• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Perempuan Suku Batak Karo dalam Pembagian Harta Warisan Warisan

mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada saat ia kawin dahulu

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian

4.2.1. Kedudukan Perempuan Suku Batak Karo dalam Pembagian Harta Warisan Warisan

Dalam hukum waris Suku Batak Karo yang menganut pola hubungan patrilineal, di sebutkan bahwa anak perempuan tidak menjadi ahli waris dari harta orang tuanya. Hal itu dikarenakan anak perempuan nantinya akan keluar dari keluarga asalnya dan masuk ke keluarga pihak suaminya apabila ia kelak menikah.

Mengenai pembagian warisan yang terjadi di keluarga informan, dari hasil penelitian ditemukan hal yang sangat bertolak-belakang dengan adat istiadat yang dianut oleh masyarakat Karo pada umumnya. Dimana pada kelurga ini pembagian warisan dilakukan dengan konsep bahwa anak laki-laki dan anak perempuan mendapat hak yang sama sedangkan anak bungsu menndapat hak yang lebih besar setelah ia diberi kelebihan dari sisa pembagian dengan hak yang sama tersebut.

Sistem pembagian warisan ini dapat terjadi pada keluarga informan ternyata disebabkan oleh beberapa hal yaitu :

a. Perlakuan yang setara oleh orang tua terhadap anak-anak

Perlakuan yang setara oleh orang tua terhadap anak-anak ini dilakukan oleh orang tua informan terhadap seluruh anak-anaknya. Dimana perlakuan itu dapat dilihat dari kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan dan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan di rumah tangga.

Untuk mendeskripsikan tentang pembagian warisan yang berlangsung pada keluarga informan, maka terlebih dahulu di jelaskan tentang keluarga informan yang menjadi sumber informasi pada penelitian ini.

Informan merupakan anak kedua dari 11 bersaudara dimana terdiri dari 3 laki dan 8 perempuan. Anak pertama, kelima dan yang bungsu adalah anak laki-laki, sedangkan yang lain adalah anak perempuan. Kedua orang tua mereka adalah asli orang Karo dimana ayah yang bernama KG dan ibu yang bernama S Br T. KG latar belakangnya adalah seorang militer, dan setelah pensiun dari militer berprofesi sebagai pengusaha angkutan, sedangkan S Br T adalah seorang pedagang emas dan batu permata.

Iinforman S Br G menuturkannya sebagai berikut :

Kami adalah sebuah keluarga besar, dimana kami 11 bersaudara, 8 perempuan dan 3 laki-laki. Anak tertua bapak adalah laki-laki lalu saya anak nomor 2. anak no 3 dan 4 perempuan lalu anak no 5 dan si bungsu adalah laki-laki. Pembagian harta warisan di keluarga kami dilakukan setelah kedua orang tua kami meninggal. Ya kalu bapak (KG) meninggal telah cukup lama yaitu tahun 1992. sedangkan ibu (S Br T) meninggal pada tahun 1998

Keseluruhan anak-anak memiliki pendidikan yang cukup, dimana keseluruhan dari anak-anak ini menyelesaikan pendidikan pada level sarjana (Strata I). Responden sendiri dilahirkan dikota medan, pada saat ini telah berusia 58 tahun. Dia bersekolah dari sejak sekolah dasar sampai menyelesaikan pendidikan sarjananya di kota Medan.

Mengapa kami semua dapat menyelesaikan pendidikan sampai kepada level sarjana (Strata I), dahulu kedua orang tua kami yang meminta supaya paling tidak kalian semua harus menyelesaikan pendidikan sampai sarjana. Mereka tidak

membedakan apakah itu anak laki-laki atau anak perempuan, semua anak-anak harus bisa sampai pada tahap itu. Semua anak-anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengecap pendidikan. Demikian ujar responden menirukan ucapan ayahnya.

Kemudian harapan orang tua itu kami penuhi dengan kami semua anak-anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan sampai pada tahap sarjana walaupun pada saat bapak meninggal dunia baru 7 orang anaknya yang telah menyelesaikan pendidikan sampai pada tahap sarjana. Kemudian tiga adik saya menyelesaikan pendidikan sarjana mereka tepat sebelum ibu meninggal dunia. Hanya adik bungsu saya yang laki-laki menyelesaikan sarjana setelah kedua orang tua kami tiada.

