• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.4 Manfaat Penelitian

2.1.1 Mikosis Oportunistik

Pasien dengan gangguan pertahanan pejamu, rentan terhadap jamur yang terdapat di mana-mana, tetapi orang sehat yang terpajan biasanya resisten. Pada banyak kasus, tipe jamur dan perjalanan penyakit infeksi mikotik ditentukan oleh keadaan predisposisi pejamu. Sebagai anggota flora mikroba normal, kandida dan ragi serumpun merupakan oportunis endogen. Mikosis oportunistik lain disebabkan oleh jamur eksogen yang secara global terdapat di tanah, air dan udara. (Mitchell, 2007)

Sebagian besar pasien yang mengalami infeksi oportunistik menderita penyakit penyebab yang serius dan mempunyai daya tahan tubuh yang terganggu. Akan tetapi, mikosis sistemik primer juga dapat terjadi pada pasien tersebut, dan infeksi oportunistik juga dapat diderita oleh individu imunokompeten. Selama infeksi, kebanyakan pasien menghasilkan respon imun humoral dan selular yang signifikan terhadap antigen jamur. (Mitchell, 2007)

Jenis jamur yang sering menyebabkan infeksi oportunistik adalah: (Mitchell, 2007)

a.Candida albicans dan candida sp lain (Kandidiasis sistemik) b. Cryptococcus neoformans (Kriptokokosis)

c. Aspergillus fumigatus dan aspergilus sp lain (Aspergilosis)

d. Rhizopus sp, Absidia sp, Mukor sp, dan Zygomacetes sp lain

(Mukormikosis / zigomikosis) e. Penicillium marneffei (Penisiliosis)

2.1.2 Patogenesis

Seluruh infeksi jamur dari jenis apapun pada umumnya menimbulkan aneka ragam reaksi peradangan, yang dalam hal ini bisa dijumpai hiperplasia epitel, granuloma histiositik, arteritis trombotik, campuran reaksi radang piogenik dan granulomatous, granuloma pengkejuan, fibrosis dan kalsifikasi. Hampir dapat dikatakan bahwa jamur apapun bila menginfeksi baik di paru atau pada jaringan manapun didalam tubuh menimbulkan gambaran granuloma yang secara patologik sulit dibedakan dengan granuloma yang terjadi pada TBC ataupun sarkoidosis. Meskipun dikemukakan bahwa diagnosa patologik ditegakkan dengan isolasi organisme jamur dari jaringan yang terlibat, namun ini masih

mempunyai problem yaitu bahwa beberapa jamur seperti Histoplasma

Capsulatum, Sporothricum Schenkii, Torulapsis glabrata, Blastomyces dan

Coccidioides mempunyai sel-sel berbentuk mirip ragi (Yeast like cells) yang secara histologik sukar dibedakan satu dengan lainnya. Diagnosa pasti dengan demikian memerlukan pemeriksaan kultur (biakan) dan pemeriksaan serologik. (Sukamto, 2004)

lnfeksi jamur paru ternyata lebih sering disebabkan oleh infeksi jamur oportunistik kandidia dan aspergilus. Sebagai infeksi oportunistik jamur ini terdapat dimana-mana dan sering menginfeksi pada penderita dengan pemakaian obat antibiotik secara luas atau dalam jangka waktu yang cukup lama, kortikosteroid, disamping munculnya faktor predisposisi seperti penyakit kronis dan penyakit keganasan. Timbulnya infeksi sekunder pada jamur paru disebabkan terdapatnya kelainan paru seperti kavitas tuberkulosa, bronkiektasis, krasinoma bronkus yang sering menurunkan daya tahan tubuh.

Jamur Candida albicans merupakan flora normal dalam rongga mulut, saluran cerna dan vagina pada individu normal dan dapat menginvasi penderita dengan imunokompromi atau keadaan netropenia yang lama. Koloni akan meningkat pada penderita dengan mendapat pengobatan antibiotika secara luas yang menekan flora normal dan penyakit yang menimbulkan perubahan anatomi maupun perubahan imunologi. Mekanisme pertahanan pejamu yang berperan adalah imun dan non Imun. (Ellis, 1994)

Faktor imun yang berperan dalam pertahanan terhadap jamur yaitu respon imun humoral dan seluler. Faktor imun seluler diperkirakan mempunyai peranan yang lebih penting. Bukti-bukti ini didapat dari pengalaman pada kandidiasis mukokutaneus kronik dan infeksi HIV, adanya defek imunitas seluler tersebut menyebabkan kandidiasis superfisialis yang luas, walaupun sistem imunitas humoral normal. Faktor non imun yang berperan antara lain interaksi dengan flora-flora mikrobial lain pada kulit dan mukosa yang merupakan efek protektif terhadap pertumbuhan patogen jamur oportunistik, sekresi saliva dan keringat merupakan anti fungal alamiah. (Sukamto, 2004)

Pada penderita Tb Paru dengan defek anatomi paru disertai pemberian obat anti tuberkulosa dalam waktu lama yang akan menekan flora normal sehingga pertumbuhan jamur oportunistik tidak terhambat. Penyakit granulomatous kronik juga merupakan predisposisi terhadap aspergilosis invasif paru. Terinhalasi spora jamur aspergilus dalam jumlah banyak dapat menimbulkan pneumonitis akut, difus dan dapat sembuh dengan sendirinya. (Bennet, 2010)

Aspergilus dapat membentuk kolonisasi pada bronkus dan kavitas paru dengan latar belakang penyakit TB Paru. Bola jamur bisa terdapat pada rongga kista atau kavitas yang disebut aspergiloma, biasanya terdapat pada lobus atas paru dengan diameter beberapa sentimeter dan dapat terlihat pada foto dada.

