• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. METODE PENELITIAN

2.6. Kajian Pustaka

2.6.2. Fungsi Agama

Menurut Shcarf (1995) sosiologi melihat agama sebagai salah satu dari institusi sosial, sebagai sub sistem sosial yang mempunyai fungsi sosial tertentu, misalnya sebagai salah satu pranata sosial, social intitution. Karena posisinya sebagai sub sistem, maka eksistensinya dan peran agama dalam suatu masyarakat tak ubahnya dengan posisi dan peran subsistem lainnya,

meskipun tetap mempunyai fungsi yang berbeda. Dengan kata lain, posisi agama dalam suatu masyarakat bersama-sama subsistem lainnya (seperti subsistem ekonomi, politik kebudayaan, dan lain-lain) mendukung terhadap eksitensi masyarakat. Agama tidak dilihat berdasarkan apa dan bagaimana isi ajaran dan doktrin keyakinan, melainkan bagaimana ajaran dan keyakinan agama itu dilakukan dan mewujud dalam prilaku para pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

Perilaku keagamaan sesungguhnya merupakan perilaku yang terdapat dalam alam kenyataan dan karenanya dapat diamati dan diteliti, bila fenomena sosial berubah maka akan diikuti perubahan fenomena keagamaan, dan sebaliknya keduanya saling berkaitan secara erat (Bellah, 146).

Menurut Sunarto (1993) mengemukakan bahwa agama merupakan istitusi penting yang mengatur kehidupan manusia istilah agama disini merupakan terjemahan dari kata religion, suatu istilah yang ruang lingkupnya lebih luas dari istilah agama yang digunakan pemerintah RI, yang hanya mencakup agama-agama yang diakui pemerintah, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha, dan Kongguchu.

Horton dan Hunt (1991) melihat agama berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya yang sifatnya lebih dari perilaku moral. Agama menawarkan suatu pandangan dunia dan jawaban atas berbagai persoalan yang membingungkan manusia. Agama mendorong manusia untuk tidak melulu memikirkan kepentingan dirinya sendiri, melainkan juga memikirkan kepentingan orang bersama.

Agama juga seperangkat hukum atau atauran tingkah laku maupun sikap yang selalu mengacu pada kehendak Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, semua hukum maupun peraturan tersebut pada umumnya diciptakan oleh Tuhan dan sebagian lain oleh manusia tertentu yang mendapatkan kepercayaan-Nya. Peraturan atau kaidah yang terdapat didalam agama dapat berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan, yang semua itu agar ada keselerasan, ketertiban, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia lain, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dapat tercapai.

Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.

Adat Aceh sebagai aspek budaya, tidak identik dalam pemahaman “ budaya “ pada umumnya, karena segmen-segmen integritas bangunan adat juga bersumber dari nilai-nilai agama (syariat) yang menjiwai kreasi

budayanya. “ Adat ngon agama lagei zat ngon sifeut “(Adat dan agama seperti zat dan sifat). Roh Islami ini telah menjiwai dan menghidupkan budaya Aceh, sehingga melahirkan nilai-nilai filosofis, yang akhirnya menjadi patron landasan Budaya ideal dalam bentuk narit naja

Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala, Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.

( kekuasaan adat ada pada Sulthan, hukum ada pada ulama Syiah Kuala, peraturan pada sulthan, dan nilainya pada ahli adat)

Pou Teumeureuhom; Simbol pemegang kekuasaan. Syiah Kuala;

Simbol hukum syari’at/agama dari ulama. Qanun; Perundang-undangan yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi yang terus berkembang. Reusam;

Tatanan protokuler/seremonial adat istiadat dari ahli-ahli adat yang terus berjalan. Pengembangan nilai-nilai tatanan ini, mengacu kepada sumber asas, yaitu ” Agama (hukum) ngon Adat, lagei zat ngon Sifeut ”

Mengacu kepada asas narit naja ini maka budaya adat mengandung dua sumber nilai yaitu:

Pertama: nilai adat istiadat, yaitu format seremonial, prilaku ritualitasi, keindahan, seni apresiasi dalam berbagai format upacara dan kreasi

Kedua: nilai normatif/ prilaku tatanan ( hukum adat ), yaitu format materi aturan dan bentuk sanksi-sanksi terhadap pelanggar-pelanggaran.

Mengacu kepada budaya adat Aceh yang sarat dengan nilai-nilai Islami, maka pada dasarnya, dalam pengembangan budaya adat berpegang kepada beberapa asas, antara lain:

a. Setia kepada aqidah Islami (hablum minallah)

b. Bersifat universal (tidak ada gap antar agama, antar bangsa dan antar suku)

c. Persatuan dan kesatuan (hablum minan nas)

d. Rambateirata (kegotong royongan, tolong menolong) e. Patuh kepada imam (pemimpin)

f. Cerdas dengan ilmu membaca dan menulis (iqra’ dan kalam/menulis ) Pertumbuhan budaya adat Aceh, andainya menjadi bagian kesetiaan dalam konteks harkat dan martabat identitas keacehan, menghadapi tantangan sebaran budaya global, maka wujud budaya idealis, akan mudah adaptatis, akselirasasi dan berakumulasi secara kompetitif dan terprogram.