Dalam urusan kerier, semua kami bekerja, 6 orang bekerja sebagai pegawai negri/BUMN termasuk saya, 3 orang bekerja sebagai pegawai swasta dan dua saudara saya berwiraswasta dengan bekerja sebagai kontraktor. Secara umum keseluruhan kami telah mapan dalam hal ekonomi walaupun tidak dikatakan berlebihan.

Untuk lebih jelasnya tentang keluarga informan dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Identitas informan No N a m a Jenis

Kelamin

Agama Pekerjaan Domisili Status

1 YG Laki-laki Kristen PNS Medan Menikah

2 S Br G Perempuan Kristen BUMN Medan Menikah 3 H Br G Perempuan Kristen BUMN Medan Menikah 4 C Br G Perempuan Kristen PNS Medan Menikah 5 RG Laki-laki Kristen Kontraktor Medan Menikah 6 N Br G Perempuan Kristen Peg Swasta Jakarta Menikah 7 P Br G Perempuan Kristen PNS Bekasi Menikah 8 J Br G Perempuan Kristen Kontraktor Jakarta Menikah

9 S Br G Perempuan Kristen PNS Kabanjahe Menikah 10 N Br G Perempuan Kristen Peg Swasta Jakarta Menikah 11 HG Laki-laki Kristen Kontraktor Medan Menikah

Sumber data (diolah)

S Br G merupakan anak kedua (anak perempuan tertua) menikah dan memiliki 3 anak, 1 perempuan dan 2 laki-laki. Suami saya NGS juga pensiunan pegawai BUMN/Perkebunan. Anak-anak saya semuanya telah menyelesaikan pendidikannya sampai pada level Strata I (sarjana). Namun belum ada yang berumah tangga.

Informan lain yang menjadi sumber data utama pada penelitian ini adalah anak nomor 4. Informan ini (C Br G) merupakan anak perempuan, bekerja sebagai PNS di Kabupaten, telah menikah dan memiliki 2 orang anak. Bersuamikan TK, pegawai swasta.

Dalam hal tanggung jawab pada pelaksanaan tugas rumah tangga, keluarga informan juga menerapkan prinsip kesetaraan dimana tugas-tugas dalam rumah tangga itu bukan semuanya tanggung jawab anak ibu dan anak perempuan. Anak perempuan pada Suku Batak Karo secara umum dianggap mempunyai derajat yang lebih rendah bila dibandingkan dengan anak laki-laki, hal ini tidak terlepas dari adat ataupun norma yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari (Bangun, 1998:28). Dari masa kecil, anak laki-laki dan perempuan sering diperlakukan tidak sama. Penekanan pengasuhan orang tua dalam keluarga diutamakan terhadap anak-anak laki-laki sebagai penopang hidup dan menjadi panutan hidup dalam berkeluarga. Sedangkan perempuan sebagai penakut yang sering diabaikan.

Kemudian hal ini tetap berlanjut dan waktu beranjak dewasa perbedaan tersebut lebih jelas, dimana laki-laki dijunjung tinggi dalam adat, tidak boleh dibantah secara langsung, sehingga anak istri harus segan dan hormat terhadap suami. Hal ini dilatar belakangi bahwa masyarakat Karo selalu mengidentikkan laki-laki dengan kalimbubu dimana kedudukan kalimbubu sebagai pihak yang sangat dihormati. Malah acapkali karena begitu dihormati seringkali pula diidentikkan dengan Dibata Siniidah (Tuhan yang nampak).

Dalam sistem masyarakat Suku Batak Karo tradisional dengan mata pencaharian utama adalah bertani, pria dan wanita terlibat bekerja di ladang. Dalam

kenyataannya wanita mempunyai peranan yang lebih besar di pertanian dan dalam hal pekerjaan rumah tangga, dimana wanita juga turut menjaga anak, bekerja dan memasak.

