• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Wilayah Penelitian Kondisi Umum Desa Pasir Jambu

Desa Pasir Jambu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Luas wilayah desa ini 215 Ha yang terdiri dari 60 Ha tanah sawah dan ladang. Wilayah Desa Pasir Jambu sebelah utara dibatasi oleh Kelurahan Karadenan, Kecamatan Cibinong; sebelah timur dibatasi oleh Desa Cimandala Kecamatan Sukaraja dan Kelurahan Ciparigi Kotamadya Bogor; sebelah selatan dibatasi oleh Kelurahan Ciparigi dan Kelurahan Kedunghalang; dan sebelah barat desa ini dibatasi oleh Sungai Ciliwung, Desa Cilebut Timur Kecamatan Sukaraja. Ketinggian tanah dari permukaan laut yaitu 750 m dengan suhu udara rata-rata 20-32°C.

Tabel 5 Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu

Jumlah penduduk desa ini sebanyak 12 540 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebesar 6 330 jiwa dan perempuan 6 120 jiwa. Dari banyak jumlah penduduk tersebut, sebagian besar masih bekerja sebagai pegawai swasta. Meskipun begitu, Desa Pasir Jambu tergolong cukup baik dalam pengelolaan pertaniannya dilihat dari banyaknya petani yang bergabung dalam Gabungan

Kelompok Tani Bidang Jumlah Orang

Karya Bersama Lele Dumbo dan Kambing 35

Barokah Tanaman pangan dan perkebunan 25

Darussalam Tanaman Hias

Matahari Terbit I Matahari Terbit II Matahari Terbit III Matahari Terbit IV Matahari Mandiri

Industri kecil tapioka 53

KWT Karya Bersama Budidaya ikan dan hortikultura 10

KWT Kenanga Tanaman Hias

KWT Mawar I dan II Pembuatan kue bagi rumah tangga olahan dari tapioka

Kelompok Tani Karya Bersama. Adanya hasil pertanian secara kontinyu direspon oleh sebagian penduduk Desa Pasir Jambu dengan mendirikan industri-industri kecil pengolahan hasil pertanian sebanyak 7 industri skala menegah ke atas, 14 industri kecil, dan 9 industri skala rumah (home industry). Sebagian besar industri tersebut bergerak dalam pengolahan tepung tapioka.

Desa Pasir Jambu memiliki sebuah gabungan kelompok tani yang terdiri dari 11 kelompok tani. Gapoktan tersebut yaitu Gapoktan Karya Bersama yang telah memiliki LKM-A (Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis) dan sebuah Koperasi Wanita Tani Kenanga yang secara bersamaan disahkan pada tahun 2009. Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa di Gapoktan Karya Bersama terdapat berbagai macam bidang yang diusahakan, yaitu antara lain perikanan berupa budidaya lele dumbo, peternakan kambing, budidaya tanaman pangan seperti padi, jagung, dan ubi kayu, budidaya tanaman hias, industri kecil tapioka, dan pengolahan ampas tapioka. Jumlah keseluruhan dari anggota Gapoktan Karya Bersama yaitu 123 anggota.

Karakteristik Industri Kecil Tapioka Sejarah dan Perkembangan

Industri kecil tapioka banyak tersebar di berbagai kecamatan di Kabupaten Bogor, khususnya daerah yang memiliki curah hujan rendah dan hari hujan yang sedikit. Salah satu daerah industri kecil tapioka yaitu Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja. Menurut keterangan pengrajin tapioka setempat, industri kecil tapioka sudah ada pada tahun 1980-an, di mana nenek moyang sudah mengenal teknik pembuatan aci kasar tersebut. Hal ini disebabkan cuaca setempat yang mendukung budidaya ubi kayu secara optimal sehingga tersedia bahan baku yang melimpah untuk diproduksi.

Selain itu pemakaian tapioka yang semakin meningkat di masyarakat membuat pengrajin tapioka mulai memproduksi dalam jumlah besar. Dalam melakukan produksi, pada umumnya pengrajin mengikutsertakan anggota keluarga yang lainnya seperti istri dan anak untuk dapat mempercepat waktu kerja dan mempermudah pekerjaan. Oleh karena itu, pekerjaan sebagai pengrajin tapioka dapat disebut sebagai pekerjaan yang dilakukan secara turun temurun hingga sekarang.

