• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOKASI PENELITIAN

4. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.2. Pengorganisasian Gantangan dalam Pesta Hajatan

5.2.2. Fungsi Sosial Gantangan

Sudah menjadi suatu hukum sosial bahwasanya suatu tradisi atau adat-istiadat akan ditinggalkan jika ia tidak lagi memiliki fungsi bagi anggota masyarakatnya. Banyak tradisi lokal yang sama sekali ditinggalkan dan bahkan punah, misalnya saja ratusan jenis permainan tardisional anak-anak, lagu-lagu lokal, cerita-cerita rakyat, ritual menyembah benda mati dan lain sebagainya. Berbagai tradisi yang hilang tersebut selain disebabkan oleh datangnya pengetahuan yang baru (modern), juga karena ia telah kehilangan fungsi sosial dan ekonominya.

Berbeda dengan tradisi di pedesaan lainnya yang perlahan-lahan semakin ditinggalkan akibat arus modernisasi, gantangan di pedesaan Subang ini masih eksis sampai sekarang. Bahkan, tiga dasawarsa terakhir (1980an-2010-an) justru semakin menguat dan meluas ke berbagai wilayah. Pertukaran sosial gantangan ini secara substansi masih eksis disebabkan oleh beberapa alasan, Pertama, ciri kolektivitas masyarakat

pedesaan di Subang ini belum sepenuhnya dapat dihilangkan. Jiwa tolong menolong dan “selalu ingin tahu” masalah orang lain di dalam komunitasnya menjadi perilaku yang memperkuat kontrol sosial antar anggota masyarakat sehingga tradisi gantangan ini masih dapat dilestarikan atau diwariskan. Kedua, pertukaran sosial gantangan ini masih bertahan karena terkait dengan eksistensi pranata sosial lainnya, yaitu perkawinan. Sepanjang perkawinan di pedesaan ini masih disakralkan dan dibuat pesta meriah untuk merayakannya (resepsi), maka

gantangan ini masih mendapatkan medan atau arena untuk

mempraktekkannya.

Ketiga, pertukaran sosial gantangan masih eksis karena basis ekonomi sebagian besar masyarakat desa masih ditopang oleh pertanian padi. Sebagai komoditas utama yang dipertukarkan, produktivitas padi/beras menjadi faktor utama keberlanjutan tradisi ini. Sepanjang lahan-lahan pertanian padi masih terjaga dan tidak terjadi penurunan produksi yang drastis (kerawanan pangan), ditambah daya beli masyarakat terhadap beras masih tinggi, maka pertukaran gantangan ini

masih akan terus eksis. Keempat, untuk menjalankan pertukaran

gantangan ini dibutuhkan satu modal yang semakin hari sebenarnya

semakin mahal, yaitu rasa saling percaya (trust). Dalam

perkembangannya pertukaran gantangan ini telah diwarnai oleh berbagai tindakan dan perilaku tidak jujur dari anggota maupun panitianya. Di beberapa desa, akibat dari ketidakjujuran ini adalah menurunnya jumlah orang yang terlibat dalam pertukaran sosial ini. Sementara bagi rumah tangga yang masih menyimpan sedikit kepercayaan kepada yang lain, mereka menjadi jauh lebih berhati-hati dalam menentukan kehadiran dan jumlah simpanan yang akan diberikan kepada orang lain (lebih perhitungan). Integritas, status ekonomi dan perilaku sehari-hari seseorang kemudian menjadi faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh calon penyimpan.

Kelima, pesta hajatan ini diakui atau tidak merupakan salah satu wahana dalam pelestarian kesenian tradisional. Dengan kata lain, raramean dalam pesta hajatan ini juga menjadi mata pencaharian atau sumber penghidupan bagi para seniman atau grup-grup kesenian di daerah. Bayangkan jika masyarakat pedesaan tidak lagi “meniscayakan” adanya hiburan kesenian ketika pesta hajatan, barangkali akan semakin banyak kelompok-kelompok kesenian dan seniman yang kehilangan lahan usahanya (gulung tikar).

Sumber : Diolah dari BPS, Subang dalam angka tahun 2010

Gambar 26. perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (2005- 2009)

Keenam, selain sebagai mata pencaharian para seniman, pertukaran gantangan dalam setiap pesta hajatan (khitanan, perkawinan,

kelahiran, dll) ini sekarang juga menjadi pasar bagi para pedagang beras, daging, dan sembako lainnya. Mereka memanfaatkan momen pesta hajatan ini untuk meraih untung dengan cara menawarkan modal hajat (panjer), baik secara langsung maupun melalui para perantara. Selain modal yang kembali, para pedagang (atau lebih dikenal sebagai bandar hajatan) ini juga mengikat beras hasil hajatan (beas hajat) untuk dibeli dengan harga dibawah harga pasar. Kehadiran pedagang/bandar ini semakin memudahkan seseorang untuk menyelenggarakan hajatan, sekalipun tidak memiliki cukup modal.

