• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA

DI JAWA BARAT

Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja

Kabupaten Bogor

NORA ASFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Nora Asfia

(4)

ABSTRAK

NORA ASFIA. Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat. Dibimbing oleh RACHMAT PAMBUDY.

Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka, namun monopolisasi harga industri derivatif, inkontinyuitas bahan baku, dan kurangnya induksi teknologi mengakibatkan penurunan pendapatan para pengrajin tapioka. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat profitabilitas dan nilai tambah yang diberikan dari industri kecil tapioka, serta mengetahui prospek pengembangannya dilihat dari adanya ketersediaan input dan peluang pasar. Alat analisis yang digunakan yaitu R/C ratio, analisis titik impas, dan analisis nilai tambah dengan menggunakan Metode Hayami. Hasil analisis menunjukkan bahwa rataan rendemen bahan baku menjadi tapioka yaitu sebesar 21.67% dan ampas sebesar 6.04% sehingga industri kecil tapioka masih memberikan keuntungan kepada pengarjin tapioka dengan R/C rasio lebih dari 1. Nilai tambah yang diberikan oleh industri kecil tapioka yaitu 17.09%. Untuk meningkatkan daya saingnya, industri kecil tapioka perlu untuk meningkatkan kualitas tapioka hasil produksi dan memantau kualitas produksi secara konsisten.

Kata Kunci : tapioka, nilai tambah, pendapatan, industri kecil

ABSTRACT

NORA ASFIA. Income Analysis, Added Value and Developing Prospect of Small-sized Tapioca Industry in West Java. Supervised by RACHMAT PAMBUDY.

Industry sector which is still surviving and pretty much developed in West Java is tapioca small-sized industry, but derivative industry prices monopolization, incontinuity of raw materials, and also less technology inductions are potensially decrease the revenue of business owner. The purpose of this study are to gain knowledge on the income and value added given by the tapioca industry, and to examine the prospect of developing tapioca industry from the input side and market opportunity. The analyses are separated into income analysis with R/C Ratio, break even point analysis, value added analysis with Hayami Method, and statistical descriptive analysis. From the study it can be conclude that the average business owners produced 100 kg of raw materials which then will produce 21.67 kg raw tapioca and 6.04 kg waste. Average R/C ratio of business owner and production factor owner is more than 1 that means this small-sized tapioca industry still gave them daily income, whereas added value ratio from the processing is just 17.09%. This tapioca processing needs more management which can increase their competitivness by upgrading raw tapioca quality and controlling raw materials continuity

(5)

ANALISIS PENDAPATAN, NILAI TAMBAH, DAN PROSPEK

PENGEMBANGAN INDUSTRI KECIL TAPIOKA

DI JAWA BARAT

Studi Kasus Desa Pasir Jambu Kecamatan Sukaraja

Kabupaten Bogor

NORA ASFIA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013 Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat

Nama : Nora Asfia NIM : H34090060

Disetujui oleh

Dr. Ir. Rachmat Pambudy, MS. Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS. Ketua Departemen Agribisnis

(9)

PRAKATA

Syukur dan puji kepada Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan kemudahan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan oleh penulis. Tema yang dipilih dalam penelitian ini yaitu pendapatan dengan judul Analisis Pendapatan, Nilai Tambah, dan Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka di Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan April 2013 sampai Juni 2013.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Rachmat Pambudy, MS selaku dosen pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu yang telah memberikan waktu luangnya serta informasi untuk pengumpulan data, Bu Nunung selaku Ketua KWT Kenanga Desa Kenanga yang telah menerima dan membantu penulis dalam melaksanakan pengumpulan data, Bu Khumairah dan suami sebagai Pengurus Gapoktan Karya Bersama yang telah memberikan perizinan serta informasi mengenai industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu.

Terima kasih kepada Ahmad Zaki Rahman dan Irva Mavrudah atas kekompakan dan semangatnya sebagai teman satu bimbingan, Cynthia Mawarnita, Emilia Huda, Novita Dewi, Tedi Aditia, Rina Fauzah, Puji Mustika, dan lainnya sebagai sahabat setia di HIPMA dan Agribisnis 46, dan Jauhar Samudera Nayantakaningtyas S.E atas segala semangat dan dukungannya sebagai pengingat target penulis. Ungkapan terima kasih tak terhingga terutama penulis sampaikan kepada kedua orang tua Hisyam Abdullah Seff dan Tutik Sulistiani serta seluruh keluarga atas perhatian, doa, dan dukungan yang tiada hentinya dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR ii

DAFTAR LAMPIRAN ii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 6

Usahatani Ubi Kayu 6

Keragaan Industri Tapioka di Indonesia 10

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka 14 Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka 15

KERANGKA PEMIKIRAN 17

Kerangka Pemikiran Teoritis 17

Kerangka Pemikiran Operasional 21

METODOLOGI PENELITIAN 22

Lokasi dan Waktu Penelitian 22

Metode Pengumpulan Data 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis dan Pengolahan Data 23

GAMBARAN UMUM 27

Kondisi Umum Wilayah Penelitian 27

Karakteristik Industri Kecil Tapioka 28

HASIL DAN PEMBAHASAN 35

Analisis Pendapatan 35

Analisis Nilai Tambah 39

Analisis Titik Impas 42

Prospek Pengembangan Industri Kecil Tapioka 44

KESIMPULAN DAN SARAN 51

DAFTAR PUSTAKA 52

(11)

DAFTAR TABEL

1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu 8

2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industri 9

3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahan 11

4 Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayami 26

5 Spesifikasi kelompok tani Karya Bersama Desa Pasir Jambu 27 6 Potensi hasil dan sifat-sifat penting beberapa varietas ubi kayu 32

7 Fasilitas dan peralatan produksi tapioka 32

8 Perbedaan tekonologi pengolahan tapioka 33

9 Arus penerimaan pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu

tahun produksi 36

10 Arus pengeluaran pengrajin tapioka Desa Pasir Jambu selama satu

tahun produksi 37

11 Perbandingan pendapatan usaha pemilik faktor produksi dan pengrajin penggarap industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 39 12 Perhitungan nilai tambah industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 41 13 Perhitungan titik impas industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu 43 14 Perkembangan ekspor tepung dan pati Indonesia tahun 2010 – 2011 47

DAFTAR GAMBAR

1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012 3 2 Skema pembuatan tapioka pada industri skala kecil 13

3 Analisis BEP secara grafis 20

4 Kerangka pemikiran operasional 22

5 Layout produksi rumah penggilingan industri kecil tapioka 30

6 Pencucian bahan baku ubi kayu 34

7 Pemarutan dan pemerasan bahan baku 34

8 Pengeringan tapioka dengan sinar matahari 35

9 Produksi ubi kayu di Indonesia 45

10 Perkembangan harga ubi kayu di tingkat nasional 46

11 Sebaran industri penghasil dan pengguna 48

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur PDRB Jawa Barat menurut sektor tahun 2012 54 2 Industri pengguna tepung tapioka di Indonesia tahun 2011 54

3 Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barat 55

4 Penggunaan tepung tapioka menurut lokasi 56

(12)

8 Pohon industri ubi kayu 61 9 Perkembangan haga rata-rata mingguan ubi kayu di beberapa kota di

Indonesia 61

10 Arus pengeluaran usaha pengrajin penggarap 64

(13)
(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Industri kecil menengah merupakan pelaku ekonomi kerakyatan yang seyogyanya mendapatkan prioritas untuk berperan aktif dalam perekonomian nasional. Dengan kekuatan ekonomi rakyat yang merupakan pelaku ekonomi terbesar di masyarakat, diharapkan struktur perekonomian Indonesia akan lebih mampu dalam menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi, baik persoalan yang tumbuh di dalam negeri maupun akibat dari pengaruh perekonomian global. Kemenkop (2012) menyebutkan bahwa jumlah usaha kecil menegah secara nasional mencapai 6 764 661 orang dan sekitar 70% di antaranya berada di Pulau Jawa dan Bali. Secara lebih spesifik, 20 % industri kecil dan menegah (IKM) Indonesia berada di Jawa Barat1. Dominasi Jawa Barat dalam keberadaan IKM menunujukkan potensi perekonomian yang besar.

