• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV GAGASAN SEMAOEN TENTANG PARTAI KOMUNIS

4.2 Gagasan Semaoen tentang PKI sebagai Pembangun

mencanangkan program politik etis di mana pendidikan menjadi salah satu sorotannya. Segi keintelektualan yang semakin meningkat karena munculnya sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari politik etis, ternyata berpengaruh terhadap pemikiran masyarakat Hindia. Walaupun pada awalnya mereka disekolahkan untuk menjadi pegawai pemerintah kolonial, lambat laun anggapan tersebut berubah ketika proses kesadaran mereka yang terbuka atas nasib rakyat yang diperlakukan tidak adil (Suwondo, Tirto,dkk, 1995: 21-23). Dalam novel Hikayat Kadiroen, tokoh Kadiroen juga diceritakan hal serupa. Memperoleh pendidikan di OSVIA dan setelah lulus, ia bekerja pada pemerintah kolonial. Namun yang berbeda adalah Kadiroen tetap konsisten untuk membela rakyatnya yang tertindas. Ia memakai perangkat kerja yang didapatnya untuk menghubungkannya dengan rakyat.

Kadiroen memang cukup beruntung karena diangkat anak oleh tuan kontrolir dan disekolahkan di OSVIA. Namun keberuntungan itu tidak lantas membuatnya sombong. Justru, di sekolahnya itulah ia semakin mengasah kemampuannya, baik dalam hal pelajaran dan olahraga. Tidak heran jika dikemudian hari Kadiroen menjadi pekerja yang tangguh dan bijaksana. Hal itu ditunjukkannya, semisal, pada saat ia harus bergulat dulu dengan para pencuri kerbau Soeket setelah sebelumnya ia memikirkan sebuah strategi untuk menangkap gerombolan pencuri tersebut. Hal ini sekaligus menjadi

bukti bahwa Kadiroen mengaplikasikan hal yang didapatnya semasa di sekolah.

Hal yang serupa juga dialami oleh pengarangnya. Moehkardi mencatat Semaoen karena kecerdasannya diperkenankan untuk mengikuti ujian pamaong praja tingkat rendah dan lulus dengan hasil yang baik. Tidak hanya itu, Semaoen juga tercatat sebagai pemuda Indonesia pertama yang berhasil memperoleh Komis A di Surabaya. Pada dasarnya Semaoen bisa saja hidup sebagai pejabat pemerintah, tetapi hal itu tidak dilakukannya. Proses kesadaran melihat rakyatnya yang tertindas membuatnya lebih memilih pergerakan politik sebagai jalannya ( 1971: 34). Inilah yang membedakannya dengan Kadiroen. Kadiroen tersadar ketika ia berproses sebagai pejabat pemerintahan, ditambah dengan rapat umum yang dibuat Partai Komunis membuatnya semakin sadar dan pada akhirnya lebih memilih gerakan politik.

Pada dasarnya, Semaoen secara terang-terangan menuliskan bahwa (20) Kadiroen memang ditakdirkan Tuhan memiliki kebaikan

dalam segala hal, melebihi dari yang lain-lain sesamanya (Semaoen, 2000: 9).

Artinya adalah Kadiroen memang dikarakterkan dari awal menjadi seorang yang tersebut di atas. Terhadap karunia Tuhan itulah kemudian Kadiroen merasa bahwa Soeket memang pantas ditolong. Ia mendapatkan fakta bahwa rakyat yang butuh pertolongan malah disingkirkan. Soeket, seorang miskin yang hanya menggantungkan hidupnya pada seekor kerbau, melapor pada asisten wedono karena kerbaunya telah dicuri, justru mendapat cacian dan makian dari asisten wedono.

