• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Jember, merupakan kabupaten yang yang diduduki oleh masyarakat pendalungan, memang ketika membicarakan Pendhalungan, citra yang lebih banyak muncul adalah perpaduan antara dua tradisi besar, Jawa dan Madura. Pendapat tersebut didukung pula oleh fakta bahwa kedua etnis tersebut merupakan warga mayoritas di Jember. Interaksi antara warga Madura dan Jawa melahirkan sebuah bahasa Jawa dialek Jember yang memiliki perbedaan dalam struktur dengan bahasa Jawa pada umumnya. Dalam konteks kesenian, terjadi pula proses perpaduan, yang mana lebih condong mengarah ke kesenian yang berakar budaya Jawa. Di Desa Candi Jati, Kecamatan Arjasa Jember, contohnya, terdapat komunitas kesenian ludruk Masa Jaya yang dalam pertunjukannya menggunakan bahasa Madura, mereka menggunakan bahasa Madura karena memang disesuaikan dengan para penikmat atau penontonnya, yang merupakan orang- orang berasal dari etnis Madura. Di Desa Panti, terdapat kelompok jaranan Turonggo Sakti yang mengkombinasikan jaranan Jawa dan Osing, sedangkan para pemainnya merupakan campuran antara warga etnis Madura, Jawa, dan sebagian kecil Osing.

Pendhalungan menurut Prawiroatmodjo (dalam Raharjo, 2006) dalam Bausastra Jawa-Indonesia II. Menurutnya, secara etimologis Pendhalungan berasal dari dasar Bahasa Jawa dhalung yang berarti “periuk besar”. Dalam konsep simbolik, „periukbesar’ didefinisikan sebagai tempat bertemunya beragam masyarakat dengan etnis dan kebudayaan yang berbeda, kemudian masyarakat yang beragam tersebut saling berinteraksi dalam ruang dan waktu sehingga melahirkan varian baru kebudayaan yang disebut Pendhalungan.

Jika membahas Pendhalungan pada konteks yang lebih luas, terdapat pula beberapa etnis selain Jawa dan Madura. Etnis tersebut antara lain Tionghoa, Arab

dan Osing, walaupun dirasa sebagai minoritas, mereka juga turut berpartisipasi dalam proses sosial yang terjadi di masyarakat. Dan proses itu tidak berlangsung dalam waktu yang singkat. Di Jember, semenjak migrasi era kolonial dalam rangka mobilisasi massa oleh pihak kolonial (Belanda) telah menghasilkan struktur masyarakat yang multietnis. Dalam kurun waktu yang cukup lama tersebut, sebuah proses budaya dalam masyarakat secara terus menerus berlangsung dalam nuansa damai. Mereka saling berinteraksi dan beradaptasi untuk dapat saling melengkapi berdasarkan peran masing-masing. Etnis Tionghoa dan Arab, misalnya, berperan sebagai pedagang. Etnis Madura lebih banyak berperan sebagai pekerja kebun dan petani serta sebagian kecil berperan dalam dunia pendidikan pesantren sebagai kyai dan ustadz. Sementara etnis Jawa dan Osing mengambil peran sebagai petani, pendidik (formal), dan aparat birokrasi.

Meskipun saat ini peran tersebut sudah ada yang berubah, kendati demikian secara umum bisa dikatakan tetap. Pola interaksi dan adaptasi antar budaya sebagai konsekuensi proses komunikasi antaretnis, telah melahirkan sebuah varian budaya baru bernuansa hibrid yang disebut Pendhalungan. Memang sebagai dua etnis yang dominan, Pendhalungan kemudian lebih bernuansa perpaduan Jawa dan Madura. Pendhalungan merupakan proses interaksi dan komunikasi di antara beragam etnis yang berakar dari peran sosial dan kultural masing-masing yang kemudian menciptakan budaya hibrid. Hibridasi yang dimaksudkan tidak hanya membicarakan proses perpaduan atau kombinasi antara bermacam budaya yang menghasilkan budaya baru. Hibridasi yang terjadi di wilayah Pendhalungan merupakan hibridasi struktural dan hibridasi kultural.