Keberadaan usaha kecil dan menengah di Jawa Barat lebih didominasi sektor pertanian yang mencapai 48.32% dengan penyerapan tenaga kerja terbesar berada di pedesaan, namun kontribusinya terhadap struktur perekonomian Jawa Barat termasuk sektor dominan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan. Hal ini secara umum dapat terjadi karena lemahnya kelembagaan petani yang menyebabkan minimnya akses terhadap berbagai aspek pertanian, seperti penyediaan input, penyuluhan, permodalan, dan teknologi yang secara tidak langsung mempengaruhi pendapatan petani. Keadaan yang sebaliknya justru terjadi di industri pengolahan. Meski jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor tersebut tidak sebanyak yang bekerja di sektor pertanian, sektor industri pengolahan mampu memberikan kontribusi terbesar sebanyak 35.79% pada PDRB Jawa Barat (BPS, 2012). Data mengenai kontribusi sektor industri terhadap PDRB Jawa Barat dapat dilihat pada Lampiran 1.

Salah satu sektor industri yang bertahan dan cukup banyak dikembangkan di Jawa Barat adalah agroindustri seperti industri kecil (IK) pengolahan tapioka

Industri tapioka merupakan salah satu jenis industri agro (Agro-based-industri)

berbahan baku ubi kayu yang banyak tersebar di Indonesia baik skala kecil, skala

menengah, maupun skala besar. Tapioka merupakan salah satu hasil agroindustri

yang potensial untuk dikembangkan, karena ketersediaan bahan baku ubi kayu di Jawa Barat yang cukup melimpah. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu produsen ubi kayu di Indonesia dengan total luas panen pada tahun 2012 seluas 100 159 ha, tingkat produktivitas rata-rata sebesar 21.27 ton/ha dan total produksi sebesar

21 311 230 ton (BPS, 2012). Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) sendiri merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang memiliki peranan penting dalam sistem ekonomi daerah.

Pengembangan industri kecil terutama yang mengolah hasil-hasil pertanian lokal sebagai industri yang tahan terhadap dampak krisis ekonomi serta sifatnya yang padat karya menjadi salah satu alternatif yang sangat diperhitungkan dalam membangun kembali sendi perkenomian Indonesia saat ini. Di samping menciptakan

1

(15)

nilai tambah bagi produk pertanian, adanya industri kecil tapioka juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pedesaan. Purba (2002) menyebutkan bahwa selama ini industri rumah tangga mampu memenuhi sebagian kebutuhan konsumsi maupun produksi masyarakat. Sektor ini juga mampu menciptakan lapangan kerja dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat desa, sehingga masyarakat tidak perlu berduyun-duyun pergi ke kota untuk mencari pekerjaan.

Perubahan gaya hidup masyarakat yang mengakibatkan perubahan selera dan berkembangnya teknologi akan memacu munculnya beraneka bentuk pangan baru yang membuat ubi kayu tidak lagi dikonsumsi dalam bentuk aslinya, melainkan sebagai pangan olahan lain. Salah satu upayanya yaitu mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka sebagai bahan baku pangan olahan dari ubi kayu. Hal ini menjadi landasan mengapa industri tapioka menjadi sangat potensial di masa yang akan datang.

Industri kecil tapioka berkembang karena didukung selain tersedianya bahan baku, juga sarana dan prasarana produksi seperti mesin giling, tempat pengeringan, dan tempat pencucian. Selain itu, pekerja sebagai pengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka (pengrajin tapioka) merupakan pekerjaan yang sudah turun temurun (Rochaeni et al. 2007). Industri tapioka yang termasuk dalam industri pati ubi kayu mampu berkontribusi sebesar Rp1.21 miliar dalam Nilai Tambah Bruto nasional (Kemenperin 2012). Hal ini membuktikan bahwa industri pengolahan tapioka dalam berbagai skala usaha memiliki prospek lebih baik dan potensial karena permintaannya terus ada dan dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh berbagai industri seperti antara lain industri kembang gula, pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.

Industri pengolahan tepung tapioka tersebar di beberapa daerah sentra produksi ubi kayu di Jawa Barat, salah satunya adalah di Kabupaten Bogor. Industri pengolahan tapioka di Kabupaten Bogor terdiri atas pengolah tapioka dan pabrik penggilingan tapioka kasar untuk diproses menjadi tepung tapioka halus yang siap dipasarkan. Sebagian besar produsen tepung tapioka di Kabupaten Bogor merupakan industri tapioka rakyat di pedesaan dengan skala kecil yang merupakan salah satu motor penggerak perekonomian di daerah tersebut. Melihat potensialnya tapioka di masa mendatang dan ketersediaan bahan baku ubi kayu di Jawa Barat, penelitian mengenai kajian finansial usaha dan prospek pengembangan industri kecil tapioka penting untuk dilakukan.

Perumusan Masalah

Deshaliman (2003) menyatakan bahwa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan umbi-umbian adalah produk-produknya yang hingga saat ini cenderung konvensional, dengan kemampuan dan nilai gizi yang kurang menarik. Hal ini menyebabkan relatif rendahnya ketertarikan masyarakat untuk memanfaatkannya sebagai sumber karbohidrat substitutsi terhadap beras. Untuk meningkatkan nilai tambah dari produk umbi-umbian ini agar bisa sejajar dengan pangan lain, perlu adanya sentuhan teknologi, sehingga menarik untuk disajikan, serta enak dan ekonomis untuk dikonsumsi.

(16)

penurunan mengingat semakin naiknya tingkat kesejahteraan masyarkat yang diikuti dengan pemilihan selera yang semakin baik. Oleh karena itu, untuk meningkatkan permintaan akan ubi kayu, maka ubi kayu harus diolah terlebih dahulu ke dalam berbagai bentuk produk olahan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Jawa Barat sendiri merupakan salah satu sentra produksi tepung tapioka di Indonesia dan Bogor adalah salah satu sumber produsen tapioka di Jawa Barat.

Jawa Barat terus mengalami penurunan luas panen ubi kayu. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pada tahun 2008, luas panen ubi kayu di Jawa Barat yaitu 109 354 ha, diiringi dengan sedikit peningkatan pada tahun 2009 menjadi 110 827 ha, dan terus menurun hingga pada tahun 2012 menjadi 100 159 ha. Kondisi yang berbeda terjadi di produktivitas, walaupun luas panen dan produksi mengalami penuruanan. Adanya peningkatan produktivitas mengindikasikan bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani ubi kayu (Darwis

et al. 2009).

Gambar 1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008 – 2012 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012

Salah satu industri tapioka yang berada di Jawa Barat yaitu Kabupaten Bogor. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 198 597 ton pada tahun 2008 menjadi 154 455 ton pada tahun 2009. Luas panen dan produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor juga mengalami penurunan. Luas panen ubi kayu di Kabupaten Bogor pada tahun 2008 adalah 10 073 hektar menurun menjadi 7 680 hektar pada tahun 2011. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor menurun dari 20.55 ton per hektar pada tahun 2009 menjadi 20.11 ton per hektar pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Penurunan produksi, luas panen, dan produktivitas merupakan ancaman bagi industri kecil tapioka di Kabupaten Bogor. Salah satu sentra industri kecil tapioka di daerah Bogor yaitu Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Pengrajin/pengusaha tapioka yang sekaligus petani ubi kayu tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Karya Bersama yang terdiri dari 9 kelompok tani dan 1 kelompok wanita tani. Selain itu

(17)

terdapat pula Koperasi Wanita Tani Karya Bersama yang bekerja sama dengan Gapoktan Karya Bersama untuk membantu masalah permodalan petani. Teknik produksi di Desa Pasir Jambu masih bersifat tradisional, yaitu teknik produksi yang masih belum mengandalkan mesin pengolah tepung tapioka. Padahal, sebagian besar daerah di Kabupaten Bogor yang juga memproduksi tepung tapioka telah menginduksi peralatan dan mesin ke arah teknologi yang lebih canggih. Adanya ketertinggalan dalam aplikasi teknologi ini berpotensi menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka.

Di samping itu, masalah yang timbul dari aktivitas industri kecil tapioka ini yaitu meningkatnya alih fungsi lahan penanaman ubi kayu untuk dijadikan bangunan perumahan oleh pengembang setempat. Kecamatan Sukaraja yang merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor terus mengalami penurunan luas panen yang cukup drastis. Luas panen ubi kayu di Kecamatan Sukaraja pada tahun 2008 adalah sebesar 2 452 hektar menurun menjadi 612 hektar pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Bogor 2012). Sehingga industri kecil tapioka di daerah Sukaraja yang dulu menghasilkan bahan baku ubi kayu sendiri, sekarang terpaksa untuk mendatangkan bahan baku dari daerah lain, seperti Ciomas, Leuwiliang, Labuan, Sukabumi, dan Lampung. Perubahan perolehan input berpotensi menimbulkan ketidakpastian kontinyuitas bahan baku dan meningkatkan biaya produksi, karena pengrajin tapioka harus membeli bahan baku yang harganya relatif lebih mahal dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan bahan baku sendiri.