60

(21) “kamu amat teledor! Ke mana semalaman pergi? Tidur nyenyak saja yang kau bisa. Bayangkan kerbau sebesar itu, dicuri orang kau tidak tahu. Hai pemalas. Sekarang kamu minta tolong sama aku. Apa memang kamu sudah tidak bisa menjaga kerbaumu sendiri. Dasar pemalas!” kata Tuan Asisten Wedono sambil marah besar (Semaoen, 2000: 11). Perlakuan dan umpatan kasar yang diterima Soeket ternyata menggugah rasa kebangsaan Kadiroen. Rasa itu muncul seiring munculnya rasa kemanusian terhadap kenyataan bahwa rakyat kecil selalu tertindas oleh kekuasaan. Fakta ini sejalan juga dengan tindakan asisten wedono yang lebih memilih menangani kasus hilangnya ayam tuan kontrolir karena dinilai cukup bergengsi untuk dapat menaikkan jabatan. Inilah awal dimana proses kesadaran Kadiroen mulai terbangun. Kenyataan ini juga sepadan dengan politik pemerintah kolonial yang memakai cara-cara feodal agar rakyat menghormati atasannya sehingga ada rasa takut rakyat yang kemudian menyebabkan rakyat enggan melapor pada pejabat (Nagazumi, 1989: 12).

Jenjang karir Kadiroen yang semakin menaik, membuat kepekaannya terhadap nasib rakyat semakin terolah. Terhadap rakyat yang dipimpinnya, Kadiroen sangat memperhatikan kesejahteraan mereka. Menurut Kadiroen, jika rakyat sejahtera maka tidak akan ada lagi penyakit masyarakat seperti maling dan sebagainya. Ia sering sekali memberikan nasihat-nasihat kepada rakyatnya. Tidak heran jika Kadiroen dihormati dan disenangi rakyatnya.

Terhadap kesejahteran, ia akan merasa sangat sedih jika ada rakyatnya yang kekurangan, seperti pada kutipan berikut.

(22) Kemiskinan penduduk desa tersebutlah yang membikin susah hati Kadiroen. Ia sering tidak tidur, memikirkan bagaimana ia

berikhtiar mencari cara guna menyelesaikan masalah tersebut (Semaoen, 2000: 40).

Tidak hanya itu. Sewaktu Kadiroen ditugaskan sebagai patih di kota S, ia bahkan harus jatuh sakit karena terlalu banyak mengemban tugas untuk mengurusi persoalan rakyat. Bahkan ia harus mengubur dalam-dalam rasa asmaranya kepada Ardinah yang dinilainya dapat mengganggu konsentrasinya saat bekerja. Harus diakui, Kadiroen merupakan sosok pekerja keras yang menyingkirkan segala bentuk urusan pribadinya, termasuk kesehatan.

(23) Itulah yang menyusahkan Kadiroen dan memaksanya bekerja siang-malam itu. Mewakili patih baru dua bulan lamanya. Dan di waktu ia kembali dari cuti dan mengurus lagi pekerjaannya, badannya menjadi sangat kurus. Ia kelihatan lebih tua dari usia yang sebenarnya (Semaoen, 2000: 97). Apa yang dirasakan Kadiroen menyangkut persoalan rakyat, bukan sekadar perasaan belaka yang kemudian didiamkan begitu saja. Ia lalu mencari cara bagaimana setiap persoalan tersebut dapat diselesaikan. Untuk rakyatnya, Kadiroen akan melakukan apa saja secara ikhlas. Bertarung dengan penjahat, datang ke tiap-tiap desa untuk mencari keterangan, mengumpulkan para pejabat desa beserta tetua-tetuanya, membuat voorstel-voorstel untuk kemudian diteruskan kepada pejabat pemerintah, bahkan harus menyamar sebagai orang Arab yang menjual pakaian ia jalani. Hal itu menunjukkan bahwa Kadiroen memang sangat peduli dengan keadaan rakyat. Sebagai orang yang sadar, ia juga lantas berbuat sesuatu atau setidaknya ikut ambil bagian dalam persoalan kemiskinan di daerah kekuasaannya. Dengan demikian ia

62

juga sadar atas pemberian karunia Tuhan bahwa ia memang diwajibkan untuk menjadi penolong di masyarakatnya.

