• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Komunitas Bajo Lamanggau dan Komunitas Nelayan Tongano Barat Kecamatan Tomia

TINJAUAN PUSTAKA

4. LOKASI PENELITIAN

4.5. Gambaran Umum Komunitas Bajo Lamanggau dan Komunitas Nelayan Tongano Barat Kecamatan Tomia

Komunitas Masyarkaat Lamanggau

Desa Lamanggau terletak di Pulau Onemabaa yang merupakan salah satu dari 10 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia. Luas wilayah desa ini adalah 7 km² atau 14,86 % dari luas Kecamatan Tomia yang terbagi ke dalam tiga dusun yakni Dusun Ketapang, Dusun Lasoilo dan Dusun Dunia Baru. Jarak Desa Lamanggau dari pusat kecamatan yakni 5,8 km. Jumlah penduduk di desa ini telah mencapai 1.046 jiwa yang terdiri dari 530 jiwa laki-laki dan sisanya 516 adalah perempuan. Jumlah penduduk di desa ini sebesar 13,61 % dari total penduduk di Kecamatan Tomia (Laporan CRE Coremap, 2010).

Sebagaimana pulau-pulau kecil di gugusan Kepaulaun Wakatobi, pulau Onemobaa merupakan bebatuan yang terapung di atas laut, yang jika dilihat dari topografinya, memiliki ketinggian di atas permukaan air kira-kira 2,5 meter, sebagian besar wilayah Desa Lamanggau adalah daratan perbukitan yang didominasi oleh bebatuan karang. Sementara dibagian bukit desa ini, warga memanfaatkan untuk berkebun ubi kayu dan jagung. Sedangkan keadaan dalam kampung pada umumnya merupakan bebatuan sementara dibagian pantai nampak timbunan batu yang dikumpulkan oleh Suku Bajo Lamanggau yang dulunya adalah daerah kawasan hutan mangrove.

Desa Lamanggau merupakan wilayah perkampungan yang orang Tomia dengan orang Bajo Lamanggau hidup berdampingan. Desa Lamanggau terletak di

Pulau Onemabaa yang merupakan pulau terpisah dari Pulau induk Tomia. Awal pekembangan perkampungan menjadi desa di jelaskan dalam table 4.2. dibawah ini sebagai berikut:

Tabel. 4.6. Periodisasi perkembangan masayarakat Bajo Lamanggau

Periode Peristiwa perkembangan kemasyarakatan Lamanggau Sumber data

Sebelum dekade 1970- an

Terjadi perpindahan masyarakat dari daratan Pulau Tomia menuju ke Pulau Onembaa. Mereka pindah ke Pulau Onemabaa karena kegiatan pertanian lahan kering dan mencari ikan. Awalnya mereka tinggal di tengah Pulau Onemabaa.

Wawancara dengan Kades Lamanggau 21 Mei 2012

1971 Perpindahan Suku Bajo dari Mola, dengan menggunakan Sope-sope pakai layar dengan tujuan mencari ikan. Ikan yang di dapat di jual ke masyarakat Tomia. Awal mereka hanya untuk bermalam, ketika mereka melaut. Hal ini, menggunakan ijin kepada masyarakat Lamanggau setempat.

Wawancara tokoh Bajo Lamanggau, tokoh Desa Lamanggau dan Kades Lamanggau; 21 Mei 2012

1975-1977 Awal kedatangan mereka hanya 2-3 keluarga tinggal di rumah penduduk Lamanggau, kemudian diikuti 4 KK lama kelamaan mereka banyak berdatangan dan mendirikan pemukiman di Desa Lamanggau.

Akhirnya mendapat ijin untuk membuat rumah di daerah mangrove. 1975/1976 Atas anjuran dari pejabat Danramil pada waktu itu, akhirnya mereka pindah ke daerah bawah, dengan memanfaatkan lahan mangrove

untuk di jadikan pemukiman. Alasan mereka untuk pindah ke bawah adalah untuk memudahkan dalam pendataan penduduk.

