• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Kelembagaan Pengelolaan Sumbedaya Perikanan

Melihat fenomena dinamisasi komoditas ikan konsumsi karang hidup, termasuk kajian ekologi politik. Dinamisasi tersebut mencakup terjadi permasalahan sosial, ekologi dan juga ekonomi terjadi di dalamnya. Keterikatan antar aktor pun menjadi kajian yang penting untuk ekologi politik. Serta melekatnya sifat trans boundry, merupakan bagian dari spatial geography yang merupakan ranah kajaian ekologi politik juga. Bryant and Bailey (1997), dalam bukunya Third World Political Ecology, menyebutkan bahwa kajian ekologi politik, meliputi tiga aspek, yaitu; (1). Perkembangan dan keberlanjutan lingkungan di dunia ketiga, (2). Kerangka analisis tentang politiciseid

Sementara itu Robbins, (2004), bahwa kajian ekologi politik berangkat dari keempat thesis utama, yaitu tentang marjinalisasi dan degradasi lingkungan (perubahan lingkungan: kenapa dan bagimana), konflik lingkungan (akses terhadap lingkungan: siapa dan mengapa), kontrol dan konservasi (kegagalan konservasi dan tereklusi hak secara politik dan ekonomi: mengapa dan bagaimana), serta identitas lingkungan dan pergerakan sosial (perubahan lingkungan: oleh siapa, dimana dan bagaimana). Dapat disimpulkan dari thesis tersebut, bahwa permasalahan dinamisasi ikan konsumsi karang hidup, adalah termasuk kajian ekologi politik, selain melekat pada aspek sosial, ekologi, ekonomi dan politik, juga melekat pada aspek geografi (transboundary), aktor yang berinteraksi dalam pemanfaatan sumberdaya, terjadinya kerusakan lingkungan, kemarjinalisasian grass root, terjadi kegagalan konservasi, dan munculnya gerakan sosial dan identitas lingkungan, yaitu bentuk konservasi sumberdaya melalui instrumen responsibility fisheries.

Dalam kajian sosiologi, pengertian institusional mencakup aspek yang luas dan dalam, yang meliputi aspek kelentingan (resilient aspect) dari struktur sosial (Scott, 2004). Scott (2004), medifinisikan institusional sosial sebagai berikut:

• Institusi adalah struktur sosial dimana mempunyai keterkaitan dengan kelentingan struktur masyarakat yang tinggi;

• Institusi terdiri dari tiga pilar elemen, seperti cultural cognitive, normative

dan regulative dimana ketiga pilar elemen tersebut sebagai penyusun

sumber pandangan sosial komunitas;

• Institusi merupakan tranmisi dari berbagai macam tipe, seperti sistem simbolik, sistem jaringan, rutinitas dan skema sosial yang menjadi pegangan dalam tingkah laku dalam sosial;

• Bahwa institusi dijalankan pada berbagai level yuridiksi sosial, dari level global ke tingkat hubungan individu;

• Elemen institusional diciptakan, dihilangkan, diadopsi dan beradaptasi dalam waktu dan wilayah tertentu, sampai elemet tersebut mengalami peluruhan dan tidak digunakan lagi dalam sistem sosial.

Institusi sosial yang dikemukaan oleh Scott (2004), sangat dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi dan sosial. Hal ini merupakan perpaduan antara ekonomi

dan sosial yang didalamnya terdapat keterikatan antar aktor dan kepentingannya yang berintaksi dalam suatu masyarakat yang dibatasi oleh wilayahnya, sehingga dikatakan bahwa konsep institusi sosial tersebut melekat pada aktor pada aspek ekonomi, ekologi dan sosialnya. Menurut Scott (2004), bahwa teori institusi dapat berkembang dalam berbagai disiplin ilmu. Pada perkembangannya, Tahun 1960 teori instutisional diperkenalkan konsep sistem terbuka dalam studi organisasi dan ditransformasikan melalui pendekatan yang mementingkan aspek lingkungan dalam arti luas yang berpengaruh dalam perubahan institusi tersebut. Selanjutnya dalam perkembangannya Tahun 1970, kajian instistusi dapat dilihat sebagai suatu sistem produksi (karena menyangkut lingkungan teknis yang terkait dengan sistem produksi instrumental, kemudian terjadi transformasi input menjadi output) dan sebagai suatu sistem sosial budaya (sebagai kekuatan lingkungan institusi). Yang dimaksud Scott (2004), disini adalah bahwa lingkungan tersebut dapat dikategorikan dalam lingkungan sosial, ekonomi maupuan ekologis itu sendiri. Kemudian teori institusi bekermbang karena aspek lingkungan yang semakin komplek, maka teori institusi juga berkembang sesuai dengan perkembangan kompleksitas lingkungan.