Apa yang dilakukan Kadiroen ternyata tidak sesuai dengan apa yang dikehendakinya. Rakyat masih saja berkutat dengan kemiskinan. Kadiroen pun menganalisis keadaan yang terjadi di masyarakatnya seperti pada kutipan berikut.

(24) Banyaknya penghasilan dan pekerjaan untuk rakyat hampir sama seperti zaman kuno. Ya, sekarang justru lebih banyak jenis pekerjaan. Meskipun begitu, toh rakyat tambah miskin. Apa sebabnya? Kadiroen mengira bahwa rakyat sendiri yang salah. Tentunya rakyat lebih royal ketimbang yang dahulu. Sehingga hasil yang mereka dapat tidak seimbang dengan belanja yang mereka keluarkan. Artinya rakyat mengeluarkan ongkos hidup lebih besar dari pendapatannya. Tetapi umpamanya perkiraan itu betul, apakah sebabnya sehingga rakyat berbuat begitu? Apakah adat mereka yang berubah. Kadiroen mengerti bahwa memang biasanya bumiputera senang kelihatan kaya. Seperti dalam hal mengawinkan anak, membikin keramaian yang tidak kecil ongkosnya, pada Hari Raya 1 Syawal menyalakan mercon atau kembang api dan kesenangan lainnya. Mereka mau mengeluarkan ongkos yang banyak untuk keperluan-keperluan begitu. Sebab kalau tidak begitu, mereka malu pada sahabat-sahabatnya. Umpamanya betul ini adat yang memiskinkan rakyat, toh zaman dahulu adat itu juga ada; mengapa hal yang sama, sekarang menyebabkan miskin? Kadiroen menyangka bahwa royal-nya rakyat bertambah tapi mengapa bertambah? Kadiroen menyangka biasanya tambah royal itu karena terbawa oleh hasil yang didapat rakyat sekarang ini lebih gampang dikeluarkan, lain dari zaman dahulu. Tentang masalah ini Kadiroen mengira karena sekarang rakyat kebanyakan mendapat hasil berupa uang. Sedang dahulu berupa hasil tanah seperti padi, beras, kelapa, jagung, ketela dan sebagainya. Uang sangat enteng dan gampang dikeluarkan. Sebaliknya, hasil tanah sangat berat dan sedikit susah dikeluarkan. Rakyat mencari gampangnya. Itu sudah menjadi kebiasaan banyak manusia. Oleh karena itu, mereka lebih senang menerima hasil uang daripada hasil tanah. Karena umpama ada hasil tanah, mereka lalu lekas menukarkan menjual hasil itu dengan uang. Tetapi kemudahan yang

berhubungan dengan uang itu tidak sepadan dengan pengertian dan kepintaran rakyat. Rakyat tidak tahu betul harganya uang. Dan mereka lebih gampang lagi mengeluarkan uangnya. Akhirnya, mereka menjual kerbau, sapi dan sebagainya. Sehingga bertambah lama menjadi bertambah miskin (Semaoen, 2000: 79, 80).

Analisis yang dilakukan Kadiroen mengantarkan kita pada sebuah fakta, bahwa kondisi sosial rakyat pada kurun waktu 1920-an, telah mengalami perubahan. Dalam perubahan tersebut, uang pada saat itu menjadi segalanya. Menggelontorkan uang memang lebih mudah daripada mendapatkannya. Berdasarkan hal itu, maka dapat kita lihat kesengsaraan bukan hanya akibat perang, namun rakyat sendiri yang mempersulit keadaan mereka.

Seiring perjalanan karir Kadiroen, masuklah perkumpulan yang menjadi buah bibir masyarakat, yaitu perkumpulan komunis (PK). Adanya vergadering PK yang dipimpin oleh Tjitro, membuat semua orang tahu tentang segala perihal perkumpulan tersebut.

