• Tidak ada hasil yang ditemukan

mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada saat ia kawin dahulu

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian

2. Fungsi Hukum

a) Fungsi Hukum sebagai Sarana Pengendalian Sosial

Fungsi hukum yang telah banyak di ketahui oleh masyarakat umum adalah hukum sebagai mekanisme pengendalian sosial. Mekanisme pengendalian sosial ini berupa suatu proses yang telah di rencanakan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menganjurkan, mengajak atau bahkan memaksa anggota masyarakat agar patuh terhadap tata tertib yang ada

Pengendalian sosial ini di lakukan dengan berbagai cara. Ada yang bersifat fisik supaya anggota masyarakat takut dan mengalah. Cara yang di pakai bersifat kebendaan, bertujuan agar masyarakat mematuhi norma atau hukum yang berlaku. Sedangkan cara yang bersifat simbolis bertujuan meyakinkan anggota masyarakat akan suatu aturan hukum. Di dalam pelaksanaannnya ketiga cara tersebut harus digunakan secara bersamaan walaupun dalam keadaan tertentu salahsatu cara lebih menonjol dibanding cara yang lain.

b) Fungsi Hukum sebagai Sarana UntukPergerakan Sosial (Social Engineering)

Penggunaan hukum sebagai suatu bentuk instrumen sebenarnya sudah terdapat dalam setiap ide dari hukum modern. Hans Kelsen dalam Soemitro menyatakan bahwa peraturan hukum yang di undangkan oleh suatu negara memiliki aspek rangkap, artinya peraturan hukum yang ditujukan pada anggota masyarakat akan menunjukkkan padanya suatu cara bertingkah laku sekaligus di tujukan pada hakim bahwa apabila ia jelas melanggar peraturan hukum itu maka hakim akan menjatuhkan sanksi. (Sumitro, 1984:7)

Dalam hal ini hukum merupakan suatu sarana yang di tujukan untuk merubah pri-kelakuan anggota suatu masyarakat sesuai dengan tujuan yang telah di tetapkan. Sehingga untuk itu penegak hukum dan pencari

keadilan harus mengetahui bagaimana cara mereka bertindak agar dapat sesuai dengan aturan yang ada.

c) Fungsi Hukum sebagai Sarana Integratif

Talcot Parsons dalam Soemitro (1984:10) menyatakan fungsi utama suatu sistem hukum adalah mengurangi konflik dan melancarkan proses interaksi pergaulan sosial. Fungsi integratif ini timbul karena sistem hukum berhubungan erat dengan sistem politik, dimana kedua masalah itu selalu dapat di kembalikan kepada penguasa politik. Artinya, perumusan kebijaksanaan yang di lakukan oleh badan legislasi adalah bagian dari kekuasaan politik.

Dalam pelaksanannya, kebijaksannaan tersebut hukum dapat menjadi pengawasnya. Disinilah badan peradilan perlu mendapat pengakuan dari para pencari keadilan dalam fungsinya sebagai penyelesaian dari konflik.

Dalam penelitian ini, pembagian warisan yang terjadi harus melihat hukum positif adalah bahwa adanya kesamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Mengenai keputusan ini, informan S br G berpendapat :

Saya sangat mengetahui tentang keputusan itu, suatu kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Dalam pembagian warisan di keluarga kami, ada pendapat adik saya C br G yang menginginkan agar harta itu di bagi rata. Sebenarnya itu adalah keinginan kami semua anak perempuan. Dan hal itu juga di dukung oleh abang tua (YG)

Tentang ketidaksepahaman antara kami semua dengan satu saudara laki-laki kami (RG), sebenarnya kami mengadakan runggun itu untuk menghindari upaya hukum, yaitu melakukan gugatan apabila ternyata proses itu tidak berjalan sebagaimana yang kami harapkan. Tetapi untung saja ahirnya adik RG mau mengikuti keputusan kami semua yang salah satunya adalah disebabkankarena adanya hukum yang mengatur kesetaraan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan.

