ANALISAAspergillusfumigatus DENGAN MENGGUNAKAN
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN KULTUR
PADA SPUTUM PENDERITA BATUK KRONIS
TESIS
Oleh
ISRA THRISTY
097008004/BM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISAAspergillusfumigatus DENGAN MENGGUNAKAN
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN KULTUR
PADA SPUTUM PENDERITA BATUK KRONIS
TESIS
DiajukanSebagai Salah Satu Syarat
MemperolehGelar Magister Biomedik
dalam Program Studi Magister IlmuBiomedik
padaFakultasKedokteranUniversitas Sumatera Utara
Oleh
ISRA THRISTY
097008004/BM
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : ANALISAAspergillusfumigatus DENGAN MENGGUNAKAN POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) DAN KULTUR PADA SPUTUM PENDERITA BATUK KRONIS
Nama : ISRA THRISTY
Nomor Induk mahasiswa : 097008004
Program Studi :ILMU BIOMEDIK
Menyetujui, Komisi Pembimbing
( dr. YahwardiyahSiregar, Phd ) (
Ketua Anggota
dr. WidiRahardjo, Sp.P(K))
Ketua ProgramStudiBiomedik Dekan
(dr.Yahwardiyah Siregar, Phd) (Prof.Dr. Gontar A Siregar, Sp.PD,KGEH NIP. 19550807 198503 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001
)
Telah diuji pada tanggal : 04 April 2013
_________________________________________________________________
Panitia Penguji Tesis
Ketua : dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D
Anggota : 1. dr. Widi Rahardjo S, Sp.P (K)
ABSTRAK
Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus dapat disebabkan oleh peradangan, baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mukus yang banyak. Batuk akibat infeksi jamur pada paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Bertambahnya kecepatan tumbuh jamur adalah sebagai akibat penggunaan antibiotik berspektrum luas, kombinasi dari berbagai antibiotik, serta penggunaan kortikosteroid, obat imunosuppressif lainnya dan penggunaan sitostatika, penggunaan alat-alat kesehatan invasif, juga terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk penyakit keganasan. Diketahui ada beberapa spesies jamur sistemik yang dapat
menginfeksi manusia namun penyebab infeksi paru-paru 90% adalah Aspergilus
fumigatus. Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi
DNA jamur merupakan diagnostik yang optimal karena memiliki potensial lebih sensitif dari metode kultur pada berbagai spesimen. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisa Aspergillus fumigatus dengan menggunakan PCR dan kultur
pada sputum penderita batuk kronis.
Penelitian ini menggunakan 51 sampel sputum penderita batuk kronis yang berasal dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, diteliti dengan metode
deskriptif cross-sectional. Sputum diperiksa dengan menggunakan metode PCR
dan dilakukan kultur sebagai gold standard pemeriksaan jamur.
Hasil penelitian dari 51 sampel, didapati pemeriksaan PCR positif 34 sampel (66,67%), pemeriksaan PCR negatif 17 sampel (33,33%). Pada hasil kultur dijumpai kultur positif 29 sampel (56,86%), dan kultur negatif 22 sampel (43,14%). Semua hasil PCR positif memberikan kultur positif juga.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini lebih banyak ditemukan DNA
Aspergillus fumigatus pada penderita batuk kronis dengan menggunakan PCR
daripada kultur, maka penyakit jamur tidak bisa dianggap remeh. Pemeriksaan PCR dapat dipergunakan sebagai salah satu pemeriksaan jamur yang cepat, karena tidak perlu menunggu hasil kultur yang lebih lama.
ABSTRACT
Cough due to irritation of the bronchial mucosa could caused by inflammation, either by bacteria, viruses, and fungi along with a lot of mucus. Cough caused by fungal infection to the lungs is rare discussed. Fungal growth could be faster as a result of the use of broad-spectrum antibiotic or combination of antibiotics, corticosteroids or other imunosuppressif drugs, sitostatika, and the use of invasive medical devices, also the presence of predisposing factors like severe chronic diseases, and malignancy diseases. There are some fungal species that can infect humans but causes of the lung infections 90% are Aspergilus fumigatus. Using Polymerase chain Reaction (PCR) to detect fungal DNA was optimal diagnostic because it has potentially more sensitive than culture methods on a variety of specimens. The purpose of this study was to analize the presence of Aspergillus fumigatus using the PCR and culture method in sputum of the chronic cough’s patients.
Samples of this study was 51 patients from Haji Adam Malik Hospital in Medan were examined cross-sectional descriptive method. Sputum examined using PCR and cultures as well taken as a gold standard fungal intention.
The results were 34 were found positive PCR samples (66.67%), negative PCR 17 samples (33.33%). In cultures found positive culture results 29 samples (56.86%), and negative cultures 22 samples (43.14%). All positive PCR results provide a positive culture as well.
The conclusions of this research are found much more Aspergillus fumigatus DNA in patients sputum with chronic cough using the PCR method rather than culture, so the fungal disease can not be underestimated. PCR can be used as a fast, because they do not need to wait for culture results that much more longer.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmatNYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul,”Analisa Aspergillus fumigatus dengan Menggunakan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur Pada Sputum Penderita Batuk Kronis”.
Tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Magister Ilmu Biomedik, di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), dan seluruh jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program
Magister ilmu Biomedik, di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof.dr. Gontar A.Siregar, Sp.PD,KGEH dan Ketua Program Studi Biomedik, dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan program Magister ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Rasa terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya disampaikan kepada dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D dan dr. Widi Rahardjo, Sp.P(K) sebagai komisi pembimbing, yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah mengorbankan waktu untuk memberikan dorongan, bimbingan, semangat, bantuan serta saran-saran yang bermanfaat kepada Penulis mulai dari persiapan penelitian sampai pada penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis kepada seluruh Staf Pengajar Ilmu Biomedik khususnya bidang ilmu Biokimia yang telah membimbing penulis selama mengikuti program studi ini.
Kepada Dekan FK-UISU, beserta jajarannya yang telah memberikan dana kepada penulis untuk kelangsungan pendidikan program studi pascasarjana ini.
Rama Siregar yang telah membesarkan dan memberikan kasih sayang, do’a serta semangat dan dorongan kepada penulis dalam menjalani program studi ini.
Tesis ini khusus penulis persembahkan kepada suami tercinta Fakhrul Agung, SE, yang memberikan dorongan dan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan program studi ini. Kepada putra tercinta Nizam Raffa Al-Rasyid dan Bima Faiz Alfarizqi, terima kasih atas senyuman dan tawa yang membuat semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini, dan mohon ma’af kepada ananda atas waktu kebersamaan yang hilang.
Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kakanda tersayang Sari Agustien, SE dan Vinny Dwi Astuty, SE (Ak) serta adinda Putri Anggraini, Ak dan keponakan-keponakan yang selalu memberikan semangat dan dorongan untuk segera menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih juga kepada seluruh rekan-rekan yang telah memberikan
semangat, bantuan dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu mendapat koreksi dan masukan untuk kesempurnaan. Oleh karena itu Penulis berharap adanya kritik serta saran untuk penyempurnaan tulisan ini. Semoga penelitian ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, April 2013
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikosis Paru... 9
2.1.1 Mikosis Oportunistik... 10
2.1.2 Patogenesis... 11
2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru... 13
2.1.4 Tekhnik Pengambilan Bahan Pemeriksaan... 16
2.2 Aspergillosis... 18
2.2.1 Morfologi dan Identifikasi... 19
2.2.2 Patogenesis... 20
2.2.3 Mikotoksin... 21
2.2.4 Gambaran Klinis... 22
2.2.5 Uji Diagnostik Laboratorium... 26
2.2.6 Pengobatan... 30
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR) ……… 31
2.4 Elektroforesis……… 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian... 35
3.2 Tempat dan Waktu... 35
3.3 Populasi dan Sampel... 35
3.3.1 Populasi Penelitian... 35
3.3.2 Sampel Penelitian... 35
3.4 Kriteria inklusi dan eksklusi... 36
3.4.1 Kriteria inklusi... 36
3.4.2 Kriteria eksklusi... 36
3.5 Keraangka Konsep... 37
3.6 Variabel Penelitian... 37
3.7 Defenisi Operasional... 38
3.8 Alat dan Bahan... 39
3.10 Tekhnik Analisa Data... 46
3.11 Kerangka Kerja... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian... 47
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ... 56 5.2 Saran ... 57
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah 30
4.1 Distribusi Hasil PCR Pada Pemeriksaan Sputum 47
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
2.1 Gambaran mikroskopis
Aspergillus fumigatus. 20
2.2
Gambaran Aspergilloma pada paru 24
2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora
aspergillus
26
3.1 Kerangka Konsep 37
3.2
Lokasi Pasangan Primer hasil amplifikasi PCR 43
3.3 Kerangka Kerja Penelitian 46
4.1 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus
menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A1-A5)
48
4.2 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus
menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A5-A16)
49
4.3 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus
menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A17-A29)
49
4.4 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus
menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A30-A42)
50
4.5 Analisis DNA Produk PCR Aspergillus fumigatus
menggunakan elektroforesis gel agarosa (sampel A43-A51)
50
4.6 Hasil Kultur Positif mengandung Jamur Aspergillus
fumigatus
51
4.7 Hasil Kultur Negatif tidak mengandung Jamur Aspergillus
fumigatus
DAFTAR SINGKATAN
ABPA : Allergic BronchopulmonaryAaspergillosis
AIDS : Acquired Immunodeficiency Syndrome
BAL : Broncho Alveolar Lavage
BMT : Bone Marrow Transplantation
CDC : Centers for Disease Control
CMV : Citomegalo Virus
CNA : Chronic Necrotising Aspergillosis
CT : Computerized Tomography
DM : Diabetes Melitus
DNA : Deoxyribonucleotide Acid
ELISA : Enzyme-linked immunosorbent Assay
HIV : Human immunodeficiency virus
ID : Immunodiffusion
IPA : invasive pulmonary aspergillosis
KOH : Potassium Hydroxida
PAS : Periodic Acid Schiff
PCR : Polymerase Chain Reaction
PPOM : Penyakit Paru Obstruktif Menahun (Kronik)
RNA : Ribonucleotide Acid
RS : Rumah Sakit
RSHAM : Rumah Sakit Haji Adam Malik
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1 Daftar Riwayat Hidup 62
2 Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian 63
3 Lembar persetujuan setelah penjelasan (PSP) 65
4 Ethical clearence 66
5 Surat izin penelitian di RS H.Adam Malik Medan 67
ABSTRAK
Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus dapat disebabkan oleh peradangan, baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mukus yang banyak. Batuk akibat infeksi jamur pada paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Bertambahnya kecepatan tumbuh jamur adalah sebagai akibat penggunaan antibiotik berspektrum luas, kombinasi dari berbagai antibiotik, serta penggunaan kortikosteroid, obat imunosuppressif lainnya dan penggunaan sitostatika, penggunaan alat-alat kesehatan invasif, juga terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk penyakit keganasan. Diketahui ada beberapa spesies jamur sistemik yang dapat
menginfeksi manusia namun penyebab infeksi paru-paru 90% adalah Aspergilus
fumigatus. Penggunaan Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendeteksi
DNA jamur merupakan diagnostik yang optimal karena memiliki potensial lebih sensitif dari metode kultur pada berbagai spesimen. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menganalisa Aspergillus fumigatus dengan menggunakan PCR dan kultur
pada sputum penderita batuk kronis.
Penelitian ini menggunakan 51 sampel sputum penderita batuk kronis yang berasal dari Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan, diteliti dengan metode
deskriptif cross-sectional. Sputum diperiksa dengan menggunakan metode PCR
dan dilakukan kultur sebagai gold standard pemeriksaan jamur.
Hasil penelitian dari 51 sampel, didapati pemeriksaan PCR positif 34 sampel (66,67%), pemeriksaan PCR negatif 17 sampel (33,33%). Pada hasil kultur dijumpai kultur positif 29 sampel (56,86%), dan kultur negatif 22 sampel (43,14%). Semua hasil PCR positif memberikan kultur positif juga.
Kesimpulan dari hasil penelitian ini lebih banyak ditemukan DNA
Aspergillus fumigatus pada penderita batuk kronis dengan menggunakan PCR
daripada kultur, maka penyakit jamur tidak bisa dianggap remeh. Pemeriksaan PCR dapat dipergunakan sebagai salah satu pemeriksaan jamur yang cepat, karena tidak perlu menunggu hasil kultur yang lebih lama.
ABSTRACT
Cough due to irritation of the bronchial mucosa could caused by inflammation, either by bacteria, viruses, and fungi along with a lot of mucus. Cough caused by fungal infection to the lungs is rare discussed. Fungal growth could be faster as a result of the use of broad-spectrum antibiotic or combination of antibiotics, corticosteroids or other imunosuppressif drugs, sitostatika, and the use of invasive medical devices, also the presence of predisposing factors like severe chronic diseases, and malignancy diseases. There are some fungal species that can infect humans but causes of the lung infections 90% are Aspergilus fumigatus. Using Polymerase chain Reaction (PCR) to detect fungal DNA was optimal diagnostic because it has potentially more sensitive than culture methods on a variety of specimens. The purpose of this study was to analize the presence of Aspergillus fumigatus using the PCR and culture method in sputum of the chronic cough’s patients.
Samples of this study was 51 patients from Haji Adam Malik Hospital in Medan were examined cross-sectional descriptive method. Sputum examined using PCR and cultures as well taken as a gold standard fungal intention.
The results were 34 were found positive PCR samples (66.67%), negative PCR 17 samples (33.33%). In cultures found positive culture results 29 samples (56.86%), and negative cultures 22 samples (43.14%). All positive PCR results provide a positive culture as well.
The conclusions of this research are found much more Aspergillus fumigatus DNA in patients sputum with chronic cough using the PCR method rather than culture, so the fungal disease can not be underestimated. PCR can be used as a fast, because they do not need to wait for culture results that much more longer.
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang
Batuk merupakan salah satu keluhan utama pada kelainan saluran
pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk
merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga jalan napas
tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk,
gumpalan darah dan benda asing pada jalan napas, selain itu batuk juga dapat
disebabkan karena iritasi jalan napas. (Djojodibroto, 2009)
Batuk karena iritasi pada mukosa bronkus disebabkan oleh peradangan,
baik oleh bakteri, virus, dan jamur disertai dengan mucus yang banyak. Selain itu
batuk juga dapat disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, tumor, dan bahan iritan
lainnya (rokok, debu, gas, bahan-bahan kimia). Terdapat 3 gejala batuk yang
menunjukkan adanya kelainan dari paru-paru yaitu: batuk yang menetap, nyeri di
dada bila batuk, produksi sputum yang banyak atau berdarah. Batuk dari saluran
napas atas tidak sehebat batuk dari saluran napas bawah. (Rab, 2010)
Batuk akibat infeksi jamur pada paru atau yang disebut dengan mikosis
paru selama ini masih merupakan penyakit yang relatif jarang dibicarakan. Akan
tetapi akhir-akhir ini perhatian terhadap penyakit ini semakin meningkat dan
kejadian infeksi jamur paru semakin sering dilaporkan. Hal ini mungkin akibat
dari meningkatnya kesadaran dan usaha penemuan infeksi jamur dengan berbagai
cara menggunakan teknik yang tepat, bertambahnya kecepatan tumbuh jamur
sebagai akibat cara pengobatan modern, terutama penggunaan antibiotik
kortikosteroid dan obat imunosuppressif lainnya serta penggunaan sitostatika,
terdapatnya faktor predisposisi yaitu penyakit kronik yang berat termasuk
penyakit kegananasan, dengan meningkatnya umur harapan hidup akan
meningkatkan insiden penyakit jamur paru, mobilitas dari manusia tinggi
sehingga kemungkinan memasuki daerah endemis fungi patogen semakin tinggi
(Sukamto, 2004)
Angka kekerapan mikosis paru di dunia dan di Indonesia belum diketahui
secara pasti. Walaupun masih relatif jarang bila dibandingkan dengan infeksi
bakterial atau virus, infeksi jamur paru penting karena dapat diobati dan
keterlambatan pengobatan dapat berakibat fatal. Walaupun infeksi jamur lokal
seperti pada mulut, esofagus, usus dan vagina cukup sering, namun yang bersifat
sistemik termasuk di paru tidak sebanyak itu. Masalah lain adalah karena sulitnya
mendiagnosis mikosis paru. Permasalahannya ialah bahwa baik gambaran klinik
maupun radiologik penderita mikosis paru tidak khas. Sediaan apus sputum,
biakan jamur, pemeriksaan histologik paru dan uji serologik pun kadang hasilnya
membingungkan. Sehingga pengobatan terhadap infeksi jamur paru sering
terlambat diberikan. Pasien baru tertegakkan diagnosanya sebagai penderita jamur
paru dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat, sehingga pengobatan sering
tidak berhasil. (Sukamto, 2004)
Mikosis dapat diklasifikasikan menjadi mikosis superficial, kutan,
subkutan, sistemik, dan oportunistik. Sebagian besar pasien mengalami infeksi
jamur oportunistik. Jamur oportunistik yang sering menginfeksi adalah candida
albicans dan candida sp, Cryptococcus neoformans, Aspergillus sp, Rhizopus sp,
2007) Namun jamur oportunistik yang paling sering menyebabkan infeksi jamur
invasive adalah Candida albicans, Candida spp. dan Aspergillus spp. (Klingspor
dan Jalal, 2006)
Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi primer maupun sekunder.