Selain itu, masih terdapat kendala berupa tidak adanya kekuatan tawar dalam menentukan harga tepung tapioka kasar kepada pabrik pengepul karena minimnya akses petani terhadap informasi pasar. Monopolisasi pengepul tapioka kasar mengakibatkan minimnya pemasaran dan semakin menurunnya pendapatan industri kecil. Ketergantungan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu terhadap pengepul disebabkan oleh tidak adanya modal untuk menginvestasikan mesin penggiling tapioka halus.

Lemahnya akses permodalan, monopolisasi harga pabrik pengepul, inkontinyuitas bahan baku industri, serta minimnya induksi teknologi dapat berpotensi menurunkan penerimaan para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu. Sehingga perlu dikaji mengenai apakah kegiatan produksi industri kecil tapioka dalam memberikan keuntungan masih relevan dengan keadaan perekonomian saat ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis pendapatan usaha, nilai tambah, dan titik impas untuk mengetahui seberapa besar tingkat profitabilitas dari industri kecil tapioka tersebut dan perlu dilakukan kajian mengenai bagaimana prospek pengembangan industri kecil tapioka untuk mengetahui seberapa prospektif industri tersebut sesuai dengan hasil kajian tingkat profitabilitas yang ada.

Berdasarkan masalah tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat pendapatan usaha dan titik impas yang dihasilkan oleh industri kecil tapioka di Desa Pasir Jambu?

2. Berapa nilai tambah yang diperoleh dari industri kecil tapioka?

(18)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk 1. Menganalisis tingkat pendapatan usaha dan titik impas industri kecil tapioka di

Desa Pasir Jambu Kabupaten Bogor

2. Menganalisis besarnya nilai tambah yang diperoleh industri kecil tapioka beserta kontribusinya terhadap pendapatan usaha.

3. Menganalisis prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka di Jawa Barat dilihat dari sisi input dan peluang pasar yang ada.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi : 1. Petani sebagai informasi terutama mengenai pendapatan beserta prospek

pengembangan industri kecil tapioka.

2. Pemerintah dan dinas terkait untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan pengembangan industri Tapioka di daerah Bogor.

3. Peneliti lain, sebagai bahan pembanding dan diharapkan dapat bermanfaat terutama peneliti-peneliti lain yang akan melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan industri kecil tapioka.

4. Peneliti sendiri, untuk menambah pengetahuan mengenai industri kecil tapioka di Bogor khususnya mengenai aspek nilai tambah dan sebagai penerapan teori di bangku kuliah.

Ruang Lingkup Penelitian

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Usahatani Ubi Kayu

Karakteristik Ubi Kayu

Sebagian besar masyarakat Indonesia pasti sudah mengetahui ubi kayu, namun sedikit yang mengetahui bahwa Manihot esculenta sebetulnya bukan merupakan tanaman asli Indonesia. Ubi kayu pertama kali dibudidayakan di tanah air oleh budak-budak asal Afrika yang bekerja pada utusan-utusan Belanda pada tahun 1835. Umbi hasil panen hanya diolah dengan cara dikukus, dibakar, dan digoreng. Sejak saat itu, ubi kayu lebih populer sebagai pangan pokok pengganti nasi. Karena membudidayakan ubi kayu lebih mudah dibandingkan padi, ubi kayu semakin digemari masyarakat dengan melakukan perluasan penanaman. Pada jangka tahun 1919 sampai tahun 1941, 98% produksi dunia berasal dari Pulau Jawa. Olahan ubi kayu semakin beragam dengan semakin bermunculannya industri penepungan ubi kayu agar lebih tahan lama dan dapat diolah menjadi berbagai produk.

Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah dikenali karena memiliki ciri khas, yaitu batangnya berbuku-buku (setiap buku batang terdapat mata tunas), daunnya menjari, dan umbi berasal dari pembesaran sekunder akar adventif. Umbi kayu umumnya mengandung 10 – 490 miligram HCN per kilogram umbi basah tergantung varietasnya. Senyawa HCN (Asam Sianida) berbahaya jika dikonsumsi lebih dari 1 miligram HCN per kilogram bobot tubuh per hari atau lebih dari 50 miligram per kilogram bobot umbi. Kadar HCN yang lebih dari 100 miligram per kilogram bobot umbi hanya diperkenankan untuk industri, seperti tepung tapioka. Persyaratan Iklim

Ubi kayu termasuk tanaman tropis tetapi dapat pula beradaptasi dan tumbuh dengan baik di daerah sub tropis. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik dan memberikan hasil yang tinggi selama persyaratan iklim sesuai untuk mendukung pertumbuhan, terutama pada daerah berhawa panas dan banyak turun hujan. Iklim yang cocok untuk tanaman ubi kayu antara lain dengan jumlah curah hujan antara 750 - 1.500 mm/tahun, ketinggian tempat antara 100 – 800 m dpl, dan suhu lingkungan antara 25°- 28°C. Semakin tinggi tempat penanaman, maka semakin lambat pertumbuhannya dan hasilnya akan semakin berkurang.

Ubi kayu menghendaki tanah yang gembur untuk pertumbuhan dan produksi khususnya pada pembentukan umbi, sehingga didapatkan produktivitas yang optimal. Derajat kemasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ubi kayu

berkisar antara 4,5 – 8,0 dengan pH ideal 5,8. Umumnya tanah di Indonesia ber-pH

rendah (asam), yaitu berkisar 4,0 – 5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral

bagi suburnya tanaman ubi kayu. Selain itu, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ubi kayu sekitar 10 jam/hari, terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya.

Penggunaan Varietas Unggul

(20)

produktivitas, produksi, peningkatan kualitas hasil maupun penanggulangan berbagai kendala seperti serangan hama penyakit serta cekaman lingkungan. Penggunaan varietas unggul sebaiknya berdasarkan kesesuaian lahan. Hingga tahun 2011 Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) telah merilis 10 varietas unggul ubi kayu, beberapa di antaranya yaitu Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 6, dan UJ3. Pada umumnya, varietas yang dikembangkan untuk konsumsi langsung berbeda dengan untuk industri. Sebagai contoh untuk dikonsumsi langsung, rasa tidak pahit dan enak, warna umbi kuning/putih, kandungan serat rendah dan kadar HCN rendah.

Varietas-varietas ubi kayu yang mempunyai karakteristik di atas lebih banyak dijumpai pada varietas lokal dan sedikit varietas unggul nasional. Rataan produktivitas ubi kayu secara nasional selama dasawarsa terakhir masih rendah, yaitu sekitar 40% dari potensi genetis dengan pengelolaan optimal, padahal potensi hasil tiap varietas bersifat spesifik lokasi. Oleh karena itu, varietas unggul seperti Adira-4, Malang-6, UJ-3, dan UJ-5 wilayah berkembangnya berbeda. Peningkatan produksi dapat direalisasikan melalui penggunaan varietas unggul dan pengelolaan optimal. Dengan demikian, pengembangan industri pada berbagai tipe agroekologi, ketersediaan bakunya berpotensi dapat dijamin.

Pengolahan Tanah

Ubi kayu membutuhkan tanah gembur dan kaya akan humus, agar umbinya dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Pengolahan paling baik dilakukan pada saat menjelang musim hujan, karena pada saat ini struktur tanah tetap terpelihara, mudah dicangkul, dan tetap gembur. Tanah diolah sedalam 25 – 30 cm dan sebaiknya dibuat guludan/bedengan untuk menjaga agar tidak banyak mengandung air. Untuk tanah miring sebaiknya dibuat teras, agar erosi bisa di atasi dan struktur tanah tetap terjaga dan menerapkan kaidah konservasi lahan dan air atau pengolahan tanah secara bijaksana.

