• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Struktur Sosial Masyarakat Nelayan

Struktur sosial sangat erat sekali hubungannya dengan sistem sosial. Struktur sosial melekat pada hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial. Pola hak dan kewajiban antar pelaku dalam interaksi sosial terwujud dalam rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam jangka waktu tertentu. Hak dan kewajiban antar interaksi pelaku tersebut melekat pada peran dan status antar pelaku. Status dan peran itu bersumber pada sistem penggolongan yang ada dalam masyarakat menurut kebudayaan masyarakat yang bersangkutan yang berkaitan dengan kesatuan sosial dan interaksi sosial. Menurut Satria (2002), status adalah kumpulan hak dan kewajiban yang melekat pada masing-masing aktor (pelaku), sedangkan peran adalah aspek dinamis dari status. Status dan peran seorang nelayan berbeda dengan status dan peran seorang bos. Peran dan status pada suatu masyarakat diatur oleh norma-norma yang diakui dan dipatuhi oleh pelaku.

Kompleksitas karakteristik struktur sosial suatu masyarakat tergantung dari keadaan masyarakat, semakin modern masayarakat tersebut maka semakin luas interaksi sosialnya dan semakin banyak pula sumber status, peran, hak dan kewajiban antar pelakunya. Satria (2002), menyebutkan karakteristik masyarakat pesisir sebagari representasi komunitas desa-pantai yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Sistem pengetahuan

Pengetahuan merupakan indigenous knowledge tentang teknik penangkapan ikan yang didapat secara turun temurun dari nenek moyang. Pengetahuan lokal tersebut merupakan kekayaan hingga kini terus dipertahankan demi terjaminnya kelangsungan hidup nelayan; 2. Sistem kepercayaan

Secara sosio-religio magis, nelayan masih kuat kepercayaannya bahwa laut mermpunyai nilai magis untuk keselamatan dan terjaminnya hasil tangkapan ikan. Dalam masyarakat Bajo, kepercayaan laut sebagai

“mbo dilao” merupakan kebudayaan dan kepercayaan tersendiri, yang

mempunyai peran bahwa hidup mereka adalah tergantung dari laut. Selain itu masyarakat Bajo menyebut laut dengan sebutan “koko dilao” yang artinya adalah kebon untuk penghidupan mereka;

3. Peran wanita

Peran istri nelayan mempunyai peran yang vital dalam menstabilkan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga nelayan. Suami mempunyai peran menangkap ikan secara berkala, sedangkan istri mempunyai peran dalam pengelolaan pendapatan rumah tangga, juga mempunyai peran terhadap ikatan hutang suami terhadap majikannya. Sedangkan istri majikan mempunyai peran yang penting dalam pengaturan keuangan untuk usaha produksi suaminya.

4. Struktur sosial

Struktur sosial masyarakat pesisir dicirikan dengan kuatnya ikatan patron-klien. Ikatan patron-klien dinilai sebagai konsekuensi dari sifat kegiatan penangkapan ikan yang mempunyai resiko besar, uncertainty

dan unpredictable. Pola ikatan patron-klien merupakan jaminan secara

ekonomi bagi komunitas nelayan; 5. Posisi sosial nelayan

Posisi nelayan berada dalam posisi yang margin dan rendah. Hal ini dikarenakan karena aktifitas nelayan yang sebagaian besar dihabiskan di laut, sehingga mempunyai sedikit waktu berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Posisi margin, kebanyakan dari nelayan terikat

dalam posisi yang tidak mempunyai posisi tawar baik dalam proses penjualan hasil tangkap, maupun dalam akses perdagangan (pasar). Menurut Satria (2002), nelayan adalah seseorang yang sumber mata pencahariannya secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan. Sebagai komunitas nelayan berbeda secara karakteristik dengan komunitas lainnya. Perbedaan tersebut terletak pada: 1). Komunitas nelayan, tinggal dan menetap serta melakukan aktivitas di perairan sebagai kebudayaan dan keberlangsungan hidup individu dan komunitasnya, 2). Alat operasi tangkap ikan, nelayan menggunakan peralatan sederhana, baik tanpa mesin maupun dengan mesin, 3). Struktur sosial dalam masyarakat nelayan dicirikan dengan kentalnya hubungan patron-klien. Hubungan patron-klien dinilai menjaga kelangsungan proses produksi karena pola patron-klien merupakan institusi jaminan ekonomi produksi perikanan, dan 4). Ikatan patron-klien tersebut menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam komunitas.