Dalam perkembangannya teori institusi dengan aspek lingkungan sosio- ekologis, perlu pemahaman bahwa institusi sebagai interaksi manusia dalam aktivitas sosial kemasyarakatan, perlu memahami apa institusi tersebut, bagaimana dan mengapa perlu adanya institusi dan apa konsekuensinya apabila institusi tersebut dijalankan. Dalam kajiannya “sumberdaya bersama dan keberlanjutan institusional”, Agrawal (dalam The Drama of the Commons, 2002), menjelaskan kontek sumberdaya milik bersama, menunjukan adanya pengaturan kepentingan pasar dan kepemilikan negara dalam pengelolaan sumberdaya alam di wilayahnya dan mekanisme institusional yang berjalan dalam pengelolaan tersebut. Hal ini menjadi penting, karena institusi pengelolaan sumberdaya bersama menunjukan bagaimana pengelolaan sumberdaya alam yang merupakan interaksi manusia dalam sosial dan ekologi secara global berjalan. Ditambahkan oleh Ostrom, (2005), bahwa institusi pengelolaan sumberdaya merupakan persepsi manusia dalam mengelola yang meliputi interaksi struktur dan repetitive (hubungan timbal balik) antara manusia terhadap sumberdaya yang ada

disekitarnya yang berlandaskan pada rules, norm dan strategies. Sedangkan Bromley (2001), menegaskan bahwa institusi adalah kajian dalam kebijakan publik, artinya Bromley, memandang secara kolektif dengan istiah yang disebut sebagai institusi yang merupakan kontruksi sosial dimana di dalamnya terdapat

norms, rule and entitlements merupakan hasil interaksi manusia dengan

sumerdaya alamnya. Perspektif ini memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi horizontal menekankan kepada hubungan antara manusia dengan manusia, dan dimensi vertikal menekankan hubungan manusia dengan alamnya yang merupakan manifestasi hubungan interpersonal atas mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia.

Satria (2009), dalam kajian pengelolaan sumberdaya perikanan (SDP) oleh masyarakat: visi, batasan dan ruang lingkup, dijadikan alternatif solusi karena keberhasilannya memberikan manfaat tentang keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menjamin adanya mata pencaharian komunitas nelayan, kesamaan dalam akses seumerdaya perikanan dan solusi alternatif penyelesaian konflik pengguna sumberdaya. Merujuk pada Scott 2004; Satria, 2009, ada tiga dimensi dalam institusi pengelolaan sumberdaya perikanan, yaitu:

a. Dimensi normatif. Dimensi ini merupakan sistem nilai yang berkembang dalam masyarakat sebagai dasar pengelolaan sumerdaya perikanan;

b. Dimensi regulatif. Dimensi ini berisi tentang aturan (norm) tata kelola sumberdaya perikanan. Ruddle (1999), dalam Satria (2009), mengidentifikasikan unsure-unsur tatakelola sumerdaya perikanan sebagai berikut:

• Batas wilayah : ada kejelasan batas wilayah yang mengandung sumberdaya yang bernilai bagi masyarakat;

• Aturan: berisi hal-hal yang diperbolehkan dan yang dilarang, dalam dunia perikanan mencakup aturan kapan, dimana, bagaimana dan siapa yang boleh menangkap ikan;

• Hak: berisi bundle of right pengguna atas sumberdaya alam. Menurut Ostrom dan Sclanger (1996) adalah access right,

withdrawal right, management right, exclusion right, dan

• Pemegang otoritas: merupakan organisasi atau lembaga yang dibentuk masyarakat yang bersifat formal/informal untuk kepentingan mekanisme pengambilan keputusan.

• Sanksi: sanksi merupakan indikator berjalannya suatu aturan. Sanksi mempunyai beberapa tipe, yaitu: sanksi sosial, sanksi ekonomi, sanksi formal/hukum dan sanksi fisik; dan

• Evaluasi dan monitoring: terdapat adanya mekanisme evaluasi dan monitoring oleh masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiendi pengelolaan.

c. Dimensi kognitif. Dimensi ini berisi teknik pengelolaan dan indigenous

knowledge. Ruddle (2002) dalam Satria (2009), medefinisikan

karakteristik pengetahuan lokal sebagai berikut:

• Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan dengan kondisi lokal dan bersifat terperinci;

• Berorientasi pada hal-hal yang bersifat praktis yang menyangkut perilaku serta fokus terhadap tipe-tipe sumberdaya dan species;

• Terstruktur secara kompatible dalam pemaknaan pemanfaatan dan pelindungan sumerdaya alamnya sebagai kesadaran akan pentingnya konservasi sumberdaya; dan

• Bersifat dinamis.

