• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan Penerimaan Usaha

Sumber penerimaan pengrajin tapioka berasal dari hasil produksi berupa tepung tapioka kasar (aci) dan onggok (ampas). Penerimaan usaha sangat tergantung kepada harga yang diberikan oleh pengepul karena harga yang diberikan cukup fluktuatif berdasarkan pertimbangan pengepul. Pada umumnya,

harga rata-rata tapioka kasar yang diberikan oleh pengepul berkisar antara Rp530 000 – Rp570 000/kw, sedangkan harga rata-rata onggok kering yaitu Rp150 000/kw. Penerimaan selain tergantung kepada harga jual yang diberikan oleh pabrik pengepul, juga dipengaruhi oleh kadar pati yang terkandung di dalam bahan baku. Rata-rata kadar pati dari ubi kayu yang dijadikan bahan baku oleh pengrajin tapioka yaitu 21.67%/kw, sedangkan rendemen ampas biasanya mencapai 6.04%/kw.

Berdasarkan Tabel 9, dapat dilihat bahwa pemilik faktor produksi dan penggarap memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam memperoleh penerimaan yang disebabkan perbedaan jumlah bahan baku yang diproduksi. Pemilik faktor produksi rata-rata memproduksi tepung tapioka kasar 300% lebih banyak daripada pengrajin penggarap yaitu sebanyak 745.45 kw/tahun, sedangkan penggarap rata-rata sebanyak 231.67 kw/tahun. Jadi rata-rata pengrajin memproduksi tapioka kasar sebesar 488.56 kw/tahun dengan rata-rata penerimaan sebesar Rp268 708 000/tahun.

Tabel 9 Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu tahun produksi

Arus Penerimaan Pemilik Penggarap Rata-rata

Produksi Kotor (Kw) Tapioka Kasar 745.45 231.67 488.56 Onggok 207.78 64.36 136.07 Penerimaan Tapioka Kasar Rp409 996 400 Rp 127 419 600 Rp 268 708 000 Onggok Rp31 166 400 Rp 9 653 891 Rp 20 410 145 Total Penerimaan Rp 441 162 800 Rp 137 073 491 Rp 289 118 145 Selain itu, penerimaan pengrajin juga didapatkan dari penjualan onggok/ampas kepada pengepul yang sama. Dalam satu tahun, rata-rata pengrajin tapioka mampu memproduksi onggok kering sebanyak 136.07 kw dengan jumlah penerimaan sebesar Rp20 410 145/tahun. Rata-rata total penerimaan dari hasil produksi tepung tapioka kasar dan onggok kering untuk setiap pengrajin yaitu sebesar Rp289 118 145/tahun.

Pengeluaran Usaha

Pengeluaran usaha digolongkan menjadi dua, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap produksi adalah biaya yang dikeluarkan selama industri kecil tapioka berjalan yang besarnya tidak terpengaruh oleh volume produksi yang berlangsung, mulai dari pengupasan ubi kayu sampai menjadi tapioka kasar. Biaya tetap terdiri atas biaya sewa lahan dan total biaya penyusutan. Biaya variabel adalah biaya yang dibayarkan oleh pengrajin tapioka yang jumlahnya secara proporsional berubah sesuai dengan aktivitas produksi. Biaya variabel ini terdiri dari biaya pembelian bahan baku, biaya tenaga kerja dalam keluarga, biaya tenaga kerja luar keluarga, biaya solar, biaya listrik, biaya pemeliharaan, biaya sewa penggilingan, dan biaya pemasaran.

Komponen biaya pengeluaran dari seluruh responden pengrajin tapioka dapat dilihat pada Tabel 10. Pada tabel tersebut disajikan rataan komponen biaya dari kedua jenis pengrajin tapioka, namun sebenarnya pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap memiliki susunan pengeluaran yang berbeda. Pemilik faktor produksi memiliki komponen biaya yang lebih banyak dibandingkan pengrajin penggarap disebabkan adanya perbedaan dalam status kepemilikan faktor produksi. Arus pengeluaran usaha secara lebih lengkap dapat diliat pada Lampiran 9 dan Lampiran 10.

