• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA. Fumonisin (Halaman 51-60)

NYGAMAI PADA MEDIUM JAGUNG

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan F. verticillioides dan F. nygamai

Pada suhu 25oC, kelompok 2 dan 3 yang diinokulasi dengan kapang F.

verticillioides dan F. nygamai menunjukkan adanya pertumbuhan yang baik dari kedua kapang tersebut pada medium PDA. Pada suhu tersebut, miselia F.

verticillioides terlihat berwarna merah muda keunguan, dan putih hingga merah

tua (Gambar 16). Sedangkan pada kelompok kontrol tidak terdapat pertumbuhan kapang.

F. verticillioides F. nygamai

Gambar 16 Pertumbuhan kapang F. verticillioides dan F. nygamai pada medium PDA setelah inkubasi 7 hari pada suhu 25oC dan 37oC

Pembentukkan miselia kapang F. verticillioides dan F. nygamai pada medium jagung mulai terlihat pada hari ke-7 (Gambar 17) dan mencapai kondisi optimum pada minggu ke-3 dan ke-4. Dalam studinya, Nelson et al. (1991) juga melaporkan bahwa pada suhu 25oC pertumbuhan kapang Fusarium spp. yang optimum terjadi pada minggu ke-4 ditandai dengan adanya pembentukkan miselia.

Gambar 17 Pertumbuhan kapang F. verticillioides (A) dan F. nygamai (B) pada medium jagung setelah inkubasi selama 7 hari

Pada suhu 37oC, kapang F. verticillioides masih dapat tumbuh namun tidak sebaik pada suhu 25oC. Sedangkan pada biakan F. nygamai tidak terlihat

A

37oC 25oC 37oC 25oC

B

adanya pertumbuhan kapang pada suhu 37oC. Hasil pengujian yang dilakukan oleh Marin et al. (2004) menunjukkan bahwa sebagian besar kapang Fusarium spp. tidak dapat tumbuh pada suhu 37oC pada medium agar ekstrak jagung, mekipun dilaporkan bahwa germinasi F. verticillioides dapat terjadi pada kisaran suhu 5-37oC (Marin et al. 1996). Hal ini terjadi karena pertumbuhan kapang menurun setelah fasa lag dan pada suhu tinggi terjadi lebih cepat hingga pada akhirnya kapang tidak dapat tumbuh sama sekali. Pada percobaan ini, hal tersebut hanya terjadi pada F. nygamai, sementara F. verticillioides masih dapat tumbuh.

Produksi Fumonisin

Pada suhu 25oC, produksi optimum FB1 oleh F.verticillioides yaitu 1,24 g/kg dengan total produksi 10,26 g dan oleh F. nygamai 0,87 g/kg dengan total produksi 9,24g. Isolat kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang sama sebelumnya menghasilkan FB1 masing-masing sebesar 12,8 g/kg dan 1,11 g/kg (Maryam 2000). Hasil percobaan ini menunjukkan adanya penurunan potensi kedua isolat kapang tersebut dalam memproduksi FB1, sehingga untuk mempertahankan potensi tersebut perlu dilakukan pembiakan secara berkala.

Potensi isolat F. verticillioides lokal ini lebih rendah dibandingkan dengan kapang F. verticillioides MRC 826 yang dapat menghasilkan FB1 17,9 g/kg. Kapang tersebut adalah kapang yang diisolasi dari jagung pada kasus kanker esofagus di Afrika Selatan (Rheeder et al. 2002).

Menurut Le Bars et al. (1994) suhu 25oC adalah suhu optimum untuk pertumbuhan kapang Fusarium dan produksi fumonisin. Nelson et al. (1991) melaporkan bahwa pada suhu 25oC produksi fumonisin yang optimum oleh kapang Fusarium spp. terjadi pada minggu ke-4. Demikian pula Alberts et al.