Citra ini terus menerus disosialisasikan kepada anak perempuan. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari terlihat bahwa perempuan Suku Batak Karo sangat menghormati laki-laki dan patuh kepadanya kemudian menganggap laki-laki lebih tinggi kedudukannya dan perlu dijunjung tinggi derajatnya. Mengapa demikian keadaannya, ada suatu harapan dan idaman bagi perempuan Suku Batak Karo yang tercermin dalam budaya masyarakat Karo, yaitu: Tuah, Sangap dan Mejuah-juah (Bangun, 1998:29). Tuah berarti menerima berkah dari Tuhan untuk mendapat keturunan, banyak kawan dan sahabat, cerdas dan gigih. Sangap berarti mendapat

rejeki, kemakmuran bagi pribadi, anggota keluarga, masyarakat serta generasi yang akan datang. Mejuah-juah memiliki arti sehat, sejahtera lahir bathin.

Demikian pula apabila kita lihat dalam literatur kuno, kedudukan perempuan Karo sangat rendah. Titik tolak mereka beranggapan demikian adalah: (Djaja S Meliala dan Aswin Perangin-Angin, 67)

1. Emas kawin (tukur) yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

2. Adat lakoman (leviraat) yang membuktikan bahwa perempuan itu diwarisi oleh saudara dari suaminya yang telah meninggal.

3. Perempuan tidak mendapat warisan

4. Perkataan “naki-naki” yang menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan dan lain-lain.

Pendapat yang demikian adalah dangkal, seperti diketahui bahwa emas kawin atau uang jujur atau tukur hanyalah simbol dari perubahan status. Perempuan jika telah melangsungkan perkawinan dianggap tergolong kepada kelompok lain karena telah menerima uang jujur dari pihak laki-laki.

Lakoman (leviraat) dalam adat Karo bukanlah paksaan, karena isteri yang ditinggal karena suami meninggal mempunyai 3 (tiga) kemungkinan (Menurut RVJ T.148/489), yaitu:

1. Kawin lagi dengan karib suami

2. Tidak kawin lagi, tetapi tinggal dalam lingkungan keluarga suami

3. Melakukan suatu tindakan hukum untuk memutuskan hubungan yang telah ada antara dia dengan keluarga suaminya.(Datuk Usman,169)

Dalam hal warisan walaupun anak perempuan tidak berhak sebagai ahli waris dari harta kekayaan orang tuanya, bukanlah menyatakan bahwa perempuan Karo itu rendah kedudukannya, asumsinya jika ia kawin maka ia akan meninggalkan kelompok marga ayahnya dan masuk kelompok marga suaminya, karena suaminya kelak akan mewaris harta kekayaan orang tuanya sendiri.

Dalam lapangan keagamaan, perempuan Karo memegang peranan penting. Seperti kita ketahui bahwa agama perbegu atau animisme dahulu sangat banyak penganutnya di daerah Karo. Perbegu (animisme) adalah percaya kepada roh, untuk menghubungkan antara manusia dengan roh diperlukan “guru sibaso” (dukun), dimana “guru sibaso” (dukun) seluruhnya dipegang oleh perempuan. Demikian pula di dalam perundingan-perundingan sering kali suara perempuan yang menentukan, paling tidak sangat mempengaruhi keputusan, baik di dalam keluarga dan masyarakat. Dengan contoh uraian yang dikemukakan di atas, jelas bahwa kedudukan perempuan Karo bukanlah rendah tetapi, perlu diperhitungkan (Sembiring, 2003:45).

Pada penelitian ini, informan menyatakan bahwa sikap orang tua mereka pada masa petumbuhan sampai pada saat menikah sangat memberikan kebebasan pada semua anak-anak. Dimana tidak ada perbedaan perlakuan terhadap anak laki-laki atau anak perempuan. Semua pekerjaan harus dilakukan secara bersama atau dilakukan oleh siapa saja yang memiliki waktu luang, selain tentu saja terdapat pembagian tugas yang jelas.

Seperti penuturan informan sebagai berikut :

”Saya masih ingat ketika adik saya yang nomor enam masih kecil (bayi, red), waktu itu abang saya yang tertua bersekolah masuk siang. Sementara saya masuk pagi begitu pula dengan dua adik saya yang lain telah bersekolah. Bapak dinas di Militer dan di tempatkan diluar kota Medan). Sebelum saya berangkat saya telah memasak makanan untuk makan siang, tetapi untuk mencuci dan membersihkan rumah itu menjadi pekerjaan rutin abang selama kurang lebih delapan bulan sampai kenaikan kelas. Dimana setelah itu ia masuk pagi lagi. Coba anda bayangkan bagaimana sibuknya dia pada waktu

itu. Selain harus menjaga adik nomor lima yang masih balita yang sedang lasak-lasaknya, dia harus mencuci pakaian kami semua dan membersihkan rumah. Mencuci dan membersihkan rumah jelas merupakan pekerjaan perempuan, namun dengan posisi anak tertua dan jelas tidak mengganggu jadwal sekolah maka ia yang berkewajiban mengerjakannya.”