Menurut data penelitian sebelumnya (Glaser, et.al, 2010; Radjawali, 2011; Deswandi, 2012), dalam usaha yang dilakukan di Kepulauan Spermonde, menangkap ikan konsumsi karang hidup, nelayan memiliki karakteristik perbedaan alat tangkapnya, seperti: (1). pabius adalah nelayan yang alat penangkapannya menggunakan bius, (2). pabom adalah nelayan yang menggunakan bom dalam menangkap ikan, (3). papancing, dimana pancing sebagai alat untuk menangkap ikan, dan (4). pabubu maupun pareng-reng, alat tangkap ikan dengan bubu dan jaring.

Mengenai hubungan patron-klien (Legg, 1983; Najib, 1999, dalam Satria, 2002; Radjawali, 2011), mengungkapkan bahwa tata hubungan patron-klien dalam struktur sosial masyarakat nelayan bersifat:

1. Terjadi hubungan asimetris antar aktor pemanfaat dan pengguna sumberdaya perikanan;

2. Hubungan yang bersifat khusus yang bersifat pribadi yang saling membutuhkan berdasarkan rasionalitas ekonomi, kekuasaan (power), maupun kinship;

3. Hubungan tersebut didasarkan atas hubungan timbal balik yang saling membutuhkan.

Dalam struktur sosial nelayan ikan konsumsi karang hidup, pola hubungan patron-klien merupakan ciri spesifik dari struktur komunitasnya. Hubungan patron-klient adalah hubungan asimetris ketergantungan yang terjadi antara pekerja/debitur dengan pengusaha (pemodal)/kreditur (Radjawali, 2012). Hubungan patron-klien merupakan struktur asli yang diadopsi dari pertanian, namun dalam perikanan dikembangkan lebih kompleks. Merujuk Foster (dalam Satria, 2002), bahwa gejala patron-klien disebut juga dengan istilah dyadic

contract, artinya hubungan antara dua kesatuan produksi dan distribusi yang

bekerja sama.

Pandangan James C. Scott (1993:7-8), banyak dijadikan rujukan teori dalam mengupas pola hubungan sosial assosiatif antara patron dan klien (patronase). Hubungan patron-klien adalah hubungan vertikal yang menunjukkan hubungan kesetiaan antara klien terhadap patronnya. Hubungan patron-klien merupakan sebuah pertukaran hubungan antara kedua peran, yang bersifat diadik melibatkan hubungan instrumental di mana seorang patron dengan status sosial- ekonomi lebih tinggi menggunakan pengaruh dan sumberdayanya untuk memberikan perlindungan ataupun keuntungan bagi seseorang dengan status lebih rendah (klien). Hubungan patron-klien bersifat inequality dan flexibility sebagai sebuah pertukaran pribadi. Jaringan patron-klien merupakan jaringan pertukaran tradisional yang berfungsi sebagai penyatu hubungan pertukaran individu baik dalam kontek kekerabatan maupun di luar kekerabatan sebagai balok pertukaran yang timbul dari kebutuhan sumberdaya dari masing-masing aktor yang terlibat, seperti materi, jasa, perlindungan, dsb.

