• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Ekonomi Makro Indonesia

Perkembangan ekonomi makro Indonesia kurang menggembirakan sejak masa krisis di tahun 1997 dan 1998. Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia dan negara-negara Asia lainnya diterpa oleh krisis ekonomi yang parah, sehingga pada tahun 1998 Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. Krisis ekonomi di negara-negara Asia pertama kali dimulai dengan terdepresinya mata uang Bath (Thailand). Kemudian depresi ini menular ke negara-negara Asia Tenggara lainnya termasuk Indonesia, sehingga kondisi perekonomian Indonesia menjadi sangat parah.

Seiring dengan berjalanya waktu, Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia berusaha untuk memulihkan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang sakit. Bank Indonesia berusaha menekan laju inflasi yang mencapai 77,6% pada tahun 1998 dengan mengendalikan jumlah uang beredar di masyarakat melalui kenaikan tingkat suku bunga SBI. Sehingga diharapkan uang yang beredar di masyarakat akan terserap oleh bank-bank umum akibat dari tingkat suku bunga perbankan yang juga ikut naik. Sehingga pada tahun berikutnya yaitu tahun 1999, dampak dari krisis ekonomi yang diakibatkan oleh inflasi mulai dapat dikendalikan. Indonesia mulai bangkit dari keterpurukan krisis ekonomi yang ditandai dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 1999 sampai tahun berikutnya.

Pertumbuhan ekonomi tersebut didukung dan dicapai dengan syarat stabilitas ekonomi makro Indonesia yang terjaga.

Perkembangan ekonomi makro Indonesia dari tahun 2002 sampai 2004 juga terus menunjukan perkembangan yang positif. Hal ini dapat terlihat pada beberapa indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi yang meningkat, laju inflasi tahunan yang cenderung turun, nilai tukar yang terus menguat, dan sasaran operasional kebijakan moneter yang cenderung terkendali. Meskipun hal ini tidak mencerminkan adanya kondisi ekonomi yang menjanjikan peningkatan yang secara drastis.

Mengawali tahun 2002, kepercayaan masyarakat kembali meningkat seperti yang tercermin dari penguatan kurs rupiah, menurunnya tekanan inflasi, semakin menurunnya suku bunga perbankan, serta terkendalinya jumlah uang yang beredar di masyarakat. Selain itu pertumbuhan Product Domestic Brutto (PDB) tahun 2002 tercatat sebesar 3,7%, lebih tinggi dari pertumbuhan sebelumnya sebesar 3,4%. Secara umum, kondisi makro ekonomi Indonesia pada tahun 2002 terus menunjukan perkembangan yang cukup baik. Meskipun laju inflasi pada semester atau triwulan II pada tahun 2002 sebesar 5,34% lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I sebesar 4,45%, namun secara tahunan laju inflasi menunjukan penurunan dari 11,5% menjadi 10,03% di akhir tahun 2002. Sementara itu, nilai tukar rupiah yang sempat melemah sejak terjadinya peristiwa bom Bali hingga sempat mencapai posisi Rp9.335 per dolar AS, ditutup sedikit menguat pada posisi Rp8.940 per dolar AS di akhir tahun 2002.

Pada tahun 2003, berbagai indikator ekonomi makro menunjukan perkembagan yang lebih baik lagi dari tahun 2002. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menguat sebesar 8,7 % dari Rp8.940 menjadi Rp8.224 per dolar AS pada akhir Juni 2003. Menguatnya nilai tukar tersebut telah mendorong penurunan inflasi dari 10,03% diakhir tahun 2002 menjadi 6,62% pada tahun 2003. Perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 4,1% lebih tinggi dari tahun 2002 yang sebesar 3,7%. Membaiknya berbagai indikator eknomi makro tersebut mendorong Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter untuk mengarahkan penurunan suku bunga. Akibat dari kebijakan suku bunga rendah di berbagai negara maju mengakibatkan masuknya aliran modal yang lebih bersifat jangka pendek ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Kondisi perkembangan makro ekonomi pada tahun 2004 menunjukan sedikit peningkatan dibandingkan tahun 2003. meskipun perekonomian masih diperhadapkan pada sejumlah permasalahan yang bersumber dari sisi internasional dan juga domestik. Permasalahan dari sisi internasional seperti melonjaknya harga minyak dunia serta kecendrungan suku bunga global yang mulai meningkat. Product Domestic Brutto (PDB) tumbuh sebesar 5,1 % dengan kontribusi investasi dan ekspor yang semakin besar. Seiring dengan perkembangan tersebut, pendapatan perkapita masyarakat mengalami kenaikan dan tingkat kemiskinan relatif tetap karena peningkatan kegiatan ekonomi masih belum dapat sepenuhnya menyerap pertambahan angkatan kerja. Inflasi tahun 2004 pada bulan April sebesar 5,92% lebih rendah dari tahun 2003 yang sebesar 6,62%, namun walaupun lebih rendah

dikhawatirkan target inflasi 2004 sebesar 6,5% tak bisa tercapai. Di sisi lain nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penurunan yang terlihat pada bulan Juni sebesar Rp9.300 per dolar AS. Dari berberapa indikator tersebut menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia, setidaknya selama 2004 menghadapi situasi ketidakpastian, walaupun sedikit lebih meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Taruhan yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia pada tahun 2004 atas perkembangan internal dan eksternal seperti yang dijelaskan sangat besar.