“Tugas” adalah kewajiban, sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan (Purwadarminta, 1994:1094).

“Fungsi” adalah jabatan (yang dilakukan); pekerjaan yang dilakukan. Misal, jika ketua tidak ada, maka wakil ketua melakukan (Purwadarminta, 1994:283).

“Wewenang” adalah hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu (Purwadarminta, 1994:150).

Untuk lebih memperjelas kesetaraan dalam pelaksanaan tugas-tugas di rumah tangga keluarga informan, dapat dilihat dari penjelasan di bawah ini yaitu: a) Bidang produksi yaitu hasil atau penghasilan.

Yaitu sesuai dengan pekerjaan informan

b) Kebutuhan pokok yaitu hal yang terutama atau yang terpenting, misalnya kebutuhan sehari-hari, antara lain:

1. Memasak

2. Mencuci pakaian 3. Membersihkan rumah

ad. a) Tugas, fungsi, wewenang perempuan dalam bidang produksi (hasil atau penghasilan)

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tugas perempuan/istri di keluarga informan tidak terbatas pada skala domestik saja. Hal ini dapat dilihat pada kebiasaan yang berlaku dikeluarga tersebut, dimana seperti yang dituturkan informan sebagai berikut :

Pada saat bapak masih berdinas, anda pasti tahu kegiatan dari istri prajurit, yaitu harus ikut kegiatan istri2 tentara. Selain itu juga ikut kegiatan gereja tentunya yang jelas dilakukan ibu sampai dia tua. Pada waktu bapak masih dinas Ibu sudah mulai berdagang perhiasan dan batu permata. Mengapa ibu nelakukan demikian jelas karena penghasilan bapak tidak mampu

mencukupi kebutuhan hidup kami. Ibu berjualan perhiasan kepada sesama istri prajurit, dimana dagangan ibu diambil dari temannya dengan kontan lalu dikreditkan dengan membayar cicilan biasanya 3 atau empat kali tergantung nilai barang yang diperjual-belikan.

Tentang mengapa ia harus membantu suaminya menafkahi keluarga, informan ingat ucapan ibunya yang mengatakan :

Adi enggo erjabu 1+1 lanai bo 2 tapi 1+1 = 1, ertina: adi perbulangenta mesera tentu kita pe mesera nge siakap ras anak-anak ta. Jadi sianggaplah perbulangenta e pe dagingta nge. Emaka labo salah adi sidiberu pe ikut encari janah adi sinen kegeluhen sigundari harus nge duana erdahin gelah banci maju.

(maksudnya, kalau sudah berumah tangga 1 + 1 bukan 2 tapi 1 + 1 = 1, artinya kalau suami susah tentu kita juga susah berikut anak-anak kita. Jadi dianggaplah suami kita itu badan kita juga. Dari itu tidak salah apabila istri ikut bekerja mencari nafkah lagipula apabila kita lihat kehidupan sekarang haruslah suami istri bekerja mencari nafkah supaya bisa maju).

Selain itu bapak juga selalu mengatakan bahwa dalam keluarga yang harus

diutamakan adalah kepentingan bersama, kalau ada yang bisa menggantikan kerjaan selama kewajiban kita tidak terganggu apa salahnya…

Seperti yang diucapkan informan mengutip perkataan ayahnya :

Labo kuakap lit salahna bicara kami perbulangen pesigantiken dahin ndehara, labo pedah cari makan dahin i rumah pe labo masalah, apaika adi ndehara mbaru mupus.

(Maksudnya, tidak menjadi masalah kalau suamipun menggantikan pekerjaan istri, tidak harus cari makan saja yang digantikan, pekerjaan di rumah pun tidak menjadi masalah, apalagi kalau istri baru melahirkan).

Jadi dulu bapak dan ibu selalu menegaskan bahwa apabila mereka masing-masing bekerja adalah untuk kepentingan bersama, dan rejeki yang di dapat adalah rejeki bersama yang datangnya dari Tuhan.