Biaya tetap terdiri dari biaya sewa lahan dan biaya penyusutan. Biaya sewa lahan bagi pengrajin penggarap dibayarkan dalam bentuk 2 kg tepung tapioka kasar setiap produksi atau menyewa lahan seharga Rp2 000 000/tahun kepada pemilik lahan. Dalam penghitungan biaya pengeluaran, pemilik faktor produksi yang memiliki lahan jemur tetap dikenakan biaya sewa lahan diperhitungkan dengan jumlah biaya yang sama.

Tabel 10 Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu tahun produksi

Arus Pengeluaran Rata-rata %

Biaya Tetap

Biaya Sewa Lahan diperhitungkan Rp 2 213 636 0.79

Total Biaya Penyusutan Rp 7 171 970 2.55

Biaya Tetap Total Rp 9 385 606

Biaya Variabel

Biaya Bahan Baku Rp 217 940 145 77.41

Biaya Tenaga Kerja Dalam Keluarga Rp 13 865 455 4.92 Biaya Tenaga Kerja Luar Keluarga Rp 27 960 000 9.93

Biaya Solar Rp 5 280 000 1.88

Biaya listrik Rp 200 000 0.07

Biaya Pemeliharaan Rp 400 000 0.14

Biaya Sewa Penggilingan Rp 1 624 006 0.58

Biaya Pemasaran Rp 4 885 600 1.74

Total Biaya Variabel Rp 272 155 206

Biaya Total Rp 281 540 812 100

Biaya penyusutan dihitung berdasarkan inventarisasi mesin dan alat apa saja yang digunakan dalam proses produksi. Penghitungan dilakukan dengan metode penyusutan garis lurus dengan nilai sisa yang ditentukan berdasarkan informasi yang didapatkan dari responden pengrajin tapioka. Pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap memiliki komponen biaya penyusutan yang berbeda. Pengrajin penggarap yang berstatus menyewa penggilingan tidak dikenai biaya penyusutan mesin penggilingan dan rumah penggilingan karena tidak memiliki secara langsung faktor produksi tersebut. Komponen biaya penyusutan secara lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 6.

Dalam Tabel 8, terdapat beberapa komponen biaya yang hanya terdapat pada arus pengeluaran pemilik faktor produksi saja. Biaya variabel yang terdapat pada komponen biaya semua pengrajin tapioka yaitu biaya bahan baku, biaya sewa penggilingan, dan biaya pemasaran. Biaya bahan baku dihitung berdasarkan rata-rata kebutuhan bahan baku pengrajin selama setahun dikali harga bahan baku sehingga jumlah biaya sebesar Rp217 940 145.

Biaya tenaga kerja diperhitungkan merupakan biaya yang dihitung dari seberapa banyak jumlah anggota keluarga yang ikut dalam proses produksi tapioka. Sebagian besar pengrajin tapioka melibatkan keluarganya untuk menghemat pengeluaran biaya upah tenaga kerja. Upah yang diberikan pada umumnya Rp24 000/hari untuk kuli peras dan Rp10 000/hari untuk kuli jemur. Para pengrajin tapioka yang sebagian besar laki-laki mengikutsertakan istri sebagai pengganti kuli jemur dan anak laki-laki untuk membantu dalam proses penggilingan. Sehingga rata-rata total biaya tenaga kerja diperhitungkan yakni cukup besar, yaitu Rp13 865 455/tahun.

Penghitungan biaya tenaga kerja sama seperti penghitungan biaya tenaga kerja keluarga karena jumlah upah yang setara. Hanya saja, pengrajin penggarap tidak memiliki tenaga kerja diluar keluarga karena jumlah produksi yang tidak cukup banyak dan modal yang kurang memadai. Biaya solar, biaya listrik, dan biaya pemeliharaan merupakan biaya yang dikeluarkan oleh pemilik faktor produksi mesin. Pengrajin penggarap tidak dikenakan biaya ini karena ketiga komponen tersebut sudah termasuk ke dalam biaya sewa penggilingan. Biaya sewa penggilingan dibayarkan dalam bentuk bahan baku sebanyak 7 kg ubi kayu per produksi.

