sebaliknya, dengan TS-MS terbentuk fragmen yang banyak dan sensitifitasnya hanya mencapai level sub-mikrogram. Namun dengan menggunakan mode ion negatif dan campuran ammonium asetat-asetonitril sebagai fasa bergerak, limit deteksi TS-MS dapat diperkecil menjadi 2 ng (Thakur

& Smith 1994). Metode ES-MS yang telah divalidasi mampu mendeteksi fumonisin hingga level nanogram dan juga dapat mengkonfirmasi identitas fumonisin yang terdeteksi dalam sampel yang dianalisis (Musser et al. 2002).

Pada proses produksi pangan asal jagung, fumonisin bereaksi dengan komponen pangan seperti gula dan protein sehingga tidak dapat terdeteksi dengan metode KCKT. Dall’Asta et al. (2006) mengembangkan metode LC/ESI/MS/MS untuk mendeteksi fumonisin dalam produk pangan asal jagung seperti corn-flakes, tortilla chips dan corn chips.

Imunoasai

Imunoasai yaitu teknik analisis dengan menggunakan pereaksi yang dihasilkan oleh sistem imun, yaitu antibodi. Aplikasi imunoasai sangat luas terutama di bidang kedokteran, baik untuk diagnosis maupun terapi suatu penyakit. Namun, selama dua dekade terakhir teknik imunoasai telah dikembangkan untuk analisis forensik, veteriner, cemaran pangan, dan produk pertanian (Rittenburg 1990, Grothaus et al. 2006).

Dibandingkan dengan metode analisis lainnya, imunoasai memiliki kelebihan karena sangat ekonomis, mudah dan cepat dalam aplikasinya, serta

(15)

memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Metode imunoasai dikembangkan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal.

Peran Sistem Imun dan Produksi Antibodi

Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan yang terdiri dari sel, molekul, dan jaringan yang berperan untuk melawan infeksi yang ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun terbagi atas sistem imun nonspesifik (natural/innate/native) dan spesifik (adaptive/acquired). Sistem imun nonspesifik merupakan sistem pertahanan tubuh terdepan yang dapat memberi respon secara langsung terhadap masuknya molekul asing atau mikroorganisme.

Sedangkan sistem imun spesifik terbentuk karena proses adaptasi molekuler oleh sel-sel imun terhadap bahan asing yang masuk (Baratawidjaja 2004). Tabel 4 menunjukkan perbedaan sifat antara sistem imun nonspesifik dengan sistem imun spesifik.

Di dalam tubuh terdapat tiga jenis sel yang berperan penting dalam sistem imun yaitu limfosit, sel plasma dan makrofag yang berasal dari sel progeni dalam sumsum tulang, bersirkulasi dalam darah dan masuk ke dalam organ ketika diperlukan. Limfosit memiliki kemampuan mengenali setiap antigen melalui permukaan reseptornya yang spesifik. Ada dua jenis limfosit, yaitu limfosit B yang dapat mensekresi antibodi spesifik dan limfosit T yang tidak menghasilkan antibodi namun dapat berproliferasi dan berdiferensiasi jika ada antigen dengan melepas senyawa yang disebut limfokin. Dalam hal ini, fungsi sel T adalah membantu sel B untuk mensintesis antibodi dengan mengatur respon imun.

Sementara itu, peran makrofag sangat penting dalam sistem imun spesifik. Sel ini menelan antigen dan mentransfer materi antigen tersebut pada sel T sehingga terjadi aktivasi sel T yang kemudian diteruskan dengan aktivasi sel B (Barna- Vetro 2002).

(16)

Tabel 4 Perbedaan sifat antara sistem imun nonspesifik dan spesifik

Sistem imum nonspesifik Sistem imun spesifik Resistensi Tidak berubah karena

infeksi

Membaik dengan infeksi berulang (adanya memori).

Spesifitas Efektif terhadap semua mikroba

Spesifik terhadap mikroba yang pernah mensensitisasi.

Sel yang terlibat Fagosit

Sel natural killer (NK) Sel mastosit

Eosinofil

Th, Tdth, Tc, Ts Sel B

Molekul penting

Lisozim Komplemen Protein fasa akut Interferon

C-reactive protein (CRP) Kolektin

Molekul adhesi

Antibodi Sitokin Medium Molekul adhesi

Sumber: Baratawidjaja (2004)

Sistem imun spesifik terdiri atas humoral dan seluler. Sistem imun spesifik humoral dihasilkan oleh sel B yang berproliferasi jika bertemu dengan antigen dan berkembang menjadi sel plasma penghasil antibodi yang banyak dijumpai dalam serum. Antibodi ini berperan penting dalam sistem pertahanan terhadap virus, bakteri ekstraseluler dan menetralisir toksin yang dihasilkannya. Sistem imun spesifik seluler diperankan oleh sel T yang dihasilkan oleh sel asal di dalam sumsum tulang yang berproliferasi dan berdiferensiasi di dalam kelenjar timus.

Sel T yang telah dewasa ke luar dari timus dan masuk ke dalam peredaran darah.

Jika bertemu dengan antigen, sel T akan tersensitisasi, berproliferasi dan memberi sinyal pada sel B untuk memproduksi antibodi. Sistem imun spesifik seluler ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap bakteri intraseluler, virus, jamur dan parasit virulen (Baratawidjaja 2004).

(17)

Prinsip Imunoasai

Sifat antibodi yang dapat mengikat antigen spesifik di dalam tubuh merupakan dasar dari metode analisis secara imunoasai karena reaksi ini juga dapat terjadi di luar tubuh. Dalam hal ini, antigen dapat merupakan agen penyakit, cemaran mikroba, senyawa kimia atau kontaminan alami seperti mikotoksin.

Antibodi yang digunakan dapat berupa antibodi poliklonal atau monoklonal.