Penanaman

Usahatani lahan kering sangat tergantung dari pola curah hujan, pada tanaman ubi kayu sebagian besar diusahakan di lahan kering. Secara umum waktu tanam ubi kayu yang dianjurkan sebagai berikut :

i) Pada daerah yang beriklim basah sepanjang tahun (bulan basah lebih dari 4 bulan) dapat ditanam sepanjang tahun

ii)Pada daerah yang bulan keringnya lebih dari 4 bulan berturut-turut dapat ditanam pada bulan-bulan basah (musim hujan)

iii)waktu tanam disesuaikan dengan ketersediaan air, selama masa pertumbuhan 4-5 bulan memerlukan air yang cukup

iv)Di tanah tegalan penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober-November) atau akhir musim hujan

v) Di sawah tadah hujan, penanaman dilakukan pada akhir musim hujan (Maret-April) setelah penanaman padi.

(21)

populasi dan jarak tanam optimal dalam budidaya ubi kayu disajikan pada tabel 1 berikut.

Tabel 1 Populasi dan jarak tanam optimal ubi kayu Populasi (Jumlah / ha) Jarak Tanam (cm)

Monokultur Tumpangsari

10 000 100 x 100, 125 x 80 200 x 50

8 000 125 x 100 250 x 50

12 500 100 x 80 200 x 40

Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman ubi kayu cukup penting, apabila ingin mendapatkan produktivitas optimal. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Penyulaman tanaman dilakukan 2-3 minggu setalah tanam

b. Pemberian pupuk pada tanaman ubi kayu mutlak harus diberikan termasuk pupuk organik ke dalam tanah untuk memperbaiki sifat fisik dan ketersediaan unsur hara.

c. Setelah 2 minggu setelah tanam, maka stek yang tidak tumbuh atau stek yang pertumbuhannya kurang baik harus segera dicabut dan diganti dengan stek yang lain

d. Penyiangan dilakukan pada umur 1-1.5 bulan dan penyiangan kedua tanaman berumur 3-4 bulan sambil dibumbun

e. Tunas yang tumbuh lebih dari dua buah pada setiap stek agar dibuang pada saat penyiangan pertama

f. Pengairan dilakukan jika tanaman menunjukkan gejala kekeringan Panen dan Pascapanen

Hasil yang diharapkan dalam pengembangan ubi kayu sebagai bahan baku industri tapioka adalah ubi berkadar pati tinggi untuk meningkatkan efisiensi industri. Oleh karena itu, kriteria yang harus dipenuhi dalam penentuan umur panen adalah kadar pati optimal. Kadar pati optimal dicapai pada umur yang bervariasi dan secara umum dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu umur: (a) tujuh bulan (genjah), (b) sembilan bulan (sedang), dan (c) 10 bulan (dalam). Kualitas pati tidak berubah walaupun panennya ditunda, sedangkan bobot ubi meningkat sejalan dengan umur. Dengan demikian umur panen dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri tanpa mengkhawatirkan adanya penurunan kualitas pati. Kondisi umur panen yang fleksibel tersebut memberikan gambaran adanya potensi untuk menjamin ketersediaan bahan baku industri, sehingga potensial dikembangkan.

(22)

Susut fisik dapat terjadi akibat kerusakan mekanis selama pemanenan dan penanganan, dan akibat perubahan suhu.

Tabel 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industria

Bagian

Pangan tradisional dan aneka produk pangan olahan

Cassava Chips/Pellets

Pakan ternak Sebagai bagian ransum pakan ternak Alkohol Digunakan untuk memproduksi alkohol pada industri minuman beralkohol dan desinfektan

Bahan pemanis Glukosa dan fruktosa sebagai bahan pemanis industri minuman

Industri tekstil Membuat kain menjadi cemerlang dan awet pada produksi benang Industri kertas Dicampurkan dengan kertas agar

bubur kertas liat dan kental

Industri lem Untuk memproduksi lem dan produk campuran lem

Industri obat Digunakan sebagai bahan pelunak/pencair kapsul dan pil

dapat meningkatkan protein dan warna telur

Batang Bahan bakar Sebagai sumber bahan bakar

(briket) di wilayah perdesaan

a

(23)

Susut fisiologis terutama disebabkan oleh air, enzim, dan respirasi. Faktor hama-penyakit mencakup mikro-organisme (jamur, bakteri, dan virus) serta serangga, hama, dan lainnya. Susut jumlah lebih mudah diidentifikasi dan dihitung, akan tetapi susut mutu lebih sulit ditetapkan dan kemungkinan menghasilkan produk yang tidak dapat digunakan sebagai konsumsi manusia lagi (Barret dan Damardjati, 1985).

Ubi kayu adalah tanaman dengan banyak kegunaan, terutama bagian umbi yang merupakan komponen hasil terpenting. Umbi ubi kayu dalam berbagai bentuk tidak hanya dapat dikonsumsi sebagai bahan pangan, tetapi dapat digunakan juga sebagai bahan baku agroindustri, pakan ternak, dan lain-lain. Pada Tabel 2 disampaikan bagian tanaman ubi kayu dan kegunaannya yang dapat digunakan sebagai bahan sosialisasi. Selain itu, umbi ubi kayu dapat juga dibakar menjadi arang yang dapat digunakan sebagai sumber energi tanpa asap.

Keragaan Industri Tapioka di Indonesia

Industri Kecil dan Menengah

Simanjuntak (2010) mengatakan bahwa IKM adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja yang terbatas2, bukan hanya dalam kuantitas melainkan juga dalam kualitasnya. Berdasarkan penggolongannya, maka IKM dapat digolongkan berdasarkan IKM modern dan IKM tradisional. IKM modern menggunakan teknologi proses madia dan dilibatkan dalam proses produksi industri besar. Sedangkan IKM tradisional menggunakan teknologi yang sederhana dan pemasarannya sangat terbatas. Pembagian IKM juga dapat dilakukan berdasarkan beberapa kriteria lainnya, misalkan dengan menggolongkannya berdasarkan modal yang dimilikinya.

Definisi yang didapat sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) :

a. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha dengan aset maksimal 50 juta rupiah dan omzet maksimal 300 juta rupiah.

b. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria. Kriteria Usaha Kecil yaitu memiliki asset antara 50 juta rupiah sampai 500 juta rupiah dan menghasilkan omzet 300 juta rupiah sampai dengan 2,5 Milliar rupiah.

c. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha kecil atau usaha besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam undang-undang. Kriteria Usaha Menengah yaitu

2 Menurut BPS, Industri kecil adalah industri yang memiliki jumlah tenaga kerja antara 5 19 orang dan

(24)

memiliki asset antara 500 juta rupiah sampai 10 Milliar rupiah dan menghasilkan omzet 2,5 Milliar sampai 50 Milliar rupiah.

Gambaran Umum Tapioka

Ubi kayu merupakan bahan baku berbagai produk industri seperti industri makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Industri makanan dari ubi kayu cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam industri makanan, pengolahan ubi kayu, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil fermentasi ubi kayu (tape/peuyem), ubi kayu yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka.

“Pati” (bahasa Inggris starch) adalah penyusun (utama) tepung. Tepung bisa jadi tidak murni hanya mengandung pati, karena tercampur dengan protein, pengawet, dan sebagainya. Tepung beras mengandung pati beras, protein, vitamin, dan lain-lain bahan yang terkandung pada butir beras. Kata „tepung‟ lebih berkaitan dengan komoditas ekonomis. Pati digunakan sebagai bahan yang digunakan untuk memekatkan makanan cair seperti sup dan sebagainya. Dalam industri, pati dipakai sebagai komponen perekat, campuran kertas dan tekstil, dan pada industri kosmetik.

Penggunaan tapioka pertama kali diduga berasal dari Amerika Selatan. Kata tapioka berasal dari bahasa Brasil, tipi’oka, yang berarti makanan dari singkong. Tapioka baru dikenal di kalangan ibu rumah tangga Indonesia pada tahun 1980-an, ketika pemerintah mulai menggalakkan program penganekaragaman pangan. Tapioka sering diolah menjadi sirop glukosa dan dekstrin yang sangat diperlukan sebagai bahan baku oleh berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buah, pengolahan es krim, minuman, dan industri peragian.