(1990) yang melaporkan bahwa pada suhu 25oC produksi FB1 oleh strain F.

verticillioides jauh lebih baik dibandingkan pada suhu 20oC. Marin et al. (2004) juga mengamati produksi FB1 dengan konsentrasi tinggi dihasilkan oleh F.

verticillioides pada suhu 25oC. Berdasarkan data-data tersebut dapat dinyatakan bahwa suhu inkubasi 25oC adalah suhu yang tepat untuk produksi FB1 yang optimum.

Di sisi lain, pada suhu 37oC FB1 hanya diproduksi oleh F. verticillioides dengan konsentrasi yang jauh lebih rendah dibandingkan pada suhu 25oC (maksimum 5,14 mg/kg dengan total produksi 71,68 mg/kg), sedangkan pada biakan F. nygamai FB1 tidak terdeteksi (Gambar 18).

0 200 400 600 800 1000 1200 1400

0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36 39

Lama inkubasi (Hari)

Produksi FB1 (mg/kg)

F. moniliforme 25oC F. moniliforme 37oC F. ny gamai 25oC F. ny gamai 37oC

Gambar 18 Pola produksi FB1 oleh biakan F. verticillioides dan F. nygamai dalam medium jagung pada suhu inkubasi 25oC dan 37oC

Hasil yang diperoleh pada percobaan ini memperlihatkan bahwa produksi FB1 oleh F. verticillioides dan F. nygamai pada suhu 25oC lebih tinggi dibandingkan pada suhu 37oC. Pada suhu 25oC produksi FB1 oleh F.

verticillioides lebih baik dibandingkan dengan F. nygamai.

Isolasi dan Deteksi Fumonisin

Pemurnian ekstrak kasar biakan F. verticillioides yang mengandung FB1

1,60 g/kg melalui fraksinasi menggunakan kolom XAD-2 menghasilkan FB1 1,54 g/kg (rendemen 96,3%) dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada fraksi ke-8 yaitu 0,261 g/kg setelah kolom dielusi dengan 0,5% asam asetat dalam metanol (Gambar 19). Penambahan 50 ml larutan pengelusi, FB1 belum terelusi sempurna, sehingga untuk memperoleh rendemen yang lebih baik dibutuhkan pelarut lebih

F. verticillioides 25oC F. verticillioides 37oC

banyak agar seluruh FB1 terelusi dari kolom. Berdasarkan pola grafik pada gambar tersebut diperkirakan pelarut yang dibutuhkan untuk mengelusi seluruh fumonisin dari kolom sekitar 25-35 ml (fraksi 15-17).

0 50 100 150 200 250 300

FB1 (mg/kg)

F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 Fraksi

Gambar 19 Konsentrasi FB1 dari ekstrak biakan F. verticillioides yang difraksinasi melalaui kolom XAD-2

Deteksi FB1 pada KCKT menggunakan detektor fluoresensi membutuhkan proses derivatisasi karena fumonisin tidak menyerap panjang gelombang ultra violet atau fluoresen. Pada percobaan ini digunakan OPA dan 2-merkaptoetanol untuk membentuk derivat yang melibatkan reaksi gugus amina primer. Derivat yang dihasilkan dari reaksi tersebut lebih sensitif (limit deteksi 50 ng/g) dibandingkan dengan derivat maleil dan fluoresamin. Namun derivatif ini kurang stabil pada suhu ruang sehingga untuk mengatasinya pendeteksian dilakukan secepatnya (2 menit) setelah reaksi derivatisasi dilaksanakan (Shephard, 1998).

Menurut Williams et al. (2004) masalah ini juga dapat diatasi dengan penyimpanan pada suhu rendah sebelum dianalisis dengan KCKT. Stabilitas derivat ini meningkat secara nyata pada penyimpanan dengan suhu 4oC. Metode deteksi fumonisin dengan menggunakan OPA, metanol-air (3:1, v/v) sebagai

larutan pengekstrak, dan SAX cartridge untuk pemurnian telah dipelajari secara intensif dengan supervisi komisi kimia pangan dari IUPAC (Williams et al. 2004).

