• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. TEMUAN DATA DAN ANALISA DATA

4.4. Tanggapan Responden Terhadap Frekuensi Pelanggaran

pelaksanaan penerapan Syari’at Islam, masyarakat dilibatkan seperti Geuchik (kepala desa), Imum Gampoeng, tokoh adat, dan tokoh pemuda mereka bekerja sama dengan wilayatul Hisbah, dalam memberantas pelanggaran Syari’at Islam.

Tabel 36. Distribusi jawaban responden tentang masyarakat mengetahui fungsi penerapan Syari’at Islam

No. Uraian Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Mengetahui 52 55.3

2. Kurang

mengetahui 37 39.4

3. Tidak mengetahui 5 5.3

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2009

Dari Tabel 36. dapat dilihat bahwa sebanyak 52 responden atau (55.3

%) mengatakan mengetahui, sebanyak 37 responden atau (39.4 %) mengatakan kurang mengetahui. Dan sebanyak 5 atau (5.3 %) responden tidak mengetahui fungsi penerapan Syari’at Islam. Dengan demikian masyarakat telah banyak yang menerima sosialisasi tentang dan bisa memahami manfaat adanya penerapan Syari’at Islam.

4.4. Tanggapan Responden Terhadap Frekuensi Pelanggaran Syari’at

3. Tidak pernah 59 62.8

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari Tabel 37. dapat dilihat bahwa sebanyak 9 responden atau (9.6 %) mengatakan sering, sebanyak 26 responden atau (27.7 %) mengatakan jarang dan 59 responden atau (62.8 %) mengatakan tidak pernah. Dengan demikian penerapan Syari’at Islam sebagai alat kontrol bagi masyarakat terlihat berfungsi dengan baik, hal ini dapat dilihat dari 59 responden atau (62.8 %) mengatakan tidak pernah terjadi pelanggaran pakaian islami setelah penerapan Syari’at Islam, walaupun masih ada yang tidak menggunakan jilbab tetapi secara diam-diam dan tidak di tempat-tempat umum.

Tabel 38. Distribusi jawaban responden tentang perbuatan khalwat (laki-laki dan perempuan berduaan di tempat sunyi tanpa hubungan nikah)

setelah penerapan Syari’at Islam

No. Uraian Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Sering 5 5.1

2. Jarang 11 11.7

3. Tidak pernah 78 82.9

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari Tabel 38. dapat dilihat bahwa sebanyak 5 responden atau (5.1 %) mengatakan sering, dan sebanyak 11 responden atau (11.7 %) mengatakan jarang. Sedangkan sebanyak 78 respoden atau (82.9 %) mengatakan tidak pernah lagi pelanggaran khalwat terjadi setelah penerapan Syariat Islam Dengan demikian masyarakat desa Leuge telah menerima nilai-nilai Syari’at Islam dan telah dilaksanakan dengan patuh, sebagaimana masyarakat yang melakukan khalwat telah berkurang, sehingga kita harapakan tidak ada lagi pelanggaran pelanggaran khalwat.

Tabel 39. Distribusi jawaban responden tentang perbuatan judi (maisir) setelah penerapan Syari’at Islam

No. Uraian Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Sering 11 11.7

2. Jarang 17 18.1

3. Tidak pernah 66 70.2

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2009

Dari Tabel 39. dapat dilihat bahwa sebanyak 11 responden atau (14,9

%) mengatakan sering, dan sebanyak 17 responden atau (23,0 %) mengatakan jarang. Sedangkan sebanyak 46 respoden atau (62,1 %) mengatakan tidak pernah perbuatan judi (maisir) terjadi setelah penerapan Syariat Islam. dengan demikian perbuatan judi juga tidak ditemukan pada masyarakat desa Leuge Setelah penerapan Syari’at Islam hal ini mencerminkan bahwa masyarakat desa Leuge telah menerima Syari’at Islam sebagai aturan yang di jadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.

Tabel 40. Distribusi jawaban responden tentang mengkonsumsi minuman keras (khamer) setelah penerapan Syari’at Islam

No. Uraian Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Sering 2 2.1

2. Jarang 14 14.9

3. Tidak pernah 78 83.9

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2009

Dari Tabel 40. dapat dilihat bahwa sebanyak 2 responden atau (2,1 %) mengatakan sering, dan sebanyak 14 responden atau (14,9 %) mengatakan jarang. Sedangkan sebanyak 78 responden atau (83.9 %) mengatakan tidak pernah anggota masyarakat mengkonsumsi minuman keras (khamer) setelah penerapan Syariat Islam. dengan demikian masyarakat desa Leuge telah mengetahui dan membedakan makanan dan minuman yang halal dan haram dikonsumsi.