Timbulnya infeksi sekunder pada paru disebabkan terdapatnya kelainan atau
kerusakan jaringan paru seperti pada TB paru berupa kavitas, bronkiektasis,
destroyed lung dan sebagainya. (Sukamto, 2004)
Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) telah melakukan penelitian
retrospektif di bagian paru RS. Persahabatan Jakarta pada 28 penderita penyakit
paru yang dicurigai kemungkinan menderita infeksi jamur paru. Diteliti
kebelakang mulai tahun 1993 sampai Januari 1994, penderita yang dilakukan
pemeriksaan jamur baik pemeriksaan sputum, bilasan bronkus, biopsi, hasil
reseksi maupun pemeriksaan serologis darah dll, didapatkan hasil 23 penderita
(82,1 %) positif jamur. Kebanyakan yang positif adalah penderita dengan TB
paru, (67,8 %) baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi. Hal ini
disebabkan adanya kerusakan jaringan paru atau saluran nafas akibat penyakit
tuberkulosisnya hingga memudahkan terjadinya infeksi sekunder dengan jamur.
Suryatenggara dan kawan-kawan (1995) melaporkan hasil penelitian
pemeriksaan jamur pada bilasan bronkus di Bagian Paru RS Husada Jakarta tahun
1994/1995 mendapatkan 30 penderita (45%) dengan jamur positif dari 66
penderita yang diperiksa ke arah penyakit jamur. Dari 30 penderita yang positip
jamur terdiri dari Candida sp 27, Aspergillus fumigatus 2 dan Aspergillus sp 1
Sukamto (2004) melakukan penelitian terhadap bilasan bronkus pada
penderita tuberculosis paru yang telah sembuh di RS. Haji Adam Malik Medan,
dan didapatkan 11 kasus (21,5%) jamur paru dari 40 penderita yang terdiri dari
Candida sp. 7 penderita (63,6%), Aspergillus fumigatus 3 penderita (27,3%), dan
Aspergillus niger 1 penderita (9,1%). Dari penelitian ini, gejala klinis yang paling
sering terjadi pada kasus infeksi jamur positif adalah batuk kronis yang berdahak
dan batuk darah.
Menurut penelitian yang dilakukan di India pada tahun 2002 sampai 2003
dengan kultur sputum pasien yang positif tuberculosis paru kronis dan telah
mendapatkan pengobatan, didapatkan bahwa dari 500 pasien dijumpai 200 pasien
yang menderita infeksi jamur (46%). Dimana jenis jamur yang terbanyak adalah
Aspergillus fumigatus, Aspergillus niger, Histoplasma capsulatum, dan
Cryptococcus neoforman. Dari 50 pasien yang mempunyai gejala seperti
tuberculosis, terdapat 23 pasien yang positif terinfeksi jamur tersebut. (Bansod
dan Rai, 2008)
Spesies jamur yang paling sering dijumpai pada penderita
immunokompromi yaitu infeksi kandida. Jamur kandida merupakan flora
mikrobial normal rongga mulut, saluran pencernaan dan vagina, bersifat
invasif/patogen bila daya tahan host (pejamu) terganggu. Infeksi jamur ini
umumnya terjadi di daerah mukokutaneus, tetapi dapat pula terjadi pada organ-
organ lain di dalam tubuh seperti esofagus, ginjal, hati, jantung, mata, otak dan
paru. Walaupun kasus infeksi nosokomial oleh jamur semakin banyak, tetapi
laporan mengenai infeksi jamur di paru baik primer maupun sekunder masih
yang terpenting ialah tuberkulosis paru dan keganasan paru. (Hamdi, 1997)
Sangat sulit menegakkan diagnosis kandidiasis paru karena penyakit ini dapat
menyerupai segala macam penyakit paru lain dengan gejala klinis yang tidak
khas, kurangnya karakteristik pada gambaran radiografik.(Shahid dan Bhargava,
2001) Diagnosis pasti kandidiasis paru yaitu dengan melakukan biopsi dan kultur
jaringan dari tempat lesi. Didapatinya jamur kandida di dalam sputum bukan
diagnostik pasti, karena hal ini dapat terjadi juga pada pasien normal. (Hamdi,
1997)
Aspergilosis primer sangat jarang ditemukan, yang banyak ditemukan
adalah Aspergilosis sekunder akibat adanya kelainan pada paru seperti TB paru,
bronkiektasis, asma bronkial, PPOM, asbestosis, kanker paru, kelainan sistemik
seperti leukemia, anemia aplastik, DM, AIDS, transplantasi organ.
Aspergillus fumigatus merupakan jamur saprotrophik yang menjadi
pathogen dengan alasan biologi yang sederhana, yaitu karena jamur ini terdapat di
athmosfir dengan konsentrasi yang tinggi, tumbuh dengan cepat dibandingkan
jamur airborne lainnya pada suhu 40⁰C, dapat menjadi lawan bagi tubuh bukan
karena mekanisme virulensi yang spesifik, namun karena kegagalan respon
immune tubuh itu sendiri. (Chamilos et al, 2008)
Diketahui ada
beberapa spesies yang dapat menginfeksi manusia namun penyebab infeksi
paru-paru 90% adalah Aspergilus fumigatus.(Shahid dan Bhargava, 2001) Aspergillus
fumigatus telah dilaporkan dijumpai pada sekitar 10% penderita dengan bronkhitis
dan pada persentase yang lebih banyak lagi dijumpai pada penderita asma. (Hood,
Ada beberapa spesimen yang dapat dijadikan bahan pemeriksaan
diagnostik jamur, antara lain dari sputum, bilasan bronkus, darah, urine, cairan
spinal, apusan/kerokan lesi superfisial, biopsi jaringan, dan eksudat, namun
pengambilan bahan yang paling mudah dari paru adalah dari dahak yang
dibatukkan oleh penderita. Dahak yang dikeluarkan melalui rongga mulut
kemungkinan besar akan terkontaminasi oleh jamur kandida yang merupakan
flora normal pada rongga mulut. Sehingga biakan jamur candida dari sputum
tidak bernilai. (Mitchell , 2007) Untuk mengurangi kontaminasi terhadap bakteri
dan jamur flora normal rongga mulut, maka perlu melakukan kumur-kumur
dengan antiseptik atau dengan menyikat gigi terlebih dahulu sebelum
pengambilan spesimen. (Kumala, 2006)
Berbeda dengan infeksi lainnya, terdapat keterbatasan alat diagnostik
konvensional dengan sensitivity dan reliaibility yang rendah yang tersedia untuk
mendeteksi secara cepat dari invasive aspergillosis. Banyak penelitian yang telah
dilaporkan untuk mendeteksi asam nukleat Aspergillus dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR) untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik
yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008)
Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009)
PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity 67 – 100% dan
specificity 55 – 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan pada sampel
serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 – 92%. (Zmeili dan Soubani,
2007, Raad et al, 2002) Penggunaan PCR untuk mendeteksi asam nukleat jamur
sensitif dari metode kultur pada berbagai specimen. (Bansod et al., 2008) Deteksi
A. fumigatus dengan menggunakan PCR dari hasil kultur murni lebih cepat
dengan waktu kurang dari satu hari, dibandingkan dengan analisa kultur yang
memakan waktu berhari-hari. (Perez et al., 2001) Selain itu, diagnosa melalui
kultur, PAS stain, pewarnaan Immunohistokimia sulit dilakukan, dan kultur
Aspergillus spp. tidak membuktikan adanya suatu infeksi. (Hanazawa et al, 2000)
Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus.
