• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip Kesetaraan Gender dan Ketimpangannya di Indonesia

mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada saat ia kawin dahulu

2.2. Pandangan Umum tentang Gender

2.2.2 Prinsip Kesetaraan Gender dan Ketimpangannya di Indonesia

Kedudukan dan posisi kaum perempuan dan laki-laki secara teoritis dapat dilihat dari 2 (dua) sisi, yaitu :

Pertama, bila dilihat secara biologis, perbedaan dan kedudukan sosial antara laki-laki dan perempuan selalu dikaitkan dengan jenis kelamin (seks) yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan tersebut. Akibat dari perbedaan secara biologis ini, maka tidak jarang berimplikasi jauh terhadap kedudukan sosial (social role) yang diperankan oleh kedua pihak. Hal ini tidak jarang membawa dampak perempuan diperlakukan kurang adil (diskriminasi) dalam menentukan peran dan posisinya dibandingkan kaum laki-laki.

Kedua, bila dilihat secara budaya (culture), yaitu perbedaan antara laki-laki dan perempuan dikonstruksikan mempunyai atau kedudukan bukan disebabkan karena perbedaan jenis kelamin, melainkan merupakan suatu bangunan sosial (Social Construct) yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang selanjutnya dapat melahirkan peranan, kedudukan, hak dan tanggung jawab, serta kewajiban antara laki-laki dan perempuan dilihat dari realita sosial dimana mereka berada (Akbar, 2000).

Diakui atau tidak, bahwa selama ini banyak ketimpangan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Persoalan ini bukanlah persoalan yang disebut mengada-ada (Junis,19 Juni 2004:16). Persoalan itu bukan isu tetapi adalah sebuah realitas di masyarakat kita. Oleh karena itu, bila kita mau membuka mata dan juga hati kita, kita baru bisa melihat bagaimana realitas kaum perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender.

Dengan membuka mata untuk melihat dan menganalisis masalah kaum perempuan berkaitan dengan peran sosialnya di dalam membangun kehidupan yang setara antara laki-laki dan perempuan itu, maka sebenarnya sangat banyak persoalan yang menghimpit dan memarginalkan kaum perempuan selama ini. Dengan mencoba mengindentifikasi serta menganalisis realisasi kehidupan kaum perempuan di muka bumi ini, maka di sanalah kita menemukan bahwa selama ini perlakuan diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Pandangan, perlakuan atau tindakan diskriminatif terhadap perempuan yang menghantam kaum perempuan selama berabad-abad ini telah membangkitkan kesadaran terutama kaum perempuan yang mulai terasa bahwa selama ini mereka ditindas. Ditindas secara sosial, budaya, agama dan lain-lain.

Penindasan itu berbentuk sebuah kontruksi sosial, pengkondisian yang melemahkan kaum perempuan di dalam masyarakat. Dengan pelemahan dan penindasan secara sosial, budaya, agama dan lain-lain, membuat posisi perempuan

dalam segala sektor kehidupan menjadi sangat terbatas. Keterbatasan ini sering dikatakan karena memang sudah kodratnya kaum perempuan. Sebagai contoh, kodrat kaum perempuan adalah mengurus suami, anak dan semua urusan rumah tangga. Kodrat laki-laki adalah sebagai kepala keluarga dan sebagainya. Inilah salah satu bentuk kontruksi sosial dan pengkondisian sosial yang memposisikan perempuan pada posisi yang terpinggirkan. Inilah yang disebut dengan persoalan gender.

Padahal, bila kita mau jujur dan ikhlas melihat hal-hal yang bernama kodrrat dan non kodrat, kita bakal berkata ternyata, yang membedakan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan hanyalah pada hal-hal yang kodrati yang memang tidak dapat dipertukarkan, seperti mengalami menstruasi (haid), melahirkan dan menyusui yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan. Sementara peran-peran sosial baik itu peran domestik (rumah tangga) maupun peran di sektor publik dapat dipertukarkan. Inilah apa yang disebut dengan ketidakadilan gender (gender injustice).

Ketidakadilan tersebut seperti masalah beban ganda (double burden) yang harus diemban oleh perempuan, penomorduaan (subordination) terhadap perempuan, pelebelan (stereotype), kekerasan (violence) serta marginalisasi (peminggiran) yang menyebabkan kemiskinan yang parah di kalangan kaum perempuan seperti yang terjadi pada zaman dimulainya revolusi hijau. Bentuk bentuk ketidakadilan ini hingga saat ini masih terus berlangsung. Kita bisa melihat realitas di sekitar kita. Kita bisa melihat bagaimana perempuan diperlakukan secara tidak adil.