(25) Komunisme itu ialah ilmu mengatur pergaulan hidup supaya dalam pergaulan hidup itu orang-orang jangan ada yang bisa memeras satu sama lainnya (Semaoen, 2000: 127).

Pada saat itu, vergadering atau rapat umum terbuka merupakan sebuah metode yang bertujuan untuk menarik massa tanpa memandang status sosialnya. Siapa pun dapat terlibat. Berbeda dengan surat kabar yang hanya segelintir orang saja yang terlibat (Soewarsono, 2000: 17). Keampuhannya pun terbukti. Apa yang telah diungkapkan Tjitro cukup berhasil untuk menarik hati ratusan orang yang segera mendaftar menjadi anggotanya. Ketertarikan yang sama juga dialami Kadiroen. Di sinilah proses kesadaran Kadiroen

64

sesungguhnya. Sama dengan apa yang menjadi pilihan Semaoen, Kadiroen pun memilih gerakan politik dengan bergabung bersama Partai Komunis.

Sebelumnya, Kadiroen memang menyadari bahwa zaman telah berubah begitu juga dengan kehidupan. Namun Kadiroen lupa bahwa ada kepentingan lain yang membuat rakyat tidak bisa lepas dari kemiskinannya. Kepentingan tersebut adalah kepentingan kaum bermodal yang menyelenggarakan proses produksi selama ini maupun para penguasa. Inilah yang belum dilengkapi oleh Gie dalam skripsinya yang telah dibukukan, bahwa kesenjangan antara yang tertindas dan tidak tertindas serta ketidakberpihakan pemerintah kolonial Belanda yang membuat rakyat tidak maju dalam tatanan kehidupan, baik kesehatan, pendidikan dan materi.

Rasa simpati Kadiroen terhadap gerakan PK bertambah ketika Kadiroen mendapati media massa yang menentang rapat tersebut.

(26) Baru saja Kadiroen memikirkan hal itu semua, maka ia menerima Surat Kabar S.H.B milik golongan kaum bermodal. Di situ Kadiroen membaca dalam ruangan “Ned Indische Telegramen” dalam bahasa Belanda yang menerangkan bahwa hari kemarin di S oleh P.K sudah digerakkan penghasutan pada rakyat. Sedang yang berbicara opruier (tukang hasut)-nya adalah Tjitro. Redaksi surat kabar itu memberikan pikirannya bahwa sekarang ini sudah saatnya sang opruier Tjitro, penjahat itu, dibuang dan diasingkan di pulau kecil, supaya tidak bisa menghasut lagi (Semaoen, 2000: 145).

Mas Marco dalam Edi Cahyono menyarankan berhati-hati dalam membaca surat kabar; agar tidak membaca surat kabar yang memihak kaum uang karena dapat menjerumuskan rakyat Hindia (2003; xxvi); hal yang sering terjadi pada tahun 1920an seiring menjamurnya media massa sebagai alat perjuangan.

Sejalan dengan asumsi itu Semaoen dalam novelnya juga menuliskan bahwa banyak surat kabar yang memuat kabar bohong tentang gerakan rakyat supaya rakyat membencinya, seperti pada kutipan berikut.

(27) Memang di Hindia banyak surat kabar bukan kepunyaan rakyat, yang selalu memuat kabar-kabar bohong buat merusak gerakan rakyat, untuk mengajak kepada para pembacanyasupaya membenci pergerakan itu, terutama pada para pemuka-pemukanya. (Semaoen, 2000: 145).