(Stevens et al., 2000)
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis melakukan penelitian terhadap
sputum dari penderita batuk kronis mengenai kemungkinan terjadinya
Aspergillosis yang disebabkan oleh jamur Aspergillus fumigatus denngan
menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Kultur.
1.2Identifikasi Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat Aspergillus fumigatus pada
sputum penderita batuk kronis yang di deteksi dengan PCR dan Kultur?
1.3Tujuan Penelitian Tujuan umum :
Untuk menganalisa adanya Aspergillus fumigatus dengan menggunakan
Polymerase Chain Reaction (PCR) dan kultur pada sputum penderita batuk
1.4Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi ilmiah kepada para klinisi umum dan klinisi ilmu
penyakit paru mengenai kemungkinan penderita batuk kronis mengalami
infeksi jamur paru.
2. Dapat di aplikasikan dan menjadi pilihan metode dalam mendeteksi infeksi
jamur dengan cepat dan tepat bila fasilitas mendukung.
3. Memberikan motivasi untuk peneliti lain untuk meneliti mengenai infeksi
jamur di Indonesia mengingat kawasan Indonesia merupakan daerah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikosis Paru
Infeksi jamur biasanya disebut dengan mikosis. Sebagian besar jamur
pathogen bersifat eksogen dan habitat alaminya adalah air, tanah, dan debris
organic. Mikosis yang mempunyai insiden paling tinggi adalah kandidiasis dan
dermatofitosis disebabkan oleh jamur yang merupakan anggota flora mikroba
normal atau yang dapat bertahan hidup pada pejamu manusia. (Mitchell, 2007)
Mikosis pada system pernapasan dapat terjadi pada saluran napas atas dan
saluran napas bawah. Sinusitis jamur merupakan mikosis sistemik pada saluran
napas atas yang paling banyak dilaporkan, sedangkan pada saluran napas bawah
adalah mikosis paru. Di Indonesia, angka kejadian jamur pada saluran napas
belum diketahui. Mikosis paru ditemukan endemis di daerah tertentu seperti
Amerika, Afrika, Meksiko, Canada, dan Australia. Di Indonesia kasus mikosis
paru yang telah dilaporkan ialah aspergillosis, kriptokokosis, kandidiasis dan juga
histoplasmosis. Di RS. Persahabatan Jakarta, mikosis paru paling banyak
ditemukan pada penderita dengan TB paru dan bekas TB paru. (Konsesus
2.1.1 Mikosis oportunistik
Pasien dengan gangguan pertahanan pejamu, rentan terhadap jamur yang
terdapat di mana-mana, tetapi orang sehat yang terpajan biasanya resisten. Pada
banyak kasus, tipe jamur dan perjalanan penyakit infeksi mikotik ditentukan oleh
keadaan predisposisi pejamu. Sebagai anggota flora mikroba normal, kandida dan
ragi serumpun merupakan oportunis endogen. Mikosis oportunistik lain
disebabkan oleh jamur eksogen yang secara global terdapat di tanah, air dan
udara. (Mitchell, 2007)
Sebagian besar pasien yang mengalami infeksi oportunistik menderita
penyakit penyebab yang serius dan mempunyai daya tahan tubuh yang terganggu.
Akan tetapi, mikosis sistemik primer juga dapat terjadi pada pasien tersebut, dan
infeksi oportunistik juga dapat diderita oleh individu imunokompeten. Selama
infeksi, kebanyakan pasien menghasilkan respon imun humoral dan selular yang
signifikan terhadap antigen jamur. (Mitchell, 2007)
Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi oportunistik adalah: (Mitchell,
2007)
a.Candida albicans dan candida sp lain (Kandidiasis sistemik)
b. Cryptococcus neoformans (Kriptokokosis)
c. Aspergillus fumigatus dan aspergilus sp lain (Aspergilosis)
d. Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, dan Zygomacetes sp lain
(Mukormikosis / zigomikosis)
2.1.2 Patogenesis
Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan
aneka ragam reaksi peradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia
epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik
dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasi. Hampir dapat
dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik di paru atau pada jaringan
manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran granuloma yang secara
patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC ataupun
sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa diagnosa patologik ditegakkan
dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun ini masih
mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti Histoplasma
Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces dan
Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang
secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan
demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan pemeriksaan serologik.
(Sukamto, 2004)
lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur
oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini
terdapat dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan pemakaian
obat antibiotik secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup lama,
kortikosteroid, disamping munculnya faktor predisposisi seperti penyakit kronis
dan penyakit keganasan. Timbulnya infeksi sekunder pada jamur paru disebabkan
terdapatnya kelainan paru seperti kavitas tuberkulosa, bronkiektasis, krasinoma
Jamur Candida albicans merupakan flora normal dalam rongga mulut,
saluran cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi penderita
dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang lama. Koloni akan
meningkat pada penderita dengan mendapat pengobatan antibiotika secara luas
yang menekan flora normal dan penyakit yang menimbulkan perubahan anatomi
maupun perubahan imunologi. Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan
adalah imun dan non Imun. (Ellis, 1994)
Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon
imun humoral dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan
yang lebih penting. Bukti-bukti ini didapat dari pengalaman pada kandidiasis
mukokutaneus kronik dan infeksi HIV, adanya defek imunitas seluler tersebut
menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas
humoral normal. Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan
flora-flora mikrobial lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif
terhadap pertumbuhan patogen jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat
merupakan anti fungal alamiah. (Sukamto, 2004)
Pada penderita Tb Paru dengan defek anatomi paru disertai pemberian
obat anti tuberkulosa dalam waktu lama yang akan menekan flora normal
sehingga pertumbuhan jamur oportunistik tidak terhambat. Penyakit
granulomatous kronik juga merupakan predisposisi terhadap aspergilosis invasif
paru. Terinhalasi spora jamur aspergilus dalam jumlah banyak dapat
menimbulkan pneumonitis akut, difus dan dapat sembuh dengan sendirinya.
Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas paru
dengan latar belakang penyakit TB Paru. Bola jamur bisa terdapat pada rongga
kista atau kavitas yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada lobus atas
paru dengan diameter beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada foto dada.
Pada orang normal, spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa
saluran napas. Pada penderita dengan kormobid atau fakor predisposisi, spora
yang terinhalasi mengalami kolonisasi dan akan menginvasi mukosa serta
berkembang, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan
manifestasi klinis. Selanjutnya jamur dapat masuk ke dalam peredaran darah dan
akan menyebar secara hematogen ke organ lain sehingga menimbulkan kelainan
di organ tersebut, dan secara limfogen ke kelenjar hilus dan mediastinum.
(Konsesus FKUI-PMKI, 2001)
2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru
Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh karena sebagian
besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan seringkali seperti gejala flu biasa
atau infeksi paru oleh sebab lain. Gejala jamur sistemik tidak khas atau tidak
spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain juga susah untuk membedakan antara
infeksi bakteri dan infeksi jamur sehingga menambah kesulitan untuk mengenali
infeksi jamur sistemik. Kesadaran akan kemungkinan penyakit jamur, terutama
bila terdapat faktor presdiposisi, ditindak lanjuti dengan pemeriksaan bahan klinik
yang tepat akan membawa diagnosa yang pasti. Kendala lain ialah meskipun
banyak terdapat laboratorium klinik, jarang yang melakukan pemeriksaan untuk
pemeriksaan terdidik atau peralatan antigen tidak terdapat di laboratorium
tersebut. (Jeffery dan Edman, 1996)
Permasalahan lain dalam mendiagnosa infeksi oleh jamur paru yaitu kita
harus dapat menentukan apakah jamur hanya bersifat koloni atau telah terjadi
infeksi/patogen. Hal ini perlu dapat dipastikan oleh karena pengobatan dengan
anti jamur dapat menimbulkan efek toksis, sehingga sedapat mungkin dibuat
sediaan biopsi jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan
hifa. (Ellis, 1994)
Menurut Jan Susilo diagnosa infeksi jamur dapat tercapai bila
kemungkinan infeksi jamur difikirkan, pengambilan bahan klinik tepat, cara
pengiriman bahan klinik tepat, bahan klinik sampai dilaboratorium dalam keadaan
baik dan perlakuan bahan klinik tersebut dilaboratorium dilakukan dengan baik
dan tepat. (Susilo, 1995)
Pada pasien dengan immunokompromise sangat penting untuk dapat
menegakkan diagnostik sistemik fungal infeksi secara dini. Keberhasilan
diagnosis dan terapi dari infeksi jamur pada pasien-pasien dengan keadaan umum
yang lemah sangat tergantung pada kerjasama dari team work antara lain ahli
mikrobiologi, onkologis, histopatologis, ahli penyakit infeksi dan staff
laboratorium.
Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya fungi
penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun melalui biakan.
Disamping itu dapat pula dilakukan uji serologi, uji fiksasi komplemen, uji hewan
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik jamur paru dapat pula
dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Dahak dikeluarkan oleh penderita
setelah sebelumnya berkumur-kumur dengan air bersih berkali-kali untuk
menyingkirkan kontaminan Candida, Actinomyces israeli yang hidup komensal
dimulut dan rongga pipi. Tanpa pengawet dahak dikirim secepatnya untuk
pemeriksaan .Dengan pemeriksaan langsung dibawah mikroskop biasanya dapat
dikenali dan nampak spora,hipa dan blastospore. Pengenalan akan lebih mudah
dan jelas bila dilakukan penetesan sediaan dengan KOH 20%, ataupun dibuat
sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa. (Susilo, 1995)
Seperti telah dikemukakan infeksi jamur pada paru tidak memberikan
gejala/gambaran klinis dan radiologik yang khas. Untuk menegakkan diagnosa
klinis jamur paru dalam anamnesa perlu ditanyakan mengenai hal-hal yang ada
kaitannya dengan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur pada paru seperti
adakah riwayat menderita DM, riwayat penyakit paru kronis, riwayat pemakaian
obat-obat antibiotika, steroid atau radiomimetik (antineoplastik) jangka panjang.
Juga ditanyakan mengenai hobi pasien, apakah hobi memelihara unggas, hobi
bertualang memasuki gua-gua. (Jeffrey dan Edman, 1996)
Pada pemeriksaan jasmani juga tidak dijumpai gambaran yang khas,
pasien bisa anemis, demam, pembesaran kelenjar limfe, hepatosplenomegali,
ulkus dimulut, laring dan sebagainya. Pada pemeriksaan foto dada yang perlu
diperhatikan ialah adanya fungus ball yang bisa dijumpai pada aspergilosis paru,
sedangkan pada kriptokokosis bisa dijumpai bayangan seperti tumor. Bayangan
infiltrat, efusi pleura dan kalsifikasi bisa saja dijumpai pada berbagai infeksi
Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau cucian bronkus dari
pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi disamping untuk melihat
langsung keadaan saluran nafas juga dapat dilakukan pengambilan spesimen
secara biopsi atau bilasan bronkus.
Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui: (Sukamto, 2004)
1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru.
2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap penyakit paru:
a. Foto toraks PA dan lateral, CT Scan toraks.
b. Sputum: mikroskopis jamur dan kultur.
c. Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus, transbronkial lung
biopsi.
d. Aspirasi paru dengan jarum.
3. Pemeriksaan laboratorium darah
a. Kultur darah.
b. Pemeriksaan serologi.
2.1.4 Tehnik pengambilan bahan untuk pemeriksaan jamur. A. Pemeriksaan Sputum
Sputum merupakan bahan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan
mikrobiologik karena cara pengambilan yang mudah dan non invasif. Namun
sayang sekali beberapa penelitian membuktikan sputum kurang mencerminkan
jenis kuman yang sesungguhnya terdapat disaluran napas bagian bawah.
Terkontaminasi terhadap jamur kandida yang merupakan flora normal dimulut
Sputum pagi merupakan yang terbaik untuk melakukan kultur maupun
pemeriksaan mikroskopi. Pengumpulan sputum selama 24 jam tidak
diperbolehkan untuk dilakukan pemeriksaan. Kuantitas sputum yang adekuat
bila jumlah volume berkisar antara 5 – 10 ml. Kualitas sputum yang baik bila
tidak tercampur dengan saliva. Jamur dalam sputum dapat bertahan hidup
dalam waktu 2 minggu bila disimpan pada suhu 4⁰C. (Kumala W, 2006)
B. Aspirasi transtrakeal.
Merupakan tehnik yang invasif dalam usaha mendapatkan bahan pemeriksaan
penyebab infeksi saluran napas bawah yang bebas kontaminasi flora kuman
yang hidup di orofaring. Meskipun cara ini lebih handal dari pemeriksaan
sputum, namun kontaminasi masih mungkin terjadi
C. Aspirasi transtorakal dengan jarum.
Aspirat diambil langsung dari lesi menggunakan jarum. Lokasi dari lesi
ditentukan melalui foto dada, insersi jarum dengan tuntunan CT dan
fluoroskopi dibutuhkan untuk lesi yang kecil. Sensitifitas dan spesifitas cukup
tinggi, namun mempunyai resiko komplikasi pneumotoraks dan batuk darah
D. Biopsi paru terbuka.
Dengan cara ini dapat diperoleh bahan pemeriksaan lebih banyak sehingga
negatif palsu kemungkinannya lebih kecil, namun dapat menimbulkan resiko
yang tidak ringan berupa pneumotoraks dan perdarahan.
E. Bilasan bronkus
Cara ini sudah digunakan sejak lebih 40 tahun yang lalu, dengan melakukan
aspirasi sekret bronkus didaerah lesi melalui bronkoskopi. Dengan cara ini
namun cara ini belum mampu menghindari kontaminasi kuman dari orofaring.
F. Sikatan bronkus.
Bilasan bronkoalveolar terbukti sangat bermanfaat dalam mendiagnosa paru
oportunistik pada pasien-pasien imunocompromised host.
Tehnik ini merupakan pengembangan dari cara bilasan bronkus yang
tujuannya untuk menghindari semaksimal mungkin kontaminasi kuman
daerah orofaring terhadap bahan aspirat. Jenis sikatan bronkus yang terunggul
dalam arti kata mampu mendapatkan bahan aspirat yang bebas sama sekali
darii kontaminasi kuman orofaring adalah sikatan bronkus dengan karakter
ganda terlindung polietilen glikol.
2.2 Aspergillosis
Aspergillosis merupakan infeksi yang disebabkan moulds saprofit dari
genus aspergilus. Aspergilus Sp. Adalah saprofit yang terdapat di tanah, air dan
tumbuhan yang mengalami pembusukan dan aspergilosis terdapat diseluruh dunia.
Lebih dari 200 spesies Aspergilus telah di identifikasi dan A. fumigatus adalah
pathogen manusia tersering dimana > 90% menyebabkan invasif dan non-invasif
aspergilosis. Namun, spesies lainnya termasuk A.flavus, A. niger, dan A. terreus,
juga dapat menyebabkan penyakit. Kapang ini menghasilkan banyak konidia kecil
yang mudah di aerosol. Setelah menghirup konidia tersebut, orang yang atopik
sering mengalami reaksi alergi hebat terhadadap antigen konidia. Pada pasien
imunokompromais terutama penderita leukemia, transplantasi sumsum tulang, dan
menghasilkan hifa yang dapat menginvasi paru dan jaringan lain. (Dumasari,
2008, Mitchell 2007)
2.2.1 Morfologi dan identifikasi
Aspergillus adalah jamur yang distribusinya tersebar luas di atmosfir dan
memegang peranan dalam mendaur ulang karbon dan nitrogen. Jamur ini
memiliki siklus biologikal yang sederhana dengan karakteristik sporulasi yang
tinggi, yaitu dapat menghasilkan konidia dengan konsentrasi yang tinggi (1 – 100
konidia / m3
Aspergilus Sp. Tumbuh secara cepat, menghasilkan hifa aerial dengan ciri
struktur konidia yang khas: konidiofora panjang dengan vesikel terminal yang
fialidnya menghasilkan rantai konidia yang bertumbuh secara basipetal. Spesies
diidentifikasi berdasarkan perbedaan morfologi struktur, termasuk ukuran, bentuk,
tekstur, dan warna konidia. (Mitchell, 2007)
) di udara. Diameter konidia Aspergillus cukup kecil (2-3µm) untuk
mencapai alveoli paru. (Chamilos dan Kontoyiannis, 2008)
Terdapat 19 spesies aspergillus yang dapat menyebabkan penyakit, yaitu
Aspergillus fumigatus, Aspergillus flavus, Aspergillus amstelodami, Aspergillus
avenaceus, Aspergillus candidus, Aspergillus carneus, Aspergillus caesiellus,
Aspergillus clavatus, Aspergillus glaucus, Aspergillus granulosus, Aspergillus
nidulans, Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, Aspergillus quadrilineatus,
Aspergillus restrictus, Aspergillus sydowi, Aspergillus terreus, Aspergillus ustus,
and Aspergillus versicolor. Yang paling sering menyebabkan penyakit adalah
Gambar 2.1 Gambaran mikroskopis Aspergillus fumigatus. (Tomas et al, 2001)
2.2.2 Pathogenesis
Kecil kemungkinan untuk menderita penyakit invasif kecuali jika jumlah
fagosit pada tubuh berkurang. Pada paru, makrofag alveolar mampu menelan dan
menghancurkan konidia. Makrofag dapat memfagosit dan menghancurkan conidia
aspergilus sedangkan polymorphonuclear (PMN) leukosit dan monosit (MNC)
dapat merusak hypha aspergillus melalui mekanisme oxidative dan non-oxidatif.