Prinsip analisis secara imunoasai berdasarkan reaksi antigen dengan antibodi spesifik terhadap antigen tersebut yang membentuk kompleks antigen- antibodi (Barna-Vetro 2002). Dinamika reaksi pengikatan antibodi-antigen pada antigen sederhana yang hanya mempunyai satu determinan antigen mengikuti persamaan reaksi sebagai berikut:

[Ab] + [Ag] [AbAg]

dimana [Ab] adalah konsentrasi antibodi bebas (mol/L), [Ag] adalah konsentrasi antigen antigen bebas, dan [AbAg] merupakan konsentrasi kompleks antibodi- antigen, sedangkan Ka dan Kd adalah konstanta asosiasi dan disosiasi. Rasio Ka/Kd merupakan konstanta keseimbangan atau konstanta affinitas (K) dengan nilai yang diturunkan melalui persamaan:

Ka [AbAg]

Kd [Ab][Ag]

Nilai K berkisar antara 103-107 liter/mol dan konstanta antibodi yang baik untuk pengukuran secara imunoasai berkisar antara 106-108 liter/mol. Konstanta affinitas ini berhubungan langsung dengan spesifitas dan sensitivitas (Roitt 1991, Rittenburg 1990). Ikatan antigen-antibodi dalam imunoasai terjadi karena adanya kekuatan intermolekuler seperti elektrostatik, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik, dan gaya Van der Waals (Roitt 1991).

Berdasarkan interaksi antigen-antibodi, imunoasai dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu berdasarkan interaksi primer dan interaksi sekunder.

Pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi primer dapat dilakukan secara langsung, sedangkan yang berdasar pada interaksi sekunder, dilakukan secara tidak langsung. Pada umumnya, pengukuran imunoasai berdasarkan interaksi

Ka

Kd

K = =

(18)

primer, contohnya pengukuran melalui presipitasi, aglutinasi, radioimunoasai (RIA) dan ELISA (Rittenburg 1990).

Antigen

Antigen atau imunogen adalah bahan yang dapat memicu pembentukan respon imun atau bahan yang dapat bereaksi dengan antibodi. Secara fungsional, antigen dibedakan menjadi imunogen dan hapten. Imunogen umumnya merupakan suatu protein yang memiliki ukuran molekul yang besar, sedangkan hapten merupakan senyawa kimia dengan ukuran kecil, tidak bersifat imunogenik sehingga tidak dapat mengaktifkan sel B untuk memproduksi antibodi. Agar dapat memicu pembentukan antibodi, suatu hapten harus dikonjugasikan dengan molekul besar yang disebut molekul pembawa. Molekul pembawa umumnya protein yang bersifat multivalen dan imunogenik, contohnya keyhole limpet hemocyanin (KLH), tiroglobulin, ovalbumin dan imunoglobulin ayam (Rittenburg 1990). Hapten dikenal oleh sel B sedangkan molekul pembawa oleh sel T. Hapten membentuk epitop pada permukaan molekul pembawa yang dikenali oleh sistem imun sehingga merangsang pembentukan antibodi. Daerah ini dapat bereaksi secara spesifik dengan reseptor antigen (Baratawidjaja 2004). Di antara senyawa hapten yaitu kontaminan pada bahan pangan dan pakan seperti mikotoksin, pestisida, antibiotik dan senyawa lain dengan bobot molekul rendah.

Berdasarkan epitopnya antigen terbagi atas empat jenis, yaitu (1) Unideterminan univalen, antigen yang hanya memiliki satu jenis epitop pada tiap molekulnya (hapten); (2) Unideterminan multivalen, antigen yang memiliki lebih dari dua epitop yang sama pada satu molekulnya ; (3) Multideterminan univalen:

antigen yang memiliki beberapa epitop yang berbeda, tetapi masing-masing hanya satu pada tiap molekulnya (protein); Multideterminan multivalen: antigen yang memiliki beberapa epitop berbeda yang masing-masing terdiri dari dua atau lebih pada tiap molekulnya. Contohnya antigen dengan bobot molekul besar dan kompleks secara kimiawi, seperti polimer protein. Berdasarkan spesifitasnya, antigen dibagi menjadi lima kelompok, yaitu (1) Heteroantigen, umum dimiliki oleh berbagai spesies; (2) Xenoantigen, yang hanya dimiliki spesies tertentu; (3) Alloantigen (isoantigen), antigen spesifik yang hanya dimiliki individu tertentu

(19)

dalam suatu spesies; dan (4) Antigen yang hanya dimiliki organ tertentu dan (5) Autoantigen, yang dimiliki oleh tubuh sendiri. Sedangkan menurut ketergantungannya terhadap sel T, antigen terbagi atas T-dependent, memerlukan bantuan sel T untuk dikenali sebelum menimbulkan respon antibodi (seluler), dan T independent yang dapat menstimulasi sel B untuk memproduksi antibodi tanpa bantuan sel T (humoral) (Baratawidjaja 2004).

Imunogenitas suatu antigen ditentukan oleh berbagai faktor, terutama ukuran dan strukturnya. Senyawa yang berukuran besar dengan struktur kompleks dan bermolekul besar jika masuk ke dalam tubuh akan segera menimbulkan respon pada sistem imun, seperti protein dengan bobot molekul lebih dari 40.000 dan polisakarida kompleks dari mikroba (Baratawidjaja 1991). Sedangkan senyawa dengan ukuran dan bobot molekul rendah seperti fumonisin jika masuk ke dalam tubuh tidak dapat menimbulkan respon imun secara langsung (hapten), sehingga untuk membutuhkan protein pembawa untuk dapat dijadikan sebagai antigen.