Pada orang normal, spora jamur oportunistik sulit menginvasi mukosa saluran napas. Pada penderita dengan kormobid atau fakor predisposisi, spora yang terinhalasi mengalami kolonisasi dan akan menginvasi mukosa serta berkembang, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan dan menimbulkan manifestasi klinis. Selanjutnya jamur dapat masuk ke dalam peredaran darah dan akan menyebar secara hematogen ke organ lain sehingga menimbulkan kelainan di organ tersebut, dan secara limfogen ke kelenjar hilus dan mediastinum. (Konsesus FKUI-PMKI, 2001)

2.1.3 Diagnosa Mikosis Paru

Sangat sulit untuk menentukan infeksi jamur di paru oleh karena sebagian besar gejalanya mula-mula tidak mencolok dan seringkali seperti gejala flu biasa atau infeksi paru oleh sebab lain. Gejala jamur sistemik tidak khas atau tidak spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain juga susah untuk membedakan antara infeksi bakteri dan infeksi jamur sehingga menambah kesulitan untuk mengenali infeksi jamur sistemik. Kesadaran akan kemungkinan penyakit jamur, terutama bila terdapat faktor presdiposisi, ditindak lanjuti dengan pemeriksaan bahan klinik yang tepat akan membawa diagnosa yang pasti. Kendala lain ialah meskipun banyak terdapat laboratorium klinik, jarang yang melakukan pemeriksaan untuk mikosis sistemik, Mungkin ini disebabkan oleh tidak terdapatnya tenaga

pemeriksaan terdidik atau peralatan antigen tidak terdapat di laboratorium tersebut. (Jeffery dan Edman, 1996)

Permasalahan lain dalam mendiagnosa infeksi oleh jamur paru yaitu kita harus dapat menentukan apakah jamur hanya bersifat koloni atau telah terjadi infeksi/patogen. Hal ini perlu dapat dipastikan oleh karena pengobatan dengan anti jamur dapat menimbulkan efek toksis, sehingga sedapat mungkin dibuat sediaan biopsi jaringan, jamur dapat ditemukan dalam bentuk ragi, pseudohifa dan hifa. (Ellis, 1994)

Menurut Jan Susilo diagnosa infeksi jamur dapat tercapai bila kemungkinan infeksi jamur difikirkan, pengambilan bahan klinik tepat, cara pengiriman bahan klinik tepat, bahan klinik sampai dilaboratorium dalam keadaan baik dan perlakuan bahan klinik tersebut dilaboratorium dilakukan dengan baik dan tepat. (Susilo, 1995)

Pada pasien dengan immunokompromise sangat penting untuk dapat menegakkan diagnostik sistemik fungal infeksi secara dini. Keberhasilan diagnosis dan terapi dari infeksi jamur pada pasien-pasien dengan keadaan umum

yang lemah sangat tergantung pada kerjasama dari team work antara lain ahli

mikrobiologi, onkologis, histopatologis, ahli penyakit infeksi dan staff laboratorium.

Penyakit jamur dikatakan positif apabila dapat dibuktikan adanya fungi penyebabnya, baik melalui pemeriksaan secara langsung maupun melalui biakan. Disamping itu dapat pula dilakukan uji serologi, uji fiksasi komplemen, uji hewan percobaan dan uji fermentasi. (Sukamto, 2004)

Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik jamur paru dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan spesimen dahak. Dahak dikeluarkan oleh penderita setelah sebelumnya berkumur-kumur dengan air bersih berkali-kali untuk

menyingkirkan kontaminan Candida, Actinomyces israeli yang hidup komensal

dimulut dan rongga pipi. Tanpa pengawet dahak dikirim secepatnya untuk pemeriksaan .Dengan pemeriksaan langsung dibawah mikroskop biasanya dapat dikenali dan nampak spora,hipa dan blastospore. Pengenalan akan lebih mudah dan jelas bila dilakukan penetesan sediaan dengan KOH 20%, ataupun dibuat sediaan apus dengan pewarnaan Giemsa. (Susilo, 1995)

Seperti telah dikemukakan infeksi jamur pada paru tidak memberikan gejala/gambaran klinis dan radiologik yang khas. Untuk menegakkan diagnosa klinis jamur paru dalam anamnesa perlu ditanyakan mengenai hal-hal yang ada kaitannya dengan faktor predisposisi terjadinya infeksi jamur pada paru seperti adakah riwayat menderita DM, riwayat penyakit paru kronis, riwayat pemakaian obat-obat antibiotika, steroid atau radiomimetik (antineoplastik) jangka panjang. Juga ditanyakan mengenai hobi pasien, apakah hobi memelihara unggas, hobi bertualang memasuki gua-gua. (Jeffrey dan Edman, 1996)

