• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Aspergillosis

2.2.4 Gambaran Klinis

Sejak diketahui bahwa inhalasi merupakan cara masuknya spora aspergilus ke dalam saluran pernafasan manusia, maka istilah aspergilosis sescara umum meliputi kelompok penyakit yang gambaran klinisnya melibatkan paru-paru.

1. Non-invasif aspergilosis

a. Bentuk alergi (allergic bronchopulmonary aspergillosis / ABPA)

Pada beberapa individu yang atopic, pembentukan antibody IgE terhadap antigen permukaan konidia aspergilus menghasilkan reaksi asmatik segera pada

pajanan berikutnya. Pada individu lain, konidia bergerminasi dan hifa mengolonisasi pohon bronkus tanpa menginvasi parenkim paru. Fenomena tersebut merupakan cirri khas aspergilosis bronkopulmonal alergi, yang secara klinis ditandai dengan asma, infiltrate dada rekuren, eosinifilia, dan hipersensitivitas uji kulit tipe I (cepat) dan tipe III (Arthus) terhadap antigen aspergillus. Banyak pasien menghasilkan sputum akibat aspergilus dan presipitin serum. Mereka mengalami kesulitan bernapas dan timbul parut yang permanen di paru. Pejamu normal yang terpajan konidia dalam jumlah yang sangat banyak dapat mengalami alveolitis alergi ekstrinsik. (Mitchell, 2007)

Allergic bronchopulmonary aspergillosis dilaporkan dijumpai pada asma yang tergantung dengan steroid sekitar 14% dan pada pasien dengan kolonisasi aspergilus seperti cystic fibrosis dijumpai sebanyak 7%. Gambaran klinis yang sering dijumpai yaitu demam, asma dengan perbaikan klinis yang lambat, batuk yang produktif, malaise dan berat badan menurun. (Dumasari, 2008) Kriteria

minimal untuk menegakkan diagnosa ABPA adalah 1) asthma; 2) immediate

cutaneous reactivity terhadap A. fumigatus; 3) total serum immunoglobulin (Ig)E 1,000 ng/ml; 4) peningkatan specific IgE-Af/IgG-Af; dan 5) central bronchiectasis tanpa disertai distal bronchiectasis. (Shah, 2010) Selain itu criteria lainnya adalah

dijumpai adanya A. fumigatus pada biakan sputum, batuk dengan dahak berwarna

coklat atau flek, dan reaksi arthus terhadap antigen Aspergillus. (Chamilos, 2008)

b. Aspergiloma dan kolonisasi ekstrapulmonal

Aspergiloma (fungus ball) adalah berupa massa yang padat tidak

berbentuk dari mycelium jamur. Aspergiloma terjadi ketika konidia yang terhirup masuk ke dalam kavitas yang sudah terbentuk, bergerminasi, dan menghasilkan

banyak hifa dalam ruang paru abnormal. Pasien yang menderita penyakit kavitas sebelumnya (misal tuberculosis, sarkoidosis, emfisema) berisiko terkena penyakit ini. Fungus ball sering dijumpai pada lokasi bagian atas lobus paru. Terjadinya lisis yang spontan pernah dilaporkan sekitar 10% dari kasus. (Dumasari, 2008, Mitchell, 2007, Thompson dan Patterson, 2008)

Beberapa pasien asimtomatik, yang lain mengalami batuk, dispnea, penurunan berat badan, lelah, dan hemoptisis. Haemoptisis merupakan gejala klinis yang sering dijumpai sekitar 50 – 80% dari kasus dan jarang bersifat fatal. Kasus aspergiloma jarang bersifat invasive. Infeksi local noninvasive (kolonisasi) oleh spesies aspergilus dapat mengenai sinus nasalis, saluran telinga, kornea, atau kuku. (Mitchell, 2007, Thompson, 2008)

Gambar 2.2 Gambaran Aspergilloma pada paru (A.D.A.M, 2010)

2. Aspergilosis invasive

Setelah terhirup dan terjadi germinasi konidia, penyakit invasif berkembang menjadi proses pneumonia akut dengan atau tanpa penyebaran. Pasien yang beresiko adalah mereka yang menderita leukemia mielogenosa atau

limfositik dan limfoma, penerima transplantasi sumsum tulang, dan terutama mereka yang minum kortikosteroid. Gejala antara lain demam, batuk, dispnea, dan hemoptisis. Hifa menginvasi lumen dan dinding pembuluh darah, menyebabkan thrombosis, infark, dan nekrosis. Dari paru penyakit ini dapat menyebar ke saluran cerna, ginjal, hati, otak dan organ lain, menimbulkan abses dan lesi nekrotik. Tanpa pengobatan yang cepat, prognosis untuk pasien yang menderita aspergilosis invasive sangat buruk. Individu dengan penyakit dasar yang tidak terlalu mengganggu dapat mengalami aspergilosis pulmonal nekrotikans kronik, yang merupkan penyakit yang lebih ringan. (Mitchell, 2007)