Pada masyarakat Pendhalungan dengan keberagaman etnik di dalamnya, telah terjadi proses persilangan peran sosial, misalnya dalam pilihan organisasi sebagai dampak atas saling berinteraksinya budaya mereka. Saat ini, misalnya, sebagian besar warga etnik Madura memilih untuk menjadi pegawai pemerintah maupun pendidik formal sehingga dominasi etnis Jawa, kini sudah tidak ada lagi. Sedangkan hibridasi kultural pada masyarakat Pendhalungan, yang mana merupakan percampuran beragam bahasa dan tradisi dari etnik yang beragam pula, membentuk „budaya baru’.

Salah satu budaya baru yang telah terbentuk adalah Bahasa Jawa Dialek Jember, bahasa Jawa dialek Jember ini kerap kali digunakan oleh komunitas Madura dan Jawa yang bertempat tinggal di kota maupun pinggiran kota. Tiga etnis yang lain juga melakukan proses interaksi dengan warga Jawa dan Madura. Etnis Tionghoa, memiliki peran utama dalam transaksi dagang, yang mana dalam berinteraksi sebagian besar menggunakan bahasa Madura maupun bahasa Jawa bercampur logat Tionghoa yang cukup kental. Begitu pula dengan etnis Arab. Pada wilayah-wilayah kota-kota kecamatan, seperti Ambulu, Jember, kita dapat menemukan perkampungan Arab di mana warganya sebagian besar berinteraksi dengan menggunakan bahasa Jawa bercampur logat Bahasa Arab. Sedangkan pada tradisi keseniannya, disamping penterjemahan konsep kesenian Jawa ke dalam Bahasa Madura, terjadi pula keterlibatan lintas etnis dalam kesenian Tionghoa dan Arab, namun bentuk pertunjukannya masih tetap.

Pada kesenian Barongsai dan Liang liong Jember, misalnya, banyak pelaku keseniannya baik sebagai penari maupun pemain musiknya merupakan dari etnis Madura maupun Jawa. Begitu pula yang terjadi dengan penggarapan kesenian Gambus (Arab), Kendang Kempul dan Janger (Osing) yang juga melibatkan etnik Madura dan Jawa. Sehingga, meskipun telah terjadi hibridasi, namun di Pendhalungan tetap belum menghasilkan „sesuatu yang sepenuhnya baru’. Sehingga dapat dikatakan terdapat kesadaran dan kemauan personal untuk berpartisipasi ke dalam kelompok kesenian etnis lain, baik karena motivasi ekonomi ataupun kesadaran budaya dan tidak berarti mereka kehilangan jati diri budaya etnis asal mereka.

Di samping hibridasi yang berorientasi pada keterlibatan personal, ada pula hibridasi yang menghasilkan bentuk kesenian baru, semisal kesenian Can- Macanan Kaduk dan Musik Patrol Jember. Can-macanan kaduk merupakan kesenian yang diduga berasal dari tradisi pekerja kebun yang mana ketika mereka harus menjaga kebun dari serangan hewan liar ataupun pencuri. Kesenian ini berdasarkan sudut pandang estetika pertunjukannya dapat disimpulkan merupakan perpaduan konsep kesenian Barongsai Tionghoa dan Barongan Osing serta instrumen musik Jawa. Meskipun berbeda latar historis penciptaan, Singo Ulung

bisa dikatakan hampir mirip dengan Can-Macanan Kaduk, meskipun saat ini tampilan kostum dan gerakan-gerakan tarinya lebih terlihat bagus karena sudah mendapatkan sentuhan dari koreografer profesional. Sedangkan Wayang Kerte, terbuat dari kayu pipih namun karakter dan ceritanya diambil dari kehidupan sehari-hari masyarakat (Raharjo, 2006).