1996 Pengusaha asal Swiss, Mr. Lorentz, mendirikan Wakatobi Dive Resort, yang merupakan jasa pariwisata dengan menjual obyek site keindahan bawah laut

Wawancara Kades Lamanggau, dan tokoh masyarakat Desa Lamanggau; 21 Mei 2012

2000-sekarang Desa Lamanggau menempati lokasi seperti sekarang. Kondisi antara masyarakat Lamanggau daratan dengan Bajo Lamanggau menyatu, akan tetapi tetap Bajo Lamanggau membangun pemukiman mereka masih diatas jeramba, walaupun sudah sambung menjadi satu dalam penghubung akses jalan. Sekarang di Lamanggau terdapat 78 KK orang Bajo. Wawancara Kades Lamanggau, tokoh masayrakat Desa Lamanggau dan observasi langsung dilapanagan; 21 Mei 2012.

Sumber data: data primer hasil wawancara, Mei 2012.

Gambar 4.4. Desa Lamanggau dari laut (kiri), dan pemukiman penduduk Bajo Lamanggau (kanan) Komunitas “Anto Pulo” Kelurahan Tongano Barat

Kelurahan Tongano Barat merupakan salah satu kelurahan dari 9 desa dan atau kelurahan yang ada di Kecamatan Tomia Timur. Luas wilayah desa ini

adalah 5 km² atau 7,36 % dari luas wilayah Kecamatan Tomia Timur. Batas wilayah desa yakni sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Bahari, sebelah timur berbatasan dengan Desa Tongano Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Banda dan sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Patipelong. Wilayah administrasi desa ini terbagi ke tiga lingkungan yakni Lingkungan Longa, Lingkungan Bada dan Lingkungan Lawanata. Jumlah penduduk di desa ini telah mencapai 1.840 jiwa yang terdiri dari 871 jiwa laki-laki dan sisanya 969 adalah perempuan. Jumlah penduduk di desa ini sebesar 19,61 % dari total penduduk di Kecamatan Tomia Timur (Laporan CRE Coremap, 2010). Keadaan topografi desa yakni sebagian adalah wilayah pesisir pantai dan sebagian besar merupakan wilayah perbukitan dengan struktur bebatuan yang keras. Bila dilihat dari struktur batuannya yang berpori seperti halnya bentuk coralit karang pada umumnya maka kemungkinan awalnya merupakan pulau yang terbentuk dari proses pergesaran lapisan bumi. Adapun bentuk pantai di desa ini adalah pantai berbatu.

Gambaran umum tentang masyarakat Kelurahan Tongano Barat, adalah sebagian besar mereka memanfaatkan hasil laut. Hal ini dikarenakan kondisi kesuburan tanah di Pulau Tomia yang tandus. Sebagaian besar mereka mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan, dan pekerjaan sampingan adaah pekerjaan sehari-hari yang dibutuhkan masyarakat, seperti berkebun, menjadi tukang kayu atau tukang bangunan dan berdagang. Sebelum mereka mengenal komoditas ikan konsumsi karang hidup, mereka adalah pencari teripang. Sehingga kelompok nelayan di Tongano Barat meggunakan istilah “anto

pulo” yang diambil dari nama jalan di mana digunakan nelayan-nelayan

tradisional pendahulunya sebagai jalan untuk melaut mencari teripang. Berikut perkembangan kelompok nelayan “anto pulo” dari waktu ke waktu:

Tabel No. 1. 2. 3. Sumb   l 4.7. Periodisa Periode < 1990-an 1990-an 2007

ber data: data p

Gambar   asi perkemban primer hasil w 4.5. Tongano (Bajo Mola) (Lmg-Tongan ngan masyara Perkem Nelaya menan komod untuk Nelaya untuk ekspor Anto p bimbin Nelaya wawancara tera

o Barat dari lau

no)

akat nelayan “A mbangan sejar an teripang tra ngkap ikan das ditas subsisten keperluan lok an mencari ik di jual ke peru rtir pulo diresmika ngan Komunto an Tomia) arah dengan k ut (kanan), da Anto Pulo”. rah adisonal, sar sebagai n atau hanya kal saja an dasar usahaan an di bawah o (komunitas kelompok “ant an jalan anto p Keterangan Perusahaan konsumsi i hidup belu Tomia Feri dan E sebagai pio perusahaan membeli ik konsumsi k Sudah terja kesadaran untuk mem organisasi to pulo”, 25 Ju pulo (kiri). n n Ikan ikarang um masuk ke Ence Rahman oneer n yang kan karang hidup adi masyarakat mbentuk nelayan uni 2012.