Ad. b) Kebutuhan pokok yaitu hal yang terutama atau yang terpenting, misalnya kebutuhan sehari-hari, antara lain:

1. Memasak

2. Mencuci pakaian 3. Membersihkan rumah

Dalam hal urusan mengenai pekerjaan yang bersifat rumah tangga dan merupakan pekerjaan mendasar atau pokok seperti yang disebutkan diatas, informan berpendapat bahwa di keluarganya hal itu di tanggung jawabi secara bersama-sama oleh seluruh anggota keluarga. Sebagai orang yang bertanggung jawab untuk pekerjaan itu adalah ibu tentunya, namun mengingat kegiatan ibu yang berjualan dan ikut kegiatan isteri tentara maka yang lebih sering mengerjakannya adalah kami semua anak-anak bapak dan ibu. Hal ini berlangsung terus sampai pada ahirnya kondisi keuangan keluarga membaik dan diambil pembantu rumah tangga untuk membantu pekerjaan di rumah. Namun untuk berbelanja ibu masih tetap melakukannya walaupun ada pembantu. Demikian juga pada hari hari tertentu,misalnya ada peringatan ulang tahun salah satu anggota keluarga maka ibu akan memasak.

Bapak juga senantiasa membantu pekerjaan dirumah bila ia sedang santai, mengenai kebiasaan bapak membantu pekerjaan di rumah ibu pernah mengatakan :

Nai diberu latihkel erdahin selain kujuma, i rumahpe erdahin ka termasuk nge ngurus anak-anak. Perbulangen (sidilaki) buen nge ikede. Tapi adi gundari enggo maju cara rukur, labo saja sidiberu tapi sidilaki pe. Emaka lanai bo menjadi masalah adi dilaki (perbulangen) pe ikut erdahin i rumah.

(Maksudnya, dahulu perempuan (istri) sangat letih bekerja karena selain bertani, di rumah juga termasuk mengurus anak juga dikerjakan oleh istri. Suami kebanyakan duduk-duduk di warung kopi. Tetapi kalau sekarang sudah maju cara berpikir, bukan saja cara berpikir perempuan saja tetapi cara berfikir laki-laki. Sehingga tidak lagi menjadi masalah kalau suami (laki-laki) mengerjakan pekerjaan rumah.

Jadi sebenarnya di keluarga kami, semua pekerjaan itu menjadi tanggungjawab bersama seluruh anggota keluarga. Dimana setiap anggota keluarga memiliki tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Tentang pelaksanaan pembagian warisan yang terjadi pada keluarga informan, didapat informasi sebagai berikut :

S Br G sebagai informan utama menyatakan :

Seperti yang saya sebutkan diatas bahwa walaupun kami orang Karo yang yang menganut kekerabatan patrilineal, namun sistim itu diterapkan hanya dalam penerusan marga bapak kami. Sedangkan hal lain yang juga tak kalah menentukan sistem patrilineal itu tidak kami anut yaitu hal-hal mengenai pembagian harta warisan.

Disini saya katakan bahwa kami anak perempuan juga mendapat hak yang sama dengan anak laki-laki, dimana jumlah yang kami peroleh pada saat pembagian harta warisan orang tua kami sama dengan jumlah yang di dapat saudara laki-laki kami.

Sedangkan C Br G menyatakan :

Memang orang Karo itu dikenal sangat patrilineal, dimana penerusan marga ayah menjadi ciri utama, selain itu juga pewarisan yang mengutamakan anak laki-laki. Namun pada saat ini pasti tidak semua orang karo membagi warisan dengan mengikuti adat atau kebiasaan tradisional. Contohnya adalah keluarga kami sendiri dimana pada waktu kami bagi-bagi warisan kami anak perempuan mendapat hak yang sama dengan anak laki-laki

Hal ini mendapat dukungan dari saudara laki-laki kami yang paling tua dan merupakan anak sulung bapak dan ibu yaitu YG, seperti penuturannya sebagai berikut :

Saya sebagai anak tertua sangat ingin agar seluruh harta peninggalan orang tua kami dapat dipergunakan oleh seluruh anak-anaknya. Disini saya tegaskan agar keseluruhan harta itu di bagi bersama dengan jumlah yang sama kepada masing-masing anak. Mungkin aneh bagi orang karo secara umum, tapi itulahyang saya inginkan agar hal itu daoat terlaksana di keluarga kami. Dan apabila ada kelebihan dari pembagian dengan jumlah yang sama antara anak laki-laki dan anak perempuan maka saya menganjurkan agar kelebihan tersebut diserahkan kepada anak yang paling bungsu.