Setelah keseluruhan data dan fakta tentang kasus ini terkumpul kemudian peneliti mencoba mencari perbandingan dengan menanyakan kasus pada keluarga ini ke pihak-pihak yang peneliti anggap mengetahui tentang pewarisan dan kedudukan perepuan dalaam pewarisan Adat Suku Batak Karo. Adapun yang dianggap mengetahuinya adalah pihak pengadilan yang dalam hal ini berprofesi sebagai hakim dan berdomisili di Medan

Tentang kasus di atas informan berpendapat :

Suatu terobosan bagi sistem pewarisan masyarakat adat patrilineal. Dimana sebelumnya perempuan tidak mempunyai hak untuk mewarisi. Dalam konteks kami orang karo yang juga patrilineal, hal ini suatu kemajuan. Coba anda bayangkan apabila hanya oleh sebab pembagian warisan yang tidak sesuai (sistem pewarisa adat karo) sampai terjadi gugat-menggugat di pengadilan bahkan sampai Kasasi ke Mahkamah Agung seperti perkara yang menyebabkan keluarnya Keputusan Mahkamah Agung No 169/K/Sip 1961, itu orang Karo juga ya.. berapa banyak biaya yang akan anda keluarkan, apakah itu waktu, tenaga dan materi.

Pada saat ini bila ada gugatan dari anak perempuan dan ia merupakan anak dari si pewaris dan dapat di buktikan maka kami para hakim juga akan memenangkan gugatannya.

Memang pada dasarnya kedua sistem pewarisan itu sangat bertolak belakang namun melihat kasus diatas saya berpendapat ini merupakan suatu terobosan baru.

Peristiwa ini merupakan suatu kesepakatan tak tertulis yang mendahului hukum positif. Namun tidak menjadi masalah sepanjang kedua belah pihak sama-sama merasa puas. Selain itu mengutip pendapat rekan saya Ketua Pengadilan Negeri (PN) Tarutung Saur Sitindaon SH MH, dia pada seminar Peran Perempuan dalam Adat dan Budaya Batak di Tarutung, ia mengatakan bahwa :

“Kisah pembagian harta warisan dalam adat Batak yang menganut aliran Patrilineal (Mengambil garis keturunan dari Ayah) seperti yang terjadi pada kisah “Si Boru Tumbaga” yang tidak memiliki saudara laki-laki, di mana harta orangtuanya di Tean (Diwarisi) kepada saudara ayahnya. Untuk saat ini tidak akan terulang lagi. Hal ini sesuai dengan Amanah dalam UUD Tahun 1945 pasal 4 ayat (1) dan pasal 27 ayat (1), UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kepres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarus utamaan gender (PUG) dan Surat edaran Mendagri, Tanggal 26 Juli 2001 tentang pelaksanaan PUG. Sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD tahun 1945, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu sendiri.

Namun dalam sistem kekerabatan suku Batak, kaum perempuan hanya merupakan bagian dari kelompok ayahnya sebelum dia menikah. Setelah menikah, kerabat suaminya akan membayar mas kawin (Sinamot), saat itulah dia meninggalkan orantuanya dan dimasukkan ke dalam satuan kekrabatan suaminya. Di mana dalam berbagai literatur mengenai aturan-aturan (Ruhut-ruhut ni adat Batak) disimpulkan bahwa anak laki-lakilah yang berhak atas barang-barang pusaka orangtuanya. Sehingga jelas kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Akan tetapi, perumpamaan orang Batak ada yang menyatakan “Dompak marmeme anak, dompak marmeme boru” yang berarti kedudukan anak perempuan dan laki-laki adalah sama.

Selain pihak pengadilan,peneliti juga mencoba menanyakan tentang kasus diatas kepada informan lain yang merupakan pemuka adat Suku Batak Karo yang penulis kenal, menurut beliau, sebagai berikut:

Sistem pewarisan adat yang telah sekian lama dianut masyarakat Karo pada dasarnya cukup baik. Mengapa anak laki-laki saja yang mendapat warisan hal itu dikarenakan apabila ia kelak menikah maka ia akan memiliki modal untuk menghidupi keluarganya kelak bila ia menikah. Biasanya yang menjadi warisan itu adalah berupa tanah/perladangan atau dalam bahasa karo di sebut Juma. Juma inilah yang kelak akan ia usahai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sedangkan perempuan yang ia ambil sebagai istri tidak perlu membawa apa-apa dalam bentuk warisan dari rumah orang tuanya sebab ia menjadi tanggung jawab suaminya kelak. Biasanya si perempuan hanya mendapat pemere/pemberian yang lazimnya perhiasan dan diberikan pada saat ia menikah. Selain itu ada juga hak buat-buaten yang biasanya berupa tanah kalimbubu yang dapat diusahai seumur hidup tidak dapat dimiliki. Coba anda lihat sistim ini, bukankah ini sangat sempurna bagi kita orang karo dan hal ini akan berulang terus apabila terjadi pernikahan diantara dua keluarga. Tentang kasus diatas, informan menyatakan tidak ada salahnya hal seperti itu diterapkan.