Sebagaimana tertulis di atas bahwa wilayah Kabupaten Wakatobi terdiri dari wilayah daratan dan lautan yang mana wilayah lautnya mencapai 95,5% dari total luas wilayah kabupaten dengan panjang garis pantai 251,96 km maka potensi wilayahnya yang paling besar adalah potensi wilayah lautnya. Adapun sumberdaya pesisir dan laut yang telah diketahui dan banyak dikelola oleh masyarakat dan pemerintah Wakatobi adalah penangkapan ikan, budidaya laut dan terumbu karang. Terumbu karang menjadi salah satu fokus perhatian tersendiri karena luasannya yang begitu besar dan menjadi aspek yang penting bagi keberlanjutan perekonomian sebagian masyarakat Kabupaten Wakatobi khususnya mereka yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Kabupaten Wakatobi memiliki 90.000 ha terumbu karang yang tersebar di semua wilayah kecamatan di Kabupaten Wakatobi dan sebuah atol tunggal sepanjang 48 km yang merupakan atol terpanjang di dunia yakni Karang Kaledupa. Di wilayah perairan kepulauan wakatobi juga terdapat 750 jenis karang dari 850 spesies karang yang ada di dunia dan 900 jenis ikan (Laporan CRE Coremap 2010).

Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin tinggi dan dilakukan dengan cara-cara eksploitatif mengancam keberlanjutan ekologi perairan Wakatobi menjadi menurun. Bagi masyarakat Bajo khususnya dan masyarakat Wakatobi umumnya, ekosistem perairan Wakatobi merupakan aset terbesar untuk ekonomi mereka. Mengingat pentingnya perairan Wakatobi sebagai layanan ekologi dan ekonomi untuk masa mendatang maka penetapan kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional adalah salah satu kebijakan pusat (negara) yang mengarah pada konservasi dan keberlanjutan eksosistem untuk kebutuhan masyarakat. Keberadaan taman nasional diperuntukan untuk melindungi kondisi ekosistem perairan Wakatobi yang kegiatan pemanfaatannya dilakukan dengan konsep keberlanjutan.

Akan tetapi konsep keberlanjutan sumberdaya perarian Wakatobi, masih jauh dari ideal konservasi karena mendapat tantangan dan hambatan kedepan, terlihat kondisi di lapangan yang masih terjadi pemanfataan sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Wakatobi dengan cara-cara yang eksploitatif, seperti: kegiatan-kegiatan seperti pengambilan karang, pasir dan jenis satwa yang dilindungi dilakukan dengan sangat bebas dan terbuka.

Salah satu ancaman langsung degradasi terumbu karang adalah pada pemanfaatan langsung tambang batu karang oleh masyarakat selama ini. Pemanfaatan batu terumbu karang sebagai bahan untuk pondasi rumah, jalan maupun penutup pantai untuk daratan. Sedangkan pemukiman penduduk yang tidak berada di tepian pantai telah menggunakan batu gunung sebagai bahan bangunan. Selain pemanfaatan terumbu karang, juga terjadi pemanfaatan pasir laut yang digunakan sebagai bahan bangunan. Penggunaan batu karang dan pasir laut untuk bangunan disebabkan sulitnya mendapatkan batuan gunung dan pasir gunung sebagai bahan bangunan. Selain penggunaan langsung batu karang oleh masyarakat, kerusakan terumbu karang juga disebabkan oleh penggunaan alat tangkap yang merusak seperti bahan peledak (bom) dan penggunaan bahan kimia sianida (potassium cyanide). Akan tetapi setelah banyaknya upaya penyadaran dan adanya kegiatan-kegiatan pelestarian terumbu karang, penggunaan alat yang merusak tersebut telah jauh berkurang, meskipun masih ada sebagian nelayan yang melakukannya.