Tabel 41. Distribusi jawaban responden tentang masyarakat

meninggalkan kewajiban shalat jum’at setelah penerapan Syari’at Islam

No. Uraian Frekuensi (f) Persentase (%)

1. Sering 12 12.7

2. Jarang 16 17.0

3. Tidak pernah 66 70.2

Jumlah 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari Tabel 41. dapat dilihat bahwa sebanyak 12 responden atau (12.7

%) mengatakan sering, dan sebanyak 16 responden atau (17.0 %) mengatakan jarang. Sedangkan sebanyak 66 respoden atau (70.2 %) mengatakan tidak pernah lagi masyarakat meninggalkan kewajiban shalat jum’at setelah penerapan Syariat Islam. dengan demikian masyarakat desa Leuge telah dapat mengetahui kewajibannya sebagai muslim untuk melaksaakan perintah Syari’at sebagai pedoman hidup di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat dapat hidup rukun damai, aman dan sejahtera.

4.5. Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungngsi Sebagai Kontrol Sosial Menurut Jenis Kelamin, Usia, Jenjang pendidikan, dan Pekerjaan

Masyarakat desa Leuge diharapakandapat bersikap dan berprilaku sesuai dengan budaya Islam dan disesuaikan dengan nilai-nilai agama dan adat yang di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga jauh dari segala bentuk penyimpangan/pelanggaran. Syari’at Islam diterapkan guna untuk berfungsi sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat. Berikut tanggapan responden tentang berfungsinya Syari’at Islam sebagai kontrol sosial bagi masyarakat desa Leuge:

4.5.1. Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungsi Sebagai Kontrol Sosial Menurut Jenis Kelamin

Tanggapan responden mengenai penerapan Syari’at Islam menurut jenis kelamin tentunya berbeda-beda, perbedaan ini lazim terjadi di tengah- tengah masyarakat karena memiliki pandangan menurut kepentingan individu, namun pada masyarakat desa Leuge, pandangan penerapan Syari’at Islam masih memahami bahwa penerapan Syari’at Islam sangat befungsi bagi masyarakat, untuk mengetahui komposisi responden menurut jenis kelamin yang menilai syari’at Islam befungsi bagi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 40.

Tabel 42. Tanggapan responden berdasarkan jenis kelamin No. Jenis

Kelamin

Tanggapan responden bahwa penerapan

Syari’at Islam berfungsi sebagai kontrol sosial Jumlah Setuju Kurang Setuju Tidak Setuju

F % F % F % F %

1. Laki-laki 44 46.8 1 1.1 3 3.2 48 51.0

2. Perempuan 37 39.3 4 4.3 5 5.3 46 48.9

Jumlah 81 86.2 5 5.4 8 8.5 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari Tabel 42. dapat dilihat bahwa 3 responden atau (3.2 %) bedasarkan jenis kelamin laki-laki mengatakan Syari’at Islam tidak berfugsi, sedangkan berdasarkan jenis kelamin perempuan berjumlah 5 responden atau (5.3 %).

responden yang mengatakan Syari’at Islam tidak berfungsi di dominasi oleh perempuan. hal ini karena kaum perempuan merasa tidak bebas, dan ruang gerak mereka terbatas. seperti ungkapan alasan responden berikut ini:

“ Peraturan Syari’at Islam hanya berlaku untuk perempuan sementara bagi laki-laki tidak, sehingga kami perempuan selalu disalahkan, misalnya memakai celana panjang tidak boleh, baju lengan pendek pun tidak boleh, jadi kalau mau keluar bikin repot aja, karena harus menggantikan pakaian.” ( Wawancara Masthura. 2009).

Sementara itu responden yang kurang setuju berfungsinya penerapan Syariat Islam sebagai alat kontrol sosial berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah 1 (1,1 %), dan perempuan 4 (4,3 %). Hal ini menunjukkan masih ada keraguan pada masyarakat mengenai fungsi penerapan Syari’at Islam.