“Saya juga menyadari bahwa zaman yang terus berkembang akan mengubah cara pandang manusianya, tak terkecuali pada keluarga diatas. Apalagi tidak semua masyarakat karo memiliki akses ekonomi seperti keluarga tersebut. Saya juga sempat terpikir apabila terjadi perkawinan antara si laki-laki yang tak memiliki keahlian atau pendidikan yang memadai dan pekerjaan yang jelas sedang si perempuan yang kondisinya juga tak jauh beda. Selain itu si laki-laki

juga tidak memiliki harta bawaan (warisan) dan si perempuan juga karena keluarganya menganut sistem pewarisan adat yang kuat, apa jadinya keluarga ini kelak. Bukankah akan memberatkan keluarga besar kedua belah pihak kehidupan mereka apalagi bila telah memiliki keturunan.”

Jadi saya berpendapat kasus yang anda konfirmasi ini sangat realistis dan saya sangat setuju dengan cara mereka menyelesaikan pembagian warisan dikeluarganya. Satu hal lagi bahwa baiknya dicari alternatif terbaik bagi penyelesaian pewarisan, tidak perlu itu namanya pengadilan. Masyarakat Karo sangat beradab, segala sesuatunya bisa diselesaikan dengan melakukan runggun (berkumpul untuk menyelesaikan atau mencakapkan masalah sampai ditemukan solusi terbaik yang sama-sama memuaskan pihak yang bersengketa).

Dari kasus yang terjadi pada keluarga informan, penulis dapat membuat suatu pernyataan bahwa terjadi suatu pembaharuan di dalam sistem pewarisan pada orang karo, artinya tidak lagi menganut hukum waris adat Karo. Pembaharuan ini mengacu kapada konsep perubahan sosial pada masyarakat yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : Kontak dengan kebudayaan lain, sistem pendidikan formal yang maju, sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju, toleransi terhadap perubahan yang menyimpang (deviasi) yang bukan merupakan delik, sistem pelapisan masyarakat yang terbuka, ketidakpuasan terhadap bidang tertentu, penduduk yang heterogen, orientasi ke masa depan dan nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. Hal-hal tersebut kemudian akan memicu perubahan dan pergeseran kehidupan hukum waris adat dari lingkungan keluarga kecil, atau bahkan pada akhirnya bisa saja berpengaruh ke arah keluarga rumah tangga yang campuran antar adat.

Hukum Waris Adat Karo yang memandang perbedaan hak anak perempuan dengan hak anak laki-laki sebagai ahli waris dari harta orang tuanya sudah tidak mereka jalankan. Hal ini berkorelasi dengan Keputusan atau

Jurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179/K/SIP/1961 yang telah berjalan selama ini yang pada prinsipnya menganut bagian anak laki-laki adalah sama dengan bagian anak perempuan dari warisan orang tuanya.

Hasil penelitian ini memperlihatkan pertentangan dengan hasil penelitian Mberguh Sembiring di Desa Lingga, karena bilamana terjadi pembagian harga warisan maka hak antara anak perempuan dan anak laki-laki sesuai dengan hukum adat, artinya terdapat perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam menerima warisan (Sembiring, 2003:49). Pola hubungan Gender yang selama ini menjadi tradisi turun temurun dimasyarakat karo dimana perempuan hanya menjadi sub ordinasi dari laki-laki ternyata tidak terjadi pada keluarga informan. Pada penelitian ini ditemukan fakta bahwa di keluarga informan terjadi perubahan hubungan gender patriarkhi. Fakta-fakta tersebut adalah dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4. Perubahan Hubungan Gender pada Kasus Keluarga di