Biaya pemasaran merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pengiriman hasil produksi kepada pabrik pengepul. Seperti yang telah dijabarkan pada Bab Gambaran Umum, bahwa pengiriman dilakukan dengan sistem kolektif oleh salah satu pengrajin yang memiliki transportasi untuk mendistribusikan. Setiap kali pengiriman, pengrajin dikenakan biaya sebesar Rp10 000 untuk setiap satu kwintal tepung tapioka kasar. Biaya pemasaran rata-rata secara akumulatif dalam waktu satu tahun yaitu Rp4 885 600.

Dari semua komponen biaya pengeluaran industri tapioka, yang memiliki persentase terbesar terhadap biaya total yaitu biaya bahan baku sebesar 77.41%. Selain itu, biaya tenaga kerja baik luar keluarga maupun keluarga juga menyumbang persentase cukup besar, yakni 15.9%. Hal ini mengindikasikan bahwa fluktuasi harga dan jumlah bahan baku memiliki peran penting dalam menentukan pengeluaran dan pendapatan usaha. Secara keseluruhan, total biaya rata-rata dari setiap pengrajin tapioka selama satu tahun produksi yaitu sebesar Rp281 540 812.

Pendapatan Usaha

Analisis pendapatan usaha dilakukan untuk mengetahui tingkat profitabilitas usaha industri kecil tapioka. Jumlah pendapatan didapatkan dengan mengurangi total penerimaan usaha dengan total biaya. Setelah itu, tingkat profitabilitas dilihat dari hasil penghitungan Revenue per Cost (R/C) ratio. R/C ratio merupakan rasio antara total penerimaan dengan total biaya.

Pada Tabel 11 disajikan data mengenai perbandingan pendapatan usaha antara pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap. Total penerimaan dari

pemilik faktor produksi yaitu sebesar Rp441 162 800, sedangkan penerimaan pengrajin penggarap yaitu Rp137 073 491. Total biaya merupakan akumulasi dari biaya tetap dan biaya variabel industri kecil tapioka. Total biaya pemilik faktor produksi sebesar Rp 399 451 602 dan total biaya penggarap yaitu sebesar Rp129 790 021. Setelah dilakukan perhitungan pendapatan, didapatkan bahwa besar pendapatan pemilik faktor produksi yaitu sebesar Rp41 711 198 per tahun, sedangkan untuk petani penggarap yaitu hanya sebesar Rp7 283 470 per tahun.

Tabel 11 Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Meski total biaya pemilik lebih besar 300% dibandingkan dengan pengrajin penggarap, namun total penerimaan dan pendapatannya jauh lebih besar. Pada tabel 11, R/C ratio kedua jenis pengrajin sebenarnya tidak terlalu berbeda jauh. Pemilik faktor produksi memiliki nilai R/C ratio sebesar 1.10 yaitu pengorbanan tiap satu rupiah dari pengeluaran total dapat memberikan kontribusi Rp1.10 . Nilai R/C ratio dari analisis pendapatan pengrajin penggarap yaitu sebesar 1.06 yang artinya tiap satu rupiah pengeluaran total dapat memberikan kontribusi Rp1.06.

Analisis Nilai Tambah

Industri kecil tapioka merupakan salah satu industri yang mampu memberikan value added bagi salah satu hasil pertanian yaitu ubi kayu. Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar nilai tambah yang mampu diberikan dari hasil produksi tapioka tersebut. Analisis yang dilakukan meliputi analisis output, input, dan harga, analisis penerimaan dan keuntungan, dan analisis balas jasa faktor produksi dalam jangka waktu satu tahun produksi dengan menggunakan skala kuintal (100 kg). Skala ini digunakan karena sebagian besar pengrajin tapioka lebih sering menggunakan skala kuintal dalam penghitungan bahan baku maupun hasil produksi.