Waktu retensi (tR) merupakan parameter yang diamati untuk menentukan keberadaan senyawa yang dicari (analit) setelah pendeteksian dengan KCKT, yang dihitung berdasarkan kecepatan migrasi senyawa tersebut sejak awal penginjeksian ke dalam kolom hingga ke luar dari kolom. Shephard (1998) mendeteksi FB1 pada KCKT dengan tR 6,5 menit menggunakan detektor fluoresensi, kolom fasa terbalik, dan campuran metanol-buffer fosfat (7:3) sebagai fasa gerak. Pada percobaan ini, FB1 teramati pada tR 6,3 menit dengan sistem KCKT seperti terlihat pada Gambar 20. Adanya perbedaan waktu retensi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti perbedaan panjang kolom dan jenis kolom, serta komposisi fasa gerak yang digunakan, atau suhu lingkungan selama proses analisis. Rendemen FB1 yang dihasilkan setelah pemurnian dan dideteksi pada KCKT mencapai 96,3% dengan kemurnian 95,3%. Pada tingkat kemurnian tersebut, FB1 yang dihasilkan dapat digunakan untuk kegiatan selanjutnya, seperti pembuatan antigen atau sebagai standar pada analisis fumonisin secara imunoasai.

Gambar 20 Fumonisin B1 pada ekstrak biakan F. verticillioides setelah pemurnian melalui XAD-2 dan dideteksi dengan KCKT menggunakan detektor fluoresensi (λeksitasi 335 nm, λemisi 440 nm), kolom µ-Bondapak C18 (3.9x300mm), dan fasa gerak metanol-natrium dihidrogen fosfat 0,1 M (7:3)

FB1

FB1

Ekstrak biakan F. verticillioides Standar FB1

KESIMPULAN

Isolat lokal kapang F. verticillioides dan F. nygamai yang diinokulasikan pada jagung tumbuh lebih baik pada suhu 25oC daripada suhu 37oC. Pada suhu tersebut, baik F. verticillioides maupun F. nygamai dapat menghasilkan FB1.

Total produksi FB1 dari biakan kapang F. verticillioides dalam medium jagung lebih banyak (10,26 g) dibandingkan dengan F. nygamai (9,24 g).

Produksi FB1 yang optimum oleh F. verticillioides lebih cepat tercapai yaitu pada hari ke-27 dibandingkan produksi optimum oleh F. nygamai yang tercapai pada hari ke-30. Hal ini disebabkan karena fasa lag yang dicapai oleh F. verticillioides terjadi lebih cepat daripada F. nygamai.

Pada suhu 37oC, F. verticillioides masih dapat tumbuh dengan pertumbuhan yang kurang baik dan produksi FB1 lebih sedikit (5,14 mg/kg) dibandingkan pada suhu 25oC. Sedangkan F. nygamai tidak dapat tumbuh pada suhu 37oC sehingga tidak ada pembentukan FB1.

Pemurnian ekstrak kasar dari biakan F. verticillioides pada jagung melalui kolom XAD-2 menghasilkan rendemen FB1 sebesar 96,3% dengan tingkat kemurnian 95,3%.

Dengan jumlah dan tingkat kemurnian yang dihasilkan tersebut, FB1 dapat digunakan untuk sintesis antigen dan enzim konjugat, atau untuk standar pada analisis secara imunoasai pada percobaan berikut.

DAFTAR PUSTAKA

Alberts JF, Gelderblom WCA, Thiel PG, Marasas WF0, Van schalkwyk DJ, and Behrend Y. 1990. Effects of Temperature and Incubation Period on Production of Fumonisin B1 by Fusarium moniliforme. Applied and Environmental Microbiology, 1729-1733.

Ali N, Sardjono, Yamashita A, and Yoshizawa T. 1998. Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenone) in corn from Indonesia. Food Additive and Contaminant 15: 337-348.

Barnet HL and Hunter BB. 1972. Illustrated genera of imperfecti fungi. Burgess Publishing Co. Sydney, 126.

Branham BE and Plattner RD. 1993. Isolation and characterization of a new fumonisin from liquid cultures of Fusarium moniliforme. Journal of Natural Products 56: 1630-1633.