Antibodi

Antibodi adalah protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B sebagai respon terhadap tubuh karena adanya kontak dengan antigen (Tizard 2000, Baratawidjaja 2004). Antibodi disebut juga dengan imunoglobulin (Ig) karena terdiri dari protein globular. Antibodi yang terdapat dalam tubuh hewan dan manusia terbagi dalam lima kelompok yaitu IgG, IgA, IgE, IgM, dan IgD. IgG merupakan imunoglobulin terbanyak mencapai 80% di dalam serum dan sering digunakan untuk analisis secara imunoasai (Rittenburg 1990).

Antibodi memiliki berat molekul 145.000 – 950.000 dengan struktur dasar menyerupai huruf Y dan empat rantai polipeptida yang terdiri dari dua rantai berat (heavy chain) dan rantai ringan (light chain) yang setara, dimana satu dengan yang lainnya dihubungkan oleh rantai disulfida (Gambar 6). Rantai ringan terdiri atas lambda dan kappa yang disusun oleh 220-230 asam amino. Sedangkan rantai berat terdiri atas 450-600 asam amino, sehingga berat dan panjangnya dua atau tiga kali rantai ringan (Pelczar & Chan 1988, Tizard 2000). Daereah variabel memiliki dua domain; fragmen Fab yaitu fragmen yang mempunyai daerah

(20)

pengikatan antigen dan fragmen Fc yang dapat mengkristal dan berperan dalam regulasi kekebalan. Daerah variabel terdiri dari daerah hipervariabel (HV) dan daerah framework (FR) (Harlow & Lane 1988). Daerah hipervariabel merupakan daerah pengikatan antigen (antigen-binding sites) yang disebut paratop atau disebut juga daerah penentu komplemen (complementary-determining regions, CDRs) yang masing-masing terdiri dari 6-10 asam amino (Tizard 2000). Daerah ini berperan penting dalam reaksi antigen-antibodi yang menjadi dasar analisis secara imunoasai.

Gambar 6 Struktur dasar imunoglobulin (Ig)

Produksi Antibodi oleh Sel Limfosit B

Antibodi dihasilkan oleh sel limfosit B (sel B) yang termasuk ke dalam sistem imun spesifik. Pada saat pertama kali suatu antigen masuk ke dalam tubuh akan terjadi sensitisasi, kemudian sel-sel imun merekamnya. Pada paparan berikutnya, sel-sel imun sudah mengenali antigen tersebut karena telah mempunyai antibodi yang dapat mengikat atau menangkal antigen tersebut (Tizard 2000). Respons imun pertama ditandai dengan terbentuknyan IgM. Pada pemaparan berikutnya terbentuk IgG sebagai respon imun sekunder (Gambar 7).

Berdasarkan fenomena ini, produksi antibodi yang dilakukan dalam suatu penelitian dengan memberikan dosis berulang suatu antigen tertentu selama lebih

Rantai berat Rantai ringan Jembatan disulfida

Daerah hipervariabel (CDRs) Daerah variabel

Daerah konstan

Pengikatan Ag

(21)

dari empat minggu umumnya akan menghasilkan IgG atau dengan sedikit IgM.

Imunoglobulin tersebut akan disekresikan ke dalam serum dan juga terdapat di dalam limpa sebagai organ di mana banyak ditemukan sel limfosit B (sel B).

Gambar 7 Kinetika respons antibodi: Pembentukan IgM sebagai respon primer dan pembentukan IgG pada respon sekunder (Zola 1987)

Antibodi poliklonal

Setiap sel B memproduksi satu jenis antibodi spesifik. Jika suatu antigen yang memiliki beberapa jenis epitop masuk ke dalam tubuh vertebrata, maka masing-masing sel B akan menghasilkan antibodi yang sesuai dengan antigen tersebut. Gambar 8 adalah ilustrasi suatu antigen yang memiliki lebih dari satu epitop.

Gambar 8 Antigen dengan berbagai epitop

Proses pembentukan antibodi oleh sel B dimulai ketika suatu antigen terikat pada permukaan sel B tertentu akan terjadi induksi sel B untuk berproliferasi dan masing-masing sel memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut (Gambar 9). Dengan adanya bagian variabel yang berbeda, maka antibodi yang terbentuk memiliki epitop yang berbeda-beda dan bereaksi spesifik

(22)

dengan antigennya. Campuran antibodi ini banyak terdapat dalam serum dan disebut dengan antibodi poliklonal (Zola 1987).

Gambar 9 Produksi antibodi poliklonal oleh sel B

Antibodi poliklonal memiliki epitop yang beragam sehingga dapat berinteraksi dengan beragam antigen, terutama yang memiliki kesamaan struktur molekul. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan interpretasi dalam analisis yang menggunakan metode imunoasai berbasis antibodi poliklonal. Sebagai contoh dalam analisis FB1 dapat terjadi reaksi silang dengan jenis fumonisin lainnya dan senyawa lain yang memiliki kesamaan struktur seperti sfingosin dan senyawa sfingolipid lainnya yang terdapat dalam bahan pangan atau pakan.

Campuran antibodi dalam darah (serum)

(23)

Antibodi monoklonal

Antibodi monoklonal adalah antibodi yang dihasilkan oleh klon dari sel tunggal hasil fusi sel limfosit B dengan sel mieloma yang memiliki homogenitas, affinitas dan spesifitas tinggi (Rittenburg 1990). Hasil fusi kedua sel dipilih yang menghasilkan satu jenis antibodi dan bagian variabel yang sama. Sistem ini dikenal dengan monoklonal anitbodi. Proses produksi antibodi monoklonal oleh sel fusi seperti terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Produksi antibodi monoklonal oleh sel B

KLONING

(24)

Sel limfosit B diperoleh dari limpa mencit yang diimunisasi secara berulang dengan antigen tertentu, sehingga dihasilkan sel hiperimun yang membawa sifat-sifat genetik sel induknya untuk memproduksi antibodi.