Hal ini senada dengan apa yang dituturkan oleh Kmrdn (50 Tahun, 27 Maret 2012), masyarakat Bajo Mola yang berprofesi sebagai nelayan ikan konsumsi karang hidup (ikan dasar, untuk sebutan masyarakat lokal), namun sudah berhenti dan sekarang berprofesi sebagai penambang pasir:

Kotak 4.1. Gambaran mata pencaharian nelayan dan kendala di Wakatobi

Menurut penuturan Pak Kmrdn 50 tahun, bahwa sekarang mencari ikan menjadi sangat sulit. Karena ikan dasar (karang) sudah semakin sedikit. Ikan yang sering ditangkapi adalah ikan jenis kerapu, sunu dan ada juga napoleon. Pekerjaan dulu adalah sebagai nelayan ikan dasar saya sekarang adalah menambang pasir laut yang digunakan untuk bahan bangunan. Pasir laut dijual per perahu/satu bak pick up dengan harga 50.000. Awalnya dilarang oleh pemerintah dan Balai Taman Nasional, tetapi karena untuk keperluan bangunan, akhirnya di perbolehkan hanya yang disekitar pulau saja. Artinya bukan di pantai tetapi di sekitar gugusan pasir yang dekat dengan pemukiman Bajo.

Pelarangan pengambilan pasir adalah yang masuk dalam zonasi konservasi TN Wakatobi dan masuk dalam wilayah laut milik desa lain yang mempunyai wilayah laut. Peraturan tentang zonasi menurut penuturan Pak Kmrdn dalah hanya mempersulit rakyat. Artinya, semakin susah mencari ikan. Himbauan dari Pak Bupati pun kadang tidak pas dengan pelarangan ikan yang mau bertelur itu ditangkap. Tetapi justru ikan karang bisa di pancing ketika pas mau bertelur karena mengumpul di karang. Untuk saat ini masih ada beberapa nelayan yang masih menggunakan bom dan racun, dengan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Terhadap pengawasan zonasi konservasi yang ditetapkan oleh TN nasional adalah kurangnya pengawasan. Artinya tidak masyarakat tidak dilibatkan untuk memonitor tersebut. Hanya dijalankan oleh Polairud dan TNI AL. Mereka juga tidak difasilitasi oleh pemda. Setiap kali nelayan Mola melapor sering tidak ditanggapi. Pelaku pengebom dan pembius kebanyakan dari Bajo Kendari. Nelayan Mola tidak bisa berbuat apapun. Disini sebetulnya penjualan ikan Napoleon masih berlangsung. Tetapi dengan diam-diam. Mereka dengan bekerja sama dengan aparat Polisi dan TNI dalam menangkap napoleon untuk dijual ke Bali. Salah satunya adalah Rtn. Rtn sebagai kordinator menjual Napoleon ke Bali. Bali ke

eksportir Apng dan diekspor ke Hong Kong. Nelayan disini menjual Napoleon dengan harga sekitar Rp.300.000,-/kg kemudian oleh Rtn di jual ke Bali dengan harga Rp. 800 000.- per kg. Nelayan Mola menjadi banyak yang kaya terjadi pada saat eksploitasi penyu hijau pada akhir dekade 1980-an sampai awal 1990-an. Penyu tersebut dijual ke Bali untuk upacara pernikahan Adat Hindu dan ada yang dijual ke Hong Kong melalui AB, penjual dari Pangkal Pinang. Mr. Lee juga dari singapura ikut mengambil penyu hijau dan juga ikut meramaikan adanya pengekploitasi kerapu (ikan karang). Pada awal perdagangan ikan dasar, awalnya ikan dasar tidak ada harganya. Ikan kerapu hitam dan merah (Sai Sing dan Tong Sing) harganya hanya 2500 per kg dan di jual mati. ikan kerapu tiger harganya 5000. Tetapi setelah masuknya pembeli dari luar termasuk masuknya pembeli dari Pangkal Pinang, Singapura dan Hong Kong menjadikan ikan kerapu tersbeut bernilai lebih. Ikan kerapu di jual dari nelayan dalam keadaan hidup adalah Rp. 40.000,- /kg dan di jual ke pengepul sekitar Rp.80.000,- /kg. Pak Kmrddn. adalah penggepul ikan dasar yang di jual ke Abu Bakar. Ikan saising dan tongsing di beli dengan harga Rp.45000,-/kg sampai Rp.50000,-/kg kemudian di jual dengan harga Rp. 80.000,- sampai Rp. 90.000,-/kg. ini terjadi pada sekitar tahun 1995-2007 an. Napoleon kadang di beli dari nelayan dengan harga Rp. 100.000,-/per ekor, kemudian di jual ke kordinator dengan harga Rp.200.000-Rp. 300.000,-. Termahal adalah Penyu Hijau (Penyu Laut). Bisa di beli dari nelayan dengan harga Rp. 1-2 juta per ekor tergantung bobotnya, kemudian bisa di jual di bali sekitar Rp.4-5 juta per ekor. Sampai saat ini pun masih sering terjadi selundupan Napoleon dan Penyu Hijau. Tetapi secara diam-diam. Penyelundup bekerjasama dengan Polisi,dan TNI AL, dan tidak jarang dengan petugas Jagawana itu sendiri. Bahan racun untuk menangkap Napoleon, potassium didatangkan dari Bali dan Malaysia. Memang ada yang menyuplai termasuk para kordinator tersebut. Jenis potassium yang paling berbahaya adalah potassium yang bentuknya seperti kamper (kapur barus). Pemahaman akan pasir menurut pemaham Pak Kmrdn, pasir laut itu tumbuh, setiap kali di ambil besoknya ada lagi. Begitupun karang, ada terus. Pak Kmrdn berpendapat bahwa, selama daun jatuh dari pohonnya, selama itu masih ada ikan. Selama ada laut selama itu pula ada ikan, dan selama pasir