Output, Input, dan Harga

Output yang didapatkan dari hasil industri kecil tapioka yaitu berupa tepung tapioka kasar dan onggok (ampas kering). Output industri selama satu tahun menghasilkan 488.56 kuintal tepung tapioka kasar dan 136.07 kuintal onggok. Penghitungan output telah dilakukan pada analisis penerimaan usaha berupa hasil

Komponen Pemilik Penggarap

A Total Penerimaan Rp 441 162 800 Rp 137 073 491 Biaya Tetap Rp 9 838 636 Rp 8 932 576 Biaya Variabel Rp 389 612 966 Rp 272 155 206 B Total Biaya Rp 399 451 602 Rp 129 790 021 C Pendapatan A-B Rp 41 711 198 Rp 7 283 470 R/C Ratio 1.10 1.06

penghitungan total output produksi dikali dengan jumlah hari aktif produksi selama 8 bulan (240 hari).

Input merupakan bahan baku ubi kayu yang digunakan dalam proses produksi. Pada umumnya ubi kayu yang dijadikan bahan baku adalah ubi kayu yang masih berkulit karena harga beli yang lebih rendah dibandingkan ubi kayu yang telah dikupas. Jumlah input yang digunakan dalam satu tahun produksi yaitu 2254.55 kuintal. Pembagian tenaga kerja di industri kecil tapioka yaitu meliputi tenaga kerja untuk pengupasan, pencucian, penggilingan, pengayakan, pengangkatan pati, penjemuran, dan pengepakan.

Proses produksi tersebut dilakukan selama 12 jam kerja dalam waktu 2 hari. Pada 6 jam kerja hari pertama dilakukan proses pengupasan, pencucian, penggilingan dan pengayakan, sedangkan pada 6 jam kerja pada hari berikutnya dilakukan proses pengangkatan pati, penjemuran, dan pengepakan. Jika 1 HOK adalah 8 jam kerja, maka HOK yang dibutuhkan dalam satu kali produksi adalah 1.5 HOK. Jadi jumlah HOK dalam waktu satu tahun produksi yaitu 360 HOK. Koefisien tenaga kerja adalah banyaknya tenaga kerja (HOK/tahun) dibagai oleh bahan baku (ku/tahun). Dari penghitungan diperoleh koefisien tenaga kerja sebesar 0.16, yang artinya untuk setiap satu kuintal bahan baku ubi kayu yang diproduksi sampai menghasilkan tepung tapioka kasar dan onggok kering, dibutuhkan 0.16 HOK

Faktor konversi didapatkan melalui pembagian jumlah output dengan jumlah input. Jika produk yang dihasilkan dua macam, maka nilai faktor konversinya juga dua. Dalam kajian ini, faktor konversi dibedakan menjadi dua, yaitu faktor konversi untuk produk utama adalah jumlah produk utama dibagi dengan input yang digunakan dan faktor konversi untuk produk sampingan adalah jumlah produk sampingan dibagi dengan input yang dihasilkan.

Faktor konversi tapioka kasar yaitu 21.67%, yang artinya setiap 1 kuintal ubi kayu yang digunakan, maka akan menghasilkan 21.67 kg tepung tapioka kasar. Faktor konversi onggok yaitu 6.04%, yang artinya setiap 1 kuintal ubi kayu yang digunakan, maka akan menghasilkan 6.04 kg onggok kering. Input yang digunakan dan output yang dihasilkan memang memiliki selisih yang cukup besar karena sisa input terbuang sebagai limbah berupa getah singkong yang pada umumnya diproduksi kembali oleh masyarakat sekitar untuk kebutuhan pangan, pakan, bahkan sebagai biogas. Rincian perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka dapat dilihat pada Tabel 12.