Muatan budaya adat Aceh sebagaimana tersebut diatas, secara teori memenuhi pandangan-pandangan yang dikemukakan antara lain oleh :

a. E.B.Taylor dalam bukunya : Primitive Culture, Boston, 1871, dengan rumusan : Culture or Civilization is that complex whole whitch includes knowledge, belief, art, morals, law, customs and any other capabilities, acquired by man as a member of society. (E.M.K.Masinambau, Hukum dan Kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hal.1)

Maksudnya; Budaya adalah suatu peradaban yang mengandung berbagai nilai ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasan dan berbagai kemampuan rekayasa (keterampilan) seseorang sebagai anggota masyarakat3

b. Abidin Hasyim, formula dasar kebudayaan Aceh, dengan mengemukakan, bahwa: Kebudayaan Aceh telah menemukan identitasnya yang bernafas keislaman. Sistem tata nilailah yang menjadi tolak ukur untuk menyaring pengaruh baru dari luar, mana yang bisa diterima dan mana yang harus ditolak. Sistem tata nilai Islam yang dianut masyarakat Aceh, dalam menghadapi pengaruh modern, bukanlah pertentangan antara keislaman tradisional dengan modern, sebab Islam tidak berwatak tradisional, karena padanya terkandung pula unsur-unsur modern (Seksi Seminar PKA-3, Bunga Rampai Temu Budaya Nasional, tulisan Abidin Hasyim, bertajuk: Kebudayaan Aceh Dalam Dilema

c. Soejito Sastrodiharjo, dalam topik tulisannya, Hukum Adat dan Realitas Penghidupan, dengan mengangkat dan setuju dengan pandangan Kluckhohn, yang mengatakan :.

Nilai itu merupakan ”a conception of desirable”. Pada nilai ada beberapa tingkatan, yaitu nilai primer dan nilai sekunder. Nilai primer merupakan pegangan hidup bagi suatu masyarakat (abstrak), misalnya: kejujuran, keadilan, keluhuran budi dan lain-lain, sedangkan nilai skunder adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan kegunaan, misalnya dasar-dasar menerima keluarga berencana atau untuk memecahkan persoalan yang sedang dihadapi. Nilai skunder muncul sesudah penyaringan nilai primer.

Kemajuan yang dicapai oleh Jepang, disebabkan karena orang Jepang mempertahankan nilai-nilai primernya, tetapi mengubah nilai-nilai skundernya (M.Syamsuddin, dkk, Hukum Adat dan Modernisasi Hukum, Fak.Hukum UII, Yogyakarta, 1998, hal 113 )

Untuk memelihara tumbuhnya adat istiadat Aceh, ada dua kawasan yang perlu diprogramkan pengembangan apresiasi adat, dimana para tokoh adat (leading) sektor dengan perangkatnya amat berperan di dalamnya, yaitu kawasan Gampong dan kawasan Mukim

(http://www.acehforum.or.id/wujud-budaya-aceh 05/06/2008)

Dalam konteks budaya ideal, aktualisasi produk paket-paket budaya adat, dapat memasuki pasar global, dengan memperhatikan beberapa unsur, sebagai berikut:

1. Berakhlak agamis: kuat aqidah dalam penegakan syiar dan syariat Islam.

2. Berjiwa adatis: Penampilan prilaku yang adatis, dengan norma-norma adat dalam upacara-upacara kekhidmatan, bernilai ekonomi, harkat dan martabat. 3. Bertata Etika: budaya adat yang transparan (bermasyarakat, beraturan, berencana, berorganisasi, bergerak dan rensponsif), dibawah manajemen Keuchik dan perangkatnya.

4. Bertata Estetika. implimentas kreasi, apersiasi dalam format dengan nilai-nilai seni keindahan, bersih anggun, menarik (cantik), penuh nilai- nilai martabat yang santun, kebanggaan dan berwibawa.

5. Pengembangan nilai-nilai sejarah: Gedung memorial, monumen Daerah Modal, Monumen Perjuangan, Istimewa, Serambi Mekah, Syariat Islam, musium alat-alat teknologi pertanian tradisional, transportasi, musium perikanan, musium kereta api dan lainnya.

6. Tempat-tempat Rekreasi: Membangun pantai-pantai wisata, restoran, taman rekreasi, salon-salon, yang fasilitas penampilannya bernuansa adat dan Islami

7. Membangun Panggung Festival: Menyediakan sarana festival seni yang bernafaskan Islam,menjadi media dakwah (kalender festival), dalail khairat, saman gayo, seudati, rapai, drama, tarian tradisional Aceh (klassik), tarian seni modern (Islami), pameran seni lukis, kaligrafi,

makanan dan pakaian adat. Peranan pengusaha, secara komersial dan terprogram permanen. Membangun taman-taman hiburan untuk penyaluran minat kreasi, hiburan anak-anak yang tetap dan permanen.

