• Tidak ada hasil yang ditemukan

mengembalikan uang jujur yang diterima oleh keluarganya pada saat ia kawin dahulu

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitan

Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara terletak antara 030 .37’.12” Lintang Utara dan 980.47’.36” Bujur Timur dengan luas wilayah 265,10 Km2 yang terdiri dari 21 Kecamatan,151 Kelurahan,320.834 KK, 1880 Lingkungan. Menurut data pada buku Kota Medan Dalam Angka, penduduk Kota Medan pada tahun 2004 berjumlah 1.965.242 jiwa, dengan luas wilayah sekitar 265,10 Km2 Jumlah penduduk tidak tetap/pendatang (commuter) 609.000 jiwa. Jadi dari jumlah penduduk tetap ditambah commuter totalnya sekitar 2.574.242 jiwa. Oleh Dinas Kebersihan 21 kecamatan tersebut dibagi kedalam 3 wilayah operasional

Operasional Medan I:

1. Kecamatan Medan Kota 2. Kecamatan Medan Area 3. Kecamatan Medan Johor 4. Kecamatan Medan Amplas 5. Kecamatan Medan Denai 6. Kecamatan Medan Polonia 7. Kecamatan Medan Maimun Operasional Medan II:

2. Kecamatan Medan Petisah 3. Kecamatan Medan Sunggal 4. Kecamatan Medan Helvetia 5. Kecamatan Medan Tuntungan 6. Kecamatan Medan Selayang 7. Kecamatan Medan Baru Operasional Medan III:

1. Kecamatan Medan Belawan 2. Kecamatan Medan Labuhan 3. Kecamatan Medan Marelan 4. Kecamatan Medan Deli 5. Kecamatan Medan Timur 6. Kecamatan Medan Perjuangan 7. Kecamatan Medan Tembung

4.1.2. Gambaran Umum Masyarakat Karo 4.1.2.1. Asal usul suku Batak Karo

Penduduk asli yang mendiami wilayah Kabupaten Karo disebut suku Bangsa Karo. Suku Bangsa Karo ini mempunyai adat istiadat yang sampai saat ini terpelihara dengan baik dan sangat mengikat bagi suku bangsa Karo sendiri.

Mengenai asal-usul suku Batak Karo, sebahagian besar masyarakat Sumatera Utara mengetahui Karo digolongkan kedalam rumpun Batak meskipun diantara beberapa oknum Karo pernah membantah hal tersebut. “Kalak (suku) Karo” bukan keturunan Batak Toba tapi keturunan Nini (moyang) yang bernama “Karo” bekas Panglima yang mengawal rombongan raja pengembara berasal dari India Selatan berbatasan dengan Mianmar (Sitepu, 1993:3).

Menurut Sempa Sitepu,

Raja pengembara bermaksud mencari tempat baru yang subur dan mendirikan kerajaan baru. Di dalam perjalanan, mereka diterpa angin ribut dan rombongan ini menjadi terpencar dan akibatnya ada yang terdampar di pulau Berhala. Dalam peristiwa itulah si Karo dan dua orang anak raja si Miansari dan Tarlon beserta dayang-dayang dan pengawal yang jumlahnya tujuh orang berpisah dengan rombongan. Disebutkan bahwa selang beberapa waktu setelah berpisah dengan rombongan “Karo” bekas panglima yang mengawal raja pengembara kemudian kawin dengan putri raja “Miansari” disaksikan Tarlon saudara bungsu Miansari beserta dayang-dayang dan pengawal. Tempat dilaksanakannya perkawinan itu diberi nama “Perbulawanen” yang berarti perjuangan yang sekarang dikenal sebagai daerah Belawan. Dari sana mereka terus menelusuri sungai Deli dan Babura yang akhirnya sampai di sebuah gua Umang di Sembahe. Di tempat ini rombongan “Karo” merasa cocok dan akhirnya mereka memutuskan untuk tinggal di sana beberapa waktu lamanya. Dan dari sanalah asal perkampungan di dataran tinggi Karo.