Makrofag dan neutrofil merupakan pertahanan tetap pada paru dalam melawan
spesies Aspergillus. Keratin dan barrier epidermal kulit bertindak sebagai
tambahan pertahanan pertama secara mekanik. Konidia spesies Aspergillus yang
lebih kecil, 3-5 µm lebih mudah mencapai alveolar, dimana tidak terdapat
pertahanan mekanis. (Chander, 2002)
Makrofag dari hewan yang diobati kortikosteroid atau pasien
imunokompromais mengalami penurunan kemampuan untuk mengandung
yang cenderung menginvasi kavitas yang sudah ada (aspergiloma atau bola fungi)
atau pembuluh darah. (Dumasari, 2008, Mitchell,2007)
Faktor resiko terjadinya infeksi aspergillosis termasuk hingga menjadi
invasiv aspergillosis antara lain adalah keganasan hematologi, penggunaan
steroid, agranulocytosis (intensitas dan durasi), penyakit CMV, penyakit paru
(termasuk PPOK, penyakit paru interstitial, dan riwayat operasi thoraks) dan
tergantung status imun selama pengobatan dengan corticosteroid, alkoholisme,
penyakit vascular kolagen atau Chronic granulomatous disease, dan penyakit
yang menimbulkan kavitas. Pasien yang mengalami BMT atau transplantasi
organ, neutropenia setelah kemoterapi pada keganasan hematologi atau limfoma,
pasien dengan HIV stadium terakhir. Resiko timbulnya invasif aspergillosis juga
berhubungan dengan derajat terpapar spora aspergillus. (Garbino, 2004)
2.2.3 Mikotoksin
Aspergillus fumigatus menghasilkan metabolit sekunder yang disebut
dengan mikotoksin. Metabolit sekunder yang paling sering ditemukan antara lain
adalah Fumagillin, fumitoxin, fumigaclavines, fumigatin, fumitremorgins,
gliotoxin, monotrypacidin, tryptoquivaline, helvolic acid, dan dua metabolit
chromophore families uncharacterized chemically (FUA dan FUB). (Latge, 1999)
Spesies Aspergillus pada umumnya memproduksi toksin / mikotoksin yang dapat
berperan pada manifestasi klinis. (Dumasari, 2008) Mikotoksin yang dihasilkan
dapat menimbulkan berbagai gejala dan tanda, tergantung pada organ yang
kematian akut, immunosupressi, lesi kulit dan tanda-tanda hepatotoxic,
nephrotoxic, neurotoxic, atau genotoxic. (Soyler, 2004)
Gliotoxins merupakan mikotoksin yang paling sering dipelajari karena
senyawa ini secara akut bersifat toxic. (Latge, 1999) Gliotoxin dapat menurunkan
fungsi makrofag dan neutrophil. (Dumasari, 2008) Gliotoxins memiliki aktivitas
biologi sebagai antibakteri dan antivirus. Gliotoxins juga merangsang apoptosis
sel mati pada beberapa jenis sel dan toxin ini diduga memiliki peranan penting
terhadap pathogenesis terjadinya invasif aspergillosis. (Soyler, 2004) Selain itu
toxin ini juga dapat menghambat aktivasi sel B dan sel T dan menghambat
generasi sel cytotoxic.(Latge, 1999) Produksi catalase, superoxide dismutase dan
mannitol oleh Aspergillus dapat melindungi jamur tersebut dari kerusakan
oxidative yang di induksi oleh sel fagositik. Selain itu, pigmen melanin dan
membran protein kakunya terdiri dari vesikel rodlet di permukaan konidia
Aspergillus yang juga dapat membuat pertahanan diri dari fagositosis. (Chamilos,
2008)
2.2.4 Gambaran klinis
Sejak diketahui bahwa inhalasi merupakan cara masuknya spora aspergilus
ke dalam saluran pernafasan manusia, maka istilah aspergilosis sescara umum
meliputi kelompok penyakit yang gambaran klinisnya melibatkan paru-paru.
1. Non-invasif aspergilosis
a. Bentuk alergi (allergic bronchopulmonary aspergillosis / ABPA)
Pada beberapa individu yang atopic, pembentukan antibody IgE terhadap
pajanan berikutnya. Pada individu lain, konidia bergerminasi dan hifa
mengolonisasi pohon bronkus tanpa menginvasi parenkim paru. Fenomena
tersebut merupakan cirri khas aspergilosis bronkopulmonal alergi, yang secara
klinis ditandai dengan asma, infiltrate dada rekuren, eosinifilia, dan
hipersensitivitas uji kulit tipe I (cepat) dan tipe III (Arthus) terhadap antigen
aspergillus. Banyak pasien menghasilkan sputum akibat aspergilus dan presipitin
serum. Mereka mengalami kesulitan bernapas dan timbul parut yang permanen di
paru. Pejamu normal yang terpajan konidia dalam jumlah yang sangat banyak
dapat mengalami alveolitis alergi ekstrinsik. (Mitchell, 2007)
Allergic bronchopulmonary aspergillosis dilaporkan dijumpai pada asma
yang tergantung dengan steroid sekitar 14% dan pada pasien dengan kolonisasi
aspergilus seperti cystic fibrosis dijumpai sebanyak 7%. Gambaran klinis yang
sering dijumpai yaitu demam, asma dengan perbaikan klinis yang lambat, batuk
yang produktif, malaise dan berat badan menurun. (Dumasari, 2008) Kriteria
minimal untuk menegakkan diagnosa ABPA adalah 1) asthma; 2) immediate
cutaneous reactivity terhadap A. fumigatus; 3) total serum immunoglobulin (Ig)E
1,000 ng/ml; 4) peningkatan specific IgE-Af/IgG-Af; dan 5) central bronchiectasis
tanpa disertai distal bronchiectasis. (Shah, 2010) Selain itu criteria lainnya adalah
dijumpai adanya A. fumigatus pada biakan sputum, batuk dengan dahak berwarna
coklat atau flek, dan reaksi arthus terhadap antigen Aspergillus. (Chamilos, 2008)
b. Aspergiloma dan kolonisasi ekstrapulmonal
Aspergiloma (fungus ball) adalah berupa massa yang padat tidak
berbentuk dari mycelium jamur. Aspergiloma terjadi ketika konidia yang terhirup
banyak hifa dalam ruang paru abnormal. Pasien yang menderita penyakit kavitas
sebelumnya (misal tuberculosis, sarkoidosis, emfisema) berisiko terkena penyakit
ini. Fungus ball sering dijumpai pada lokasi bagian atas lobus paru. Terjadinya
lisis yang spontan pernah dilaporkan sekitar 10% dari kasus. (Dumasari, 2008,
Mitchell, 2007, Thompson dan Patterson, 2008)
Beberapa pasien asimtomatik, yang lain mengalami batuk, dispnea,
penurunan berat badan, lelah, dan hemoptisis. Haemoptisis merupakan gejala
klinis yang sering dijumpai sekitar 50 – 80% dari kasus dan jarang bersifat fatal.
