• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.3 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sesudah Masuknya

Dalam semangat pergerakan, gejala lainnya mulai muncul di Hindia, yaitu Sarekat Islam (SI). Semula organisasi ini didirikan oleh pedagang-pedagang batik di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam (SDI). Tujuannya untuk melawan dominasi orang-orang Cina dalam hal perdagangan. Agar diakui pemerintah, dibuatlah suatu anggaran dasar yang diperuntukkan bagi anggotanya. Berdasarkan anggaran dasar yang dibuat, tidak ada hal yang berkaitan dengan politik. Namun, karena terjadi huru-hara yang oleh pemerintah Belanda dituduhkan pada SI, organisasi itu pun akhirnya dibekukan (Noer, 1980: 115). Untuk mengubah citranya di mata pemerintah, anggaran dasarnya pun kembali diubah oleh Oemar Said Tjokroaminoto yang pada tahun 1914 menjadi ketua SI. Perubahan lainnya, dengan membentuk kepengurusan Centraal Sarekat Islam (CSI) pada tanggal 18 Februari 1914. Tanggal 18 Maret 1916, pemerintah Belanda mengakui kepengurusan ini (Noer, 1980: 116).

Konsep nasionalitas dan kemerdekaan terpampang pada kongres nasional pertama di Bandung tahun 1916. SI menyandarkan agama Islam adalah pembuka persamaan derajat manusia, sehingga tidak mengakui suatu golongan berkuasa atas golongan lain. SI menuntut keadilan bagi rakyat

22

bumiputera yang selama ini terjajah, misalnya dengan menuntut perbaikan bidang agraria dan pertanian, menasionalisasi industri, menyangkut kehidupan buruh, dan lain-lain. Kesemuanya ini menjadi program kerja SI yang lebih diperinci pada tahun 1917 (Noer, 1980: 127,129).

Unsur memberontak SI yang berkurang sebagai akibat duduk di kursi dewan rakyat (volksraad) membawa perpecahan dalam tubuh internal SI. Adalah Semaoen yang menolak secara tegas cara SI seperti itu. Semaoen mengatakan bahwa volksraad adalah untuk mengelabui rakyat dan memperoleh untung yang banyak (Noer, 1980: 130).

Semaoen pada waktu itu memang dikenal sebagai tokoh SI yang radikal. Karir politiknya dimulai saat berumur 14 tahun di VSTP dan pada tahun 1915 menjadi ketua cabang VSTP di Surabaya. Bersamaan pada tahun itu, ia tercatat juga sebagai anggota CSI di tempat yang sama (Cahyono, 2003: xix). Memang pada waktu itu ada kelonggaran dari pemerintah maupun kebijakan organisasi, untuk merangkap di organisasi lainnya (Leirissa, 1985: 52). Semaoen di masa mudanya memang sempat mengenyam bangku pendidikan. Hal ini bukan berarti Semaoen adalah anak priayi, namun karena ia memang terlahir pada zaman politik etis (Shiraishi, 1997: 134). Berkat kecerdasan dan ketajaman otaknya, Semaoen lulus ujian pegawai pamongpraja rendah pada tahun 1912. Kemauan kerasnya untuk belajar walau orang tuanya tidak mampu, telah mengantarkannya mendapat ijasah Komis A; suatu prestasi yang dapat dicapai oleh orang Indonesia di Surabaya pada waktu itu. Dengan ijasah tersebut, sebenarnya Semaoen dapat menjadi pegawai

pemerintahan, tetapi hal itu tidak dilakukannya karena melihat kenyataan rakyat Hindia yang tertindas. Ia lalu secara aktif menekuni dunia politik (Moehkardi, 1971: 33, 34).