dan karang dibutuhkan oleh manusia, maka tidak akan habis. Kebutuhan akan air bersih masih

beli, sebulan bisa menyetor antara Rp.30.000,- sampai Rp.50.000,- tergantung pemakian dari PDAM. Dan untuk pemasangan instalasi sekitar Rp. 1,5 juta.

Gambar 4.7. Pengambilan batu karang oleh penduduk untuk bahan bangunan (Mola, 2012). Mata pencaharian masyarakat Bajo dan Wakatobi yang berprofesi sebagai nelayan sangat beragam. Keberagaman tersebut dipengaruhi oleh kebutuhan dan desakan ekonomi dalam hidupnya. Kebutuhan akan pembangunan wilayah pemekaran baru Kabupaten Wakatobi tak lepas dari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan kelautan yang tak sedikit berdampak pada eksploitasi sumberdaya yang nantinya dirasa akan menuai kerusakan sumberdaya perairan Wakatobi. Berdasar dari hasil survey penelitian, dibagi beberapa jenis nelayan yang terdapat

di Wakatobi yang diambil dari ketiga lokasi penelitian. Kategori jenis nelayan dijelaskan dalam tabel di bawah ini:

Tabel 4.8. Kategori Jenis Nelayan di Perairan Wakatobi (Hasil observasi peneliti, 2012) Kategori Nelayan Jenis Nelayan Berdasarkan jenis produksi Nelayan ikan pelagis (Tuna, Ikan Babi, Cakalang, dll) Nelayan ikan dasar (kerapu, suni, napoleon, gurita, teripang, udang-udangan) Nelayan budidaya (nelayan pembudidaya rumput laut) Nelayan pemanfaat sumberdaya lainnya (penambang pasir, penambang batu karang) Berdasarkan alat tangkap Rumpon, kapal pelingkar, pancing laying dan pancing model gurita Pancing kedo, pancing tonda, bubu, lamba, jarring biasa, pembius dan pembom Lahan milik sendiri atau menyewa Linggis, sekop, sedot mesin Berdasarkan kemampuan modal dan teknologi Modal besar, dengan kapal pelingkar. Modal kecil dengan perahu bodi

Perahu bodi dan sampan kaloko (koli-koli) Berdasarkan ukuran barisan. Melebihi dua baris ikatan rumput laut sudah modal bear

Mesin sedot, seperti alat penyedot pasir

yang ditarik dengan mesin disel, dan alat tradisonal dengan linggis dan skop Berdasarkan struktur kemampuan modal Bos, pengepul- penarik investor, dan nelayan Kordinator besar, kordinator kecil, dan nelayan Lahan milik sendiri da menyewa Bos dan penambang Berdasarkan etnis Sama (Bajo), Bagai (selain Bajo) Sama (Bajo), Bagai (selain Bajo) Bagai (selain Bajo) Sama (Bajo)- penambang, Bagai (selain Bajo)-bos. Sumber: Olahan data primer, hasil pengamatan dan wawancara (April-Juni 2012).