Mengapa ini saya tekankan sebagai dasar pembagian warisan, karena tak terlepas dari pengajaran bapak dulu. Seperti penuturan bapak bahwa ”Tidak pembedaan saya lakukan terhadap seluruh anak-anak saya. Dalam hal apapun.”

Mengenai pandangan tersebut diatas, dalam konteks kebudayaan, dapat dikatakan bahwa Informan YG telah mengalami suatu proses penanaman nilai budaya yang telah lama diterapkanoleh kedua orang tuanya. Proses ini disebut dengan enkulturasi. Disini ia senantiasa belajar dengan meniru berbagai macam tindakan dan setelah di internalisasi didalam kepribadiannya maka selanjutnya akan di budayakan dengan menerapkannya.

Menurut Koentjaraningrat (1981:228-235), ada beberapa konsepsi khusus mengenai pergeseran masyarakat dan kebudayaan, konsep itu antara lain:

Internalisasi, yaitu : suatu proses yang berlangsung sangat panjang dari individu itu dilahirkan sampai ia hampir meninggal. Pada masa ini ia senantiasa belajar menanamkan kepribadiannya seperti segala

perasaan, hasrat, nafsu serta emosi yang diperlukannya selama hidupnya.

Sosialisasi, yaitu : suatu proses dimana seorang individu dari mas anak-anak sampai masa tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu di sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkinada dalam kehidupan sehari-hari.

Enkulturasi, yaitu : bahwa disini individu mempelajari dan menyesuaikan alamm pikiran serta sikapnya dengan adat-istiadat, sistem norma dan peraturan yang hidup di dalam kebudayaannya.

Pada saat dilaksanakan pembagian warisan, adakah pertentangan atau ketidaksesuaian pendapat dalam penentuan jumlah bagian yang diterima untuk setiap ahliwaris pada saat pembagian harta warisan tersebut?

Seperti penuturan S Br G, pada awalnya, kami yang 11 bersaudara berkumpul untuk membicarakan pembahagian warisan. Hal ini kami lakukan tanpa mengundang pihak lain di luar kami yang bersaudara sebab kami yakin akan mencapai mufakat. Ternyata ada saudara kami yang kurang sependapat :

S Br G menjelaskannya sebagai berikut :

Pada waktu pembagian warisan dilaksanakan kami tidak seluruhnya sepakat bahwa harta peninggalan orangtua dibagi rata. Adik saya yang no 5 yaitu RG tidak setuju apabila harta peninggalan orang tua mereka di bagi rata.

Ia berpendapat sesuai dengan hukum adat karo maka anak perempuan tidak mendapat harta warisan, sebab pada waktu ia menikah kelak maka ia akan ikut suaminya dan ia akan menjadi tanggung jawab suaminya kelak.

C Br G menjelaskan sebagai berikut :

Kami seluruhnya anak perempuan menginginkan agar harta peninggalan orang tua di bagi rata, tidak membedakan apakah anak laki-laki atau anak perempuan. Dua saudara laki-laki kami juga menginginkan agar seluruhnya kami mendapat bahagian yang sama. Cuma adik laki-laki saya yang nomor lima (RG) tidak menyetujuinya.

Alasannya ya adat karo itu tidak mengenal pembagian harta warisan kepada anak perempuan.

RG menyatakan kebenaran dari informasi tersebut,dan ia menambahkan :

Adat karo itu adalah adat yang telah turun-temurun di terapkan dalam kehidupan masyarakat karo selama ini. Jadi kalau dalam adat karo anak perempuan tidak mendapat warisan sama sekali, maka mau tidak mau kita harus mengikutinya. Adat karo itu diciptakan untuk kebaikan seluruh masyarakat karo dimanapun dia berada.

HG yang merupakan anak bungsu tentang perbedaann pandangan tersebut ketika ditanyakan mengenai hal itu menyatakan :

Saya sepertinya sangat menyetujui pembagian warisan dengan porsi yang sama antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Karena itulah standard