Tabel 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahana Kandungan Unsur Gizi Singkong Putih Singkong Kuning Tepung Tapioka

Kalori (kal) 146.00 157.00 362.00

Protein (g) 1.20 0.80 0.50

Lemak (g) 0.30 0.30 0.30

Karbohidrat (g) 34.70 37.90 86.90

Kalsium (mg) 33.00 33.00 0.00

Fosfor (mg) 40.00 40.00 0.00

Zat Besi (mg) 0.70 0.70 0.00

Vitamin A (SI) 0.00 385.00 0.00

Vitamin B1 (mg) 0.06 0.06 0.00

Vitamin C (mg) 30.00 30.00 0.00

Air (g) 62.50 60.00 12.00

a

Sumber : Direktorat Gizi RI

(25)

Pada industri pangan dan industri tekstil, tapioka banyak digunakan sebagai bahan baku pewarna putih alami. Pada Tabel 3 disajikan data mengenai kandungan gizi tepung tapioka. Karena kandungan gizinya yang tidak berbeda jauh dibandingkan tepung terigu, tapioka sedang giat digalakkan sebagai bahan pengganti tepung terigu pada pembuatan kue yang tidak memerlukan pengembangan, seperti pada pembuatan kue kering.

Gambaran Umum Industri Kecil Tapioka

Industri tapioka di Indonesia terbagi menjadi industri berkapasitas kecil, menengah dan besar yang beroperasi secara nasional. Industri tapioka skala kecil adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan tradisional dengan kemampuan produksi sekitar 5 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala menengah adalah industri yang menggunakan teknologi proses dan peralatan yang lebih sederhana dibandingkan industri skala besar serta mempunyai kemampuan produksi 20 – 200 ton bahan baku per hari. Industri tapioka skala besar adalah industri yang menggunakan teknologi proses produksi mekanis penuh dan mempunyai kemampuan produksi di atas 200 ton bahan baku per hari.

Dilihat dari proses pengolahan, industri tapioka digolongkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama industri kecil menggunakan mesin-mesin sederhana dengan kapasitas produksi rendah, modal kecil dan lebih banyak menggunakan tenaga kerja, dan kelompok kedua merupakan industri besar yang menggunakan mesin-mesin dengan kapasitas produksi besar, modal kuat dan tenaga kerja sedikit. Industri tapioka skala kecil pada penelitian ini merupakan industri yang menggunakan teknologi tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan peralatan produksi teknologi mekanik yang sederhana dan masih mengandalkan sinar matahari dalam tahap pengeringannya.

Tahapan proses produksi industri tapioka skala kecil adalah tahap proses pengupasan bahan baku, pencucian bahan baku, pemarutan ubi kayu, proses ekstraksi bubur ubi kayu, proses pengendapan dalam bak pengendapan, proses penjemuran menggunakan panas matahari, proses penggilingan tapioka kasar dan pengayakan hingga diperoleh tapioka halus. Skema proses produksi tepung tapioka pada industri kecil dapat dilihat pada Gambar 2.

Proses Pembuatan Tapioka

Pada industri tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

Tradisional, yaitu industri pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim.

Semi Modern yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan.

Full Otomate yaitu industri pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi. Industri tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas.

(26)

sedangkan onggok (ampas) dapat digunakan sebagai sebagai bahan baku pada industri pembuatan saus, campuran kerupuk, obat nyamuk dan pakan ternak.

Ubi Kayu

Penjemuran Pengupasan

Pencucian

Penggilingan Pengayakan Tepung Tapioka Kasar

Pemarutan

Ekstraksi / Penyaringan

Pengendapan

Sisa kulit

Limbah Cair Air

Air Ampas

Tepung Tapioka Halus

Limbah Cair

(27)

Limbah cair dapat dimanfaatkan untuk pengairan sawah dan ladang, selain itu limbah cair pengolahan tapioka dapat diolah menjadi minuman nata de cassava3. Peluang pasar untuk tapioka cukup potensial baik pasar dalam negeri maupun luar negeri. Permintaan dalam negeri terutama berasal dari wilayah Pulau Jawa seperti Bogor, Tasikmalaya, Indramayu. Sementara permintaan pasar luar negeri berasal dari beberapa negara ASEAN dan Eropa.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Tapioka

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas

Tepung tapioka sebagai produk awetan singkong merupakan komoditas ekspor andalan sejak perang dunia II. Namun, kemudian semakin merosot karena kualitas yang tidak memenuhi persyaratan yang berlaku. Beberapa hal yang merupakan dasar penentuan kualitas tepung tapioka adalah tingkat (derajat) keputihan, tingkat kehalusan (mesh), kadar air tersisa, dan kandungan pati (rendemen) dari bahan baku ubi kayu.

a. Tingkat Keputihan

Tingkat keputihan tapioka dipengaruhi oleh penentuan/pemilihan bahan baku, proses pembuatan, kualitas air yang digunakan selama proses pembuatan, tingkat kebersihan proses produksi, volume pencucian tepung basah (sebaiknya 4-6 kali), pengemasan dan penyimpanan (paling baik di tempat kedap udara dan air), terbebas dari bau tak sedap, dan penggunaan bahan pemutih (Barium Sulfat konsentrasi 2%)

b. Tingkat Kehalusan (Mesh)

Tepung tapioka yang dibuat secara manual biasanya agak kasar karena menggunakan ayakan dengan ukuran yang kurang sesuai (80 mesh). Tingkat kehalusan tepung ditentukan oleh ukuran ayakan dengan satuan ukuran mesh. Industri kecil biasanya menggunakan ayakan dari kain sifon.

c. Kadar Air Tersisa

Kadar air yang tersisa umumnya berkisar anatara 12 – 15%. Pengeringan dengan sinar marahari menghasilkan tepung tapioka dengan tingkat kekeringan rendah daripada pengeringan dengan mesin (oven atau blower). Setelah pengeringan, kadar air tepung tapioka dapat berubah karena menyerap air dari udara, tercemar air, maupun embun. Kadar air di atas 15% menyebabkan tepung tapioka menjadi lembap sehingga cepat rusak (menjadi asam, ditumbuhi jamur, menggumpal, dan lain-lain).

d. Rendemen Tepung Tapioka

Pada proses pembuatan tepung tapioka dapat dicapai rendemen 25%, artinya setiap 100 kg ubi kayu dapat dihasilkan tepung tapioka sebanyak 25 kg. Beberapa hal yang mempengaruhi pencapaian rendemen tersebut adalah umur kurang dari 9 bulan; mesin/alat parut kurang baik sehingga parutan kurang halus, proses pemerasan kurang sempurna sehingga tidak seluruh bagian tepung terekstraksi, dalam proses pemisahan tepung tapioka dengan airnya banyak tepung yang terbuang, kualitas bahan baku ubi kayu kurang baik atau banyak bagian yang rusak dan terbuang, dan terlalu lama menunggu waktu

3

(28)

pemarutan sehingga singkong yang sudah dikupas menjadi rusak dan berwarna kecoklatan dengan noda biru, hijau, dan hitam yang dapat meyebabkan warna tepung tapioka menajdi tidak putih.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Daya Simpan

Daya simpan produk tepung tapioka dipengaruhi oleh kadar air dan pengemasan. Kadar air tepung tapioka yang diharapkan adalah 8% karena dalam kondisi ini tepung tapioka lebih tahan lama dalam penyimpanan. Kadar air tepung tapioka selama penyimpanan sangat berkaitan dengan pengemasan. Pada umumnya, tepung tapioka hanya dikemas dalam karung goni berlubang-lubang kecil yang dapat ditembus dengan mudah oleh mikroba, air, debu, dan kotoran, serta mudah terpengaruh oleh kelembapan udara sekitarnya. Bahan pengemas yang digunakan sebaiknya kedap air dan kedap udara seperti kantung plastik dan tertutup rapat.

Struktur Biaya, Pendapatan, dan Nilai Tambah Industri Kecil Tapioka

Persoalan pokok yang menghambat perkembangan industri berbasis ubi kayu adalah kesenjangan nilai tambah antara hulu dengan hilir. Petani tidak mendapatkan insentif yang memadai dari usahatani ubi kayu. Di sisi lain, pasar dalam negeri masih diisi oleh produk hilir dari luar negeri. Penyelesaian filosofis adalah bagaimana menekan biaya produksi di hulu dan membentuk nilai tambah di hilir (Bantacut, 2010). Dengan demikian, petani akan mendapatkan keuntungan ganda dari penghematan biaya dan “pengembalian” dari nilai tambah.