Hasil penelitian menunjukkan, nelayan diketahui berdasar empat kategori, yaitu: 1). Berdasar jenis produksi; 2). Berdasar pada kepemilikan alat produksi (teknologi); 3). Berdasarkan pada alat tangkap; 4). Berdasar pada kekuatan modal dan teknologi serta, 5). Berdasar pada etnis (suku). Namun secara umum kategori nelayan dibedakan berdasarkan oleh sarana produksi alat tangkap yang dimiliki. Berdasarkan data statistik dari DKP Wakatobi, jumlah sarana penangkap ikan di Wakatobi tahun 2009 khususnya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan mencapai 386 unit yang terdiri dari 73 unit motor tempel, 184 unit perahu tanpa motor, 114 unit kapal motor <5 GT, 15 unit kapal motor >5 GT dan Kecamatan Tomia mencapai 20 unit yang terdiri dari 26 unit motor tempel, 76 unit perahu tanpa motor, 91 unit kapal motor <5 GT, 9 unit kapal motor >5 GT.

Tabel 4.9. Jumlah Sarana Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 ( Unit ) Kecamatan Motor Tempel Perahu Tanpa Motor Kapal Motor (< 5 GT) Kapal Motor (≥ 5 GT) Wangi-Wangi Selatan 73 184 114 15 Tomia 26 76 91 9

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009. BPS Kab.Wakatobi, 2009.

Berikutnya, jumlah alat penangkap ikan juga sudah mencapai 967 unit yang terdiri dari 8 unit pukat cincin , 349 unit jaring insan, 504 unit pancing, 54 unit perangkap, dan 50 unit alat penangkap lainnya.

Tabel 4.10. Jumlah Alat Penangkap Ikan Menurut Jenis dan Kecamatan 2009 (Unit) Kecamatan Pukat Kantong Pukat Cincin Jaring Insang Jaring Cincin

Pancing Perangkap Lainnya Wangi-Wangi

Selatan

- 4 229 - 464 22 20

Tomia - 4 120 - 42 32 30

Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Wakatobi, 2009. BPS Kab.Wakatobi, 2009. Sektor perikanan merupakan sektor unggulan sebagai pemasok PDRB Kabupaten Wakatobi, sedangkan sektor lainnya berupa sektor perdagangan, hotel restoran, serta sektor jasa-jasa adalah sektor-sektor yang berkontribusi besar terhadap PDRB Wakatobi. Kontribusi ketiga sektor ini dalam PDRB mencapai 80,7%. Distribusi peranan sektoral terhadap perekonomian berurutan menurut nilai tambah adalah sektor perikanan (45,47 %); sektor perdagangan hotel dan restoran (18,77%); sektor jasa-jasa (16,43%); sektor keuangan (5,86%); sektor bangunan (4,64%); sektor penggalian (3,07%); sektor industri pengolahan (2,84%); sektor pengangkutan dan komunikasi (2,15%); sektor listrik dan air bersih (0,77%). Pada tahun 2006, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB mencapai 51,70%. Namun demikian, peranan sektor perikanan tampaknya dalam jangka pendek belum akan dapat digeser oleh sektor lain dalam sumbangsihnya terhadap PDRB Wakatobi. Hal ini disebabkan peranan sektor lain masih jauh dibawah sektor pertanian (perikanan) (lihat tabel berikut).

Tabel 4.11. Peranan Sektor Ekonomi Terhadap PDRB Kabupaten Wakatobi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku 2006 – 2009 (dalam %).