Dalam gelanggang politik, keradikalan Semaoen sebenarnya terbangun ketika ia berkenalan dengan Josephus Franciscus M. Sneevliet. Ia adalah seorang anggota Sociaal Demokraatische Arbeider Partij (SDAP), yaitu bentuk awal dari partai komunis di Belanda. Ia diusir dari Belanda karena sering memimpin pemogokan di kalangan buruh. Tahun 1913, ia ke Hindia dan bekerja di Surabaya sebagai wartawan, lalu kembali pindah ke Semarang pada tahun 1913 dan menjadi anggota VSTP. Bersama temannya, ia lalu mendirikan sebuah organisasi yang bernama Indische Sosiaal Demokratische Vereeniging (ISDV). Di organisasi itulah ia mulai memperkenalkan paham sosialisnya (Leirissa, 1985: 52). Lainnya, untuk memperkuat organisasinya, ia mulai mengajak Semaoen yang kemudian pindah ke Semarang untuk bergabung bersama ISDV, sambil menjadi ketua SI cabang di sana.

Paham sosialis yang sudah bersama Semaoen, pada akhirnya masuk ke dalam tubuh SI. SI, khususnya di Semarang menjadi radikal. Wujud perubahannya yaitu mengganti struktur kepengurusan yang lebih banyak diisi oleh kaum buruh dan rakyat kecil (Gie, 1990: 5). Semaoen yang menjadi ketua di sana, juga memimpin pergerakan-pergerakan rakyat terutama kaum buruh yang diperlakukan semena-mena oleh para pemilik industri. Kenyataan-kenyataan rakyat pribumi yang terwakili di Semarang, membuatnya semakin revolusioner. Hal ini misalnya ditandai dengan pemogokan pada perusahaan

24

mebel karena telah memecat 15 buruh. Pemogokan yang dipimpin langsung oleh Semaoen dan Kadarisman menuntut agar ada pengurangan jam kerja, gaji yang dibayar penuh, dan bagi yang dipecat agar diberi pesangon 3 bulan gaji (Cahyono, 2003: xxiv). Pada akhir 1917 dan awal 1918, Semaoen memimpin pemogokkan di Semarang. Buruh cetak, buruh mesin jahit Singer, buruh bengkel mobil serta menyusul di daerah-daerah lainnya seperti Batavia, Bandung, Surabaya dan lainnya (Shiraishi, 1997: 139, 140). Tidak heran ia lalu bersama Soerjopranoto dikenal sebagai raja mogok.

Pada dasarnya, perubahan sikap SI ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Belanda maupun kalangan SI sendiri. Belanda tetap mengawasi pertumbuhan SI khususnya SI Semarang. Setidaknya, pada tahun 1919 pemerintah melakukan penangkapan-penangkapan tokoh SI Semarang dengan berbagai alasan. Semaoen adalah salah satu tokoh yang dipenjarakan karena dianggap presdelict. Dari dari kalangan SI sendiri, Semaoen dianggap berbahaya karena tidak menyesuaikan ke-Islaman partai yang selama ini dipegang SI. Sebagai bentuk perlawanan, H.O.S Tjokroaminoto menulis sebuah buku dengan maksud tidak mengikuti ajaran sosialisme karena dalam Islam telah terkandung ajaran sosialisme itu sendiri (Moehkardi, 1971: 33, 34). Sebelumnya, Sneevliet pada tahun 1917 terkena persdelict juga karena artikelnya di koran yang dianggap melecehkan pemerintahan dan penghasutan kepada rakyat. Sneevliet akhirnya bebas dari dakwaan, tetapi ternyata itu adalah siasat pemerintah Belanda untuk “membuangnya” dari Hindia (Gie, 1990: 11). Kursi ISDV pasca ditinggalkan Sneevliet diisi oleh Semaoen. Pada

tahun 1920, Semaoen mengubah ISDV menjadi Partai Komunis Hindia dengan ketuanya adalah Semaoen sendiri. Oleh karena adanya aturan dari komunis pusat di Rusia, maka partai itu diubah kembali menjadi Partai Komunis Indonesia, yang disingkat PKI (Gie, 1990: 43).

Dokumen terkait