Menurut Masri Singarimbun asal usul Karo sebagai berikut:

Berbeda dengan suku bangsa Toba, yang menelusuri nenek moyangnya sampai kepada Raja Batak maka banyak cabang Marga Karo menelusuri nenek moyangnya dengan riwayat berimigrasi ke Karo. Mereka merantau ke Karo dan menjadi orang Karo. Diantara pendatang tersebut konon mungkin cukup banyak yang berasal dari India Selatan, di antaranya Sembiring. Di antara Sembiring ada Sembiring Singombak yang nampaknya pendatang yang mengintegrasikan diri dengan Sembiring lainnya. Apakah kelompok Sembiring lainnya juga pendatang dari India? Tidak mustahil dahulu kala terjadi semacam perubahan sosial budaya yang besar di sini, karena di dalam marga Sembiring ini banyak terjadi kawin mawin, yang merupakan tabu bagi tiga marga lainnya (Purba, 1996:10).

Adalagi yang menghubungkan Karo itu dengan Kerajaan Haru yang muncul pada abad ke XII meliputi seluruh bekas keresidenan Sumatera Timur yakni mulai dari dari batas Tamiang sampai Rokan. Penduduk dari kerajaan Haru itu adalah

terdiri dari campuran darah Batak (Karo) dan Melayu dan telah memeluk agama Islam setidaknya raja, para bangsawan dan pembesar-pembesarnya, bersamaan dengan masuknya agama Islam di kerajaan Romawi – Perlak dan Samudera Pasai pada abad ke XIII (Bangun, 1996:20).

Memilih nama Karo itu sendiri P. Tamboen mengatakan perkataan Karo berasal dari Ha dan Roh (Bahasa Batak Toba) yang artinya orang yang datang. Dengan mengartikan Karo sebagai orang yang datang maka berarti sebelum Haro datang ke daerah itu, sudah ada penduduk yang menetap di situ.

Melihat uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa terdapat berbagai pandangan yang saling berbeda mengenai asal usul Suku Batak Karo. Hal ini mengakibatkan masih perlu dilakukan penyelidikan yang lebih jauh agar didapat suatu kepastian mengenai asal usul Suku Batak Karo. 4.1.2.2. Identitas dan sifat-sifat suku Batak Karo

Dari beberapa pendapat diperoleh gambaran tentang identitas dan sifat-sifat Suku Bangsa Karo.

Menurut Masri Singarimbun, ada empat identitas masyarakat Karo yaitu :

1. Marga, adalah identitas masyarakat Karo yang unik, setiap orang Karo mempunyai satu marga. Dalam masyarakat Karo dikenal ada 5 (lima) marga yakni: Ginting, Karo-karo, Perangin-angin, Sembiring dan Tarigan.

2. Bahasa Karo, merupakan bahasa khusus dan mempunyai alasan khusus pula. 3. Kesenian Karo tradisional adalah gendang dan pakaian adat.

4. Adat istiadat tertentu yang merupakan identitas, adalah perundingan adat yang disebut runggun (musyawarah untuk mufakat) dalam perkawinan dan dalam acara adat lainnya dan rebu (pantang berbicara dengan kerabat tertentu), apabila berbicara harus memakai perantara antara lain, kepada Mami yaitu ibu mertua, turangku yaitu isteri ipar, permen yaitu menantu perempuan (Ginting’s, 1986:27)

Sifat-sifat orang Karo yang mempunyai identitas seperti yang disebut diatas ada dikemukakan dalam beberapa buku. Buku Adat Istiadat Karo oleh P. Tamboen membahas sifat-sifat tersebut, yakni meliputi 7 (tujuh) hal yang khusus yakni: 1) mempunyai darah panas, 2) lemah lembut, 3) pemain catur, 4) mandiri, 5) sederhana dan hemat, 6) kurang adil terhadap perempuan, 7) suka berpekara (Purba, 1996:12).

Seminar Adat Istiadat Karo tahun 1977 menyimpulkan mengenai sifat-sifat orang Karo yakni: tabah, beradat, suka membantu dan menolong, pengasih dan hemat, mengetahui harga diri (Purba, 1996:12).

4.1.2.3. Masyarakat hukum/persekutuan hukum

Menurut ilmu kemasyarakatan, manusia merupakan makhluk hidup yang selalu berhubungan dengan manusia lain, sejak ia lahir sampai manusia mati dimanapun ia berada. Ia berhubungan langsung atau tidak langsung dengan sesamanya. Secara sadar atau tidak sadar manusia senantiasa memelihara, membina dan mengembangkan hubungan antara manusia.