Purba (2002) menganalisis mengenai pendapatan dan nilai tambah pada industri kecil tapioka di Desa Ciparigi Kabupaten Bogor. Rendemen tapioka yang dihasilkan sebesar 22% dan 5% untuk ampas. Penerimaan dari tapioka rata-rata Rp57 948 000/tahun dan Rp3 733 200/ tahun dari ampas. Sehingga total penerimaan rata-rata Rp61 681 200/ tahun. R/C pengeluaran total sebesar 1.096, sedangkan R/C pengeluaran tunai yaitu sebesar 1.26. Industri kecil tapioka mencapai impas setelah memproduksi 91.64 ton tapioka atau memperoleh penerimaan sebesar Rp13 718 537. Industri tapioka mampu memberikan nilai tambah sebesar Rp98 753 per kg ubi kayu, sedangkan rasio nilai tambah yaitu sebesar 24.15%. Proporsi terbesar dari nilai tambah adalah untuk pendapatan tenaga kerja. Perbedaan dengan penelitian ini yaitu analisis pendapatan dihitung tidak berdasarkan biaya tunai dan biaya diperhitungkan, melainkan biaya tetap dan biaya variabel.

(29)

pemilik dan penggarap sama-sama menguntungkan dan efisien. Rata-rata nilai tambah ubi kayu per proses produksi tapioka adalah sebesar Rp359,- per kilogram bahan baku ubi kayu. Proporsi terbesar dari nilai tambah sebesar 54.25% berasal dari keuntungan produksi.

Sukandar (2000) menganalisis mengenai nilai tambah industri pengolahan ubi kayu dengan membandingkan dua metode analisis. Kajian nilai tambah dilakukan terhadap tiga produk utama olahan ubi kayu di Kabupaten Bondowoso, yaitu tape, dodol, dan suwar-suwir. Berdasarkan perbandingan analisis nilai tambah metode M. Dawam Rahardjo dengan metode Hayami didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan signifikan pada hasil nilai tambah dengan menggunakan kedua metode tersebut. Secara keseluruhan industri pengolahan ubi kayu di Kecamatan Bondowoso mampu memberikan keuntungan bagi pengusaha. Adanya tren peningkatan rata-rata nilai tambah menunjukkan nilai yang cenderung meningkat yang akan berimplikasi pada kemampuan pengusaha untuk menciptakan iklim usaha yang positif.

Larasati (1986) melakukan penelitian mengenai analisis finansial industri tapioka di Desa Bojong, Kabupaten Sukabumi. Hasil identifikasi biaya dan analisis harga pokok menunjukkan bahwa komponen biaya terbesar pembentuk harga pokok tapioka halus dan tapioka kasar adalah biaya bahan baku, kemudian diikuti oleh biaya overhead dan upah tenaga kerja langsung. Dari hasil penghitungan ternyata dari harga pokok yang ditentukan, perusahaan mendapatkan laba rata-rata sebesar 9.22% untuk tapioka kasar dan 11.94% untuk tapioka halus. Pada saat penelitian dilakukan, tingkat produksi perusahaan 3 kali lipat di atas break-evennya, sehingga meskipun perusahaan bekerja di bawah kapasitas normal dan penggunaan bahan bakunya belum efisien, perusahaan masih tetap mendapatkan keuntungan.

Rochaeni et al. (2007) mengkaji mengenai prospek pengembangan industri kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Dalam kajian pembahasan dilakukan pembagian skala menjadi tiga, yaitu skala tinggi (5000 kg ubi kayu/hari), skala sedang (2500 kg ubi kayu/hari), dan skala rendah (300 kg ubi kayu/hari). Skala tinggi memproduksi 240 000 kg tapioka per tahun dan produk sampingan 66 667 kg per tahun. Skala menengah menghasilkan tapioka 126 000 kg tapioka per tahun dan ampas 33 333 kg per tahun, sedangkan skala rendah memproduksi 15 840 kg tapioka per tahun dan ampas 4 000 kg per tahun. R/C ratio industri tapioka skala tinggi, menengah, dan kecil secara berturut-turut adalah 1.24 , 1.28 , dan 1.07. Berdasarkan matriks analisis SWOT, industri kecil tapioka saat ini memiliki tingkat penjualan dan distribusi yang belum kuat. Selain itu, analisis nilai profitabilitas menunjukkan bahwa industri kecil tapioka tidak memiliki tingkat pengembalian modal yang baik.

(30)

input-input lain yang ikut mendukung produksi, sehingga pada penelitian ini diharapkan keadaan positif yang serupa.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Konsep Biaya

Hafsah (2003) mengungkapkan bahwa biaya produksi adalah semua pengeluaran yang digunakan di dalam mengorganisasikan dan melaksanakan proses produksi (termasuk di dalamnya modal, input-input, dan jasa-jasa yang digunakan dalam produksi). Klasifikasi biaya usaha menurut Soekartawi yaitu biaya tetap, biaya tidak tetap, biaya tunai, dan biaya tidak tunai (biaya diperhitungkan).

Biaya tetap tidak akan berubah pada tingkat di mana dalam jangka pendek produksi berubah tetapi akan berubah dalam jangka panjang sebagaimana jumlah dari biaya tetap berubah. Sepanjang tidak dibutuhkan suatu input tetap dalam jangka panjang, biaya tetap hanya akan berharga untuk jangka pendek dan bernilai nol dalam jangka panjang.

Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Biaya tidak tetap berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan ouput. Contoh biaya tidak tetap yaitu biaya untuk sarana produksi maupun untuk pembelian bahan baku.

Biaya Tunai didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi keperluan usaha. Contoh biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa pajak tanah dan pajak air. Biaya tunai yang sifatnya variabel antara lain berupa biaya untuk pemakaian input, sewa mesin, dan tenaga kerja luar keluarga atau tenaga kerja upahan.

Biaya Tidak Tunai (diperhitungkan) didefinisikan sebagai nilai barang dan jasa yang dibayar dengan benda atau berdasarkan kredit. Biaya diperhitungkan yang termasuk biaya tetap antara lain sewa lahan, penyusutan alat-alat pertanian, bunga kredit, dan lain-lain, sedangkan yang diperhitungkan dari biaya variabel antara lain biaya untuk tenaga kerja, biaya pengupasan dan pengolahan tepung dari keluarga.

Konsep Pendapatan

(31)

Suatu kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila situasi pendapatannya memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi (termasuk biaya angkutan dan administrasi yang mungkin melekat pada pembelian tersebut), cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan (termasuk pembayaran sewa tanah dan dana depresiasi modal), dan cukup untuk membayar upah tenaga kerja yang dibayar atau bentuk-bentuk upah lainnya untuk tenaga kerja yang tidak diupah.

Menurut Soekartawi (2002), terdapat beberapa ukuran pendapatan usaha, antara lain sebagai berikut :

Pendapatan kotor usaha didefinisikan sebagai nilai produk total usaha dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual atau ukuran hasil perolehan total sumberdaya yang digunakan dalam usaha. Jangka waktu pembukuan umumnya setahun dan mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga pengusaha, digunakan dalam usaha, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun. Untuk menghindari penghitungan ganda, maka semua produk yang dihasilkan sebelum tahun pembukuan tetapi dijual atau digunakan pada saat pembukuan, tidak dimasukkan ke dalam pendapatan kotor. Istilah lain dari pendapatan kotor ialah nilai produksi (value of production) atau penerimaan kotor usaha (gross return). Dalam menghitung pendapatan kotor, semua komponen produk yang tidak dijual harus dinilai berdasarkan harga pasar.

Pengeluaran total usaha adalah didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan dalam produksi tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga. Seharusnya pengeluaran yang dihitung dalam tahun pembukuan adalah yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk dalam tahun pembukuan tersebut. Apabila data tersedia, maka cara yang dapat dilakukan ialah memisahkan pengeluaran total usaha menjadi pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap.

Apabila dalam suatu usaha digunakan mesin-mesin atau peralatan, harus dihitung penyusutan yang dianggap sebagai pengeluaran tidak tunai. Penyusutan merupakan nilai inventaris yang disebabkan oleh pemakaian selama tahun pembukuan.

Pendapatan bersih usaha adalah selisih antara pendapatan kotor usaha dnegan pengeluaran total usaha. Pendapatan bersih (net income) mengukur imbalan yang diperoleh keluarga pengusaha dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan. Oleh sebab itu, pendapatan bersih usaha merupakan ukuran keuntungan usaha yang dapat digunakan untuk membandingkan penampilan beberapa usaha. Oleh karena bunga modal tidak dihitung sebagai pengeluaran, maka pembandingan tidak dikacaukan oleh perbedaan hutang.

(32)

Analisis Rasio Penerimaan - Biaya (R/C)

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang dikeluakan. Analisis ini juga digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Bila R/C lebih besar dari 1, maka usaha tersebut layak untuk dijalankan. Total penerimaan merupakan jumlah keseluruhan dari penerimaan baik yang berasal dari penjualan maupun penerimaan diperhitungkan, sedangkan total biaya adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu yang digunakan dalam proses produksi.