Dalam vergaderingnya, Partai Komunis mengajak kaum buruh dan rakyat untuk pintar, kuat dan berkuasa. Caranya yaitu dengan rukun bersatu atau mendirikan perkumpulan (Semaoen, 120-121: 2000). Cara inilah yang terlewatkan oleh Kadiroen. Selama ini, ia hanya membuat aturan dari analisisnya maupun memberikan nasihat-nasihat kepada masyarakat, tetapi sektor pendidikan yang rendah menyebabkan hal itu hanya ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Ditambah lagi penyelewengan perintah yang dilakukan bawahan Kadiroen membuat aturan itu menjadi negatif di mata masyarakat. Inilah kenyataan baru yang harus dihadapi Kadiroen. Tidak heran jika Kadiroen pada akhirnya memilih bergabung bersama Partai Komunis sebagai penulis pada harian Sinar Ra’jat. Hal ini juga mengingatkan kita terhadap perubahan Semaoen menjadi radikal ketika berkenalan dengan Sneevliet, sekaligus membenarkan apa yang diungkapkan Razif bahwa munculnya bacaan-bacaan digunakan untuk mendidik bumiputra yang miskin; miskin karena kemiskinan juga miskin ilmu dan pengetahuan. Selanjutnya Razif menuliskan bahwa dengan surat kabar, rakyat Hindia dapat membentuk

66

kesadaran kolektif untuk membayangkan masa depan yang mereka hadapi (members.fortunecity.com).

Apa yang diinginkan oleh Kadiroen-sebagai penulis, tidak serta merta diacuhakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sebelum munculnya Sneevliet, pemerintah berusaha mengontrol beredarnya bacaan yang ada di masyarakat bersamaan dengan kebijakan politik etis. Aturan yang melarang tulisan-tulisan berbau kritikan terhadap pemerintah memang sengaja dibuat agar rakyat tidak terprovokasi (Suwondo, 1995: 4,5). Hasilnya adalah penangkapan-penangkapan tokoh pergerakan karena dianggap sebagai penghasut. Pemerintah juga dapat membuang orang itu ke luar negeri atau pulau yang terpencil, termasuk Sneevliet yang pada akhirnya dibuang dari Hindia (Gie, 1990: 15). Namun, hal itu tidak terjadi dengan Kadiroen. Pada awalnya Kadiroen masih merangkap jabatan sebagai patih. Ia menulis dengan nama samaran Pentjari. Tetapi ia tekena kasus delik pers yang mengharuskan ia mempertanggung jawabkan tulisannya.

(28) Persdelict. Ini hari kita poenja Hoofd-Redacteur dipanggil oleh toean djaksa di kantornja dan dibilangi bahwa toean AssistenT Resident menjoeroh ia, djaksa, soepaja menaja matjam-matjam halnja Sinar Ra’jat pada hari kemaren doeloe tanggal 12 Mei, teroetama tentang karangan jang termoeat itoe hari dan jang berkepala: “Diminta sedikit lekas”, dan ditandai oleh Pentjari (Semaoen, 2000: 147).

Pada kasus ini, Kadiroen dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman. Kadiroen pada akhirnya meniatkan jalannya untuk terjun dalam dunia pergerakan rakyat sebagai penulis setelah sebelumnya ia ditawari pangkat yang lebih tinggi namun ditolaknya. Kenyataan ini membuktikan

bahwa Kadiroen memuliakan kepentingan orang banyak dan mengesampingkan kepentingan pribadinya dengan pangkat dan jabatannya. Perlu diingat, Semaoen menulis novel ini sewaktu ia di penjara karena dakwaan yang sama. Pemerintah Hindia Belanda memang bertindak tegas bagi siapa saja yang dinilai mengganggu atau mengkritik jalannya pemerintahan.

Jadi, keberanian Kadiroen untuk mengabdikan dirinya sebagai anggota Partai Komunis, merupakan contoh nyata gagasan Semaoen tentang PKI sebagai pembangun kesadaran baru. Semaoen hendak menyadarkan, bahwa Bangsa Hindia seharusnya tidak hidup dengan penderitaan; bahwa rakyat seharusnya merdeka untuk menentukan nasibnya sendiri, dan PKI juga mencita-citakan hal tersebut. Artinya adalah dengan bergabung bersama PKI, niscaya Bangsa Hindia dapat hidup merdeka.

4.3 Faktor Penghambat Cita-cita Bangsa yang Merdeka Berdasarkan Sudut

Dokumen terkait