Pada saat itu permintaan pasar akan tepung tapioka cukup besar seiring dengan pertumbuhan perekonomian nasional dengan Program Repelita yang dicanangkan oleh Pemerintah, bahkan permintaan pasar dunia akan tepung tapioka yang sebagian besar untuk bahan baku industri makanan itu juga meningkat pesat. Dengan adanya kondisi seperti itu, industri kecil tapioka tumbuh dengan pesat di Jawa Barat, terutama di Kabupaten Bogor. Saat ini bahkan telah menjalar di desa-desa sekitar Desa Pasir Jambu, yaitu Desa Cikeas, Desa Tanah Sewa, dan lain-lain.

Karaktersitik dan Profil Pengrajin Tapioka

Jumlah responden yang diwawancara yaitu sebanyak 17 orang yang secara keseluruhan merupakan pengrajin aci yang masih aktif berproduksi hingga sekarang. Profil pengrajin tapioka secara lebih lengkap disajikan pada Lampiran 5. Seluruh responden berjenis kelamin laki-laki dengan rentang usia 26 hingga 80

tahun, dengan persentase terbesar yaitu usia 50 tahun ke atas sebanyak 47%. Responden yang berusia 20 tahun sampai 30 tahun memiliki persentase paling sedikit yaitu hanya sebesar 12% saja karena peneliti sulit menemukan responden lain yang berusia setara.

Latar belakang pendidikan responden terdiri SD atau tidak tamat SD, SMP dan SMA. Sebanyak 82.3% responden tidak tamat mengenyam bangku SD, sedangkan sisanya sebanyak 17% sudah tamat SMP dan SMA. Responden yang tidak tamat SD merupakan responden yang berusia lebih dari 50 tahun. Responden yang mampu menamatkan SMP dan SMA merupakan respoden yang rata-rata berusia 30 tahun. Adanya pekerjaan sebagai pengrajin aci secara turun temurun mempengaruhi latar belakang pendidikan responden yang sudah terbiasa melakukan pekerjaan ini sejak usia remaja. Banyaknya jumlah jam kerja dalam satu hari produksi menjadi pertimbangan untuk tidak melanjutkan pendidikan.

Selain itu, pengalaman bekerja sebagai pengrajin tapioka juga memiliki rentang waktu yang terpaut cukup jauh dari ke 17 responden tersebut, yaitu antara 5 sampai dengan 40 tahun. Sebanyak 52.94% responden telah memiliki pengalaman memproduksi tapioka selama 11 sampai dengan 40 tahun, sedangkan sisanya yaitu sebesar 47.05% memiliki pengalaman bekerja selama 5 sampai dengan 10 tahun. Responden yang telah memiliki pengalaman bekerja lebih lama memiliki latar belakang pendidikan yang lebih rendah dan usia yang lebih matang, sedangkan sebagian responden yang memiliki pengalaman bekerja lebih sedikit memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dan usia yang lebih muda. Hal ini disebabkan adanya perbedaan kehidupan sosial ekonomi antar responden.

Dari semua responden, hanya 6 responden yang memiliki investasi berupa aset produksi dalam melakukan pekerjaannya sebagai pengrajin tapioka. Investasi ini berupa mesin giling dan lahan jemur. Aset berupa mesin giling berarti sudah termasuk mesin diesel yanmar, bak penampung, dan rumah penggilingan, sedangkan aset lahan jemur sudah termasuk gubug/saung bambu, lahan tempat penjemuran, dan plampang (bambu untuk penjemuran). Terdapat 4 mesin giling dan 6 lahan jemur dari keseluruhan responden dengan luasan yang berbeda-beda. Sebagian responden yang memiliki aset tersebut merupakan responden yang memiliki tingkat pendidikan SMP, SMA, dan tidak menamatkan SD. Sebagian besar responden mendapatkan aset tersebut dari adanya warisan / hibah dari kerabat dekat.

Seluruh responden melibatkan tenaga kerja keluarga dalam memproduksi tapioka, sedangkan yang melibatkan tenaga kerja luar keluarga hanya 35.29% responden. Pengrajin tapioka biasanya melibatkan istri dan anak sebagai pengupas dan penjemur dalam proses produksi. Hal ini dilakukan karena pengrajin lebih memilih untuk tidak membayar kuli kupas dan kuli jemur untuk menghemat biaya pengeluaran. Responden yang memiliki tenaga kerja luar keluarga ternyata merupakan responden yang juga memiliki aset berupa mesin giling dan lahan jemur.