Konsep Nilai Tambah

Nilai tambah merupakan pertambahan nilai suatu komoditas karena mengalami proses pengolahan, penyimpanan, pengangkutan dalam suatu proses produksi. Menurut Hayami, et. al. (1987) definisi dari nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditi yang bersangkutan. Input fungsional tersebut berupa proses pengubahan bentuk (form utility), pemindahan tempat (place utility), maupun proses penyimpanan (time utility). Nilai tambah menggambarkan imbalan bagi tenaga kerja, modal dan manajemen.

Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input yang diperlakukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan perubahan pada komoditas tersebut, yaitu perubahan bentuk, tempat dan waktu. Analisis Nilai Tambah Metode Hayami

Menurut Hayami et. al. (1987) menyatakan bahwa nilai tambah adalah selisih antara komoditas yang mendapat perlakuan pada tahap tertentu dengan nilai korbanan yang digunakan selama proses berlangsung. Sumber-sumber dari nilai tambah tersebut adalah pemanfaatan faktor-faktor seperti tenaga kerja, modal, sumberdaya manusia, dan manajemen. Pada kegiatan subsistem pengolahan alat analisis yang sering digunakan adalah alat analisis nilai tambah. Alat analisis ini dikemukakan oleh Hayami. Kelebihan dari alat analisis ini adalah sebagai berikut :

1. Lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk pertanian 2. Dapat diketahui produktivitas produksinya (rendemen dan efisiensi tenaga

kerjanya)

3. Dapat diketahui balas jasa bagi pemilik-pemilik faktor produksi 4. Dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan

Besaran nilai tambah yang dihasilkan dapat ditaksir besarnya balas jasa yang diterima pemilik faktor produksi yang digunakan dalam proses perlakuan tersebut. Dalam analisis nilai tambah, terdapat tiga komponen pendukung, yaitu faktor konversi yang menunjukkan banyak output yang dihasilkan dari satu-satuan input, faktor koefisien tenaga kerja yang menunjukkan banyaknya tenaga kerja langsung yang diperlukan untuk mengolah satu-satuan input, dan nilai produk yang menunjukkan nilai output yang dihasilkan dari satu-satuan input.

Analisis Titik Impas (Break Even Point)

(33)

1997). Tujuan ditetapkannya BEP adalah untuk mengetahui berapa jumlah produk minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi dan mengetahui berapa harga terendah yang harus ditetapkan agar usaha tidak rugi. Analisis ini merupakan peralatan yang berguna untuk menjelaskan hubungan antara biaya, penghasilan, dan volume penjualan atau produksi, sehingga banyak digunakan dalam penganalisaan masalah masalah ekonomi manajerial. Analisa break-even

menunjukkan berapa besar laba perusahaan yang akan diperoleh atau rugi yang akan diderita pada berbagai tingkat volume yang berbeda-beda di atas dan di bawah titik impas. Jika angka impas dihubungkan dengan angka pendapatan penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu, akan diperoleh informasi berupa volume penjualan yang dianggarkan atau pendapatan penjualan tertentu boleh turun agar perusahaan tidak menderita rugi (Mulyadi 1997).

Menurut Riyanto (1997), dalam mebgadakan analisa break evem digunakan asumsi-asumsi dasar sebagai berikut :

1. Biaya di dalam perusahaan dibagi dalam golongan biaya variabel dan golongan biaya tetap.

2. Besarnya biaya variabel secara totalitas berubah-ubah secara proporsionil volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya variabel per unitnya adalah tetap sama.

3. Besarnya biaya tetap secara totalitas tidak berubah meskipun ada perubahan volume produksi atau penjualan. Ini berarti bahwa biaya tetap per unitnya berubah-ubah karena adanya perubahan volume kegiatan.

4. Harga jual per unit tidak berubah selama periode yang dianalisis.

5. Perusahaan hanya memproduksi satu macam produk. Apabila diproduksi lebih dari satu macam produk atau “sales mix”-nya adalah tetap konstan.

Analisis titik impas secara grafis adalah sebagai berikut :

(34)

Pada Gambar 3, titik impas terjadi pada perpotongan antara Total Revenue

(TR) dan Total Cost (TC) yang ditunjukkan oleh titik output Y. Apabila tingkat penjualan lebih kecil dari Y maka perusahaan akan mengalami kerugian, yang berarti hasil penjualan tidak dapat menutupi biaya total yang telah dikeluarkan. Perusahaan akan mendapat keuntungan jika penjualan lebih besar dari Y, artinya hasil penjualan lebih besar dari biaya total yang telah dikeluarkan.

Kerangka Pemikiran Operasional

Industri kecil tapioka memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan sebagai salah satu penyokong perekonomian di Kabupaten Bogor Jawa Barat. Selain itu, adanya perubahan selera masyarkat membuat permintaan tapioka sebagai salah satu bahan baku industri makanan meningkat baik secara nasional maupun internasional. Hal ini jelas merupakan salah satu peluang pasar yang harus dapat dipenuhi oleh produsen tapioka di Indonesia, khususnya di daerah Kabupaten Bogor.

Desa Pasir Jambu adalah salah satu wilayah produksi tapioka dari beberapa sentra produksi di Bogor. Keadaan iklim maupun ketersediaan bahan baku dan sumberdaya produksi mempertahankan Desa Pasir Jambu sebagai desa yang sebagian besar mata pencahariannya adalah sebagai pengrajin tapioka bahkan sejak tahun 1980-an. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya usaha, banyak permasalahan yang terjadi di industri kecil tapioka tersebut, yaitu minimnya induksi teknologi, keterbatasan informasi dan akses pasar, inkontinyuitas bahan baku, serta sumber daya lahan yang semakin sempit. Adanya kendala ini secara tidak langsung berpotensi menurunkan penerimaan petani, sehingga pendapatan yang diterima berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.

Selain itu Jawa Barat terus mengalami peningkatan produktivitas ubi kayu, namun luas panen ubi kayu terus menurun. Adanya peningkatan produktivitas mengindikasikan bahwa telah adanya adopsi teknologi budidaya di tingkat petani ubi kayu. Oleh karena itu penting untuk dikaji mengenai seberapa besar tingkat profitabilitas para pengrajin tapioka di Desa Pasir Jambu dan seberapa besar nilai tambah yang diberikan oleh industri kecil tapioka sesuai dengan kendala yang ada sekarang serta menganalisis bagaimana prospek pengembangan usaha industri kecil tapioka Jawa Barat di masa mendatang.

(35)

Gambar 4 Kerangka pemikiran operasional

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 hingga Juni 2013. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor dan Desa Pasir Jambu adalah salah satu daerah penghasil tepung tapioka di Kecamatan Sukaraja.

Adanya potensi dan peluang usaha yang baik industri kecil tapioka di Jawa Barat

Kendala industri kecil tapioka saat ini yaitu minimnya induksi teknologi, keterbatasan informasi dan akses pasar, inkontinyuitas bahan baku yang berpotensi mengurangi penerimaan dan nilai tambah pengrajin tapioka

Keragaan industri kecil tapioka Desa Pasir Jambu

Desa Pasir Jambu sebagai salah satu tempat produksi tapioka di

Kab. Bogor

Analisis Pendapatan Usaha Analisis Titik Impas Analisis Nilai Tambah

Prospek pengembangan usaha sesuai dengan peluang pasar

dan ketersediaan input

(36)

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan wawancara langsung, wawancara terstruktur, dan observasi. Teknik mengumpulkan data tersebut digunakan untuk mengumpulkan data primer. Sedangkan untuk data sekunder, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi literatur dan sumber internet. Dari keseluruhan kelompok tani yang ada di Desa Pasir Jambu, wawancara hanya dilakukan pada 4 kelompok tani yaitu Kelompok Tani Matahari Terbit 1, Matahari Terbit 2, Matahari Terbit 3, dan Kelompok Wanita Tani Karya Bersama. Kelompok tani ini dipilih secara sengaja karena seluruh anggota merupakan pelaku industri kecil tapioka dan sebagian merupakan petani yang menanam komoditi ubi kayu. Penentuan petani responden dilakukan dengan mengambil sampel dari petani yang masih aktif melakukan kegiatan pengolahan tapioka hingga saat penelitian dilakukan. Jumlah responden yaitu 6 orang pemilik faktor produksi dan 11 orang pengrajin tapioka penggarap. Selain itu, peneliti juga mengambil data dari informan yang merupakan pihak eksternal dari industri kecil tapioka tersebut, seperti aparatur pemerintah setempat, penyuluh pertanian, asosiasi pengusaha tapioka, dan lembaga pemasaran tapioka.