Penerimaan dan Keuntungan

Harga bahan baku ubi kayu sebenarnya tergantung pada kesepakatan yang dilakukan antara pihak penjual dan pengrajin tapioka. Pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu sudah mahir dalam menilai apakah ubi kayu yang akan dijadikan bahan baku memiliki tingkat pati (faktor konversi) yang tinggi atau tidak. Harga ubi kayu tidak pernah tetap, namun secara rata-rata berada pasa kisaran harga Rp966.67/kg atau Rp96 667/kuintal. Harga input lain didapatkan dari penjumlahan semua biaya kecuali biaya bahan baku dan tenaga kerja, dibagi dengan jumlah bahan baku yang digunakan selama satu tahun. Biaya input lain terdiri dari biaya sewa lahan, biaya penyusutan, biaya solar, biaya listrik, biaya pemeliharaan, biaya sewa penggilingan, dan biaya pemasaran.

Nilai output didapatkan dari hasil perkalian harga produk dengan faktor konversi. Nilai tepung tapioka kasar yaitu Rp119 185/kuintal yang berarti setiap 1 kuintal produksi ubi kayu, maka akan menghasilkan sebesar Rp119 185 dari hasil penjualan tepung tapioka. Nilai onggok kering yaitu Rp9 053/kuintal yang berarti setiap 1 kuintal produksi ubi kayu, maka akan menghasilkan sebesar Rp90 053 dari hasil penjualan onggok kering. Nilai output sama dengan penerimaan kotor perusahaan untuk setiap 1 kuintal input yang digunakan.

Tabel 12 Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu Komponen Perhitungan

Output, Input, dan Harga Jumlah

A. Output (Ku/Th)

Tapioka Kasar 488.56

Onggok 136.07

B. Input (Ku/Th) 2254.55

C. Tenaga Kerja (HOK/Th) 360

D. Faktor Konversi A/B

Tapioka Kasar 21.67%

Onggok 6.04%

E. Koefisien Tenaga Kerja C/B 0.160

F. Harga Produk (Rp/Ku)

Tapioka Kasar Rp 550 000

Onggok Rp 150 000

G. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK) Rp 24 000

Penerimaan dan Keuntungan

H. Harga Bahan Baku (Rp/Ku) Rp 96 667

I. Harga Input Lain (Rp/Ku) Rp 9 658

J. Nilai Output (Rp/Ku) DxF

Tapioka Kasar Rp 119 185

Onggok Rp 9 053

K. Nilai Tambah (Rp/Ku) J-H-I Rp 21 913 L. Rasio Nilai Tambah K/J 17.09% M. Pendapatan TK (Rp/Ku) ExG Rp 3 832 N. Pangsa TK M/K 17.49% O. Keuntungan (Rp/Ku) K-M Rp 18,080 P. Tingkat Keuntungan O/J 14.10%

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Q. Margin (Rp/Ku) J-H Rp 31 571 R. Pendapatan TK M/Q 12.14% S. Sumbangan Input Lain I/Q 30.59% T. Keuntungan O/Q 57.27%

Nilai tambah yang dihasilkan dari proses produksi pada industri kecil tapioka yaitu sebesar Rp21 913/kuintal input. Nilai tambah didapatkan dari pengurangan nilai produk dengan harga bahan baku dan harga input lain. Jadi nilai tambah bukan merupakan nilai tambah bersih karena belum menyertakan imbalan bagi tenaga kerja sebesar Rp3 832. Rasio nilai tambah merupakan rasio antara nilai tambah dengan nilai output. Dalam kajian ini, kontribusi nilai tambah terhadap nilai output sebesar 17.09%, sedangkan kontribusi tenaga kerja terhadap nilai output yaitu sebesar 17.49%. Keuntungan yang didapatkan oleh pengrajin tapioka berdasarkan hasil analisis nilai tambah yaitu sebesar Rp18 080/kuintal bahan baku atau sebesar 14.10% dari nilai output. Hasil keuntungan juga dapat diartikan sebagai nilai tambah bersih karena sudah memperhitungkan pendapatan tenaga kerja

