• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.2 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sebelum Masuknya

Sebelum abad IX, peninggalan zaman feodal masih sangat dirasakan oleh masyarakat pribumi. Sistem yang mengharuskan golongan bawah “menghormati” golongan atas ini ternyata mengilhami pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan hal yang serupa. Tujuannya adalah agar mereka mendapat rasa hormat dari golongan pribumi. Selain itu, penerapan sistem ini juga mengakibatkan yang kecil semakin kecil dan yang besar semakin besar. Dengan rasa hormat itu, maka masyarakat pribumi menjadi segan pada pemerintah kolonial Belanda.

Hal lainnya, agar tidak terlalu mencolok sebagai bangsa penjajah, pemerintah kolonial Belanda juga melakukan hubungan erat dengan bangsawan kerajaan. Hal ini semisal ditunjukkan dengan merekrut bupati untuk memerintah di daerah kekuasaanya. Kekuasaan tersebut tidaklah bersifat mutlak, namun tetap berada dalam kendali pemerintah Belanda.

Bupati-bupati itu ternyata tidak sadar bahwa mereka sedang “disetir” oleh Belanda. Lambat laun, mereka hanya menjadi pegawai pemerintah yang menerima gaji bukan hak akan penguasaan tanah yang selama ini menjadi tradisi. Dengan cara demikian, orang-orang Belanda menduduki kelas sosial tertinggi di masyarakat, yang berpusat pada seorang gubernur jenderal di Batavia (Leirissa, 1985: 9).

Diterapkannya sistem penyewaan tanah atau landrente ternyata membuat marah para bangsawan pribumi. Puncaknya terjadi pada tahun 1825 yang dikenal dengan dengan perang Jawa. Perang yang dipimpin oleh Diponegoro ini ternyata membuat pihak pemerintah Belanda mengalami kerugian materi yang cukup besar. Untuk mengatasi masalah keuangan tersebut, pihak Belanda mencanangkan sebuah program yang disebut Cultuurstelsel; sebuah program yang mengharuskan penanaman tanaman wajib dengan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Kartodirdjo, 1993: 15-16).

Istilah ‘buruh’ sudah mulai dikenal di sini. Setidaknya ada empat kelas yang dapat diklasifikasikan, yaitu: orang yang mempunyai tanah, kebun dan rumah, orang yang tidak mempunyai tanah tetapi memiliki rumah dan kebun, orang yang mempunyai rumah di tanah orang lain dan yang terakhir adalah orang yang tidak memiliki apa-apa (Leirissa, 1985: 10,11). Edi Cahyono menyebutkan bahwa istilah ‘buruh’ sama halnya dengan menyebut petani karena tidak mempunyai sebidang tanah untuk diolah. Mereka lebih dikenal dengan petani gurem atau miskin yang bekerja di perkebunan yang diciptakan

18

oleh pemerintah Hindia-Belanda (2003, xii). Pemogokan-pemogokan oleh buruh juga sudah mulai dikenal. Semisal yang terjadi di Pekalongan Mei 1842 (Cahyono, 2003: x).

Seiring berjalannya program Cultuurstelsel, perdagangan dan pelayaran pemerintah Belanda mengalami kemajuan pesat. Modal-modal swasta mulai menanamkan sahamnya di tanah Hindia. Perusahaan-perusahaan milik swasta itu mulai bermunculan untuk berinvestasi dan mengelola sumber daya alam Indonesia (Nagazumi, 1989: 13, 14). Setidaknya tercatat ada 9 perusahaan swasta yang terbagi menjadi 3 perusahaan swasta dan 6 bank swasta.

Bersamaan dengan masuknya modal-modal swasta-liberal, pergolakan-pergolakan oleh buruh kian meningkat. Misalnya pada tahun 1882 ketika buruh dari pabrik gula di Yogyakarta mengadakan pemogokan. Penyebabnya antara lain karena upah, kerja yang terlalu berat, upah tanam yang tidak dibayarkan, dan pengawas yang sering memukuli para pekerja (Cahyono: 2003, xi). Gerakan buruh ini tidak begitu mendapat perhatian dari rekan-rekan buruh di tempat lain karena tidak adanya atau belum adanya suatu wadah yang menghimpun para buruh. Dari alasan yang dikemukan para buruh, dapat dilihat betapa pemerintah kolonial Belanda tidak memperhatikan nasib kaum pribumi. Selain itu, para pemilik pabrik juga tidak memperhatikan kesejahteraan pegawainya dan hanya mementingkan kepentingan industrinya sendiri.