Perbedaan yang mendasar antara antibodi poliklonal dan antibodi monoklonal yaitu pada spesifitas dan afinitasnya. Perbandingan sifat antara keduanya ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Perbedaan sifat antibodi poliklonal dan monoklonal

Karakteristik Antibodi poliklonal Antibodi monoklonal Jumlah Terbatas dan bervariasi Tidak terbatas

Homogenitas Campuran antibodi Homogen

Afinitas Tinggi Tinggi Spesifitas Rendah Tinggi Kebutuhan antigen Dibutuhkan antigen

murni untuk produksi antisera spesifik

Antigen tidak murni/campuran

Sumber: Post Harvest Technology Institute (1999)

Produksi Antibodi Monoklonal

Secara umum proses pembuatan antibodi monoklonal melalui tahapan sebagai berikut: (1) Imunisasi, (2) Produksi dan kultur sel hibridoma, (4) Skrining antibodi, (5) Karakterisasi dan purifikasi antibodi (Zola 1987, Harlow & Lane 1988).

Imunisasi

Imunisasi merupakan tahap awal produksi antibodi monoklonal. Tahap ini dilakukan dengan menyuntikan dosis tertentu suatu antigen ke dalam tubuh mencit untuk mengaktivasi sel-sel imun sehingga memproduksi antibodi. Hewan yang digunakan untuk produksi antibodi monoklonal umumnya adalah mencit BALB/c atau tikus LOU/c. Berbagai cara imunisasi dapat dilakukan seperti intradermal, subkutan, intramuskuler, intraperitoneal, dan intravena tergantung pada kecepatan eliminasi dan pencapaian tempat limfosit yang diperlukan. Cara

(25)

imunisasi sangat menentukan jenis imunoglobulin yang dihasilkan. Sebagai contoh, pada tahap awal imunisasi yang dilakukan secara intravena cenderung menghasilkan IgM. Namun, setelah pemberian dosis berikutnya imunoglobulin yang dihasilkan umumnya IgG seperti pada kinetika respon antibodi (Gambar 7).

Untuk antigen yang mudah larut, imunisasi dapat dilakukan secara intravena untuk mempercepat eliminasi. Antigen yang digunakan merupakan bahan imunogenik dengan struktur kompleks atau hapten yang dikonjugasikan dengan protein pembawa. Dosis antigen terendah yang dibutuhkan yaitu 1 µg, tetapi dosis yang umum digunakan berkisar antara 10-20 µg. Jika antigen yang tersedia cukup banyak dianjurkan untuk meningkatkan dosis hingga 50 µg untuk memberikan respon imun yang lebih baik (Harlow & Lane 1988).

Pada pengembangan imunoasai untuk mendeteksi fumonisin berbasis antibodi monoklonal dibutuhkan antigen sebanyak 7,5 µg jika menggunakan FB1- CT (Azcona-Olivera et al. 1992) melalui penyuntikan secara intra vena, dan jika menggunakan FB1-KLH dibutuhkan 50 µg melalui penyuntikan secara sub kutan (Barna-Vetro et al. 2000).

Produksi dan kultur sel hibridoma

Produksi hibridoma dilakukan melalui fusi sel limfosit mencit yang telah diimunisasi dengan sel mieloma. Sel limfosit diperoleh dari limpa mencit hiperimun yang membawa sifat genetik sel induknya dan dapat memproduksi antibodi. Namun, sel limfosit tidak dapat bertahan hidup lama secara in vitro sedangkan sel mieloma adalah sel tumor berasal dari mencit atau tikus yang dapat hidup terus menerus secara in vitro (sel lestari). Hibridisasi kedua sel tersebut dapat menghasilkan sel hibrid yang dapat ditumbuhkan dalam medium dan membawa sifat genetik dari sel induknya untuk menghasilkan antibodi.

Untuk produksi antibodi monoklonal dipilih galur-galur sel mieloma termutasi yang tidak memiliki enzim hipoksantin guanin fosforibosiltransferase (HGPRT) atau timidin kinase (TK) dan tidak menghasilkan imunoglobulin.

Dengan demikian, antibodi yang dihasilkan oleh sel hibrid merupakan imunoglobulin yang murni berasal dari sel limfosit mencit yang diimunisasi.

(26)

Tabel 6 memuat informasi mengenai galur-galur sel mieloma yang dapat digunakan untuk memproduksi hibridoma dan sifat-sifatnya.

Tabel 6 Galur-galur mieloma dan limfoblastoid yang dapat digunakan untuk produksi hibridoma

Galur Sifat Mencit

P3-X63-Ag6 P3-NS1/1-Ag4-1

P3-x63-Ag8.653 SP2/0-Ag14 FO

S194/5.XXO.BU.1

Mensekresi IgG1, jarang digunakan Hibrid mensekresi rantai ringan K, masih digunakan; seleksi HAT

Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT Tikus

210-RCY3-Ag1

YB2/3 Ag20 IR 983F

Hibrid mensekresi rantai ringan K, strain tikus Lou/C

Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT Tidak mensintesis Ig; seleksi HAT;

strain tikus Lou/C (substrain berbeda) Manusia Terdapat beberapa galur, tetapi tidak

boleh digunakan secara rutin Sumber: Zola (1987)

Fusi sel adalah tahap terpenting pada produksi hibridoma. Fusi sel dapat berlangsung dengan baik jika ada bahan pemicu yang disebut fusogen. Polietilen glikol (PEG) merupakan fusogen yang paling banyak digunakan (Gambar 11).

Mekanisme terjadinya fusi antara sel limfosit dengan sel mieloma dengan menggunakan PEG yaitu melalui proses aglutinasi, pembengkakan dan fusi membran sel. PEG bersifat toksik bagi sel dimana toksisitasnya sangat tergantung pada bobot molekulnya. Semakin rendah bobot molekul PEG, toksisitasnya semakin tinggi. Namun, penggunaan PEG dengan bobot molekul tinggi sangat

(27)

sulit karena bersifat kental dan lengket. Sehingga PEG yang digunakan untuk fusi umumnya memiliki bobot molekul 600-6000 dengan kisaran konsentrasi 40 - 50%

dalam medium bebas serum atau PBS pH 7,2-8,0 (Harlow & Lane 1988, Zola 1987).