Masih menurut Scott (1993: 9), jaringan patronase (arus dari patron ke klien) meliputi: (1). Penghidupan subsistensi dasar, berupa pemberian pekerjaan tetap, penyediaan sarana produksi, jasa pemasaran dan bantuan teknis; (2). Jaminan krisis subsistensi berupa pinjaman yang diberikan pada saat klien menghadapi kesulitan ekonomi; (3). Perlindungan terhadap klien dari ancaman pribadi (musuh pribadi) dan ancaman umum (tentara, pejabat atau pemungut pajak); (4). Makelar dan pengaruh, jika patron memberikan perlindungannya terhadap ancaman yang berasal dari luar, patron juga menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menarik kliennya. Perlindungan merupakan peran

defensifnya dalam menghadapai dunia luar, sedangkang kemakelaran adalah peran agresifnya untuk tetap membuat klien bersifat loyal terhadapnya. (5). Memberikan jasa kolektif berupa bantuan untuk mendukung sarana umum setempat serta mendukung adanya kegiatan hari besar di daerahnya.

Pelras (2000: 16), menyebutkan bahwa hubungan patron-klien sebagai karakteristik pertukaran yang bersifat umum, tidak seimbang (tetapi secara teori tidak terikat) merupakan hubungan antara superior (patron/leader) dan inferior (klien atau pengikut), sebagai bentuk pertukaran yang asimetris, di mana posisi patron mempunyai kekuasaan dalam pengambilan keputusan akan kliennya, termasuk jaminan dalam hal keamanan, ekonomi, politik, tekanan militer dan sebagainya, sampai terhadap bentuk pertukaran sistem hutang dan perlindungan yang dibutuhkan oleh patron dan klien.

Dari temuan hasil peneltian sebelumnya, pada komunitas struktur nelayan ikan konsumsi karang hidup di Kepulauan Spermonde (2010), sangat kental diwarnai adanya sistem patron-klien. Patron memberikan jaminan sosial terhadap kliennya dalam bentuk hutang dan modal untuk melakukan kegiatan produksi, membeli hasil produksi tangkapan, dan melindungi kliennya dari ancaman- ancaman kelancaran produksi. Sedangkan klien mempunyai kewajiban menjual hasil tangkapannya kepada patronnya dengan kesepakatan harga yang telah di sepakati dan ditentukan. Sistem patron-klien menyebabkan adanya stratifikasi sosial.

Komoditas ikan konsumsi karang hidup, nelayan tidak berdiri sendiri, artinya nelayan mempunyai penjamin sosial akan kehidupan mereka dan produksi mereka untuk dapat dipasarkan keluar pulau. Nelayan mempunyai juragan pembeli yang tidak luput juga memberikan peralatan tangkap dan perahu untuk produksi ikan konsumsi karang hidup. Komoditas ikan konsumsi karang hidup membentuk struktur komunitas nelayan di Kepulauan Spermonde yang terkenal dengan istilah ikatan punggawa-sawi. Punggawa adalah seorang juragan yang memberikan hutang dan jaminan sosial kepada sawinya (nelanyannya) untuk melanjutkan usaha produksi penangkapan ikan konsumsi karang hidup. Sedangkan sawi adalah nelayan yang memberikan atau menjual hasil tangkapannya kepada punggawa mereka. Dikaji dari segi sosial dan ekonomi,

tingkat kehidupan nelayan kecil tidak banyak berubah. Artinya, tingkat kesejahteraan mereka bersifat statis bahkan merosot. Hal yang seperti ini dialami oleh buruh-buruh sawi yang bekerja kepada punggawa baik menggunakan alat tangkap tradisional maupun modern seperti perahu joloro. Karena mempunyai tingkat kesejahteraan rendah, maka dalam struktur masyarakat sawi merupakan lapisan sosial yang paling bawah.

Struktur masyarakat nelayan yang kental dengan ikatan patron-klien menyebabkan terjadinya stratifikasi sosial dalam struktur masyarakat nelayan tersebut. Startifikasi sosial berarti pembedaan masyarakat berdasarkan strata (kelas) secara hirarkhi (Sorokin, 1969; dalam Satria 2002). Basis dari pembedaan tersebut adalah right and previllage, duties and responsibility, social values and privations, and social powers and influences among the member of society. Sehingga startifikasi sosial masyarakat nelayan dapat dibedakan berdasarkan: (a). stratifikasi berdasarkan ekonomi, (b). stratifikasi berdasarkan politik dan (c). stratifikasi berdasarkan pekerjaan.