Faktor resiko terjadinya Aspergillosis paru invasive adalah pada pasien immunocompromised yang disebabkan terutama oleh keadaan neutropenia, haematopoietic stem-cell dan transplantasi organ padat, penggunaan obat kortikosteroid yang lama dan dengan dosis tinggi, keganasan haematologi, terapi cytotoxic, AIDS, dan chronic granulomatous disease (CGD).(Zmeili dan Soubani, 2007)

3. Semi-Invasive/Chronic Necrotising Aspergillosis (CNA)

Spektrum penyakit ini diantara kolonisasi saprofit pada aspergilloma dan invasive aspergillosis. (Panda, 2004) Penyakit ini merupakan indolent, kavitas, dan merupakan sekunder infeksi parenkim paru terhadap invasi local jamur aspergillus. Berbeda dengan IPA, CNA memiliki progresivitas yang lambat lebih dari beberapa minggu hingga bulan dan invasi vascular atau disseminasi organ lain tidak terjadi. Sindroma penyakit ini jarang terjadi. (Zmeili dan Soubani, 2007)

Gambar 2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora aspergillus. ICH, immunocompromised host; IPA, invasive pulmonary aspergillosis; ABPA, allergic bronchopulmonary aspergillosis. (Zmeili dan Soubani, 2007)

2.2.5 Uji diagnostic laboratorium

a. Spesimen

Sputum, spesimen saluran pernapasan lain, dan biopsy jaringan paru merupakan specimen yang baik. Sampel darah jarang positif. (Mitchell, 2007) kontaminasi material dapat terjadi pada semua level, sehingga kontaminasi harus dihindari sebisa mungkin. Kontaminasi oleh konidia yang berada di udara dapat terjadi pada sampel. Resiko ini rendah pada sampel darah, meningkat pada sampel saluran pernafasan, sputum, dan sekresi endotracheal, begitu juga dengan sampel yang berasal dari BAL, namun resikonya lebih rendah. (Bolehovska et al, 2006)

b. Pemeriksaan Mikroskopik

Bahan yang dapat digunakan yaitu sputum, bilasan bronchial, aspirasi tracheal dari pasien dengan penyakit paru dan biopsy jaringan dari pasien

disseminated. Sebelum pemeriksaan sputum, bronchial washing dan aspirasi tracheal dilakukan, specimen tersebut diberi KOH 10% dan tinta parker kemudian selanjutnya diberi pewarnaan gram, sedangkan specimen yang berasal dari biopsy jaringan diberi pewarnaan khusus untuk jamur yaitu Gomori methenamine silver atau Periodic acid-Schiff. (Dumasari, 2008) Dari Hasil pemeriksaan dijumpai adanya cabang dichotomous and hypa bersepta yang mempunyai lebar yang sama (sekitar 4 µm). (Mitchell, 2007)

c. Biakan

Aspergilus Sp. Tumbuh dalam beberapa hari pada sebagian besar medium

pada suhu ruangan. Spesies diidentifikasi berdasarkan morfologi struktur konidia. (Mitchell, 2007)

d. Pemeriksaan Kultur

Specimen kultur berasal dari sputum, bilasan bronchial dan aspirasi tracheal di inokulasi pada agar Sabouroud dextrose dengan antibiotic dan tanpa

cycloheximide pada temperature 25⁰C dan 37⁰C. Subkultur isolate dapat

dilakukan pada agar czapk Dox dan agar 2% ekstrak malt dengan inkubasi pada

25⁰C. agar Potato dextrose sangat berguna untuk menginduksi sporulasi sehingga

identifikassi isolate menjadi lebih mudah.(Chander, 2002)

Pertumbuhan koloni cepat dan dapat berwarna putih, kuning, kuning kecoklatan, coklat kehitaman atau hijau. Hasil yang positif dari pemeriksaan kultur tersebut hanya dijumpai 10% - 30%. Hal ini dapat dijumpainya kontaminan lain pada kultur sehingga menimbulkan kesulitan melakukan isolasi dan akibatnya organism yang di isolasi jumlahnya relatif sedikit. Kesulitan yang lain yaitu spesies Aspergillus sering merupakan kontaminan laboratorium. Hasil

pemeriksaan kultur darah biasanya negatif tetapi apabila hasilnya positif dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.(Dumasari, 2008)

e. Tes Kulit

Tes kulit dengan menggunakan antigen aspergillus hanya berhasil untuk mendiagnosis allergic aspergillosis. Penderita dengan asma tanpa komplikasi yang disebabkan aspergillus menimbulkan reaksi immediate tipe I. Pada pasien allergic bronchopulmonary aspergillosis menimbulkan reaksi immediate tipe I dan juga 70% memberikan reaksi delayed tipe III.(Dumasari, 2008)

f. Serologi

Pemeriksaan antibody Aspergillus sering membantu untuk mendiagnosis bentuk lain dari aspergillosis yang dijumpai pada penderita non-compromise. Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan yaitu immunodiffusion (ID), indirect

haemagglutination dan enzyme-linked immunosorbeny assay (ELISA).