Intinya, tenaga kerja pada industri tapioka tidak memerlukan keahlian khusus. Jumlah tenaga kerja ditentukan oleh kapasitas produksi dan teknologi yang digunakan. Besarnya penyerapan tenaga kerja pada industri pengolahan tapioka ditentukan oleh volume produksi. Semakin tinggi volume produksi semakin besar jumlah tenaga kerja yang diserap. Tenaga kerja yang dibutuhkan

meliputi seluruh proses produksi dari pengupasan sampai pada pengeringan produk.

Tata Letak dan Fasilitas Bangunan

Lokasi pengolahan tapioka dipilih wilayah yang memiliki sumber air dan akses yang baik terhadap panas matahari. Panas matahari merupakan faktor produksi yang penting bagi industri pengolahan tapioka, dengan demikian, lokasi usaha yang memiliki akses yang baik terhadap panas matahari akan mendukung keberhasilan usaha pengolahan tapioka, karena umumnya para pengrajin tapioka belum mampu menyediakan teknologi pengeringan tapioka. Ketersediaan air juga sangat penting, terutama untuk pencucian dan penyaringan tepung.

Industri kecil tapioka yang berada di Desa Pasir Jambu masih tergolong tradisional karena tidak menggunakan peralatan khusus dalam proses produksi dan lebih banyak menggunakan tenaga manusia dibandingkan tenaga mesin. Dalam kajian ini, bangunan, fasilitas, dan alat yang diamati hanya dibatasi pada industri kecil tapioka kasar di Desa Pasir Jambu. Bangunan industri kecil tapioka hanya berupa bangunan sederhana dengan dinding setengah badan yang terbuat dari batako, sedangkan bagian atap hanya berbahan bilik bambu dan genteng tanah yang ringan. Tata letak bangunan industri kecil tapioka secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 5 Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka Industri kecil tapioka terdiri dari beberapa faktor produksi utama. Faktor produksi yang paling penting dalam industri kecil tapioka yaitu proses penggilingan ubi kayu menggunakan mesin. Mesin penggilingan diletakkan pada rumah penggilingan yang terdiri dari mesin Yanmar atau tenaga penggerak listrik dari PLN sebesar 82.5 KVA, bak pencucian, dan bak pengendapan. Faktor produksi penting lainnya yaitu lahan penjemuran untuk proses pengurangan kadar

bak pengendapan tempat pengupasan bahan baku bak penampungan air bersih bahan baku siap giling ubi kayu giling,

siap diendapkan

air dari tepung tapioka. Lahan penjemuran terdiri dari plampang (bambu), tampir, dan saung/gubug sebagai ruang penyimpanan tepung yang telah kering.

Permodalan dan Pembiayan Usaha

Salah satu kendala yang dihadapi oleh para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu adalah mengenai akses terhadap permodalan. Para pengrajin mengakui sulitnya mendapatkan permodalan dari lembaga keuangan untuk meningkatkan produksi tapioka mereka. Hal ini disebabkan kurangnya agunan yang dimiliki oleh tiap individu. Para pengrajin tapioka membentuk kelompok tani bukan karena suatu alasan tertentu melainkan untuk mempermudah mendapatkan bantuan dari pemerintah. Salah satu bantuan yang pernah didapatkan oleh Kelompok Tani Karya Bersama yaitu adanya program PUAP pada tahun 2009 dengan menerima dana sebesar Rp50 000 000 dari pemerintah. Selain memberikan bantuan dalam bentuk modal, program tersebut juga membantu dalam perbaikan saluran irigasi dari mata air ke rumah-rumah penggilingan sehingga mempermudah para pengrajin tapioka untuk melakukan proses pemerasan.

Pengadaan Bahan Baku

Pengrajin tapioka tidak memiliki spesifikasi khusus dalam menentukan bahan baku. Hampir semua jenis ubi kayu dapat digunakan karena semakin sulitnya mendapatkan bahan baku yang kontinyu. Jenis-jenis ubi kayu yang digunakan antara lain ; Mentega, Manggu, Prelek, Pengkang, Thailand, dan Cicurug. Jenis ubi kayu yang paling sering digunakan sebagai bahan baku yaitu singkong Manggu karena ubi kayu yang berasal dari Sukabumi ini memiliki produktivitas yang tinggi. Umbi singkong Manggu dipanen pada 8-10 bulan pascatanam, sehingga memiliki kandungan pati yang cukup banyak. Selain itu kadar patinya cukup tinggi, yaitu 27%-35%.