Kasus aspergiloma jarang bersifat invasive. Infeksi local noninvasive (kolonisasi)
oleh spesies aspergilus dapat mengenai sinus nasalis, saluran telinga, kornea, atau
kuku. (Mitchell, 2007, Thompson, 2008)
Gambar 2.2 Gambaran Aspergilloma pada paru (A.D.A.M, 2010)
2. Aspergilosis invasive
Setelah terhirup dan terjadi germinasi konidia, penyakit invasif
berkembang menjadi proses pneumonia akut dengan atau tanpa penyebaran.
limfositik dan limfoma, penerima transplantasi sumsum tulang, dan terutama
mereka yang minum kortikosteroid. Gejala antara lain demam, batuk, dispnea, dan
hemoptisis. Hifa menginvasi lumen dan dinding pembuluh darah, menyebabkan
thrombosis, infark, dan nekrosis. Dari paru penyakit ini dapat menyebar ke
saluran cerna, ginjal, hati, otak dan organ lain, menimbulkan abses dan lesi
nekrotik. Tanpa pengobatan yang cepat, prognosis untuk pasien yang menderita
aspergilosis invasive sangat buruk. Individu dengan penyakit dasar yang tidak
terlalu mengganggu dapat mengalami aspergilosis pulmonal nekrotikans kronik,
yang merupkan penyakit yang lebih ringan. (Mitchell, 2007)
Faktor resiko terjadinya Aspergillosis paru invasive adalah pada pasien
immunocompromised yang disebabkan terutama oleh keadaan neutropenia,
haematopoietic stem-cell dan transplantasi organ padat, penggunaan obat
kortikosteroid yang lama dan dengan dosis tinggi, keganasan haematologi, terapi
cytotoxic, AIDS, dan chronic granulomatous disease (CGD).(Zmeili dan Soubani,
2007)
3. Semi-Invasive/Chronic Necrotising Aspergillosis (CNA)
Spektrum penyakit ini diantara kolonisasi saprofit pada aspergilloma dan
invasive aspergillosis. (Panda, 2004) Penyakit ini merupakan indolent, kavitas,
dan merupakan sekunder infeksi parenkim paru terhadap invasi local jamur
aspergillus. Berbeda dengan IPA, CNA memiliki progresivitas yang lambat lebih
dari beberapa minggu hingga bulan dan invasi vascular atau disseminasi organ
lain tidak terjadi. Sindroma penyakit ini jarang terjadi. (Zmeili dan Soubani,
Gambar 2.3 Spektrum klinis yang dihasilkan akibat terhirupnya spora aspergillus. ICH, immunocompromised host; IPA, invasive pulmonary aspergillosis; ABPA, allergic bronchopulmonary aspergillosis. (Zmeili dan Soubani, 2007)
2.2.5 Uji diagnostic laboratorium
a. Spesimen
Sputum, spesimen saluran pernapasan lain, dan biopsy jaringan paru
merupakan specimen yang baik. Sampel darah jarang positif. (Mitchell, 2007)
kontaminasi material dapat terjadi pada semua level, sehingga kontaminasi harus
dihindari sebisa mungkin. Kontaminasi oleh konidia yang berada di udara dapat
terjadi pada sampel. Resiko ini rendah pada sampel darah, meningkat pada sampel
saluran pernafasan, sputum, dan sekresi endotracheal, begitu juga dengan sampel
yang berasal dari BAL, namun resikonya lebih rendah. (Bolehovska et al, 2006)
b. Pemeriksaan Mikroskopik
Bahan yang dapat digunakan yaitu sputum, bilasan bronchial, aspirasi
disseminated. Sebelum pemeriksaan sputum, bronchial washing dan aspirasi
tracheal dilakukan, specimen tersebut diberi KOH 10% dan tinta parker kemudian
selanjutnya diberi pewarnaan gram, sedangkan specimen yang berasal dari biopsy
jaringan diberi pewarnaan khusus untuk jamur yaitu Gomori methenamine silver
atau Periodic acid-Schiff. (Dumasari, 2008) Dari Hasil pemeriksaan dijumpai
adanya cabang dichotomous and hypa bersepta yang mempunyai lebar yang sama
(sekitar 4 µm). (Mitchell, 2007)
c. Biakan
Aspergilus Sp. Tumbuh dalam beberapa hari pada sebagian besar medium
pada suhu ruangan. Spesies diidentifikasi berdasarkan morfologi struktur konidia.
(Mitchell, 2007)
d. Pemeriksaan Kultur
Specimen kultur berasal dari sputum, bilasan bronchial dan aspirasi
tracheal di inokulasi pada agar Sabouroud dextrose dengan antibiotic dan tanpa
cycloheximide pada temperature 25⁰C dan 37⁰C. Subkultur isolate dapat
dilakukan pada agar czapk Dox dan agar 2% ekstrak malt dengan inkubasi pada
25⁰C. agar Potato dextrose sangat berguna untuk menginduksi sporulasi sehingga
identifikassi isolate menjadi lebih mudah.(Chander, 2002)
Pertumbuhan koloni cepat dan dapat berwarna putih, kuning, kuning
kecoklatan, coklat kehitaman atau hijau. Hasil yang positif dari pemeriksaan
kultur tersebut hanya dijumpai 10% - 30%. Hal ini dapat dijumpainya kontaminan
lain pada kultur sehingga menimbulkan kesulitan melakukan isolasi dan akibatnya
organism yang di isolasi jumlahnya relatif sedikit. Kesulitan yang lain yaitu
pemeriksaan kultur darah biasanya negatif tetapi apabila hasilnya positif dapat
membantu untuk menegakkan diagnosis.(Dumasari, 2008)
e. Tes Kulit
Tes kulit dengan menggunakan antigen aspergillus hanya berhasil untuk
mendiagnosis allergic aspergillosis. Penderita dengan asma tanpa komplikasi yang
disebabkan aspergillus menimbulkan reaksi immediate tipe I. Pada pasien allergic
bronchopulmonary aspergillosis menimbulkan reaksi immediate tipe I dan juga
70% memberikan reaksi delayed tipe III.(Dumasari, 2008)
f. Serologi
Pemeriksaan antibody Aspergillus sering membantu untuk mendiagnosis
bentuk lain dari aspergillosis yang dijumpai pada penderita non-compromise.
Pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan yaitu immunodiffusion (ID), indirect
haemagglutination dan enzyme-linked immunosorbeny assay (ELISA).
Pemeriksaan immunodiffusioan mudah dilaksanakan dan pengendapaan dapat
dideteksi lebih dari 70% penderita dengan allergic bronchopulmonary
aspergillosis dan lebih dari 90% pada penderita pulmonary aspergilloma atau
kronik necrotizing pulmonary aspergillosis. Pemeriksaan immunodiffusion juga
berguna untuk mendeteksi infeksi Aspergillus bentuk invasive.
Pemeriksaan untuk mendeteksi antigen Aspergillus di dalam darah dan
cairan tubuh yang lain dapat lebih cepat untuk mendiagnosis aspergillosis pada
penderita immunocompromise. Pada pasien invasive aspergillosis, ditemukan titer
yang tinggi dari antigen galactomannan (galactomannan merupakan komponen
utama dari dinding sel Aspergillus). Ada dua jenis pemeriksaan untuk mendeteksi
ini kurang sensitive dan Sandwich ELISA (Enzyme-linked immunosorbent Assay)
dimana sensitivitinya 90-93% dan spesivitinya 94-98%. (Dumasari, 2008)
Uji ID untuk presipitin terhadap A. fumigates positif pada lebih dari 80%
penderita aspergiloma atau aspergilosis bentuk alergi, tetapi uji antibody tidak
membantu dalam diagnosis aspergilosis invasive. Namun, uji serologi untuk
galaktomanan dinding sel yang bersirkulasi bersifat diagnostic. (Mitchell, 2007)
g. Diagnostik Molekuler
Metode pemeriksaan PCR telah mengalami perkembangan, digunakan
untuk mendeteksi DNA Aspergillus di dalam darah, serum dan cairan
bronchoalveolar lavage. Metode pemeriksaan Nucleic acid sequence-based
amplification assay (NASBA) juga telah mengalami perkembangan, digunakan
untuk mendeteksi dan mengidentifikasi genus Aspergillus dengan RNA sequences
yang spesifik dari specimen darah. (Dumasari, 2008)
Penelitian mengenai deteksi asam nukleat Aspergillus dengan PCR telah
banyak dilaporkan untuk memperbaiki diagnosis dari invasive aspergillosis, baik
yang berasal dari cairan BAL, serum darah, dan sputum. (Bansod et al., 2008)
Penggunaan PCR menjadi standard dan valid dalam pemeriksaan laboratorium
untuk menegakkan diagnosa invasive aspergillosis secara cepat. (WHO, 2009)
Metode PCR terbukti lebih sensitiv daripada deteksi antigen jamur Aspergillus.