Pada pemeriksaan jasmani juga tidak dijumpai gambaran yang khas, pasien bisa anemis, demam, pembesaran kelenjar limfe, hepatosplenomegali, ulkus dimulut, laring dan sebagainya. Pada pemeriksaan foto dada yang perlu diperhatikan ialah adanya fungus ball yang bisa dijumpai pada aspergilosis paru, sedangkan pada kriptokokosis bisa dijumpai bayangan seperti tumor. Bayangan infiltrat, efusi pleura dan kalsifikasi bisa saja dijumpai pada berbagai infeksi jamur paru. (Sukamto, 2004)

Spesimen lain selain dahak dapat juga bilasan atau cucian bronkus dari pemeriksaan bronkoskopi. Pemeriksaan bronkoskopi disamping untuk melihat langsung keadaan saluran nafas juga dapat dilakukan pengambilan spesimen secara biopsi atau bilasan bronkus.

Secara umum diagnosis jamur paru ditegakkan melalui: (Sukamto, 2004) 1. Kecurigaan yang tinggi terhadap kemungkinan infeksi jamur di paru. 2. Pemeriksaan diagnostik yang lazim terhadap penyakit paru:

a. Foto toraks PA dan lateral, CT Scan toraks.

b. Sputum: mikroskopis jamur dan kultur.

c. Bronkoskopi: sekret bronkus, bilasan bronkus, transbronkial lung

biopsi.

d. Aspirasi paru dengan jarum.

3. Pemeriksaan laboratorium darah a. Kultur darah.

b. Pemeriksaan serologi.

2.1.4 Tehnik pengambilan bahan untuk pemeriksaan jamur. A. Pemeriksaan Sputum

Sputum merupakan bahan yang paling sering digunakan untuk pemeriksaan mikrobiologik karena cara pengambilan yang mudah dan non invasif. Namun sayang sekali beberapa penelitian membuktikan sputum kurang mencerminkan jenis kuman yang sesungguhnya terdapat disaluran napas bagian bawah. Terkontaminasi terhadap jamur kandida yang merupakan flora normal dimulut sangat tinggi.

Sputum pagi merupakan yang terbaik untuk melakukan kultur maupun pemeriksaan mikroskopi. Pengumpulan sputum selama 24 jam tidak diperbolehkan untuk dilakukan pemeriksaan. Kuantitas sputum yang adekuat bila jumlah volume berkisar antara 5 – 10 ml. Kualitas sputum yang baik bila tidak tercampur dengan saliva. Jamur dalam sputum dapat bertahan hidup

dalam waktu 2 minggu bila disimpan pada suhu 4⁰C. (Kumala W, 2006)

B. Aspirasi transtrakeal.

Merupakan tehnik yang invasif dalam usaha mendapatkan bahan pemeriksaan penyebab infeksi saluran napas bawah yang bebas kontaminasi flora kuman yang hidup di orofaring. Meskipun cara ini lebih handal dari pemeriksaan sputum, namun kontaminasi masih mungkin terjadi

C. Aspirasi transtorakal dengan jarum.

Aspirat diambil langsung dari lesi menggunakan jarum. Lokasi dari lesi ditentukan melalui foto dada, insersi jarum dengan tuntunan CT dan fluoroskopi dibutuhkan untuk lesi yang kecil. Sensitifitas dan spesifitas cukup tinggi, namun mempunyai resiko komplikasi pneumotoraks dan batuk darah D. Biopsi paru terbuka.

Dengan cara ini dapat diperoleh bahan pemeriksaan lebih banyak sehingga negatif palsu kemungkinannya lebih kecil, namun dapat menimbulkan resiko yang tidak ringan berupa pneumotoraks dan perdarahan.

E. Bilasan bronkus

Cara ini sudah digunakan sejak lebih 40 tahun yang lalu, dengan melakukan aspirasi sekret bronkus didaerah lesi melalui bronkoskopi. Dengan cara ini meskipun kuman penyebab infeksi saluran nafas bawah mungkin diperoleh,

namun cara ini belum mampu menghindari kontaminasi kuman dari orofaring.

F. Sikatan bronkus.

Bilasan bronkoalveolar terbukti sangat bermanfaat dalam mendiagnosa paru oportunistik pada pasien-pasien imunocompromised host.

Tehnik ini merupakan pengembangan dari cara bilasan bronkus yang tujuannya untuk menghindari semaksimal mungkin kontaminasi kuman daerah orofaring terhadap bahan aspirat. Jenis sikatan bronkus yang terunggul dalam arti kata mampu mendapatkan bahan aspirat yang bebas sama sekali darii kontaminasi kuman orofaring adalah sikatan bronkus dengan karakter ganda terlindung polietilen glikol.

Dokumen terkait