Khususnya kesenian tradisional musik patrol, kesenian tradisional musik patrol berkembang di dalam sejumlah komunitas musik patrol, terutama komunitas musik patrol di kabupaten Jember. Komunitas musik patrol merupakan komunitas yang berada pada kategori seni musik tradisional dengan bentuk seni suara, dan komunitas musik ini mengambil kesenian tradisional musik patrol sebagai objek keseniannya, komunitas ini terdiri dari lima belas anggota, jumlahnya bisa kurang dari lima belas atau lebih, disesuaikan dengan kebutuhan komunitas tersebut, dan dengan satu pemain pesuling, terkadang dengan satu tambahan personil, yaitu penyanyi dan itupun disesuaikan dengan permintaan pengguna jasa atau sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kompetisi. Di samping itu, komunitas ini juga bertujuan melestarikan kesenian tradisional musik patrol. Komunitas musik patrol memainkan alat musiknya secara bersama-sama layaknya gamelan. Namun bedanya alat yang digunakan merupakan alat tradisional berupa tabung kayu atau yang biasa disebut kentongan, lagu yang dimainkan biasanya memainkan lagu-lagu “banyuwangian” dan “maduraan”.

Jika dilihat dari konteks sejarahnya, kesenian musik patrol di Jember berawal dari para penduduk setempat yang pada saat itu banyak yang memelihara burung merpati, setiap penduduk yang memelihara burung merpati selalu memiliki patrol, sebagai alat untuk memanggil merpati (Andhika, 2014), ditegaskan pula oleh pak Hendro, bahwa patrol ini merupakan alat musik yang terbuat dari bambu atau dari kayu, dan pada saat itu hanya sekedar digunakan sebagai bunyi-bunyian yang tidak beraturan. Patrol pada kala itu digunakan untuk menurunkan dan menaikkan burung merpati, baik digunakan sebagai tanda pulang karena sudah larut malam maupun sebagai tanda bahwa rumahnya di sini. Dan sampai sekarang masih digunakan demikian. Selain itu, pada saat itu musik patrol kerap pula digunakan orang-orang meronda.

“patrolnya itu dibuat mengingatkan itu rumahnya, terus untuk menaikan menurunkan kan pake kentongan, merpati itu “tuk tuk tuk!!!” nah itu diingatkan, malam itu ditabuh biar pulang, biar tahu tempatnya di sini, jadi malem itu diingatkan merpati itu...punya, banyak, ada di atas sini masih ada, kalo gak pake musik patrol ya sulit, mau naikan turunkan keangelan nanti” (Hendro).

Ditegaskan pula oleh pak Slamet, bahwa dulu pemilik burung-burung merpati menggunakan patrol sebagai tanda agar merpati-merpati tersebut pulang ke rumahnya, “dulu kan banyak burung merpati, yang punya kan bawa patrol satu-satu...dulu patrol buat naik turunkan merpati, malam itu kadang dibunyikan biar pulang”.

Seiring dengan berjalannya waktu, seniman-seniman pada kala itu memodifikasi alat musik patrol, dengan cara merubah skala ukuran alat musik patrol, mulai dari ukuran besar hingga ukuran kecil dan menghasilkan bunyi yang berbeda-beda. Hal ini ditegaskan oleh pak Hendro pengelola komunitas musik patrol Rebloker.

“sama seniman itu dipinjem dibuat mainan patrol itu, jadi musik patrol, terus sama seniman-seniman yang punya pemikiran tinggi itu dipadukan, diambil jadi kecil besar besar, dari besar kecil sampek kecil kecil kecil, jadi keluar musik patrol khas jember”

Karena beragam nada yang dihasilkan alat musik patrol ini, ritme musik dapat diciptakan dan kekhasan ini merupakan kesenian alat musik patrol.