OH(CH

2

CH

2

O)

n

CH

2

OH

Gambar 11 Struktur kimia polietilen glikol (PEG)

Sel fusi yang dihasilkan selanjutnya ditumbuhkan pada media seleksi hipoksantin-aminopterin-timidin (HAT), dimana aminopterin berfungsi sebagai penghambat sintesis asam nukleat dari prekursornya melalui sintesis purin dan pirimidin. Oleh karena sel mieloma tidak memiliki enzim HGPRT atau TK maka sel ini tidak bertahan hidup, sedangkan sel yang terfusi dapat hidup melalui jalur penyelamatan (salvage pathways) dengan memanfaatkan hipoksantin dan timidin dalam medium sebagai prekursor asam nukleat (Gambar 12). Sel fusi ini tumbuh dengan baik dan berproliferasi untuk memproduksi imunoglobulin yang murni berasal dari sel induknya. Setelah sel fusi dapat tumbuh dengan baik dan semua sel yang tidak terfusi telah mati (± 21 hari), medium pertumbuhan dapat diganti dengan hipoksantin-timidin (HT) (Zola 1987).

Untuk memperoleh antibodi monoklonal yang berasal dari klon sel tunggal dilakukan kloning melalui pengenceran bertahap sehingga dihasilkan sel hibrid yang memiliki kemampuan mensekresi antibodi yang seragam. Sel hibrid ini selanjutnya dikultur untuk produksi antibodi monoklonal skala laboratorium yang dapat dilakukan dalam medium secara in vitro atau dalam asites mencit BALB/c (in vivo). Sebagian sel dipreservasi dalam DMSO mengandung 20 % FBS (Zola 1987).

(28)

Gambar 12 Sistem seleksi dengan medium HAT pada produksi sel hibridoma penghasil antibodi monoklonal (Zola 1987)

Skrining antibodi

Skrining antibodi pada serum mencit yang diimunisasi perlu dilakukan untuk mengetahui adanya respon imun sebelum dilaksanakan fusi sel. Pengujian ini juga dilakukan terhadap supernatan dari kultur sel setelah fusi untuk mengetahui adanya antibodi yang disekresikan oleh sel hibrid. Umumnya pengujian dilakukan secara ELISA tidak langsung dengan menggunakan antiimunoglobulin yang berlabel enzim, misalnya anti mouse IgG-HRP. Antigen dilapiskan pada pelat mikro dan ditambahkan serum atau supernatan setelah pencucian. Selanjutnya ditambahkan anti mouse IgG-HRP sebagai enzim konjugat. Reaksi antigen-antibodi terlihat melalui perubahan warna setelah penambahan substrat. Metode ini memungkinkan evaluasi hasil dan seleksi antibodi dengan cepat, seperti pada pengembangan ELISA untuk mendeteksi fumonisin (Barna-Vetro 2002).

Karakterisasi dan purifikasi antibodi

Karakterisasi antibodi monoklonal dilakukan untuk menentukan kelas atau subkelas antibodi yang dihasilkan oleh sel hibrid. Pengujian ini biasanya dilakukan setelah kloning sel dengan menggunakan uji Ouchterlony, ELISA,

Jalur utama biosintesis sel

Jalur penyelamatan

Timidin kinase (TK) Timidin

Hipoksantin

SEL NORMAL

SEL NORMAL S

E L M I E L O M A

(29)

RIA, atau elektroforesis dan isoelectric-focusing. Uji Ouchterlony merupakan cara termudah untuk menentukan subkelas dengan cepat melalui imunodifusi dimana antigen dan antibodi membentuk presipitasi pada agar. Namun sensitivitas metode ini hanya 10 µg/ml, sehingga untuk konsentrasi antibodi yang lebih rendah seperti dalam supernatan perlu dilakukan pemekatan dengan presipitasi menggunakan ammonium sulfat 50%. Sementara itu dengan ELISA pengujian dapat dilakukan secara langsung dengan menggunakan goat anti mouse subclass imunoglobulin yang tersedia secara komersial dengan prosedur seperti pada skrining antibodi.

Purifikasi antibodi monoklonal dalam supernatan atau cairan asites dilakukan melalui pengendapan dengan ammonium sulfat 50%, sodium sulfat atau polietilen glikol untuk menghilangkan albumin dan dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan kolom Protein A atau penukar ion (Zola 1987).

Visualisasi imunoasai

Pengukuruan imunasai berdasarkan pada reaksi primer antigen-antibodi.

Keragaman format dan pereaksi yang digunakan di bidang medis, veteriner, pangan dan pertanian memungkinkan visualisasi reaksi primer antigen-antibodi yang berbeda pula. Visualisasi imunoasai dapat dilakukan melalui presipitasi, aglutinasi, dan pelabelan antigen atau antibodi (Rittenburg 1990).

Presipitasi

Presipitasi merupakan reaksi dimana interaksi antigen-antibodi diamati secara langsung tanpa menggunakan pereaksi untuk amplifikasi. Antigen terlarut secara langsung dicampur dengan antibodinya, sehingga terbentuk kompleks makromolekul yang besar dan mengendap pada kondisi tertentu yang terlihat dengan kasat mata. Ukuran molekul yang terbentuk dipengaruhi oleh rasio antigen/antibodi, kelas imunoglobulin, pH, kekuatan ionik dan temperatur. Contoh aplikasi teknik presipitasi adalah teknik imunodifusi tabung, metode difusi ganda, imunoelektroforesis dan imunodifusi radial. Visualisasi imunoasai dengan berdasarkan presipitasi ini memiliki limit deteksi 0,1- 10,0 µg/ml (Rittenburg 1990).

