• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Fungsi Pendidikan Karakter

Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewaris kebudayaan atau nilai-nilai budaya, baik yang bersifat keterampilan, keahlian dari generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kepribadiannya. Dilihat dari segi pandangan individu, pendidikan berarti upaya pengembangan potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar teraktualisasikan secara konkret, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu dan masyarakat.

20

Ibid., hlm. 420.

21 Anas Salahudin, Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis Agama dan

26

Menurut Muhaimin (2004: 40) dalam buku Paradigma Pendidikan

Islam menjelaskan, secara teoritis pendidikan agama di sekolah berfungsi

sebagai berikut:

a. Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin.

b. Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

c. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial. d. Perbaikan kesalahan, kelemahan peserta didik dalam keyakinan,

pengalaman ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari.

e. Pencegahan dari hal-hal negatif budaya asing yang dihadapinya sehari-hari.

f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nonnyata).

g. Penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

Adapun fungsi pendidikan karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional adalah:

a. Pengembangan potensi dasar, agar “berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik”.

b. Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik.

27

c. Penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.22

Untuk mengetahui peranan pranata (institusi) pendidikan, seperti guru dan pimpinan pendidikan, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga keagamaan, pusat-pusat keilmuan, dan pusat-pusat seni dan budaya, maka akan hal itu secara garis besar pranata-pranata kependidikan tersebut, sebagai berikut:

Pertama, peranan guru dan pimpinan pendidikan. Semua pihak

melihat dan merasakan bahwa dimana saja berada dan dari waktu ke waktu, merupakan kunci terlaksananya berbagai bentuk dan jenis kegiatan pendidikan formal dan nonformal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat (komunitas basis). Bahkan, dapat dikatakan merekalah yang paling mengetahui dan merasakan betapa berat misi dan tanggung jawab yang diemban dan harus dilaksanakan dalam rangka mencerdaskan dan memajukan peserta didiknya menjadi warga bangsa yang maju (modern) dan berkeadaban.

Kedua, peranan lembaga-lembaga pendidikan formal seperti sekolah,

madrasah, dan perguruan tinggi. Dunia sekolah, madrasah, dan perguruan tinggi merupakan perwujudan yang dibangun dan dikembangkan atas dasar sistem dan kebijakan tertentu untuk mewujudkan pendidikan formal secara nasional. Apa yang disebut sebagai “sistem pendidikan nasional”, pada dasarnya adalah serangkaian kebijakan pemerintah dalam

22

28

mewujudkan pendidikan nasional yang “berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 19945”.

Ketiga, peranan lembaga-lembaga keagamaan sebagai wadah kegiatan

pendidikan yang bersifat khusus dan nonformal, seperti pondok pesantren, tempat-tempat ibadah, dan organisasi-organisasi sosial keagamaan. Keberadaban dan kiprah lembaga-lembaga keagamaan itu terus tumbuh dan berkembang semakin kokoh serta berakar pada tataran komunitas basis umat. Peranan yang paling menonjol bisa ditunjukan, diantaranya adalah:

a) Menerjemahkan nilai-nilai dan norma-norma agama sebagai kekuatan yang mendasari cita-cita dan motivasi berbagai kegiatan dalam seluruh aspek kehidupan.

b) Mendorong dan membimbing masyarakat dan umat ke arah kemajuan melalui ikatan-ikatan sosial dan kultural maupun tradisi-tradisi yang dimilikinya.

c) Menanamkan sifat-sifat dan perilaku yang terpuji dan luhur bagi terciptanya peradaban yang religius.

Keempat, peranan pusat-pusat keilmuan sebagai wadah kegiatan

penelitian, pembelajaran, dan pelatihan. Peranan pusat-pusat keilmuan itu antara lain:

a) Memanaj sumber-sumber keilmuan itu sebagai kekuatan yang mendukung pendidikan akademis, profesi, dan keterampilan.

29

b) Menjembatani dan mengimformasikan sumber-sumber keilmuan itu untuk memajukan dan memperbaruhi sistem dan kebijakan pendidikan nasioanal.

c) Memelihara sekaligus mengembangkan sumber-sumber keilmuan itu sebagai bagian dari kenyataan dan kebanggaan bangsa dan negara.

Kelima, peranan pusat-pusat seni dan budaya sebagai wadah kegiatan

pendidikan dan kebudayaan, seperti museum dan sanggar-sanggar seni beserta budaya yang tersebar di berbagai daerah. Peran utamanya antara lain, sebagai berikut:

a) Menerjemahkan nilai-nilai seni dan budaya sebagai landasan proses pembangunan bangsa.

b) Memposisikan seni dan budaya sebagai kekuatan riil dalam proses pembangunan bangsa.

c) Memelihara dan mengembangkan seni dan budaya sebagai kekayaan dan kebanggaan bangsa. 23

Adapun strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di sekolah dapat dilakukan melalui strategi-strategi, sebagai berikut:

1. Power strategi, yakni strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan atau melalui people’s power. Dalam hal ini peran kepala sekolah dengan segala kekuasaannya sangat dominan dalam melakukan perubahan.

23

Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, (Malang: UIN Press, 2009), hlm. 34-35.

30

2. Persuasive strategy, yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan masyarakat atau warga sekolah.

3. Normative re-educative. Norma adalah aturan yang berlaku di masyarakat. Norma termasyarakatkan lewat education (pendidikan).

Normative digandengkan dengan re-educative (pendidikan ulang)

untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir warga sekolah yang lama dengan yang baru.

Pada strategi pertama tersebut dikembangkan melalui pendekatan perintah dan larangan atau reward dan punishment. Allah SWT memberikan contoh dalam hal Shalat agar manusia melaksanakan setiap waktu dan setiap hari, maka diperlukan hukuman yang sifatnya mendidik, hal ini sebagaimana sabda Rasullulah SAW, yang artinya “Perintahkanlah kepada anak-anak kalian untuk Shalat, ketika berumur mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka karenanya (tidak mau Shalat), ketika umur mereka sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka”.

Sedangkan pada strategi kedua dan ketiga tersebut dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan Persuasive atau mengajak kepada warganya dengan cara yang halus dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sifat kegiatannya bisa berupa aksi positif dan reaksi positif. Bisa pula berupa proaksi, yakni membuat aksi atau inisiatif sendiri, jenis, dan arah ditentukan sendiri,

31

tetapi membaca munculnya aksi-aksi agar dapat ikut memberi warna dan arah perkembangan.24