Alam sekeliling manusia mempengaruhi pula terbentuknya golongan manusia yang bertempat tinggal bersama di tempat tertentu. Dalam rangka usaha tersebut manusia bertempat tinggal bersama-sama disuatu tempat yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya oleh Bayu S disebutnya dengan “Desa” (Bayu Surio, 1992:11) Desa merupakan istilah bahasa Jawa untuk menunjuk pada suatu jenis masyarakat hukum adat di Jawa. Untuk daerah luar Jawa digunakan istilah yang berbeda pula, misalnya “Gampong” (Aceh), “Huta atau Kuta” (Tapanuli), “Negorij” (Maluku), “Negeri” (Minang Kabau), “Dusun’ (Lampung), “Ubuma” (Minahasa), dan lain sebagainya. Semua istilah diatas menunjuk pada suatu jenis masyarakat hukum adat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Desa adalah persekutuan hukum (Purba, 2002)

Melihat uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa persekutuan hukum itu adalah sekelompok orang-orang yang terikat sebagai satu kesatuan dalam suatu susunan yang teratur yang bersifat abadi, dan memiliki pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan mendiami atau hidup di atas suatu wilayah tertentu.

Tanah Karo dahulu pada umumnya merupakan tanah kering yang di kuasai oleh Kesain. Kesain sebenarnya mempunyai 2 arti yakni dapat diartikan sebagai (satuan teritorial atau sebagai tempat pemukiman, dan dapat pula diartikan sebagai pengelompokan sosial). Sebagai tempat pemukiman, kesain terdiri dari sejumlah rumah tradisional yang berdiri berdekatan di atas sebidang tanah yang bersama-sama membentuk satuan tempat tinggal. Satuan tempat pemukiman seperti itu dulunya pada umumnya mempunyai pemerintahan sendiri, harta kekayaan sendiri. Kesain

dalam arti yang kedua merupakan pengelompokan yang terdiri dari jabu-jabu (keluarga-keluarga) patrilineal dari sub klen tertentu yang antara sesamanya ada hubungan senina (Purba, 1992:18-19).

Selain kesain di tanah Karo dikenal juga suatu istilah yang disebut dengan Kuta. Kuta mempunyai dua arti, yakni sebagai tempat pemukiman dan sebagai pengelompokan sosial. Sebagai tempat pemukiman, kuta pada prinsipnya sama dengan kesain dan juga kuta sebagai pengelompokan sosial yang mencakup seluruh jabu-jabu yang ada dalam kesain. Dengan demikian maka dengan membicarakan kesain kita akan membicarakan kuta.

Jadi dalam suatu desa (kuta), yang mungkin terdiri dari beberapa kesain, maka yang menguasai tanah kesain tersebut adalah orang-orang yang pertama sekali mendirikan dalam pemilikan tanah. Mereka ini pulalah yang menjadi Ketua Adat yang disebut Penghulu atau Kepala Kampung. Pendiri-pendiri desa (kuta) yang merupakan pemilik tanah pada umumnya orang-orang yang mempunyai marga. Maka biasanya tanah itu disebut tanah marga. Dengan demikian setiap desa di Karo mempunyai marga/cabang marga yang mendirikannya, sehingga apabila kita menunjuk satu desa di Tanah Karo, maka setiap orang akan mengetahui bahwa desa tersebut adalah didirikan oleh marga tertentu, misalnya desa (kuta) Sarinembah didirikan marga Sembiring Meliala, desa (kuta) Munthe didirikan marga Ginting dan lain sebagainya. Jadi marga tersebutlah yang menjadi bangsa tanah dan sudah tentu bersama dengan anak beru dan Kalimbubu tanah.

4.1.2.4. Susunan kekerabatan

Kekerabatan masyarakat suku Karo pada umumnya yang terletak dalam sistem kekerabatan sebagai dasarnya (Nijmegen, 1981:439). Sistem kekerabatan ini merupakan sendi utama dari kebudayaan suku Karo dan sebagai tiang atau pendukung utama dari penyusunan kekerabatan (Sembuyak/Senina/Sukut, Kalimbubu dan anak Beru) adalah marga.