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, baik data yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung (observasi), wawancara langsung dan pengisian kuisioner yang diajukan kepada responden. Data sekunder didapatkan melalui literatur-literatur yang relevan seperti buku, jurnal penelitian. website, Badan Pusat Statistika Kota Bogor, perpustakaan, dan instansi yang bersedia membantu untuk ketersediaan data.

Metode Analisis dan Pengolahan Data

(37)

Analisis Pendapatan

Pendapatan industri kecil tapioka dianalisis dengan menggunakan pendekatan arus pengeluaran dan arus penerimaan. Arus penerimaan terdiri dari penerimaan dari produk yang dijual dan penerimaan dari produk yang dikonsumsi sendiri, namun tetap diperhitungkan. Arus pengeluaran terdiri dari pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan.

Struktur Penerimaan Usaha

Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TR = Y. Py ………...(1) yaitu:

TR = Total penerimaan

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani Py = Harga Y (Harga Output)

Struktur Biaya Usaha

Biaya biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu Biaya Tetap (fixed cost) dan Biaya Tidak Tetap. Biaya Tetap (fixed cost) yaitu biaya yang penggunaanya tidak habis dalam satu masa produksi. Besarnya biaya tetap tidak tergantung pada jumlah output yang diproduksi dan tetap harus dikeluarkan walaupun tidak ada produksi. Komponen biaya tetap antara lain seperti sewa tanah, pajak, peralatan, dan iuran irigasi. Cara menghitung biaya tetap adalah :

FC = XiPxi ………(2) Dimana,

FC = fixed cost (biaya tetap)

Xi = Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya tetap Pxi = Harga input

n = Macam input

Biaya Tidak Tetap (variable cost) yaitu biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana produksi. Rumus (2) juga dapat digunakan untuk menghitung biaya variabel. Karena total biaya (TC) merupakan penjumlahan dari biaya tetap (FC) dan biaya tidak tetap (VC), yang dapat dirumuskan sebagai berikut :

TC = FC + VC ……….(3) Dimana,

TC = Total biaya FC = Biaya tetap VC = Biaya variabel

Selain itu, terdapat cara untuk menghitung biaya penyusutan yaitu :

Straight Line, yaitu pembagian nilai awal setelah dikurangi nilai akhir oleh waktu pemakaian (expected life). Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa nilai benda yang digunakan dalam usaha akan menyusut dalam besaran yang sama setiap tahunnya atau selalu sama sepanjang tahun. Metode ini dianggap sebagai metode yang termudah, secara matematis penyusutan dirumuskan sebagai:

(38)

Dimana,

D = Penyusutan (Rp) HAw = Nilai awal barang (Rp)

HAk = Nilai akhir barang (Rp), diasumsikan bernilai nol Wp = waktu pakai (tahun)

Pendapatan Usaha

Pendapatan adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Jadi :

Pd = TR –TC ………...(5) Dimana,

Pd = Pendapatan usaha TR = Total penerimaan TC = Total biaya Analisis R/C Ratio

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar penerimaan yang mungkin dihasilkan dari setiap satu rupiah yang dikeluakan. Analisis ini juga digunakan untuk melihat kelayakan suatu usaha. Bila R/C lebih besar dari 1, maka usaha tersebut layak untuk dijalankan. Total penerimaan merupakan jumlah keseluruhan dari penerimaan baik yang berasal dari penjualan maupun penerimaan diperhitungkan, sedangkan total biaya adalah keseluruhan biaya yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu yang digunakan dalam proses produksi.

R/C rasio =

Analisis Titik Impas (Break Even Point)

BEP adalah cara untuk mengetahui volume penjualan minimum agar suatu usaha tidak menderita rugi tetapi belum memperoleh laba atau laba = 0 (Mulyadi 1997). Tujuan ditetapkannya BEP adalah untuk mengetahui berapa jumlah produk minimal yang harus diproduksi agar bisnis tidak rugi dan mengetahui berapa harga terendah yang harus ditetapkan agar usaha tidak rugi.

BEP (Unit) = Total Biaya Tetap / (harga jual per unit – biaya variabel per unit) BEP (Rp) = Total Biaya Tetap / (1- Total Biaya Variabel/Total Penjualan)

Dalam menentukan harga yang dipakai untuk perhitungan BEP, maka perlu dibuat harga konversi, karena ada dua jenis output dengan tingkat harga yang berbeda.

Jumlah tepung tapioka per kuintal bahan baku = A kg

Harga tepung tapioka per kg = Rp B

Jumlah onggok per kuintal bahan baku = C kg

Harga onggok per kg = Rp D

(39)

Analisis Nilai Tambah

Analisis nilai tambah dipandang sebagai usaha untuk melaksanakan prinsip-prinsip distribusi dan berfungsi sebagai salah satu indikator dalam keberhasilan suatu kegiatan produksi. Dalam menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari industri kecil tapioka ini digunakan metode Hayami seperti yang disajikan pada tabel 4. Metode ini digunakan karena metode ini dapat digunakan dalam menganalisis nilai tambah pada sub sistem pengolahan atau produksi sekunder.

Tabel 4 Tahapan perhitungan nilai tambah Metode Hayamia Komponen Perhitungan

Output, Input, dan Harga Jumlah

A. Output (Ku/Th) Tapioka Kasar Onggok B. Input (Ku/Th)

C. Tenaga Kerja (HOK/Th)

D. Faktor Konversi A/B Tapioka Kasar

Onggok

E. Koefisien Tenaga Kerja C/B

F. Harga Produk (Rp/Ku) Tapioka Kasar

Onggok

G. Upah Tenaga Kerja (Rp/HOK)

Penerimaan dan Keuntungan

H. Harga Bahan Baku (Rp/Ku) I. Harga Input Lain (Rp/Ku)

J. Nilai Output (Rp/Ku) DxF

Tapioka Kasar Onggok

K. Nilai Tambah (Rp/Ku) J-H-I

L. Rasio Nilai Tambah K/J

M. Pendapatan TK (Rp/Ku) ExG

N. Pangsa TK M/K

O. Keuntungan (Rp/Ku) K-M

P. Tingkat Keuntungan O/J

Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

Q. Margin (Rp/Ku) J-H

R. Pendapatan TK M/Q

S. Sumbangan Input Lain I/Q

T. Keuntungan O/Q

a

Gambar

Tabel produksi ubi kayu di Jawa Barat
Gambar 1 Penurunan luas panen ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008  – 2012 Sumber : BPS Provinsi Jawa Barat 2012
Tabel 2 Kegunaan ubi kayu dalam berbagai industria
Tabel 3 Kandungan unsur gizi pada ubi kayu dan tepung tapioka/100 g bahana
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis nilai tambah dilakukan pada home industry yang mengolah ubi ungu menjadi egg roll ubi ungu di Desa Pleret Kelurahan Pleret Kecamatan Pleret, Kabupaten

[r]

Oleh karena itu, mata kuliah ini akan mengisi kekurangan tersebut dengan membahas: karya para teoritik klasik: Emile Durkheim, Max Weber, Karl Marx, Fredrich Engels, Sigmund

Sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai PDRB ADH Konstan 2000 pada tahun tertentu dibandingkan dengan nilai tahun sebelumnya, di mana

َ‫ﺻﺣْ ﺎ ﺑِ ِﮫ ا َﺟْ َﻣ ِﻌ ْﯾن‬ َ ‫ﺳ ِﻠ ْﯾنَ وَ َﻋﻠَﻰ ا َ ِﻟ ِﮫ وَ ا‬ َ ْ‫وَ اْﻟ ُﻣر‬ Puji dan syukur Allhamdulillah, peneliti

Penelitian ini menggunakan teori Belajar Sosial ( Social Learning Theory ) yang menjelaskan dalam proses belajar sosial, individu selalu mengumpulkan informasi dan

Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan terhadap semangat kerja, untuk mengetahui pengaruh iklim kerja terhadap

Terjadi reaksi oksidasi dan reduksi pada sel baterai dengan kapasitas charge sekitar 24 mAh pada tegangan 4 volt, sedangkan kapasitas discharge bernilai sama sekitar