No. LAPANGAN USAHA 2006 2007 2008 2009

1. Pertanian (Perikanan) 51,70 49,32 46,88 45,48 2. Pertambangan dan Penggalian 2,81 2,76 3,29 3,07

3. Industri Pengolahan 2,81 2,94 2,92 2,81

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 0,85 0,84 0,77 0,77

5. Konstruksi/Bangunan 3,60 3,80 4,31 4,64

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 13,67 15,26 16,53 18,78 7. Pengangkutan dan Komunikasi 2,15 2,33 2,19 2,15 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 6,62 6,42 6,52 5,86

9. Jasa - jasa 15,79 16,32 16,57 16,44

Jumlah 100 100 100 100 Sumber:Wakatobi Dalam Angka, 2011

Tabel 4.12. Perkembangan Subsektor dengan Pertumbuhan Nilai Tambah di atas Pertumbuhan Ekonomi, Kabupaten Wakatobi, Tahun 2006-2009 (dalam %).

No. Sub Sektoral 2006 2007 2008 2009

1. Pertanian 5,4 9,06 18,18 63,20

2. Perdagangan Besar dan Eceran 2,41 10,7 11,06 29,21

3. Hotel 11,5 12,2 12,75 50,56

4. Restoran 5,13 3,74 3,85 45,91

5. Pos dan Telekomunikasi 16,96 7,46 11,04 35,29 6. Hiburan dan Rekreasi 7,65 17,86 13,6 59,85

PDRB 6,04 6,07 7,21 13,67

Sumber: Wakatobi Dalam Angka, 2011

Gambar pendapatan rumah tangga nelayan juga bervariasi menurut lokasi penelitian dilakukannya survey pemantauan kondisi sosial ekonomi. Hasil survey bila dilihat berdasarkan lokasi survey di tiga lokasi penelitian, rendahnya pendapatan nelayan di ketiga lokasi penelitian (seperti yang akan diuraikan secara terinci dengan pendapatan rumah tangga nelayan yang diwawancarai peneliti (2012) pada selanjutnya dalam komodifikasi ikan konsumsi karang hidup, disebabkan oleh karena umumnya mata pencaharian masyarakat di desa tersebut berprofesi sebagai nelayan. Produksi perikanan tangkap mengalami penurunan di ketiga lokasi penelitian tersebut. Hal ini disebabkan karena kondisi alam terutama cuaca sudah tidak menentu dalam tiga tahun terakhir, kondisi gelombang dan ombak yang cukup besar dengan armada yang tidak memadai, banyaknya nelayan yang memulai mencari ikan tangkap dan menurut masyarakat terjadinya kondisi penurunan jumlah ikan dasar di karang sehingga hasilnya pun sulit untuk diprediksi untuk 3 tahun terakhir.

Berdasarkan wawancara dan survey sosial-ekonomi, secara umum tingkat pendapatan masyarakat di tiga lokasi dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu faktor internal, eksternal dan struktural. Selain ketiga faktor tersebut juga menjadi

perhatian penting adalah pemasaran hasil-hasil laut3. Selanjutnya akan dibahas tersendiri sebagai berikut :

Pertama, aspek internal bersumber dari nelayan itu sendiri. Dalam hal ini

modal yang dimiliki oleh nelayan sangat terbatas. Oleh karenanya akan berimplikasi pada aset kepemilikan dalam hal melakukan penangkapan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia. Aset dimaksud yaitu kepemilikan armada tangkap seperti perahu dan peralatan tangkap yang digunakan. Faktor internal lainnya adalah ketergantungan nelayan dalam usahanya memiliki modal. Beberapa rumah tangga memiliki kebiasaan meminjam modal kepada pemilik modal (ke pengepul/kordinator) yang lebih besar atau ke bank (simpan pinjam) harian. Kondisi ini tanpa disadari oleh masyarakat akan berdampak terhadap kesulitan perekonomian karena selain untuk memenuhi kebutuhannya juga berusaha mengembalikan modal pinjaman tersebut dengan bunga yang cukup tinggi.

Faktor internal lainnya terdapat pada, kebutuhan akan BBM sebagai modal untuk melaut, dan tidak adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sebagai tempat pasar ikan. Mahalnya BBM di Wakatobi, menjadikan kebutuhan BBM untuk nelayan masih mengalami hambatan dan minimnya distribusi BBM. Belum tersedianya SPBU membuat kelangkaan bahan bakar terjadi, sehingga nelayan harus membayar mahal untuk memenuhi kebutuhan melaut. Saat ini baru ada satu