Taman rekreasi sungai Aceh

8. Membangun maket-maket souvenir Aceh: Memperbanyak kegiatan bisinis bidang jasa melalui toko-toko souvenir, pakaian adat, kue-kue Aceh, barang-barang antik Aceh, barang perhiasan, keramik dan lain-lain.

(http://www.acehforum.or.id/wujud-budaya-aceh 05/06/2008.)

Menurut Parsons (1950-1960) terdapat fungsi-fungsi atau kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap sistem yang hidup demi kelestarian.

Dan pokok penting dalam kebutuhan fungsional ini adalah pertama, yang berhubungan dengan lingkungan. Kedua, yang berhubungan dalam percapaian sasaran atau tujuan serta saran yang perlu untuk mencapai tujuan tersebut.

Berdasarkan premis itu Parsons menciptakan empat kebutuhan fungsional :

1. A- Adaptation ( Adaptasi )

a. Bahwa semua sistem sosial berawal dari hubungan dua orang sampai sistem sosial yang lebih besar dan rumit, harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dihadapinya baik itu lingkungan fisik maupun sosial.

b. Harus terdapat suatu penyesuaian dari sistem itu terdapat tuntutan kenyataan yang keras dan mungkin tak dapat di ubah dari lingkungan.

c. Juga dapat di lakukan proses transformasi aktif dari situasi itu, yakni menggunakan keadaan lingkungan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

2. G – Goal Attaiment ( Percapaian Tujuan )

Persyaratan ini sama sekali tidak sulit untuk dimengerti. Setiap orang dalam tindakannya selalu mempunyai tujuan tertentu. Namun demikian, bukan tujuan individu yang dipentingkan disisi, melainkan tujuan bersama antara mereka yang termasuk dalam sistem interaksi itu.

3. I- Integration ( Ingrasi )

Agar suatu sistem sosial dapat berfungsi secara efektif, maka diperlukan adanya tingkatan solidaritas diantara individu-individu terlibat. Masalah integrasi merujuk pada kebutuhan untuk menjamin bahwa ikatan emosional yang mampu menghasilkan solidaritas dan kerelaan untuk bekerja sama dikembangkan dan di pertahankan.

4. L – Latent Pattern Maintenance ( Pemeliharaan Pola-Pola Yang Laten )

Latent berarti tersembunyi, atau yang tidak kelihatan, Pattern berarti Pola, sedangkan Maintenance berarti Pemeliharaan. Permasalahan yang mendasar yang berhubungan dengan persyaratan ini adalah menjawab pertanyaan berikut : kalau sistem sosial itu menghadapi kemungkinan bahaya perpecahan karena anggotanya berjalan keluar dari rel, apa yang harus dibuat oleh sistem itu ? jawaban atas pertanyaan ini adalah bagaimana pola sistem ini mempertahankan diri dari kehancuran dan pola ini tidak kelihatan. ( Latent )

Dalam perspektif Fungsionalis suatu masyarakat dilihat sebagai suatu jaringan kelompok kerja sama yang secara teroganisasi yang bekerja dalam

suatu cara yang agak teratur. Menurut seperangkat peraturan dan nilai yang di anut oleh sebagian besar masyarakat tersebut, masyarakat di pandang sebagai suatu sistem yang stabil dan suatu sistem kerja yang selaras dan seimbang ( Paul Horton, 1984:23 ).

Parsons yakin bahwa metodelogi yang paling memadai adalah metodelogi ‘’ Fungsionalisme Struktural ‘’, menurutnya teori yang tepat adalah mengenai proses dinamis tidak ada, tetapi memang terdapat kemungkinan untuk menganalisis regularitas dalam terjadinya pelbagai relasi, yang bisa dianggap sebagai “ struktur’’ gagasan mengenai fungsi berguna agar kita terus mengamati apa yang disumbangkan oleh sesuatu bagian dari struktur terhadap sistem yang dianalisis, atau tepatnya apa fungsi yang dijalankan dalam sistem itu. Ia menyayangkan bahwa ia disebut sebagai ‘’ seorang funsionalis struktural ‘’, sebab ia bermaksud tetap memisahkan fungsi, yang merupakan istilah penjelas, dari pasangan deskriptifnya, yakni struktur dan proses.

Sebagaimana Teori Struktural Fungsional dalam konsep AGIL yang di kemukakan oleh Talcott Parsons mengenai Integrasi (Integration), maka posisi agama sangatlah berfungsi dalam menguatkan struktur dalam masyarakat dimana agama sangat berperan dan doktrin untuk selalu berbuat baik dan berhubungan sesama insan. Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, maka dengan demikian adanya peraturan nilai-nilai agama dan hukum-hukum yang secara kolektif diberlakukan kepada umatnya, dengan tujuan untuk dipatuhi secara kolektif juga. Sehingga tumbuhnya rasa kebersamaan dan tanggung jawab sosial secara bersama untuk menegakkan

dan merealisasikan nilai-nilai agama secara bersama-sama. Disinilah masyarakat terintegrasi sebagaimana yang di kemukakan oleh Talcott Parsons.

Dokumen terkait