(30)

Aglutinasi

Prinsip dasar dari aglutinasi sama dengan presipitasi, namun antigen atau antibodi yang direaksikan dalam bentuk partikel bukan dalam bentuk larutan. Jika suatu suspensi mengandung sel yang cocok dicampur dengan antisera spesifik akan terjadi aglutinasi yang terlihat dengan adanya perubahan pada larutan dari keruh menjadi jernih. Dalam hal ini baik antibodi maupun antigen terlarut dapat diserap atau dilekatkan pada permukaan polistiren lateks atau eritrosit sehingga memungkinkan untuk digunakan pada reaksi aglutinasi. Reaksi aglutinasi ini lebih sensitif dibandingkan dengan reaksi presipitasi. Namun metode ini memiliki keterbatasan karena adanya bahan pengganggu yang berasal dari sampel dan sulitnya untuk menginterpretasikan hasil terutama pada konsentrasi analit yang rendah.

Label antibodi atau antigen

Struktur molekul antibodi pada daerah konstan (constant region) memungkinkan untuk berikatan secara kovalen dengan berbagai jenis label. Ikatan ini tidak mempengaruhi ikatan antigen-antibodi yang terjadi pada daerah variabel (variable region). Jenis-jenis label yang digunakan dalam imunoasai yaitu radioisotop (125I, 3H, 14C) pada RIA, enzim (EIA) dan fluoresensi menggunakan kemiluminesen, bioluminesen dan bakteriofag (Smith 1990).

Pelabelan menggunakan radioaktif sangat sensitif tetapi tidak populer karena berbahaya dan tidak dapat digunakan untuk analisis bahan pangan. Di sisi lain, pelabelan dengan menggunakan enzim semakin banyak dikembangkan karena konjugasi antibodi atau antigen dapat dengan mudah dilakukan dan aman.

Enzim imunoasai (EIA) terbagi menjadi dua jenis, yaitu heterogen dan homogen. Dalam EIA heterogen aktivitas label enzim tidak dipengaruhi oleh reaksi antigen-antibodi dan diperlukan pemisahan fraksi terikat dan tidak terikat.

Sedangkan dalam EIA homogen aktivitas enzim sebagai label tergantung pada reaksi antigen-antibodi sehingga tidak diperlukan pemisahan. Contoh metode EIA yang banyak digunakan untuk pengujian yaitu enzyme multiplied technique (EMIT) dan ELISA. Dewasa ini, EIA lebih difokuskan pada ELISA karena metode ini paling banyak dikembangkan dan diaplikasikan.

(31)

Aplikasi antibodi monoklonal

Dalam aplikasinya, antibodi monoklonal digunakan sebagai pereaksi untuk diagnosis dan terapi penyakit pada manusia dan hewan, serta untuk mendeteksi kontaminan pada bahan pangan dan pakan (Zola 1987). Metode ini digunakan untuk mendeteksi dan kuantifikasi antigen (agen penyakit, kontaminan) atau antibodi.

Untuk kepentingan diagnosis dibutuhkan antibodi dengan spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi terhadap antigen yang diuji, tangguh, dan valid. Contoh penggunaan antibodi monoklonal untuk diagnosis penyakit yaitu dalam identifikasi sel malignan tertentu. Antibodi monoklonal merupakan reagen yang potensil untuk terapi suatu penyakit seperti dalam lokalisasi dan terapi tumor secara in vivo dan adanya penolakan pada transplantasi organ. Di sisi lain, peran antibodi monoklonal dalam mendeteksi kontaminan semakin berkembang. Di antara kontaminan pada bahan pangan dan pakan adalah mikotoksin, termasuk fumonisin.

Antibodi monoklonal untuk deteksi mikotoksin umumnya diaplikasikan secara ELISA kompetitif langsung. Perangkat ELISA ini telah banyak dipasarkan dan dapat diperoleh secara komersial. Di antaranya kit ELISA untuk deteksi fumonisin yang dikembangkan dengan menggunakan imunogen FB1-KLH (Barna-Vetro et al., 2000), fumonisin B1-cholera toxin (FB1-CT) (Azcona-Olivera et al. 1992b) dan anti-idiotipe sebagai antigen. Penggunaan FB1-Ova sebagai antigen untuk menghasilkan antibodi monoklonal belum pernah dilaporkan, namun penggunaannya hanya terbatas sebagai antigen pelapis pada pengujian antibodi secara ELISA kompetitif tidak langsung.

Enzyme linked-immunosorbent assay (ELISA)

ELISA adalah teknik imunoasai yang menggunakan enzim sebagai label untuk amplifikasi dan visualisasi reaksi primer ikatan antigen-antibodi. Pelabelan dapat dilakukan pada antigen atau antibodi. Antibodi yang digunakan dalam ELISA dapat berupa antibodi poliklonal atau antibodi monoklonal.

(32)

ELISA pertama kali diperkenalkan oleh Engvall dan Perlman pada tahun 1971. Hingga saat ini, ELISA merupakan teknik imunoasai yang paling banyak digunakan karena enzim mudah ditangani, relatif murah dan stabil, dapat merubah substrat tidak berwarna menjadi berwarna dengan sangat sensitif sehingga mudah untuk menginterpretasikan hasil akhir. Prinsip ELISA yaitu berdasarkan pada reaksi antigen dan antibodi spesifik dimana dengan adanya enzim konjugat akan bereaksi dengan substrat untuk menghasilkan warna yang dapat dibaca pada alat kolorimeter/spektrofotometer pada panjang gelombang tertentu (Rittenburg1990).