Pemeriksaan immunodiffusioan mudah dilaksanakan dan pengendapaan dapat dideteksi lebih dari 70% penderita dengan allergic bronchopulmonary aspergillosis dan lebih dari 90% pada penderita pulmonary aspergilloma atau kronik necrotizing pulmonary aspergillosis. Pemeriksaan immunodiffusion juga berguna untuk mendeteksi infeksi Aspergillus bentuk invasive.

Pemeriksaan untuk mendeteksi antigen Aspergillus di dalam darah dan cairan tubuh yang lain dapat lebih cepat untuk mendiagnosis aspergillosis pada penderita immunocompromise. Pada pasien invasive aspergillosis, ditemukan titer yang tinggi dari antigen galactomannan (galactomannan merupakan komponen utama dari dinding sel Aspergillus). Ada dua jenis pemeriksaan untuk mendeteksi Aspergillus galactomannan yaituLatex particle agglutination tetapi pemeriksaan

ini kurang sensitive dan Sandwich ELISA (Enzyme-linked immunosorbent Assay) dimana sensitivitinya 90-93% dan spesivitinya 94-98%. (Dumasari, 2008)

Uji ID untuk presipitin terhadap A. fumigates positif pada lebih dari 80% penderita aspergiloma atau aspergilosis bentuk alergi, tetapi uji antibody tidak membantu dalam diagnosis aspergilosis invasive. Namun, uji serologi untuk galaktomanan dinding sel yang bersirkulasi bersifat diagnostic. (Mitchell, 2007)

g. Diagnostik Molekuler

Metode pemeriksaan PCR telah mengalami perkembangan, digunakan untuk mendeteksi DNA Aspergillus di dalam darah, serum dan cairan

bronchoalveolar lavage. Metode pemeriksaan Nucleic acid sequence-based

amplification assay (NASBA) juga telah mengalami perkembangan, digunakan

untuk mendeteksi dan mengidentifikasi genus Aspergillus dengan RNA sequences yang spesifik dari specimen darah. (Dumasari, 2008)

Penelitian mengenai deteksi asam nukleat Aspergillus dengan PCR telah banyak dilaporkan untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008) Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009) Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus. (Stevens et al., 2000) PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity 67 – 100% dan specificity 55 – 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan pada sampel serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 – 92%. (Zmeili dan Soubani, 2007, Raad et al, 2002) DNA target yang biasa digunakan adalah 18S rRNA atau 28S rRNA. (Jun et al, 2001)

2.2.6 Pengobatan

Aspergiloma diobati dengan itrakonazol atau amfoterisin B dan pembedahan. Aspergilosis invasive memerlukan pemberian cepat formula alami atau lipid amfoterisin B atau voriconazol, sering ditambahkan imunoterapi sitokin. Penyakit paru nekrotikan kronik yang lebih ringan dapat diobati dengan vorikonazol atau itrakonazol. (Mitchell, 2007) Aspergilosis bentuk alergi diobati dengan kortikosteroid dan itraconazole. (Garbino, 2004)

Prognosis pasien dengan invasive aspergillosis mengalami perbaikan dengan penggunaan klinis terapi anti jamur golongan azole, terutama voriconazole. Meskipun demikian, pertahanan hidup pasien dapat terancam dengan adanya keadaan resistensi aspergillus terhadap golongan azole. Resistensi

ini biasanya disebabkan oleh point mutasi pada gen cyp51A, yang merupakan

target terapi golongan azole. (Jan et al, 2010)

Tabel 2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah (Thompson dan Patterson, 2008)

2.2.7 Epidemiologi dan Pengendalian

Jamur Aspergillus tersebar diseluruh dunia. Konidianya dapat hidup di tanah dan di udara. Di dalam lingungan rumah sakit jamur Aspergillusspp. dapat ditemukan di udara, penampungan air, tanaman di pot. Sehingga spora jamur ini selalu dapat terhirup oleh manusia. Terjadinya infeksi aspergillus pada manusia lebih berperan pada factor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi jamurnya sendiri. Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena infeksi jamur Aspergillus. (Kumala, 2006) Pada dekade terakhir, insidens infeksi jamur meningkat. Aspergillosis invasive merupakan infeksi jamur kedua yang paling sering pada pasien kanker, setelah kadidiasis. (Garbino, 2004)

Untuk individu yang beresiko menderita penyakit alergi atau aspergilosis invasive, usaha yang harus dilakukan adalah menghindari pajanan terhadap konidia spesies aspergilus. Kebanyakan unit transplantasi sumsum tulang menggunakan system pendingin berfilter, mengawasi kontaminan melalui udara pada ruangan pasien, mengurangi kunjungan, dan beberapa tindakan lain untuk mengisolasi pasien dan meminimalkan resiko pasien terpajan konidia aspergilus dan kapang lain. Beberapa pasien yang beresiko untuk aspergilosis invasive diberikan profilaksis amfoterisin B atau itrakonazol dalam dosis rendah. (Mitchell, 2007)

Dokumen terkait