Terkait soal buruh, memasuki abad XX, pergerakannya sudah mulai teroganisir. Hal ini dikarenakan sudah munculnya wadah-wadah, seperti perserikatan, organisasi, perkumpulan atau semacamnya, untuk menghimpun para buruh. Tercatat setidaknya ada sekitar 12 perserikatan dalam kurun waktu 1897-1913 (Cahyono, 2003: xvi).

Pada awalnya perserikatan-perserikatan tersebut dibentuk oleh buruh “impor” yang bekerja di Hindia, tetapi lambat laun mereka mengajak juga buruh pribumi untuk bergabung. Ini adalah salah satu faktor yang memicu munculnya perkumpulan yang dibentuk oleh kaum pribumi. Kurang lebih ada 9 perkumpulan yang dibentuk oleh pribumi pada periode 1908-1917. Salah satunya adalah VSTP (Vereeniging Spoor-Traam Personen) yang didirikan pada tanggal 14 November 1908 di Semarang. Di sinilah Semaoen memulai karir politiknya saat umurnya masih 14 tahun (Cahyono, 2003: xviii, xix).

Faktor lain yang menyebabkan menjamurnya perkumpulan yang dibentuk oleh bumiputera adalah program politik etis yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Pada tahun 1900, industri perkebunan maju pesat. Namun kehidupan rakyat pribumi mengalami kemunduran, ditambah lagi kejadian seperti gagal panen, penyakit ternak dan bencana alam. Tahun 1901, pemerintah kolonial Belanda membentuk suatu panitia untuk menyelidiki sebab-sebab kemunduran itu. Dari penelitian, didapat kesimpulan bahwa perkembangan penduduk lebih cepat daripada makanan dan ternak. Untuk menanggulangi keadaan tersebut, pemerintah kolonial Belanda membuat suatu kebijakan yang disebut politik etis. Politik etis adalah suatu kebijakan

20

pemerintah Belanda yang bertumpu pada suatu ideologi yang beranggapan bahwa masyarakat jajahan dapat disejahterakan hanya jika masyarakat tersebut dimodernisasikan dengan kebudayaan barat (Suwondo, Tirto, dkk, 1995: 18).

Pada dasarnya, sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Belanda sudah ada sejak pertengahan abad IX. Awalnya, Belanda berafiliasi dengan para raja untuk membangun yang diperuntukkan bagi anak-anak bangsawan tetapi pada kenyataannya, hanyalah anak-anak keturunan bangsa Eropa saja yang diperkenankan ikut bersekolah. Namun lama-kelamaan, anak para bangsawan pun dapat menikmati pendidikan itu untuk kemudian dijadikan pegawai pemerintah. Pada akhirnya, bangsawan terpelajar ini lebih disukai oleh pemerintah Belanda untuk masuk dalam kursi pemerintahan. Hal ini dikarenakan bangsawan-khususnya dari Jawa, memiliki kecanggihan budaya, mempunyai hubungan dengan pengaruh barat dan kerenggangan sikap tradisional mereka terhadap Islam (Burger dalam Nagazumi, 1989: 29).

Perkembangan intelektual di tanah Hindia yang kian meningkat, membawa serta pikiran untuk berorganisasi. Setidaknya, hal itu yang dilakukan dengan berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908; sebuah organisasi lingkup daerah khususnya Jawa yang memberikan identitas kepada orang-orang Jawa yang terpelajar untuk memupuk kesadaran berpolitik, berpartisipasi dalam aksi kolektif dan menghayati identitas golongan (Kartodirdjo, 1993: 106). Semangat yang kemudian dilanjutkan dengan

adanya organisasi politik di tingkat daerah seperti Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, Jong Batak, dan sebagainya.

2.3 Keadaan Sosial Masyarakat Indonesia Sesudah Masuknya Sneevliet ke

Dokumen terkait