Selain keenam hal diatas yang menyebabkan pesta hajatan dan pertukaran gantangan di pedesaan ini tetap eksis, secara individual tradisi ini juga memiliki manfaat sosial (simbolik) dan ekonomi yang cukup signifikan bagi kehidupan rumah tangga. Beberapa motivasi personal dan fungsi sosial dari pertukaran gantangan ini antara lain :

a) Hayang kapuji (ingin dipuji)

Menyelenggarakan pesta hajatan yang meriah, dihadiri tamu undangan yang banyak, dengan hasil gantangan yang besar pada akhirnya akan meletakkan keluarga bapak hajat pada posisi sosial yang terhormat ditengah komunitas masyarakat desa. Kondisi seperti diatas akan mengundang decak kagum dan selanjutnya akan menjadi buah bibir di tengah masyarakat, bahwa “pak haji A hebat euy, hajatan tiasa menang sakitu”. Menjadi buah bibir semacam itu kemudian akan meningkatkan pengaruh dari keluarga hajat tersebut dan semakin dipercaya oleh masyarakatnya. Di sisi lain, menyelenggarakan pesta hajatan juga adalah pertaruhan gengsi bagi keluarga bapak hajat. Jika sampai meleset (misalnya hajatan orang/keluarga kaya) dari perkiraan bahwa yang terjadi hajatannya tiis (dingin, sepi) dan hasil gantangannya sedikit (rugi), maka harga diri

orang/keluarga tersebut akan turun di mata masyarakat, berikut pengaruh dan posisi sosialnya juga ikut merosot.

b) Hayang Kasohor (ingin terkenal)

Karena kemeriahan dan hasil gantangan dalam suatu hajatan menjadi salah satu parameter tinggi rendahnya status dan posisi sosial seseorang/keluarga, maka ada juga yang mencoba menaikkan status keluarganya dengan mengadakan pesta semeriah mungkin dengan modal besar (diluar kemampuan sebenarnya). Spekulasi semacam ini (mengadakan hiburan mewah, misalnya) dilakukan dengan harapan agar menarik perhatian warga masyarakat lainnya sehingga dapat menjadi buah bibir bahwa keluarga A itu mampu dan kaya/sukses. Namun, seringkali warga masyarakat juga mempertimbangkan aspek lainnya, seperti apakah orang itu punya posisi tertentu dalam pemerintahan/pejabat, apakah punya pengaruh/disegani, pendatang

atau pribumi, dan track record lainnya sebelum mengambil keputusan

untuk nyimpen banyak atau sedikit dalam hajatan/gantangan tersebut.

Ada juga beberapa kasus dimana pesta yang sangat meriah, tetapi hasil gantangannya sangat kecil (rugi), sehingga lahir istilah “budak

Bogor” (Biar Tekor yang penting Kesohor) sebagai sindiran.

c) Hayang ditarima lingkungan (kontrol sosial)

Sebagian besar informan menyatakan bahwa keikutsertaan mereka dalam pertukaran gantangan adalah murni inisiatif pribadi dan tanpa adanya paksaan dari orang lain (keluarga atau panitia). Namun ketika ditanya lebih lanjut, seringkali mereka mengungkapkan bahwa gantangan itu sudah menjadi tradisi dan dilakukan sejak dulu, jadi maksud tanpa paksaan sebenarnya lebih bermakna “ikut-ikutan” daripada inisiatif pribadi. Sebab, sekalipun tidak ikut dalam gantang tidak apa-apa, tetapi mereka mempertimbangkan rasa “tidak enak”

jikalau saudara yang lain ikut tetapi kita sendiri tidak ikut. Perasaan ingin “sama dengan yang lain (orang dekat)” menjadi motivasi untuk bergabung. Sejauh peneliti mendalami, memang untuk terlibat atau tidak ini tidaklah mengandung instrumen pemaksa, sebab beberapa tokoh masyarakat (kadus awilarangan, sekdes pasirmuncang) pun tidak ikut serta dalam gantangan yang ramai dilakukan warganya.

d) Hayang katingali (ingin dilihat/kebanggaan)

Sifat masyarakat pedesaan yang feodalistik dan berorientasi vertikal (mengikuti pemimpin/orang besar) masih belum sepenuhnya hilang. Dalam penyelenggaraan sebuah pesta hajatan dengan hiburan dan gantangan ini menjadi ajang bagi bapak hajat maupun tamu undangan untuk sama-sama “terlihat” di depan publik, baik terlihat kekayaannya, kekuasaannya, pengaruhnya, dan lain sebagainya.