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Berdasarkan analisis nilai tambah, margin didapatkan dari selisih antara nilai output tapioka kasar dan onggok (Rp128 238) dengan harga bahan baku (Rp96 667), sehingga total margin yaitu sebesar Rp31 571. Besarnya margin ini kemudian didistribusikan kepada pendapatan tenaga kerja, sumbangan input lain, dan keuntungan usaha. Balas jasa terbanyak yang diperoleh perusahaan berasal dari keuntungan, yaitu sebesar 57.27% yang artinya keuntungan menyumbang Rp57.27 setiap Rp100 margin perusahaan. Adapun balas jasa terbesar kedua setelah keuntungan yaitu sumbangan input lain sebesar 30.59% atau sebesar Rp9 657. Hal ini berarti input lain cukup banyak berkontribusi dalam pembentukan margin. Input lain terdiri dari peralatan pengolahan, mesin penggilingan, solar, listrik, dan tempat penjemuran. Dengan kata lain, input lain menyumbang Rp30.59 dalam setiap Rp100 margin. Selain itu, balas jasa pendapatan tenaga kerja yaitu sebesar 12.14% atau Rp3 832.71 dari total margin.

Besarnya nilai tambah ditentukan oleh besarnya nilai output, harga bahan baku, dan harga input lain. Proporsi tenaga kerja dan keuntungan terhadap nilai tambah dapat menunjukkan apakah usaha tersebut padat modal atau padat karya. Berdasarkan hasil penghitungan balas jasa pemilik faktor produksi, industri kecil tapioka merupakan industri yang padat karya yang sudah mampu berorientasi pada pencapaian tingkat keuntungan tertentu, hal ini dapat dilihat dari proporsi keuntungan yang lebih besar dibandingkan proporsi pendapatan tenaga kerja dan sumbangan input lain dalam pembentukan margin usaha.

Analisis Titik Impas

Analisis titik impas merupakan suatu cara untuk mengetahui berapa volume produksi atau penjualan agar industri kecil tidak mengalami kerugian atau pada saat posisi usaha tidak sedang memperoleh laba. Nilai titik impaas (break event point) ada dalam dua bentuk, yaitu dalam rupiah dan dalam jumlah unit produksi. BEP dalam rupiah adalah biaya tetap total dibagi dengan satu dikurangi biaya variabel per total penjualan. Dengan kata lain, BEP dalam rupiah merupakan hasil pembagian biaya tetap total dengan rasio kontribusi. Rasio kontibusi (P/V ratio) merupakan rasio antara margin kontribusi dengan penerimaan penjualan. BEP dalam jumlah unit produksi adalah biaya tetap usaha dibagi dengan tingkat harga

dikurangi biaya variabel per unit. Dalam menentukan harga yang dipakai untuk perhitungan BEP, maka perlu dibuat harga konversi sebesar Rp592 413/kuintal, karena ada dua jenis output dengan tingkat harga yang berbeda.

Tabel 13 Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Berdasarkan Tabel 13, nilai titik impas industri kecil tapioka yaitu sebesar Rp 159 969 265. Semakin rendah titik impas maka semakin cepat perusahaan memperoleh laba. Kondisi ini juga dapat tercapai pada saat industri kecil tapioka telah menghasilkan output tepung tapioka kasar dan onggok sebanyak 270.03 kuintal per tahun. Hal ini berarti pengrajin tapioka harus memproduksi sedikitnya 1.13 kuintal tepung tapioka dan onggok tiap harinya untuk dapat memperoleh keuntungan.