Marga adalah kelompok orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, garis keturunan itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal.

Setiap orang Karo menempatkan marganya setelah namanya, tujuannya untuk mewujudkan tanda dirinya dan dengan cara itu dapat diketahui dari kelompok induk marga bahwa orang-orang yang menggunakannya masih mempunyai kakek bersama. Walaupun secara nyata tidak dapat lagi diperinci rentetan nama para kakek yang menghubungkan orang-orang semarga dengan kakek bersamanya, sekian generasi yang lalu, namun ada suatu keyakinan bahwa orang-orang yang menggunakan nama marga yang sama terjalin oleh hubungan darah, dan salah satu konsekwensinya adalah larangan kawin bagi wanita dan pria yang mempunyai nama marga yang sama (Purba, 1996:19).

Ada satu kebiasaan pada masyarakat Karo bahwa untuk mengetahui posisi sosial setiap individu berdasarkan institusi sangkep si telu harus lebih dahulu memperkenalkan marga dari masing-masing individu (ertutur) atau erterombo. Dalam memperkenalkan diri setiap individu tidak hanya menyebutkan marganya akan tetapi juga menyebutkan marga dari ibu (bebere). Dengan demikian setiap orang dapat menarik garis hubungan kekerabatan melalui garis ayah dan garis ibu. Menurut Sempa Sitepu timbulnya “Marga” bagi orang Karo karena adanya perkawinan si Karo

(nenek moyang Karo) dengan Miansari yang telah dikemukakan sebelumnya. Anak sulung hingga anak keenam semuanya perempuan yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik, Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai penerus (Perangin-Angin, 2004:5).

Dari sanalah akhirnya lahir Merga (Marga) bagi orang Karo yang berasal dari ayah (patrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.

Kemudian dari perkawinan Meherga anak si Karo dengan Cimata anak Tarlon saudara Miansari, lahirlah 5 (lima) orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima induk merga etnis Karo, yaitu:

1. Karo, diberi nama Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) sudah tiada maka Karo sebagai gantinya. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang demikian seterusnya.

2. Ginting, anak kedua bernama Ginting.

3. Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam di antara saudaranya. Si mbiring kemudian menjadi Sembiring.

4. Perangin-angin, diberi nama perangin-angin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnyaa (angin putting beliung).

5. Tarigan, anak bungsu (anak yang kelima).

Gambar 1. Bagan Sejarah Merga Menurut Sempa Sitepu

Pada perkembangannya, keturunan Merga membentuk sub-sub merga yang baru, sehingga terdapat banyak merga-merga pada etnis Karo. Sampai saat ini dari 5 merga (klen) induk di atas terbagi lagi atas 88 merga sebagai cabang dari marga induk (sub klen). Sesuai dengan adanya 5 marga ini, istilah yang lebih populer di Karo dikenal dengan nama Merga Silima (klen lima). Pola kekerabatannya dikenal dengan Rakut Sitelu, Tutur Siwaluh dan Perkade-kaden Sepuluh Dua.

Rakut Sitelu, yaitu 1) senina/sembuyak, 2) kalimbubu, 3) anak beru.

Tutur Siwaluh, yaitu: 1) sipemeren, 2) siparibanen, 3) sipengalon, 4) anak beru, 5) anak beru menteri, 6) anak beru singikuri, 7) kalimbubu, 8) puang kalimbubu. Perkade-kaden Sepuluh Dua, yaitu: 1) nini, 2) bulang, 3) kempu, 4) bapa, 5) nande, 6) anak, 7) bengkila, 8) bibi, 9) permen, 10) mama, 11) mami, 12) bere-bere.

Selain mempunyai merga (marga) setiap orang harus pula mempunyai dan dapat menunjukkan kampung asalnya yang disebut kuta kemulihen (kampung asal)

atau kuta pantekken (kampung yang didirikan) leluhurnya. Di kampung itulah seseorang mempunyai tanah dan rumah yang menjadi bukti kebenaran dan keasliannya sebagai penduduk kampung.