Misalnya, melalui saweran19 orang bisa menunjukkan “identitas

sosial”nya. Semakin besar uang saweran, menunjukkan status orang tersebut yang tinggi, baik dimata kelompok kesenian maupun dimata tamu undangan lainnya. Biasanya, tokoh-tokoh masyarakat atau pejabat yang kebetulan datang menjadi tamu undangan, akan dengan sengaja dipanggil oleh MC dan diundang untuk menyawer. Tamu pejabat itu pun sudah hafal dan menyiapkan beberapa lembar uang

untuk disawerkan. Seperti sudah menjadi tuntutan. Selain

pejabat/tokoh masyarakat, para keluarga dan kerabat juga akan ikut menyawer dengan tujuan membuat pesta hajatan terlihat meriah di mata tamu undangan.

19

Kebiasaan para tamu undangan yang ikut berjoget memberikan uang kepada penari jaipong atau penyanyi dangdut diatas panggung, beberapa lembar uang itu diberikan dengan cara saling berpegangan tangan dan digoyang-goyangkan beberapa kali. Setiap penyawer menunjukkan “identitas”nya dari jumlah sawerannya.

e) Loba babaturan (banyak teman)

Fungsi sosial gantangan yang lain adalah untuk memeperluas pergaulan. Sebab, gantangan di suatu desa biasanya bersifat terbuka,

artinya orang luar desa pun boleh ikut “menyimpan”. Semakin banyak

orang menyimpan kepada orang lain, maka semakin banyak pula hasil yang akan dia peroleh kelak ketika “narik gantangan”. Maka wajib hukumnya bagi yang ingin mendapatkan untung dari gantangan ini adalah dengan memperluas koneksi dan pertemanannya, sehingga tamu undangan yang akan datang ke pesta hajatannya pun kemungkinan juga bisa semakin banyak. Selain memperbanyak teman, memperbanyak simpanan, seseorang juga perlu memperbesar volume (jumlah uang dan beras) yang disimpannya kepada orang lain agar hasil gantangannya bisa besar.

f) Silih bantu (resiprositas)

Hukum sosial hidup di pedesaan adalah “siapa yang banyak membantu orang lain, maka orang lain juga akan membantunya”. Hukum timbal balik ini masih sangat berlaku sampai sekarang. Oleh karena itu, kebanyakan rumah tangga ikut serta dalam gantangan ini juga dimotivasi harapan bahwa suatu saat mereka juga membutuhkan bantuan dari warga masyarakat lainnya. Dengan adanya pertukaran gantangan ini, timbal balik itu menjadi semakin kontraktual, karena jelas besar pemberian dan kapan pemberian itu harus dikembalikan. Meskipun masih dalam kerangka “saling membantu” yang sama, namun nuansa ekonomi dan resiprositas sebanding-nya memang lebih kentara dalam pertukaran gantangan ini.

Pesta hajatan di pedesaan Subang adalah momen untuk berkumpul antar warga desa. Ketika berlangsung pesta hajatan, ada

kebiasaan masyarakat, baik ibu-ibu atau bapak-bapak, untuk ngabring

(berjalan bersama-sama, beriringan) sambil membawa/menjinjing beras menuju tempat hajatan. Bahkan, mereka saling tunggu untuk disampeur dari rumah yang terjauh sampai rumah yang terdekat (pasampeur-sampeur). Ngabring ini menunjukkan kebersamaan dan saling “mengontrol” antara satu warga dengan warga lainnya,

sehingga apabila disampeur tidak ikut/datang akan muncul rasa malu.

Kebiasaan ngabring ini masih ada sampai sekarang meskipun sudah

sangat jauh berkurang. Penyebabnya ada dua, pertama, sudah banyak

warga yang memiliki kendaraan bermotor, sehingga mereka merasa lebih praktis untuk berangkat sendiri-sendiri atau nyampeur orang

yang dekat saja. Kedua, jumlah beras yang disimpan/dibayarkan sudah

tidak lagi 1-2 gantang (10-20 liter), melainkan sudah sampai 50 kg, 1 karung bahkan lebih, sehingga lebih praktis jika menggunakan kendaraan bermotor. Ngabring ini juga biasa dilakukan oleh warga yang desanya dengan tempat hajatan jauh jaraknya. Biasanya mereka akan menyewa mobil bak terbuka (pick up) untuk kemudian ramai- ramai menuju tempat hajatan. Selain lebih irit (biaya transportasi) juga bisa menolong mereka yang tidak memiliki sepeda motor sendiri.

5.2.3. Fungsi Ekonomi Gantangan