Disain dan Konfigurasi ELISA

Disain dalam ELISA dapat berupa kompetitif atau non kompetitif. Untuk molekul antigen kecil yang univalen hanya dapat digunakan ELISA kompetitif, sedangkan untuk antigen multivalen yang lebih besar dapat melalui pendekatan keduanya. Empat konfigurasi ELISA yang banyak digunakan dalam analisis yaitu:

(1) ELISA kompetitif langsung, (2) ELISA kompetitif tidak langsung, (3) ELISA penangkap antibodi, dan (4) ELISA sandwich antibodi ganda (double antibody sandwich ELISA).

ELISA kompetitif langsung

Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antigen dalam sampel. Dalam ELISA kompetitif langsung ini antibodi dilapiskan pada pelat mikro sebagai fasa padat, kemudian sampel dan antigen berlabel enzim (antigen-enzim konjugat ) ditambahkan secara bersamaan atau bertahap. Pada tahap ini, setiap antigen dalam sampel akan berkompetisi dengan antigen-enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi dan materi yang tidak terikat akan terlepas melalui pencucian. Dengan penambahan substrat, ikatan antigen-enzim konjugat-antibodi akan memberikan perubahan warna dari tidak berwarna menjadi berwarna yang dapat dibaca panjang gelombang tertentu dengan menggunakan ELISA reader (spektrofotometer). Dalam hal ini, perubahan warna yang terjadi berbanding terbalik dengan konsentrasi antigen dalam sampel (analit) di mana semakin tinggi konsentrasi antigen dalam sampel, intensitas warna akan semakin menurun.

(Gambar 13).

(33)

Gambar 13 Tahapan pada ELISA kompetitif langsung (Rittenburg 1990)

ELISA kompetitif tidak langsung

Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antibodi dalam sampel (contohnya serum, supernatan, atau cairan asites). Dalam ELISA kompetitif tidak langsung, pelat dilapisi dengan antigen. Antigen bermolekul rendah seperti FB1

tidak dapat melekat dengan baik pada permukaan fasa padat sehingga harus dikonjugasikan dengan protein. Konjugat antigen-protein ini akan berikatan dengan antibodi yang diuji. Pada ELISA kompetitif tidak langsung ini digunakan antibodi sekunder yang spesifik terhadap kelas imunoglobulin (Ig) spesies hewan yang digunakan (misalnya antibodi antimouse atau antirabbit IgG) yang dikonjugasikan dengan enzim.

1. Antibodi dilapiskan pada permukaan fasa padat (pelat mikro, lateks, nitroselulose).

2. Antigen berlabel enzim dan sampel ditam- bahkan ke dalam fasa padat berisi anti-

bodi. Antigen target dalam sampel akan berkompetisi dengan antigen berlabel untuk berikatan dengan antibodi pada fasa padat.

3. Fasa padat dicuci untuk menghilangkan materi sampel yang tidak terikat oleh antibodi pada fasa padat.

4. Substrat ditambahkan ke dalam fasa padat.

Jumlah produk berwarna yang dihasilkan berbanding terbalik dengan antigen yang terdapat dalam sampel.

Sampel negatif Sampel positif

Catatan: Fasa padat

Antibodi penangkap Antigen target

Antigen berlabel enzim Substrat

Produk berwarna (Enzim substrat)

(34)

Pada aplikasinya, antibodi primer dan sampel/standar diinkubasi secara bersamaan, kemudian dimasukkan ke dalam pelat mikro sebagai fasa padat yang berisi antigen. Seperti halnya ELISA kompetitif langsung, kompetisi akan terjadi antara antigen dalam sampel dengan untuk berikatan dengan antibodi. Setelah pencucian, ditambahkan antibodi sekunder berlabel enzim. Adanya reaksi kompleks antara antigen-antibodi akan memberikan warna setelah penambahan substrat, yang dapat diukur dengan menggunakan ELISA reader (Spektrofotometer) (Gambar 14).

Gambar 14 Tahapan pada ELISA kompetitif tidak langsung (Rittenburg 1990)

Sampel negatif Sampel positif 1. Antigen dilapiskan pada permukaan fasa

padat (pelat mikro, lateks, nitroselulose).

2. Antibodi primer dan sampel ditambahkan ke dalam fasa padat berisi antigen.Antigen dalam sampel akan berikatan dengan antibodi primer dalam larutan dan menghambat pengikatan dengan antigen pada fasa padat.

3. Antibodi anti globulin berlabel enzim ditambahkan ke dalam fasa padat. Antibodi berlabel akan menempel pada antibodi primer dan ditangkap oleh antigen pada fasa padat.

4. Substrat ditambahkan ke dalam fasa padat.

Jumlah produk berwarna yang dihasilkan berbanding terbalik dengan antigen yang terdapat dalam sampel.

Catatan:

Fasa padat Antigen target Antibodi primer

Antibodi anti-globulin berlabel enzim

Substrat

Produk berwarna (Enzim substrat)

(35)

ELISA penangkap antibodi

Konfigurasi ini digunakan untuk mengukur antibodi spesifik dalam sampel. Antigen dilapiskan pada fasa padat dan kemudian direaksikan dengan sampel. Antibodi yang terdapat dalam sampel akan ditangkap oleh antigen yang terdapat pada fasa padat. Materi sampel lainnya yang tidak terikat dihilangkan dengan pencucian, selanjutnya ditambahkan antibodi anti Ig berlabel enzim untuk menandai antibodi spesifik yang sudah ditangkap oleh antigen. Setelah pencucian terakhir ditambahkan substrat. Intensitas warna yang dihasilkan mencerminkan konsentrasi antibodi spesifik yang terdapat dalam sampel.

ELISA sandwich antibodi ganda (double antibodi sandwich ELISA)

Konfigurasi ini sesuai untuk mengukur antigen bivalen atau polivalen.