Sebagaimana ungkapan informan biasa dibawah ini:

“ Syaria’t Islam nyo-nyo ken, aleh keupu tujuan. Pedahai dari urojeh Syari’at Islam kana. Tapih jino kana lom aleh pu maksud..? nyang yo teuh lepah pdeng Syari’at Islam ureng metamah batat, mennyo metamah jroh nyang Alhamdulillah. (Syari’at Islam belum ada kepastian, untuk apa tujuannya, padahal dari dulu sudah ada, tapi sekarang muncul lagi, untuk apa..? yang kita takutkan masyarakat semakin jahat setelah diberlakukanya lagi Syari’at Islam, akan tetapi cenderung kelebih baik Alhamdulilah (wawancara dengan Sayed Razali. 2009)

Sedangkan pendapat yang setuju berdasarkan jenis kelamin laki-laki berjumlah 44 (46.8 %), perempuan berjumlah, 37 (39.3 %), hal ini menunjukkan bahwa penerapan Syari’at Islam sangat berfungsi bagi masyarakat, diantaranya menurunnya tingkat pelanggaran baik Busana, Khalwat, judi, Khamer,dan Shalat Jum’at. Sebagai mana ungkapan Informan”

‘’ Dengan adanya penerapan Syari’at maka masyarakat tidak berani melakukan pelanggaran karena takut di tangkap Wh, apalagi di cambuk, sehingga pelanggaran/segala bentuk maksiat pun sudah mulai bekurang, ( Wawancara dengan Iswandi 2009).

Dengan demikian dapat dikatakan penerapan Syari’at Islam memiliki nilai yang positif yaitu berfungsi sebagai alat kortol bagi masyarakat yang ingin melakukan perbuatan pelanggaran.

4.5.2. Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungngsi Sebagai Kontrol Sosial Berdasatkan Tingkat Pendidikan.

Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi pengetahuan dan kepatuhan masyarakat yang berasumsi penerapan Syari’at Islam memiliki fungsi bagi masyarakat, untuk mengetahui komposisi responden mengenai fungsi penerapan

Tabel 43. Tanggapan responden berdasarkan tingkat pendidikan No Tingkat Pendidikan

Tanggapan responden bahwa penerapan Syari’at Islam berfungsi sebagai kontrol sosial

Setuju Kurang setuju Tidak setuju Jumlah

F % F % F % F %

1. Tidak Tamat SD 6 6.4 2 2.1 2 2.1 10 10.6

2. Tamat SD/Sederajat 7 7.4 1 1.1 3 3.2 11 11.7

3. Tamat SLTP/Sederajat 15 16.9 3 3.2 2 2.1 20 21.3

4. Tamat SLTA/Sederajat 37 39.3 - - - - 37 39.4

5. Tamat PT/D3 16 17.0 - - - - 16 17.0

Jumlah 81 86.2 6 6.4 7 7.4 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari Tabel 43. dapat dilihat bahwa sebanyak 81 (86.2 %) responden yang mengatakan setuju adanya fungsi penerapan Syari’at Islam, dan sebanyak 6 (6,4 %) responden mengatakan kurang setuju, serta 7 (7,4 %) responden mengatakan penerapan Syari’at Islam tidak berfungsi, yaitu tidak tamat SD/sederajat 2 respoden, tamat SD/sederajat 3 respoden dan tamat SLTP/sederajat 2 respoden. Sebagaimana ungkapan informan berikut:

“ Karena penerapan Syari’at Islam tidak bebas bagi masyarakat untuk mengunakan pakaian, setiap berlangsungnya pelaksanaan shalat jum’at aktifitas wajib dihentikan, sehingga kita jadi mengikat dengan peraturan tersebut, ( Wawancara dengan Asri Novita 2009).

Pandangan perbedaan fungsi penerapan Syari’at Islam sering terjadi pada masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan berbeda pula, namun demikian masyarakat merasakan bahwa penerapan Syari’at Islam telah berfungsi walaupun hanya beberapa responden mengatakan tidak berfungsi, Adapun tingkat pendidikan tamat SLTA/sederajat dan Tamat PT/D3 tidak ada yang mengatakan Syari’at Islam tidak berfungsi jadi masyarakat diharapkan agar dengan berfungsinya Penerapan Syari’at Islam maka pelanggaranpun berkurang. Seperti ungkapan. Informan berikut.

“ Dengan berkurangnya pelanggaran Syari’at Islam maka penerapan Syari’at Islam semakin berfungsi bagi masyarakat, sehingga masyarakat lebih

yakin agar ketentraman dan keamanan tetap terjaga. ( Wawancara dengan Muazzir 2009 ).