Tempat perolehan bahan baku ubi kayu berasal dari berbagai daerah. Daerah-daerah yang melakukan pengiriman bahan baku kepada pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu antara lain Sukabumi (Cikidang, Jampang Surade), Bogor (Petaunan, Jasinga, Cilebut, Karadenan, Gunung Sindur), dan daerah Lampung. Selain melakukan pembelian bahan baku, sebagian pengrajin juga melakukan budidaya ubi kayu sebagai bahan cadangan apabila sama sekali bahan baku yang tersedia untuk diproduksi. Salah satu pengrajin tersebut yaitu Pak Bobby yang memiliki lahan ±9 hektar dengan produktivitas yang tergolong rendah hanya sebesar 10 ton/hektar.

Tingkat produktivitas ubi kayu selain dipengaruhi oleh sistem budidaya, juga dipengaruhi oleh jenis/varietas tanaman tersebut (Rukmana, 1997). Potensi hasil dan sifat penting beberapa varietas ubi kayu disajikan dalam Tabel 6 berikut. Varietas ubi kayu Mentega adalah varietas yang cukup mudah didapatkan, meski kandungan pati varietas ini hanya rata-rata 26%. Hal ini akan berpengaruh terhadap hasil produksi tapioka.

Dalam pemenuhan bahan baku, sebagian pengrajin tapioka mengandalkan pengiriman secara kolektif oleh salah satu pengrajin tapioka yang memiliki kemudahan akses informasi terhadap penyedia bahan baku. Salah satunya yaitu Pak Andi yang setiap harinya mendatangkan bahan baku yang berasal dari luar desa. Biasanya bahan baku didatangkan pada sore hari setelah dipanen pada hari itu juga untuk menjaga kualitas tepung tapioka. Selain itu, sebagian pengrajin

tapioka mencari sendiri bahan baku ubi kayu untuk diolah tanpa mengandalkan bantuan dari informan tersebut. Hal ini disebabkan perbedaan harga yang lebih murah jika melakukan pembelian secara langsung kepada petani ubi kayu.

Tabel 6 Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu Varietas Produksi (ton/Ha) Kandungan Pati (%) HCN (mg) Rasa Valenca* Bogor* SPP* Muara* Mentega Aldira-1 Aldira-2 Malang-1 Malang-2 20 40 20-25 40 20 20-35 20-35 36.5 31.5 - 30.9 27.0 26.9 26.0 45.2 40.8 32-36 32-36 39 100 150 100 32 27.5 123.7 - - Enak (manis) Pahit Amat pahit Pahit Enak (manis) Enak (manis) Pahit Enak (manis) Enak (manis) Sumber : Rukmana, 1997.

Keterangan: -) tidak ada data, *) varietas lama

Proses Produksi Tapioka

Proses produksi tapioka dilakukan selama 2 hari setiap kali produksi untuk mengolah ubi kayu hingga benar-benar menjadi tepung tapioka siap kirim ke pabrik pengepul. Untuk memproduksi tapioka, dengan kapasitas 7 kuintal ubi kayu per hari dibutuhkan fasilitas dan peralatan produksi sebagaimana disajikan pada Tabel 7 berikut.

Tabel 7 Fasilitas dan peralatan produksi tapioka

Nama Alat Satuan Jumlah (Unit) Umur Pakai (Tahun)

Mesin Giling/Generator buah 1 5

Bambu Jemuran (Plampang) buah 250 1

Tampah buah 300 1

Keranjang buah 5 0.5

Ayakan buah 2 0.25

Saringan buah 2 0.25

Gayoran buah 2 0.5

Saung / Gubuk buah 1 2

Plastik buah 25 0.33

Pisau buah 3 0.5

Dari tabel diatas dapat dilihat dengan jelas fasilitas dan peralatan produksi yang digunakan. Masing-masing peralatan memiliki fungsi yang bebeda. Mesin giling merupakan mesin yang menjadi pusat dari seluruh proses produksi. Selain itu, alat-alat yang digunakan dalam proses awal yaitu pisau, ayakan, saringan, gayoran, dan bak penampung, sedangkan alat seperti tampah, plampang, saung/gubug, plastik, dan rak digunakan dalam proses pengeringan saja.