Ketidakadilan itu justru dipengaruhi oleh cara pandang, sikap dan perbuatan kita terhadap kaum perempuan dengan cara pelebelan dan sebagainya. Dan satu hal yang sangat sering mempurukkan perempuan ke dalam lembah yang melemahkan perempuan adalah karena persepsi kita tentang apa yang dikatakan kodrat dan non kodrati.

. Tersadar dari kondisi buruk yang melanda kaum perempuan, belakangan ini muncul sebuah keprihatinan yang melahirkan keinginan dan komitmen untuk memberdayakan dan menguatkan kaum perempuan, baik secara individu maupun dalam bentuk kelompok yang akhirnya membangun sebuah gerakan bersama.

Apabila dilihat pada tingkat global pada dasawarsa tahun 1990-an konsep gender dan pembangunan diperkenalkan dan dengan cepat menjadi populer.

Ciri-ciri utama wawasan gender dan pembangunan adalah sebagai berikut:

a. Wawasan gender dan pembangunan melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan secara holistik dan komprehensif, yaitu mengkaji bagaimana masyarakat terorganisir dalam hubungan gender dalam berbagai dimensinya, seperti dimensi ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, pertahanan dan keamanan dan pembangunan dalam arti luas.

b. Wawasan gender dan pembangunan tidak hanya menaruh perhatian pada fungsi reproduksi perempuan, tetapi pada keterkaitan antara fungsi produksi (baik dalam rumah tangga maupun dalam pasar) dengan fungsi reproduksi biologis maupun sosial (pola arah).

c. Pertanyaan mendasar yang ingin dipecahkan adalah mengapa perempuan secara sistematik cenderung ditempatkan pada posisi lebih rendah atau sekunder dalam hubungan dependensi terhadap pria.

d. Karenanya wawasan gender dan pembangunan melihat peningkatan peranan perempuan sebagai upaya, mengubah hubungan gender yang selaras, seimbang dan serasi.

e. Sehubungan dengan itu, intervensi kebijaksanaan dalam meningkatkan peranan perempuan tidak hanya ditujukan kepada kebutuhan praktis perempuan yang berorientasi kepada kesejahteraan lahiriah semata-mata,

tetapi pada pemenuhan kebutuhan strategik gender perempuan, kebutuhan mengaktualisasikan diri, kebutuhan untuk memiliki akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan dan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (Bainar dan Aichi Halik, 1999:15).

Pada umumnya masyarakat berasumsi bahwa bila hukum diterapkan menurut apa yang terumus di dalamnya, maka akan tercipta keadilan. Terdapat pula persepsi yang luas bahwa hukum mengatur hubungan-hubungan antar manusia secara adil dan tidak memihak. Bila hukum ditinjau melalui paradigma kritis maka persepsi arus umum (main stream) yang cukup lama bertahan tanpa digoyang-goyangkan ini akan dipertanyakan, malahan akan ditolak (Notosusanto,1997:176).

Di kalangan kaum perempuan sendiri karena terlalu lama dikungkung dalam budaya patriarkhis, kaum perempuan sendiri tidak percaya terhadap kemampuannya dalam memimpin. Untuk itulah dalam usaha mencapai hukum yang adil dan menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam hubungan kemanusiaan, perlu dilakukan upaya-upaya mempercepat kesetaraan gender di masyarakat kita.

Barus (2001:43) menyatakan bahwa berbicara mengenai pengakuan dan jaminan sebagai prinsip dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak dan kewajiban sebagai warganya di Indonesia secara hukum tertulis tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah dilakukannya perubahan atau penambahan (amandemen), dan peraturan perundang-undangan lainnya dalam beberapa pasal-pasalnya mengandung prinsip :

a. Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 :

Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

b. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 :

c. Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 :

Hak untuk hidup, serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. d. Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 :

Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. e. Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 :

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

f. Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 : Hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif. g. Pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam semangat persaudaraan.

h. Pasal 2 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam pernyataan ini dengan tidak ada perkecualian apapun, seperti kebebasan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan.

i. Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang ratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita secara substantif diatur dalam Pasal 1-16. (Disingkat dengan CEDAW = Commission on the Elimination of All Types of Discrimination) yang mana setelah sepuluh tahun diratifikasi oleh Indonesia barulah sejumlah wanita yang terdiri dari para pengajar dan aktifitas sejumlah LSM perempuan membentuk kelompok kerja convention watch yang bertujuan untuk mensosialisasikan substansi dari konvensi wanita.

j. Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap wanita Tahun 1993.

k. Pasal 45 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia.