4.5.3. Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungngsi Sebagai Kontrol Sosial Berdasarkan Usia.

Tingkat usia juga mempengaruhi pengetahuan, reaksi dan prilakunya terhadap penerapan Syari’at Islam, usia juga mempengaruhi kematangan seseorang untuk memahami setiap konstruksi hukum yang akan diterapkan, untuk mengetahui komposisi masyarakat mengenai berfungsinya penerapan Syari’at Islam berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 44.

Tabel 44. Tanggapan responden berdasarkan usia No Tingkat Usia

Tanggapan responden bahwa penerapan Syari’at Islam berfungsi sebagai kontrol sosial

Setuju Kurang setuju Tidak setuju Jumlah

F % F % F % F %

1. 21-30 tahun 7 7.4 4 4.2 5 5.3 16 17.0

2. 31-35 tahun 12 12.7 2 2.1 1 1.1 15 15.9

3. 36-40 tahun 27 28.7 - - 1 1.1 28 29.7

4. 41-50 tahun 24 25.5 - - - - 24 25.5

5. 50-keatas 11 11.7 - - - - 11 11.7

Jumlah 81 86.0 6 6.3 7 7.5 94 100

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari tabel 44. dapat dilihat bahwa, 81 responden setuju bahwa penerapan Syari’at Islam berfungsi sebagai kontrol sosial yang didominasi berasal dari usia 36-40 tahun sebanyak 27 responden, usia 41-50 tahun sebanyak 24 respoden, usia 31-35 tahun sebanyak 16 responden, 50 tahun-

keatas sebanyak 11 respoden dan yang terendah 21-30 tahun sebanyak 7 respoden. Sedangkan yang berpendapat bahwa penerapan Syari’at Islam tidak berfungsi sebagai kontrol sosial didomonasi oleh usia 21-30 tahun. Hal ini dapat terjadi karena pada usia tersebut mereka belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak mengenai Syari’at Islam sehingga belum bisa memahami Syari’at Islam dengan sempurna.

Walaupun masih ada yang berpendapat bahwa Penerapan Syari’at Islam tidak memberi manfaat (berfungsi), itu hanya sebagian kecil dari responden, namun 81 responden berpendapat bahwa dengan adanya penerapan Syari’at Islam telah dapat mengurangi pelanggaran Syari’at Islam seperti Khalwat, maisir, khamar, dan meningkatnya jumlah wanita menggunakan jilbab, serta masjid semakin ramai pada waktu shalat jum’at. Seperti ungkapan informan berikut:

“ karena penerapan Syari’at Islam menjadikan masyarakat tahu akan hukum-hukum Islam dan melaksanakannya serta mejauhi larangannya, sehingga menjadikan kehidupan sosial yang lebih baik. (Wawancara dengan Mahlil.2009).

4.5.4. Tanggapan Responden Mengenai Syari’at Islam Berfungngsi Sebagai Kontrol Sosial Berdasatkan Pekerjaan.

Penerapan Syari’at Islam sangat mempengaruhi aktifitas pekerjaan masyarakat, dimana aktifitas pekerjaan memiliki keterbatasan pada hari-hari tertentu, untuk mengetahui komposisi masyarakat mengenai berfungsinya penerapan Syari’at Islam berdasarkan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 44.

Tabel 45. Tanggapan responden berdasarkan pekerjaan No Jenis Pekerjaan

Tanggapan responden bahwa penerapan Syari’at Islam berfungsi sebagai kontrol sosial

Setuju Kurang setuju Tidak setuju Jumlah

F % F % F % F %

1. Petani 21 22.3 2 2.1 - - 23 24.4

2. Nelayan 17 18.0 2 2.1 1 1.1 20 21.2

3. Pedagang 15 15.9 1 1.1 1 1.1 17 18.0

4. PNS/TNI/POLRI 11 11.7 - - - - 11 11.7

5. Mahasiswa 11 11.7 - - - - 11 11.7

6. Lain-lain 6 6.4 1 1.1 5 5.3 12 12.7

Jumlah 81 86.0 6 6.4 7 7.5 94

Sumber : Data Primer (kuesioner) 2010

Dari Tabel 45. dapat dilihat bahwa berdasarkan jenis pekerjaan PNS/TNI/POLRI sebanyak 11 responden dan mahasiswa sebanyak 11 responden memahami bahwa Syari’at Islam sangat berfungsi sebagai alat kontrol sosial bagi masyarakat, hal ini dapat dilihat bahwa dari jumlah responden tersebut diatas hampir tidak ada yang berpendapat bahwa Syari’at Islam tidak berfungsi bagi masyarakat.