Sedangkan Berkes (1999) dan Satria (2009), mengidentifikasikan karekteristik pengetahuan asli sebagai berikut:

• Pengetahuan melekat pada budaya lokal;

• Memiliki dimensi ruang dan waktu;

• Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dan obyek;

• Komitemen bahwa lingkungan lokal bersifat unik dan menjadi tempat yang tidak bias berpindah; dan

• Tidak menggunakan pendekatan instrumental terhadap alam.

Disadari bahwa sumberdaya perikanan karang hidup merupakan sumerdaya yang berifat common pool resources yang melekat sifat open access

didalamnya. Hasil studi dari Agrawal (dalam The Drama of the Commons, 2002) menjelaskan institusional keberlanjutan dalam pengelolaan sumerdaya milik bersama, mempunyai dua tipe permasalahan. Tipe pertama adalah substansi. Substansi dalam institusi pengelolaan sumberdaya alam kurang mendapat pemahaman dari peneliti sumberdaya alam. Kebanyakan dari mereka hanya memfokuskan bahwa pengaturan sumberdaya alam menghasilkan sifat yang berdaya efesien, terdapat alokasi kesejahteraan, dan bersifat konservasi berkelanjutan. Kekeliruan yang terjadi, bahwa dalam pengaturan dan pengelolaan sumberdaya alam membutuhkan adanya biaya. Sehingga kajian lintas sektoral dalam aspek ekologi, sosial, ekonomi dan kontek budaya (indigenous knowledge) perlu dimasukan dalam kajian keberlanjutan institusional dalam pengelolaan sumberdaya milik bersama. Tipe kedua adalah berkaitan dengan dasar metode dalam kajian keberlanjutan instutsional dalam pengelolaan sumberdaya alam, bahwa kebanyakan para peneliti fokus dalam mengkritik dari segi kelembagaan organisasi, kemampuan adaptasi dan keberlanjutan sumberdaya milik bersama, yang sebetulnya belum bisa membangun perkembangan konsep teori untuk keberlnajutan sumberdaya milik bersama. Seharusnya metode dasar dalam kajian keberlanjutan institusi mencakup faktor-faktor utama keberlanjutan, kesetaraan dan keefesiensian institusi dalam pegelolaan sumerdaya milik bersama yang sebetulnya bersifat relatif sebaliknya.

Ostrom (1995); Satria (2009), mengantarkan beberapa indikator kerja institusi pengelolaan sumberdaya perikanan, indikator tersebut adalah:

Clearly Defined Boundaries. Kejelasan batas wilayah: batas wilayah

dirumuskan secara jelas, sehingga setiap orang mudah untuk mengidentifikasi dan mengenalnya;

Proprotion Equivalence Between Benefits and Costs. Kesesuain aturan

dengan kondisi lokal: memiliki aturan-aturan yang tepat untuk kepentingan kelestarian sumberdaya, perlindungan ekonomi lokal, serta penguatan sistem sosial dan aturan-aturan tersebut mudah ditegakkan dan mudah diawasi;

didasarkan atas pertimbangan saitifik, pengetahuan lokal, maupun kearifan lokal melalui mekanisme lembaga lokal; Adanya kelembagaan lokal yang berfungsi mengatur mekanisme pengelolaan, membuataturan, merevisi aturan serta mekanisme pengambilan keputusan;

Monitoring. Pelaksanaan pengawasan dihormati masyarkat: masyarakat

memiliki instrument danmekanisme pengawasan sendiri dengan para pelaku pengawasan yang mendapat legitimasi masyarakat;

Graduated Santion. Berlakunya sanksi: ukuran keberhasilan suatu aturan

adalah tegaknya sanksi bagi para pelanggarnya, baik sanksi sosial, sanksi administratif, maupun sanksi ekonomi.

Conflict Resolution Mechanism. Mekanisme penyelesaian konflik:

masyarakat memiliki mekasnisme penyelesaian konflik di luar mekanisme formal;

Minimal Recognition of Rights to Organize. Kuatnya pengakuan dari

pemerintah: pengakuan dari pemerintah dapat berbentuk undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan daerah; dan

For resources that are part of larger systems:

Nested Enterprises. Adaya ikatan atau jaringan degan lembaga luar.

Jaringan dengan dunia luar yang dimaksud adalah baik jaringan antar komunitas (bridging social capital) maupun dengan di luar komunitas seperti akademis, LSM, maupun swasta (lingking social capital).