Pengolahan tapioka memiliki beberapa tingkatan teknologi. Tingkatan teknologi tersebut adalah tradisional atau mekanik sederhana, semi modern, dan full otomate. Perbedaan teknologi pengolahan tapioka dapat dilihat pada tabel 8 berikut ini

Tabel 8 Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka

Proses Tradisional Semi Modern Full Otomate

Pengupasan Manual Manual Mesin

Pencucian Manual Manual Mesin

Pemarutan Mesin Mesin Mesin

Pemerasan Manual Mesin Mesin

Pengendapan Manual Manual Mesin

Pengeringan Sinar Matahari Oven Mesin

Sumber: Supriati (2009)

Untuk pembuatan tapioka pada industri kecil menggunakan teknologi mekanik sederhana atau tradisional. Pada teknologi ini, sebagian proses produksi menggunakan mesin penggerak untuk melakukan pemarutan, sedangkan pengeringan masih mengandalkan bantuan sinar matahari. Proses semi modern sudah dapat dijumpai di beberapa industri kecil tapioka lainnya di daerah Kabupaten Bogor, sedangkan teknologi full otomate hanya terdapat di industri tapioka skala besar saja. Berikut ini proses produksi tepung tapioka di Desa Pasir Jambu.

1. Pengupasan

Pengupasan dilakukan dengan cara manual dengan menggunakan pisau yang bertujuan untuk memisahkan daging singkong dari kulitnya. Selama pengupasan, sortasi juga dilakukan untuk memilih singkong berkualitas tinggi dari singkong lainnya. Singkong yang kualitasnya rendah tidak diproses menjadi tapioka dan dijadikan pakan ternak kambing.

2. Pencucian

Pencucian dilakukan dengan dua alternatif cara, yang pertama yaitu menggunakan alat pencuci singkong berupa kincir berputar dengan dialiri air yang cukup deras atau dengan cara manual yaitu dengan meremas singkong di dalam bak yang berisi air mengalir, yang bertujuan memisahkan kotoran pada singkong.

Gambar 6 Pencucian bahan baku ubi kayu 3. Pemarutan

Proses pemarutan pada industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu dengan menggunakan tenaga mesin pengiling. Meskipun begitu, pada industri kecil dengan teknologi yang masih tradisional, parut yang digunakan ada 2 macam yaitu :

a. Parut manual, dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan tenaga manusia sepenuhnya.

b. Parut semi mekanis, digerakkan dengan generator dengan menggunakan tenaga listrik dan bahan bakar solar.

4. Pemerasan/Ekstraksi

Pemerasan dilakukan dengan 2 cara yaitu:

a. Pemerasan bubur singkong yang dilakukan dengan cara manual menggunakan kain saring, kemudian diremas dengan menambahkan air di mana cairan yang diperoleh adalah pati yang ditampung di dalam ember. b. Pemerasan bubur singkong dengan saringan goyang (gayoran). Bubur

singkong diletakkan di atas saringan yang digerakkan dengan mesin. Pada saat saringan tersebut bergoyang, kemudian ditambahkan air melalui pipa berlubang. Pati yang dihasilkan ditampung dalam bak pengendapan.

Gam Gamgambar Pme rawns

5. Pengendapan

Hasil ekstraksi diendapkan dalam bak pengendapan selama semalam. Air di bagian atas endapan dialirkan dan dibuang, sedangkan endapan diambil dan dikeringkan.

6. Pengeringan

Sistem pengeringan menggunakan sinar matahari dilakukan dengan cara menjemur tapioka dalam tampah atau tampir yang diletakkan di atas rak-rak bambu selama 6 jam saja (tergantung dari cuaca) antara jam 6 pagi sampai dengan jam 12 siang. Tepung tapioka yang dihasilkan sebaiknya mengandung kadar air 8% - 15%.

Gambar 8 Pengeringan tapioka dengan sinar matahari

Untuk menghasilkan tepung tapioka yang berkualitas, dibutuhkan singkong yang memiliki kadar tepung tinggi yaitu singkong yang dipanen setelah berusia lebih dari 7 bulan. Produksi optimal tepung tapioka ditentukan oleh kualitas bahan baku. Namun sulitnya akses terhadap bahan baku membuat pengrajin tapioka menggunakan bahan baku yang berasal dari ubi kayu berbagai jenis, baik yang dipanen muda ataupun yang mengandung kadar pati rendah. Sehingga akan mempengaruhi hasil akhir dari pengolahan itu sendiri.

Dokumen terkait