Dengan demikian dari pihak keamanan dan mahasiswa telah beranggapan positif tehadap penerapan Syari’at Islam dan didominasi oleh 21 responden dari petani, 17 responden dari pedagang, 15 responden dari nelayan, serta 6 responden dari jenis pekerjaan tidak tetap (lain-lain), maka diharapkan penerapan Syari’at Islam di Desa Leuge Kecamatan Peureulak kota dapat berfungsi dengan maksimal yaitu dengan adanya solidaritas dan ukwah Islamiyah yang semakin baik, kondisi keamanan membaik, ketentraman, serta jauh dari segala bentuk pelanggaran Syari’at Islam.

4.6. Tanggapan Informan Terhadap Frekuensi Pelanggaran Hukum Syari’at Islam Setelah Penerapan Syari’at Islam

Syari’at Islam pada umumnya telah menjadi darah daging pada masyarakat Aceh dan masyarakat Peureulak pada khususnya, penerapan Syari’at Islam diamalkan dalam berbagai aspek baik dalam berbusana, pergaulan hidup, maupun perbuatan lain yang menjadi larangan dan kewajiban terhadap masyarakat.

Berbusana yang Islami, Shalat Jum’at merupakan kewajiban. perbuatan khalwat, berjudi, minuman keras, merupakan larangan bagi masyarakat.

Maka untuk mematuhi ajaran Islam dibentuklah pelaksanaan Syari’at Islam oleh Pemerintah secara formal yang bertujuan untuk:

1. Tujuan yang ingin dicapai karena alasan agama (teologis). Bagi umat Islam melaksanakan Syari’at Islam secara Kaffah dalam hidup keseharian, baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan kemasyarakatan adalah perintah Allah dan kewajiban suci yang harus di upayakan dan diperjuangkan.

2. Secara psikologis masyarakat akan merasa aman dan tentram, bahwa yang mereka anut dan amalkan, kegiatan yang mereka jalani dalam pendidikan, kehidupan sehari-hari dan seterusnya sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.

3. Dalam bidang hukum, masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat.

4. Dalam bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial, bahwa kesetiakawanan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solit, masyarakat diharapkan akan lebih rajin bekerja, lebih hemat dan juga bertanggung jawab.(AbuBakar, 2004: 66-67)

Dari penjelasan diatas, sebelum pelaksanaan Syari’at Islam secara formal dari pemerintah, tujuan yang ingin dicapai belumlah diperoleh.

masyarakat yang melaksanakan perintah dan larangan Syari’at Islam hanya orang-orang yang memiliki kesadaran untuk melakukaan “amar ma’ruf nahi mungkar” (melaksanakan kewajiban dan menjauhi larangan ). Sehingga banyak terjadinya pelanggaran-pelanggaran bagi orang yang tidak menghiraukan Syari’at Islam sebelum penerapan Syari’at Islam diterapkan.

Namun setelah diberlakukan Syari’at Islam pelanggaran sudah mulai berkurang dan relatif membaik.

4.6.1. Kepatuhan Berbusana Islami.

Menutup aurat adalah kewajiban bagi muslim dan muslimah, sebagaimana Syari’at yang dianjurkan, namun sebelum penerapan Syari’at Islam secara formal masyarakat terpengaruh oleh budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya Islami, hal ini pengaruh dari Globalisasi dan modern baik berupa media maupun pergaulan bebas yang kurang terkontrol dari pihak yang berwewenang (keluarga, masyarakat, pemerintah), namun setelah penerapan Syari’at Islam pelanggaran mulai berkurang hal ini adanya pengawasan yang intensif dari pihak pemerintah (Wilayatul Hisbah), masyarakat (tokoh agama, tokoh pemuda/perempuan), dan keluarga (orang tua). Sebagaimana yang si ungkapkan oleh informan sibawah ini:

“ Menutup aurat baik secara lahir maupun bathin itu wajib hukumnya, dan apabila ada masyarakat yang melanggarnya maka keluarga, tetangga, ustadz, wilayatul hisbah, wajib menasehatinya agar jauh dari perbuatan Khalwat. (Wawancara dengan Tgk.Yusbi, 2010).