Hak wanita dalam undang-undang ini adalah hak asasi Manusia”. Yang maksudnya bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan. Dengan demikian dapat dilihat bahwa adanya pengakuan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia sebenarnya secara formal sudah mendapat pengakuan sejak lama.

l. GBHN 1978 yang mengandung 5 (lima) esensi pokok:

(1) Perempuan mempunyai hak, kewajiban dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang bangunan (prinsip kemitra sejajaran). (2) Adanya keselarasan dan keserasian tanggung jawab dan peranan perempuan

Amanat GBHN tentang pelaksanaan peran ganda perempuan secara selaras dan serasi secara implisit juga mengandung pengertian pembagian kerja dan tingkat kesejahteraan yang seimbang, akses dan penguasaan terhadap sumber dan manfaat pembangunan serta partisipasi dalam pengambilan keputusan. (3) Partisipasi perempuan dalam pembangunan dan dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara mencakup semua faktor pembangunan dan semua aspek kehidupan (prinsip holistik/komprehensif).

(4) Tanggung jawab perempuan dalam membina anak balita, remaja, dan generasi muda (prinsip pendidik pertama dan utama).

(5) Perlunya peningkatan pengetahuan dan keterampilan (prinsip pemberdayaan). m. GBHN 1983, terjadi perluasan esensi dalam peningkatan kedudukan dan peranan

perempuan yaitu dengan dicantumkannya tentang peranan perempuan dalam kesejahteraan keluarga antara lain melalui gerakan pembinaan kesejahteraan keluarga.

n. GBHN 1988, terjadi lagi perluasan dengan penambahan 2 (dua) esesi pokok, yaitu :

(1) Pengakuan terhadap kodrat perempuan yang seharusnya dilindungi serta harkat dan martabat perempuan yang perlu dijunjung tinggi.

(2) Perlunya pengembangan iklim sosial budaya yang lebih menopang kemajuan perempuan.

o. GBHN 1988, terdapat essensi pokok yang sangat memperkuat posisi perempuan. Esensi baru dalam GBHN 1993 adalah :

(1) Kemitra sejajaran antara laki-laki dan perempuan secara eksplisit disebutkan. (2) Pentingnya peranan orangtua (bukan semata-mata ibu) dalam pendidikan

anak.

(3) Pengembangan kemampuan dalam peningkatan penguasaan IPTEK oleh perempuan.

(4) Peran aktif perempuan dalam pengambilan keputusan.

(5) Peningkatan kemampuan perempuan dalam menghadapi perubahan-perubahan, baik dalam masyarakat maupun dunia internasional.

(6) Peningkatan keterampilan, produktifitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja perempuan.

(7) Peranan perempuan dalam menangani masalah sosial, ekonomi, yang diarahkan pada pemerataan pembangunan, pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan.

p. GBHN 1998 kembali menegaskan bahwa perempuan adalah mitra sejajar laki-laki, baik sebagai perencana dan pelaksanaan pembangunan maupun sebagai pengambil keputusan, perumus kebijaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangunan. Agar perempuan dapat memberi sumbangan sebesar-besarnya bagi pembangunan bangsa, kualitas dan kedudukan mereka dalam keluarga dan masyarakat harus ditingkatkan serta didukung oleh keluarga dan masyarakat itu sendiri.

q. GBHN 1999, mengenai kesetaraan gender dapat disimpulkan bahwa pemerintah atas nama negara harus berusaha menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan perundang-undangan yang berbasis gender. Apabila hal ini terlaksana tentunya membuktikan adanya keseriusan dalam menempatkan kedudukan dan peranan perempuan. Komitmen ini telah dapat diwujudkan dengan keluarnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang di dalam Pasal 45 disebutkan “Hak Wanita dalam Undang-undang ini adalah hak asasi manusia” Ketentuan ini menjelaskan bahwa hak asasi manusia itu adalah kepunyaan seluruh manusia tidak terkecuali perempuan.

2.2.3. Akibat Perkawinan terhadap Kedudukan Laki-laki dan