Organisasi sosial Suku Batak Karo memiliki karakter keturunan yang bersifat patrilineal, dan hubungan perbesanan antara keturunan yang bersifat Kalimbubu, wife givers (pihak yang memberikan istri) dan anak beru, wife taker (pihak yang menerima istri). Bagi orang Karo, semua orang Karo adalah kerabat, laki-laki atau perempuan menempatkan seseorang kedalam satu diantara 3 kategori: kalimbubu, anak beru, senina.

Kategori kekeluargaan pada orang Karo dijelaskan dan digambarkan oleh Masri Singarimbun (1975: 97) sebagai berikut :

All persons to whom any Karo is related by genealogical connection or by marriage are his kade-kade relatives. His agnetis relation are his Sembuyak (see p. 78). The opposed category of non agnetic relatives, (including non agnatic cognates and relatives by marriage has no single word designation in the Karo language. This category is divided into two reciprocal Categories, anak beru and kalimbubu (cf. Toba Batak, anak Boru and Hula-hula, Vergouwen 1964: 45), each of which is fur then sub divided according to whether the relationship is by birth or by marriage. The structure of categories, sembuyak, anak beru and kalimbubu together comprise all of anyonis relatives by birth or by marriage thus the tree speak of them as sangkep sitelu, the complete.

(Setiap orang Karo yang dihubungkan dengan hubungan darah/ keturunan atau karena perkawinan adalah kade-kade (hubungan kekeluargaan). Sepupu dari pihak laki-laki adalah sembuyak (senina). Golongan oposisi dari keluarga laki-laki (termasuk sanak non laki-laki-laki-laki dan sepupu dengan perkawinan) tidak memiliki istilah tersendiri dalam bahasa Karo. Golongan ini dibagi dua kategori timbal balik, anak beru dan kalimbubu (Batak Toba, anak boru dan hulu-hula, Vergouwen, 1964: 45); yang masing-masing dibagi lagi apakah hubungan tersebut berdasarkan kelahiran atau perkawinan. Struktur kategori kade-kade tersebut digambarkan dalam 8 pola hubungan (orat tutur). Ketiga kategori yang berlapis tersebut, sembuyak, anak beru, dan kalimbubu, secara bersama sama membentuk hubungan kekeluargaan; orang Karo menyebutnya dengan Sangkep Sitelu, tiga yang lengkap).

Sembuyak (Senina) (Agnatic Relative)

Non Agnatic Relative

Kalimbubu Anak Beru

Kalimbubu Simupus (by Birth) Kalimbubu iperdemui Anak Beru Ipupus Anak Beru iperdemui (by Kade-kade relative

Gambar 2. Structure of Kade-kade Categories (Masri Singarimbun 1975: 97)

Dalam hubungan kekeluargaan pada gambar diatas, terlihat adanya tiga kategori hubungan kekerabatan dari suku Batak Karo yaitu :

1. Senina atau sembuyak adalah kesatuan asal melalui garis keturunan yang berdasarkan garis ayah atau ibu. Senina adalah orang yang berdasarkan kelahirannya mempunyai satu kakek atau nenek yang sama baik dari pihak ayah atau pihak ibu. Senina (persaudaraan) itu dapat terbentuk karena pertalian darah

semerga/sebere, sepemeren (ibu bersaudara), siparibanen (isteri bersaudara), mempunyai istri dari beru yang sama, mempunyai suami yang bersaudara (saudara kandung atas saudara semerga).

2. Anak beru adalah kesatuan asal dari orang-orang yang mengawini wanita ego. Anak beru, berasal dari “anak” berarti anak dan “beru” (perempuan). Jadi anak beru berarti anak perempuan. Anak perempuan dalam pengertian selanjutnya menjadi pihak yang mengambil anak perempuan satu keluarga tertentu untuk diperistri.

3. Kalimbubu adalah kesatuan asal dari orang-orang yang memberikan wanita-wanita kepada golongan ego untuk dijadikan isteri, di samping sebagai pemberi istri (wife giver) kalimbubu mempunyai kedudukan tertinggi dalam kehidupan sosial. Oleh orang Karo sendiri dianalogikan sebagai “Dibata Ni Idah” (Tuhan yang terlihat secara duniawi).