(Stevens et al., 2000) PCR dengan menggunakan cairan BAL memiliki sensitivity
67 – 100% dan specificity 55 – 95% untuk invasiv pulmonary Aspergillosis. Dan
pada sampel serum memiliki sensitivity 100% dan specificity 65 – 92%. (Zmeili
dan Soubani, 2007, Raad et al, 2002) DNA target yang biasa digunakan adalah
2.2.6 Pengobatan
Aspergiloma diobati dengan itrakonazol atau amfoterisin B dan
pembedahan. Aspergilosis invasive memerlukan pemberian cepat formula alami
atau lipid amfoterisin B atau voriconazol, sering ditambahkan imunoterapi sitokin.
Penyakit paru nekrotikan kronik yang lebih ringan dapat diobati dengan
vorikonazol atau itrakonazol. (Mitchell, 2007) Aspergilosis bentuk alergi diobati
dengan kortikosteroid dan itraconazole. (Garbino, 2004)
Prognosis pasien dengan invasive aspergillosis mengalami perbaikan
dengan penggunaan klinis terapi anti jamur golongan azole, terutama
voriconazole. Meskipun demikian, pertahanan hidup pasien dapat terancam
dengan adanya keadaan resistensi aspergillus terhadap golongan azole. Resistensi
ini biasanya disebabkan oleh point mutasi pada gen cyp51A, yang merupakan
target terapi golongan azole. (Jan et al, 2010)
Tabel 2.1 Spektrum Aspergillosis pada saluran pernapasan bawah (Thompson dan
2.2.7 Epidemiologi dan Pengendalian
Jamur Aspergillus tersebar diseluruh dunia. Konidianya dapat hidup di
tanah dan di udara. Di dalam lingungan rumah sakit jamur Aspergillusspp. dapat
ditemukan di udara, penampungan air, tanaman di pot. Sehingga spora jamur ini
selalu dapat terhirup oleh manusia. Terjadinya infeksi aspergillus pada manusia
lebih berperan pada factor daya imunitas penderita dibandingkan virulensi
jamurnya sendiri. Saluran napas atas merupakan organ yang paling sering terkena
infeksi jamur Aspergillus. (Kumala, 2006) Pada dekade terakhir, insidens infeksi
jamur meningkat. Aspergillosis invasive merupakan infeksi jamur kedua yang
paling sering pada pasien kanker, setelah kadidiasis. (Garbino, 2004)
Untuk individu yang beresiko menderita penyakit alergi atau aspergilosis
invasive, usaha yang harus dilakukan adalah menghindari pajanan terhadap
konidia spesies aspergilus. Kebanyakan unit transplantasi sumsum tulang
menggunakan system pendingin berfilter, mengawasi kontaminan melalui udara
pada ruangan pasien, mengurangi kunjungan, dan beberapa tindakan lain untuk
mengisolasi pasien dan meminimalkan resiko pasien terpajan konidia aspergilus
dan kapang lain. Beberapa pasien yang beresiko untuk aspergilosis invasive
diberikan profilaksis amfoterisin B atau itrakonazol dalam dosis rendah.
(Mitchell, 2007)
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR ditemukan oleh Kary Mullis pada tahun 1985, merupakan suatu
prosedur yang efektif untuk pelipatgandaan (amplifikasi) DNA. Proses ini
lebih dari sejuta kali DNA asli. Hasil pelipatgandaan segmen DNA ini
menyebabkan segmen DNA yang dilipatgandakan tersebut mudah dideteksi
karena konsentrasinya tinggi. Pendeteksian dilakukan dengan metode
pemisahan molekul berdasarkan bobot molekulnya, yang disebut elektroforesis
menggunakan gel agarosa (Sudjadi, 2008).
Proses pelipatgandaan DNA oleh PCR ini meliputi tiga tahapan proses
utama, yaitu:
Proses pertama melepaskan rantai ganda DNA menjadi dua rantai tunggal DNA melalui proses denaturasi. Proses denaturasi DNA dilakukan dengan cara
menaikkan suhu sampai 95o
Proses kedua adalah annealing atau pemasangan 2 rantai primer pada kedua rantai DNA tersebut. Primer berfungsi sebagai pancingan awal dalam
pelipatgandaan segmen DNA. Primer terdiri dari 18 - 24 deret basa nukleotida
pengode DNA [adenin(A), guanin (G), sitosin (C), dan timin (T)] yang
disintesis secara artifisial dan biasanya dapat dipasangkan dengan DNA yang
akan dideteksi. Proses pemasangan primer dengan DNA yang akan dideteksi ini
membutuhkan suhu optimum sesuai kebutuhan primer tersebut. Biasanya
dengan cara menurunkan suhu antara 37
C. Sebelum proses denaturasi ini, biasanya diawali
dengan proses denaturasi inisial untuk memastikan rantai DNA telah terpisah
sempurna menjadi rantai tunggal.
oC-60o
Proses ketiga disebut ekstension atau perpanjangan. Pada proses ini deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), yang sebelumnya telah ditambahkan
dalam pereaksi, menyebabkan primer yang tadinya hanya 18 sampai 24 deret
dNTP dan kemudian menjadi sepanjang segmen DNA yang dilipatgandakan itu.
Proses ini dibantu oleh adanya enzim DNA polimerase dan enzim ini bekerja
optimum pada suhu 72o
Ketiga proses ini dilakukan berulang-ulang sampai jumlah kelipatan segmen
DNA sesuai dengan kebutuhan (Sopian, 2006; Sudjadi, 2008).
C. dNTP merupakan kumpulan 4 jenis basa nukleotida
(A,G,C, dan T) yang terikat pada 3 gugus fosfat dan masing-masing berdiri
bebas sampai enzim DNA polimerase mengkatalis pengikatannya pada primer.
Setelah siklus PCR berakhir, proses final extension dilakukan selama 5-15
menit pada suhu yang sama dengan proses ekstensi untuk menjamin semua
rantai tunggal DNA telah penuh terbentuk.
2.4 Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan molekul dalam suatu
campuran di bawah pengaruh medan listrik. Molekul yang terlarut dalam medan
listrik akan bergerak dengan kecepatan tertentu.
Elektroforesis melalui gel agarosa merupakan metode standar untuk
pemisahan, identifikasi dan pemurnian fragmen DNA. Agarosa disarikan dari
ganggang laut dengan dasar stuktur D-galaktosa dan 3,6-anhidroL –galaktosa.
Gel agarosa dibuat dengan melelehkan agarosa dalam bufer dengan pemanasan
dan kemudian dituangkan pada cetakan serta didiamkan sampai dingin. Setelah
mengeras, diberikan medan listrik pada kedua ujungnya, maka DNA yang
bermuatan negatif pada pH netral akan bergerak ke anoda. Molekul DNA yang
lebih besar akan bergerak lebih lambat karena terjadi gesekan lebih besar. Untuk
dahulu diwarnai dan kemudian dapat dilihat adanya pita molekul pada gel
agarosa jika diletakkan di atas cahaya ultraviolet. Pita molekul ini menandakan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian adalah deskriptif cross sectional. Penelitian
dilakukan dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) dan
kultur.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Terpadu Fakultas
Kedokteran USU Medan dan laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
UISU.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah penderita batuk kronis yang datang
berobat ke poliklinik paru Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.
3.3.2 Sampel Penelitian
Sampelnya adalah sputum dari penderita batuk kronis. Perkiraan besarnya
sampel penelitian berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus
(Sastroasmoro S, 1995) :
n = ZA2 d .P.(1-P)
2
Keterangan :
n = jumlah sampel
Z = tingkat kepercayaan (95% 1,96)
P = proporsi (80-90%)
d = ketepatan (0,1)
Hasil Perhitungan :
n =
(0,1) 1.96 x 0.9 (0.1)
2
= 34,57 minimal 35 orang
3.4 kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.4.1 Kriteria Inklusi
1. penderita batuk yang lebih dari tiga minggu
2. penderita batuk yang disertai dahak
3. penderita yang berusia 17 tahun ke atas
4. penderita batuk kronis yang telah mendapatkan pengobatan anti mikroba
maupun yang belum.
3.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Penderita yang telah terdiagnosa menderita penyakit jamur dengan
pemeriksaan kultur.
2. Penderita batuk kronis yang mendapatkan pengobatan anti jamur sistemik
3.5 Kerangka Konsep
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
3.6 Variabel Penelitian
Yang menjadi variabel pada penelitian ini adalah:
1. Aspergillus fumigatus
2. Sputum penderita batuk kronis
3. Polymerase Chain Reaction
4. Kultur
Batuk Kronis
Deteksi Aspergillus fumigatus
Kultur Serologis PCR
Spesimen
Tes Kulit Mikroskopik
(KOH)
Kultur Serologis PCR