Ancaman hukuman/sanksi bagi masyarakat yang melanggar perintah berbusana Islami (memakai Jilbab bagi perempuan dan minimal memakai

pengawasan/kontrol bagi masyarakat desa Leuge. Selain itu seruan memakai busana Islami juga di informasikan melalui spanduk, dan selebaran yang di pasang dan ditempelkan ditempat khalayak ramai. Sebagaimana ungkapan salah satu informan:

“ Setelah diberlakukan Syari’at Islam masyarakat semakin meningkat memakai busana Islami karena banyak spanduk dan selebaran seruan untuk bebusana Islami” ( Wawancara dengan Bapak Usman AB. 2010).

4.6.2. Pelanggaran Perbuatan Khalwat.

Perbuatan khalwat merupakan jenis pelanggaran yang sangat dibenci oleh masyarakat, karena masyarakat desa Leuge beranggapan bahwa apabila ada anggota masyarakat yang melakukan perbuatan khalwat sampai terjadi perzinaan, dapat membawa bala dan jauh dari keberkatan. Perbuatan ini pernah terjadi pada waktu sebelum penerapan Syari’at Islam. Tindakan masyarakat bagi pelaku pelanggaran tersebut di usir dari desa Leuge sebagai hukuman/sanksi. Sedangkan setelah Penerapan Syari’at Islam diberlakukan hukuman cambuk dan denda. Sehingga masyarakat akan merasa takut dan waspada terhadap pebuatan tersebut, dan khususnya di desa Leuge belum ada ditemukan perbuatan khalwat setelah penerapan Syari’at Islam.

Sebagaimana Ungkapan salah satu informan:

“ Kalau wilayah desa Leuge belum ada kasus khalwat dan ini belum kita temukan di daerah ini semenjak diberlakukannya Syari’at Islam, dan apabila ada orang/masyarakat yang terbukti melakukannya kami tidak segan-segan menangkapnya, sesuai dengan qanun No.14 tahun 2003, Pasal 22 ayat 1 yaitu: Melakukan perbuatan khalwat (mesum). Hukuman cambuk maksimal 9 (sembilan), kali, minimal 3(kali) dan atau denda maksimal Rp.10.000.000 (sepuluh juta rupiah), minimal Rp.2.500.000 (Dua juta lima ratus ribu rupiah). (wawancara dengan Bapak M.Adam. 2010).

Pada masyarakat desa Leuge pengawasan khalwat juga dilakukan oleh tokoh agama, aparat desa, tokoh pemuda, santri dan wilatul hisbah, mereka tidak menginginkan desa mereka dipermalukan dengan berbagai cemoohan warga desa lain, hal ini berarti pengawasan dilakukan dengan saling bekerja sama antar elemen masyarakat sehingga pelanggaran khalwat diharapkan tidak ada lagi. Sebagaimana ungkapan salah satu informan:

“ Didesa kami ada pemuda yang memantau orang yang ingin melakukan perbuatan khalwat, apabila ada yang mencurigakan langsung ditanyakan, untuk menghindari hal tesebut. ( Wawancara dengan Irfan, S.Pd.I.2010).

“ Dengan adanya larangan untuk menutup aurat, ( memakai pakaian Islami), di tambah pengawasan dari masyarakat dan patroli dari WH, maka khalwat jauh daru desa kita ini, masyarakat tidak berani melakukannya. ( Wawancara dengan Mahlil. 2010).

‘’karena dengan adanya penerapan Syari’at Islam masyarakat bisa bekerja sama dengan Polisi Syari’at (WH) untuk menerapkan norma-norma agama dan memberantas manusia yang melanggarnya.(Wawancara dengan ibu fatimah, 2009).

4.6.3. Pelanggaran Perbuatan Judi ( Maisir)

Perbuatan judi (Maisir) sering dilakukan oleh anak muda pada saat bernain bola kaki/volli, dalam bentuk taruhan uang, namun pada saat sekarang ini taruhan tersebut sudah berkurang semenjak adanya larangan dari WH, yaitu qanun No.13 Tahun 2003 Pasal 23 ayat 1, dengan ancaman cambuk 12 (dua belas) kali, minimal 6 (enam) kali.

Pelanggaran ini sering dihimbaukan oleh WH kepada masyarakat, agar tidak melakukannya. Dengan demikian pelanggaran semakin berkurang dan masyarakat pun menghormati larangan dan himbauan tersebut.