Dharmaputra OS, Putri ASR, Susilo H and Sunjaya. 1996. Fusarium spp. and fusarium toxins in maize, maize products and chicken feed. Paper presented at the National Microbiology Seminar and Annual Scientific Meeting, Malang, Indonesia, 12-13 November 1996

Le Bars J, Le Bars P, Dupuy J, Boudra H, and Casini R. 1994. Biotic and abiotic factors in fumonisin B1 production and stability. Journal of AOAC International 77: 517-521.

Leslie JF, Plattner RD., Desjardin AE, and Klittich CJR. 1992. Fumonisin B1 production by strains from different mating population of Gibberella fujikoroi (Fusarium section liseola). Mycotoxicology 82 (3): 341-345.

Leslie JF, Zeller KA, Lamprrecht SC, Rheeder JP, and Marasas WFO. 2005.

Toxicity, and genetic differrentiatiom of five species of Fusarium from sorghum and millet. Mycology 95(3): 275-283.

Marin S, Sanchis V, Teixido A, Saenz R, Ramos AJ, Vinas I, and Magan N. 1996.

Water and temperature relations and microconidial germination of Fusarium moniliforme and F. proliferatum from maize. Canadian Journal of Microbiology 42: 1045-1050.

Marin S, Sanchis V, Vinas I, Canela R, and Magan N. 1995. Effect of water activity and temperature on growth and fumonisin B1 and B2 production by F. proliferatum and F. moniliforme in grain. Letter of Applied Microbiology 21: 298-301.

Marin S, Magan N , Ramos AJ, and Sanchis V. 2004. Fumonisin-producing strains of Fusarium: A review of their ecophysiology. Journal of Food Protection 67(8): 1792-1805.

Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57.

Miller JD, Savard ME, Sibilia A, Rapior S, Hocking AD, and Pitt JI. 1993.

Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from Southeast Asia. Mycologia 85 (3): 385-391.

Nelson PE, Desjardins AE, and Plattner RD .1993. Fumonisins, mycotoxins produced by Fusarium species: biology, chemistry and significance.

Annual Review of Phytopathology 31: 233-252.

Nelson PE, Plattner RD, Shackelford DD, and Desjardins AE. 1991. Production of fumonisins by Fusarium moniliforme strains from various substrates and geographic areas. Applied of Environmental Microbiology 57: 2410-2412.

Rheeder JP, Marasas WFO, and Vismer HF. 2002. Production of fumonisins analogs by Fusarium species. Applied and Environmental Microbiology 68(5): 2101-2105.

Shephard GS. 1998. Chromatographic determination of the fumonisin mycotoxins. Journal of Chromatography A 815: 31-39.

Shephard GS, Yazdanpanah H, Rahimian H. and Safavi N. 2000. Natural occurrence of fumonisins in corn from Iran. Journal Agricicultural and Food Chemistry 48: 1860-1864.

Samapundo S, Devliehgere F, De Meulenaer B, and Debevere J. 2005. Effect of water activity on growth and the relationship between fumonisin production and the radial growth of Fusarium verticillioides and Fusarium proliferatum on corn. Journal of Food Protection 68(5): 1054-1059.

Thiel PG, Marasas WFO, Sydenham EW, Shephard GS, and Gelderblom WCA.

1992. The implication of naturally occuring levels of fumonisins in corn for human and animal health. Mycopathologia 117: 3-9

Trisiwi EA. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsi Sarjana, Universitas Lampung.

Williams LD, Meredith FI, Riley RT. 2004. Fumonisin-ortho-phtaldialdehyde derivative is stabilized at low temperature. Journal of Chromatography B 806:311-314.

Zang H, Nagashima H, Goto T. 1997. Natural occurance of mycotoxins in corn, samples from high and low risk areas for human esophageal cancer in China. Mycotoxins 4: 29-35

Dalam dokumen TINJAUAN PUSTAKA. Fumonisin (Halaman 51-60)

Dokumen terkait