Istilah sandwich digunakan karena analit (dalam sampel) berada di antara antibodi pada fasa padat dan antibodi berlabel enzim (antibodi-enzim konjugat). Antibodi primer dilapiskan pada permukaan fasa padat dan analit (standar/sampel) ditambahkan. Setelah pencucian materi yang tidak terikat, kompleks antigen- antibodi yang sudah terbentuk ditambahkan antibodi primer berlabel enzim yang akan menempal pada salah satu daerah pengikatan antigen yang masih tersisa.

Selanjutnya substrat ditambahkan setelah pencucian terakhir. Warna yang terbentuk mencerminkan konsentrasi antigen yang terdapat dalam sampel.

Aplikasi ELISA untuk deteksi fumonisin

Teknik ELISA untuk mendeteksi fumonisin telah dikembangkan oleh Azcona-Olivera et al.(1992a) dan Yeung et al.(1996) dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik terhadap FB1-toksin kolera (FB1-CT). Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi cemaran fumonisin dalam berbagai jenis sampel.

Teknik ELISA dengan menggunakan poliklonal antibodi telah dikembangkan dengan menggunakan FB1-BSA dan FB1-CT sebagai imunogen dengan cara imunisasi mencit BALB/c (Azcona-Olivera 1992a). FB1-BSA sebagai imunogen ternyata tidak efektif memproduksi antibodi. Sedangkan imunisasi dengan dosis rendah FB1-CT menghasilkan antibodi dengan affinitas yang rendah

(36)

(7,5 μg), namun antibodi yang dihasilkan mempunyai reaksi silang yang cukup tinggi dengan senyawa lain yang memiliki struktur molekul yang sama. Antibodi poliklonal yang diproduksi oleh Yeung et al.(1996) dengan menggunakan FB1-CT dan FB1-HAS (human serum albumin) sebagai imunogen menghasilkan antibodi poliklonal yang reaktif terhadap fumonisin. Limit deteksi ELISA kompetitif langsung menggunakan antibodi ini 5 ng/g pada jagung dengan reaksi silang terhadap FB2 , FB3 , HFB2 dan HFB3 dan masing-masing 50% , 13%, 11% dan 3%. Kulisek dan Hazebroek (2000) mengembangkan metode untuk mendeteksi toxin FB1 pada jagung dengan metode ELISA kompetitif memakai poliklonal antibodi. Toksin FB1 diekstraksi dengan larutan fosfat sebagai pengganti pelarut organik. Metode ELISA yang dikembangkan berkorelasi linier dengan HPLC namun hanya dapat mendeteksi FB1 pada kisaran konsentrasi 1-50 µg/ml.

Selanjutnya, Azcona-Olivera et al. (1992b) mengembangkan teknik imunoasai berdasar pada Antibodi monoklonal untuk mendeteksi fumonisin dengan menggunakan FB1-CT sebagai imunogen. Antibodi yang dihasilkan memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi. Limit deteksi yang diperoleh dengan menggunakan metode ini 50 ng/ml untuk stándar FB1, dan aplikasinya pada sampel yang ditambahkan 5-25 μg/g standar memberikan rekoveri 103%

dengan koefisien variasi sebesar 15%. Yu dan Chu (1999a) memproduksi antibodi monoklonal spesifik terhadap FB1 dengan FB1-KLH sebagai antigen, dan menghasilkan spesifik antibodi monoklonal terhadap FB3. Selain itu, Yu dan Chu (1999b) juga berhasil membuat antibodi monoklonal terhadap anti-idiotipe FB1

dengan fragmen Fab sebagai antigen. Teknik ELISA kompetitif tidak langsung dan ELISA kompetitif langsung digunakan untuk mendeteksi antibodi dan menganalisa kandungan toxin. IC50 untuk FB1, FB2, dan FB3 berturut-turut 75, 95 dan 450 ng/mL dengan ELISA kompetitif tidak langsung, sedangkan IC50 FB1

dengan ELISA kompetitif langsung 233 ng/ml dan limit deteksi pada sampel 500 ng FB1/g.

Teknik ELISA tidak langsung digunakan untuk mendeteksi antibodi, sedangkan ELISA kompetitif langsung untuk menganalisa fumonisin dengan rekoveri 71,3%. Barna-Vetro et al. (2000) juga telah mengembangkan ELISA

Referensi

Dokumen terkait

berakhir (disebut evaluasi sumatif). Berbeda dengan model yang pertama dikembangkan, model yang kedua ini ketika melaksanakan evaluasi, evaluator tidak dapat melepaskan

bahwa sambil menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah tentanc Penyuluhan dan Pendidikan khüsus bidang Pengairan sebagaimana dimaksud dalam butir (b) diatas dengan berlandaskan

 Pengertian latihan yang berasal dari kata training adalah penerapan dari suatu perencanaan untuk meningkatkan kemampuan berolahraga yang berisikan materi teori dan praktek,

Osteomyelitis pada anak-anak sering bersifat akut dan menyebar secara hematogen, sedangkan osteomyelitis pada orang dewasa merupakan infeksi subakut atau kronik

Tapi saya memakai nalar jernih, bahwa ini se- bagai suatu kepercayaan penuh dari Ibu Presiden,” kata Miranda saat berbincang dengan majalah detik dan Trans7 di kampus UI, Jumat,

Pernapasan cuping hidung (-), retraksi intercostal (+), pergerakan dada simetris rasio insipasi:ekspirasi = 1:1, frekuensi pernapasn berkisar antara 20- 30x/menit,

Proses akulturasi tradisi nyaula pada awalnya yang dilakukan oleh orang hindu yang ada di Sulawesi selatan dan sebelum masuknya agama islam di Sulawesi, setelah

Melaksanakan  Algoritma  berarti  mengerjakan  langkah‐langkah  di  dalam  Algoritma  tersebut.  Pemroses  mengerjakan  proses  sesuai  dengan  algoritma  yang