Ketiga kategori tersebut (Senina, Kalimbubu dan Anak Beru) merupakan suatu kesatuan. Oleh Suku Batak Karo diwujudkan sebagai ketiga yang lengkap atau Sangkep Sitelu ataupun Rakut Sitelu atau disebut Daliken Sitelu (daliken = tungku batu tempat memasak di dapur, Sitelu = tiga, jadi arti dari Daliken Sitelu = Tiga Tungku Batu). Rakut Sitelu menunjukkan pentingnya peranan tiap-tiap tungku, sebab kalau tungku hanya terdiri dari dua, tidak akan dapat dipergunakan memasak. Oleh karena itu harus ada tiga tungku yang difungsikan, sehingga kegiatana memasak dapat berjalan. Demikian juga halnya antara kalimbubu, anak beru dan sembuyak. Jika salah satu dari ketiga ini tidak ada dalam acara adat dengan sendirinya acara adat itu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Menurut pandangan Suku Batak Karo, kesatuan inilah merupakan syarat bagi adanya suatu kehidupan bersama manusia menurut adat. Ikatan-ikatan kekerabatan itu tidaklah semata-mata bersifat perseorangan (individual), namun mencakup golongan yang berkerabat secara klasifikatoris. Dengan demikian dapatlah semua orang Batak Karo menghubungkan dirinya satu sama lain dalam sistem kekerabatan (HMC Slaats, 1981:440).

Dengan demikian maka setiap orang pada Suku Batak Karo merupakan titik pusat dari sesuatu kesatuan tri tunggal yang terbentuk dan tersusun secara demikian, dan sekaligus setiap orang berikatan dengan sesamanya pada Suku Batak Karo melalui salah satu bentuk kesatuan itu.

4.1.2.5. Konsepsi gender perempuan dalam budaya suku Batak Karo

Konsep kesetaraan gender secara umum menyatakan ingin menuju kepada suatu keadaan yang seimbang dan adil antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Sementara gender itu sendiri sebagaimana telah dijelaskan terdahulu dalam kajian pustaka adalah pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki yang dianggap pantas menurut norma-norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat. Misal, perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga, sedang laki-laki dianggap tidak pantas.

Gender memiliki perbedaan-perbedaan bentuk antara satu masyarakat dengan masyarakat lain karena norma-norma, adat istiadat, kepercayaan, dan kebiasaan masyarakat berbeda-beda. Misal, di kebanyakan masyarakat petani, bekerja kebun adalah tugas laki-laki, sedangkan di sejumlah masyarakat Irian, kerja kebun merupakan tugas utama perempuan, karena berburu adalah tugas utama laki-laki.

Demikian pula gender berubah dari waktu ke waktu karena adanya perkembangan yang mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma masyarakat.

Jadi gender bukan kodrat yang berlangsung sejak lahir akan tetapi gender dapat dipertukarkan. Tetapi apabila kita dapat melihat realitas yang ada, selama ini di masyarakat kita, bahwa banyak terdapat ketimpangan relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan.

Sementara konsep kesetaraan gender dalam budaya Karo umumnya masih memperlihatkan suatu keadaan dimana perempuan masih menduduki posisi yang termajinalkan, tersubordinasi yaitu dalam hal warisan, hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian/Tesis Mberguh Sembiring dengan judul Sikap Masyarakat Batak Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1961 (Studi di Desa Lingga) yang mengatakan:

Bahwa pada asasnya dalam susunan masyarakat Batak Karo yang mempertahankan garis keturunan laki-laki (patrilineal), anak perempuan hanya dapat memperoleh harta dari orang tuanya dengan cara pemberian yang didasari oleh kasih sayang saja dan juga pemberian yang dimaksud tergantung pada kemampuan orang tua mereka. Hal ini menunjukkan tidak ada persamaan kedudukan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris dari kedua orang tuanya. Padahal Keputusan Mahkamah Agung tersebut dengan jelas mengatakan: bahwa anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan, dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan (Sembiring, 2003:49).

Keadaan di atas bisa saja didukung masih kentalnya adat istiadat bagi masyarakat Karo. Akan tetapi kenyataan ini sering juga menimbulkan kontroversi baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan sendiri.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Kedudukan Perempuan Suku Batak Karo dalam Pembagian Harta