Dalam tahun 2005, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,6%, lebih tinggi dibandingkan perkiraan banyak kalangan. Meskipun demikian, angka pertumbuhan tersebut masih berada di bawah sasaran pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2005 sebesar 6,0%. Lebih rendahnya angka realisasi laju pertumbuhan ekonomi tahun 2005 tersebut, terutama disebabkan oleh tekanan tingginya biaya produksi terkait dengan tingginya harga minyak dunia. Selain itu, tingginya harga minyak dunia juga menyebabkan pemerintah memandang perlu untuk menaikkan harga BBM domestik guna mengurangi beban pengeluaran APBN 2005. Hal ini, telah menyebabkan meningkatnya tekanan inflasi secara keseluruhan. Inflasi tahun 2005 mencapai angka 17,1% jauh melebihi sasaran yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar 6,0%. Pada sisi lain, depresi rupiah yang mulai terjadi sejak akhir triwulan III hingga akhir tahun 2005 menjadi faktor lain terhadap meningkatnya inflasi. Nilai tukar rupiah yang pada awal tahun 2005 sebesar Rp9.195 per dolar AS, cenderung melemah hingga bulan November, bahkan pernah mencapai Rp10.345 per dolar AS pada awal September 2005. namun seiring dengan meningkatnya aliran modal masuk

ke dalam negeri, rupiah kembali menguat hingga mencapai rata-rata Rp9.841 per dolar AS pada bulan Desember 2005.

Memasuki tahun 2006, kinerja perekonomian Indonesia diwarnai oleh dinamika berbagai perubahan. Secara kumulatif, dalam periode Januari-Juni, inflasi terkendali ditingkat 2,87%, lebih rerndah dibandingkan inflasi kumulatif pada periode tahun 2005 yaitu 4,28%, dan tahun 2004 yaitu 3,29%. Tingkat inflasi tahun 2006 berada dikisaran 8%. Selain itu pada periode Januari-Juni 2006 rata-rata nilai tukar rupiah terhaadap dolar AS cukup terkendali disekitar Rp9.250 per dolar AS, relatif lebih kuat dibandingkan dengan rata-rata nilai tukar tahun sebelumnya sebesar Rp9.412 per dolar AS. Dan pada pentupan tahun 2006 rupiah berada pada level Rp9.135 per dolar AS. Terkendalinya stabilitas ekonomi makro ini diiringi pula dengan meningkatnya posisi cadangan devisa sebesar US$6,82 miliar dari US$41,54 miliar pada tahun 2005. Walaupun dari aspek stabilitas perekonomian Indonesia tahun 2006 memperlihatkan kinerja yang cukup menggembirakan, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi dan upaya peningkatan kesejahteraan rakyat, kinerja perekonomian dihadapkan pada kendala dan tantangan yang cukup berat. Pada triwulan I tahun 2006 tercatat pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,6%, lebih rendah dari angka pertumbuhan triwulan I tahun 2005 sebesar 6,3%. Angka pertumbuhan yang relatif rendah ini diiringi dengan jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang relatif masih cukup tinggi. Sampai akhir 2006, jumlah pengangguran mencapai 11,4 juta orang lebih tinggi dari 2005 yang sebesar 10,9 juta.

Peningkatan jumlah pengangguan ini diperkirakan akan menambah jumlah penduduk miskin yang tercatat sebesar 35,1 juta jiwa pada akhir tahun 2005.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai pada triwulan III tahun 2007 masih terus bertumbuh. PDB relatif tumbuh mencapai 6,3% atau lebih tinggi dibandingkan triwulan III tahun 2006 yang sebesar 5,87%. Cadangan devisa pada akhir triwulan III-2007 tercatat sebesar US$52,8 miliar. Namun pada sisi lain, Nilai tukar rupiah pada tahun 2007 Triwulan III secara rata-rata yaitu tercatat Rp9.250 melemah dibandingkan triwulan II tahun yang sama sebesar Rp8.968. Terdepresinya niali tukar rupiah lebih disebabkan oleh imbas gejolak pasar keuangan global. Sama halnya dengan nilai tukar yang terdepresi, tekanan inflasi di triwulan III 2007 yaitu yang berada pada kisaran 6% tercatat lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya. Lebih tingginya inflasi pada periode tersebut bersumber dari meningkatnya harga beberapa komoditi pokok seperti minyak goreng dan beras serta permintaan yang meningkat menjelang hari raya lebaran. Selain itu kelangkaan minyak tanah juga turut memberikan kontribusi pada peningkatan inflasi.

Dokumen terkait