Sebagaimana ungkapan informan:

“ kami terus memburu dan melakukan himbauan bagi masyarakat

12 (dua belas ) kali, minimal 6 (enam) kali ( Qanun No.13 tahun 2003 Pasal 1 ayat 1), termasuk orang yang menyediakan fasilitas judi ( ayat 2).

(Wawancara dengan Nurma S.pd.I. 2010)

“ perbuatan ini sering dilakukan anak muda yag bermain sepak bola.

Mereka bermain taruhan uang tetapi hanya mentraktir minum kepada yang menang “.

( Wawancara dengan Siti Aminah 2010 ).

4.6.4. Pelanggaran Mengkonsumsi Minuman Keras ( Khamer )

Pada masyarakat desa Leuge pada umumnya tidak terdapat minuman keras, hal ini karena minuman keras sukar diperoleh dan tidak ada yang memperjual belikan, minuman keras juga merupakan najis yang haram di kosumsi serta tidak sah shalat seseorang setelah mengkonsumsi minuman khamer lalu ia shalat. Informasi ini sering diberitahukan oleh Tengku baik pada acara Peringatan Hari Besar Islam (PHBI), Khutbah (ceramah) Jum’at, maupun pengajian rutin. Namun daun ganja yang juga memabukkan sangat sering ditemukan dimasyarakat, para pemuda sering menjadikan daun ganja kering sebagai rokok, yang bisa menenangkan pikiran, akan tetapi itu hanya sementara. Efeknya akan merusak kesehatan dan menimbulkan kelainan pada saraf. Hal ini terjadi karena Tengku ada yang berpendapat haram dan makruh ( di lakukan tidak berdosa ditinggalkan berpahala), sehingga masyarakat berani melakukannya.

Setelah adanya penerapan Syari’at Islam, minuman karas juga tidak ada lagi masyarakat yang mengkonsumsinya, apalagi larangan dan ancaman terhadap peminum minuman keras terus di sosialisasikan oleh WH kepada masyarakat. Sehingga masyarakat tidak berani mencobanya, sedangkan ganja

juga semakin berkurang, karena dari pihak kepolisian terus memonitor bagi masyarakat yang menanam, menjual dan menghisap.

Ganja merupakan salah satu jenis narkoba, jadi jika ada masyarakat yang menanam, menjual dan menghisap diluar wewenang Wilayatul Hisbah namun apabila ditemukan WH hanya melaporkan kepada yang berwewenag. Sebagaimana ungkapan Informan dibawah ini:

“ Belum ada laporan pelanggaran minuman keras di desa Leuge selama saya betugas di Pos II Peureulak. Walaupun demikian kita terus melakukan pengawasan agar masyarakat sadar bahwa perbuatan tersebut dilarang, dan apabila kedapatan kita tindak lanjutin dan diproses.” (Wawancara dengan Bapak Zaini Amd.2010).

“ Karena minuman keras haram bagi orang yang meminumnya dan masyarakat disini tidak pernah saya lihat orang yang mengkonsumsi minuman haram tersebut ” ( Wawancara dengan Ibu Hj.Maimunah.2010) .

“ Karena masyarakat desa Leuge tidak pernah kelihatan minum minuman keras dan bahkan orang yang menjualnya pun belum pernah saya dengar, kalau daun ganja ada, biasanya pemuda daun ganja kering dijadikan rokok, tapi sekarang sudah berkurang karena polisi sering melakukan patroli kedesa apabila ada informasi dari masyarakat “. (Wawancara dengan Mursyid Alawi 2010)

4.6.5. Kepatuhan Shalat Jum’at

Shalat jum’at merupakan kewajiban bagi setiap umat muslim laki-laki yang sudah baliq (dewasa), pada masyarakat desa Leuge setiap hari jum’at laki-laki sangat sering melakukan shalat jum’at baik sebelum maupun setelah pemberlakuan Syari’at Islam, hal ini terlihat pada setiap hari jum’at suasana di Masjid terlihat ramai sedangkan di jalan raya dan pasar-pasar sepi. Pada setiap hari jum’at sebagian toko maupun kios-kios ditutup untuk sementara selama berlangsungnya shalat jum’at. Setelah selesai shalat jum’at toko maupun kios-kios dibuka kembali, begitu juga dengan

Dokumen terkait