Melihat data tersebut, maka industri kecil tapioka sudah mampu melebihi keadaan titik impas, sehingga mampu mendapatkan keuntungan. Adapun keuntungan industri kecil tapioka dapat dilihat dari profit margin yang besarnya rata-rata 3% dari nilai penjualan. Nilai titik impas baik dalam bentuk satuan rupiah maupun kuantitas dapat mengalami fluktuasi tergantung kepada jumlah nilai penjualan dan besarnya biaya tetap total. Kenaikan biaya tetap total dapat terjadi apabila adanya penambahan investasi pada industri kecil tersebut. Semakin meningkat jumlah biaya tetap total, maka nilai titik impas semakin tinggi. Sebaliknya, semakin meningkat nilai penjualan, maka nilai titik impas akan semakin rendah sehingga industri kecil tapioka akan semakin mudah memperoleh laba.

Pendapatan dan R/C rasio memiliki hubungan positif satu sama lain, artinya semakin besar pendapatan usaha industri kecil tapioka, maka nilai R/C rasio juga akan semakin besar. Begitu pula dengan titik impas dan nilai tambah berhubungan secara positif yang mengakibatkan semakin besar nilai tambah, maka titik impas juga akan semakin cepat dicapai. Hal ini disebabkan karena faktor utama penentu titik impas dan nilai tambah adalah sama yaitu harga output.

Komponen Perhitungan Jumlah

A. Penerimaan Penjualan Rp 289 118 145

B. Biaya Variabel Total Rp 272 155 206

C. Margin Kontribusi (A-B) Rp 16 962 940

D. Biaya Tetap Total Rp 9 385 606

E. Laba/Rugi (C-D) Rp 7 577 334

F. Rasio Kontribusi (C/A) 0.06

G. Profit Margin (E/A) 3%

Impas (Rp) (D/F) Rp 159 969 265

Impas (Kw) 270.03

Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka

Dalam pengembangan sektor industri banyak dihadapi kendala, diantaranya yaitu keterbatasan di bidang infrastruktur, sumber daya alam, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu, sektor industri sendiri juga menghadapi permasalahan seperti produktivitas dan efisiensi terutama akibat dari belum kuatnya struktur industri maupun lemahnya keterkaitan sektor industri dengan sektor perekonomian lainnya. Pemerintah telah mencanangkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang pada dasarnya adalah peningkatan nilai tambah, konektivitas dan peningkatan SDM dan Iptek. Dalam MP3EI tersebut, sebagian besar tertuju pada pembangunan sektor industri.

Sebagai negara agraris, Indonesia menghasilkan produk-produk pertanian yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku industri yaitu industri agro. Oleh karena itu, kelompok industri agro menjadi prioritas yang dikembangkan untuk mendukung akselerasi industrialisasi Tahun 2012–20144. Industri pengolahan tapioka, baik dalam berbagai skala usaha turut andil dalam pencapaian tujuan akselerasi tersebut. Dalam pengembangannya, dibutuhkan berbagai faktor utama dan penunjang untuk menjaga kestabilan produksi dan harga supaya dapat memenuhi permintaan yang ada. Beberapa faktor untuk mencapai pengembangan optimal industri kecil tapioka di daerah Jawa Barat yaitu adanya ketersediaan input dan faktor produksi, adanya peluang pasar yang terus meningkat, serta adanya faktor penunjang sistem produksi.

Ketersediaan Bahan Baku

Menurut Austin (1981), pengadaan bahan baku merupakan salah satu lingkungan internal yang harus ditempuh oleh pengelola agroindustri. Pengadaan bahan baku yang berasal dari sektor pertanian akan sangat menunjang kegiatan berikutnya dalam industri, yaitu pengolahan, apabila tersedia pada saat yang diperlukan sesuai dengan kuantitas dan kualitasnya. Bahan baku sangat erat kaitannya dengan mutu produk yang dihasilkan, sehingga ketersediaan bahan baku harus terjamin sehingga tetap ada kontinyuitas usaha

Untuk mesuplai kebutuhan industri olahan yang semakin tumbuh dan berkembang perlu diiringi dengan penyediaan bahan baku yang berkesinambungan. Hal ini penting artinya agar industri olahan dapat berproduksi sesuai kapasitasnya dan menghindari industri yang telah tumbuh tersebut agar

Dokumen terkait