• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 3 METODE PENELITIAN

4.1. Gambaran Pengobat Tradisional

Pengetahuan dan keterampilan pengobat tradisional tentang pengobatan tradisional yang meliputi pengetahuan tentang obat-obat tradisional, pembuatan ramuan obat tradisional beserta teknik penyembuhan atas berbagai macam penyakit secara umum diperoleh sejak usia belia dan diwariskan dari orang tua, kerabat dan juga berdasarkan pengalaman pengobat melakukan pengobatan secara langsung atas penyakit sendiri.

Awalnya para pengobat melakukan secara langsung praktek-praktek pengobatan tersebut dimulai ketika membantu orang tua dan kerabat (nenek) membuat ramuan obat-obatan tradisional, kemudian terlibat secara langsung dalam pengobatan bersama orang tua. Berikut adalah penjelasan beberapa pengobat tradisional yang saya wawancarai dan melakukan praktek-praktek pengobatan tradisional dalam menanggulangi berbagai macam penyakit selama lebih kurang 40 tahun.

Ada 3 sosok pengobat tradisional yang saya pelajari, disebut informan, dan secara kebetulan ketiga informan tersebut adalah perempuan dengan etnis suku Karo. Ke-3 sosok pengobat tersebut mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, dengan usia yang cukup bervariasi dimulai dari usia yang cukup muda, setengah baya dan

usia lanjut. Sehingga kajian tentang pengobat tradisional ini cukup menarik untuk diselidiki atas adanya perbedaan usia dan latar belakang pendidikan tersebut. Adapun ke-3 sosok pengobat tradisional yang saya pelajari tersebut adalah:

4.1.1. Iting

Iting berusia 87 tahun, awalnya belajar dalam usia yang masih sangat belia, dan terlibat dalam pengobatan tradisional hingga akhirnya berprofesi sebagai pengobat tradisional. Pengetahuan dan keterampilannya atas pengobatan tradisional diperoleh dari nenek nya sejak usia 5 tahun. Anak ataupun cucu dari neneknya ini tidak ada yang mau meneruskan pekerjaannya sebagai pembuat obat ramuan Karo, sehingga Itinglah yang diajak untuk membantunya. Dan sekaligus mengajari ramuan- ramuan tersebut, karena neneknya melihat Iting ini memiliki kemampuan atau kelebihan khusus yang dibawanya sejak lahir.

Iting memiliki ciri-ciri atau tanda khusus, memiliki tangan dan kaki kirinya lebih panjang sedikit dibandingkan tangan kanan dan kaki kanannya. Tetapi walaupun begitu, ketika Iting berjalan tidak terlihat sama sekali kalo Iting berjalan jingklak akibat adanya perbedaan kaki yang panjang sebelah tersebut. Menurut neneknya, ciri khusus tersebut menunjukkan bahwa Iting mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Ciri khusus itu diyakini oleh Neneknya dan Iting sendiri adalah merupakan tanda bahwa ia mempunyai kelebihan, dan ciri itu diyakini sebagai suatu isyarat membawa berkah yang baik bagi Iting khususnya dalam melakukan praktik sebagai dukun pengobat tradisional.

Awalnya Iting bersama neneknya melakukan praktik pengobatan di daerah Kabanjahe18, kemudian ia pergi melarikan diri dari rumah karena neneknya berusaha untuk menjodohkannya dengan seorang lelaki, yang menurutnya tidak ia sukai. Akibat perjodohan yang tidak ia kehendaki itu, Iting melarikan diri dari rumah neneknya ke daerah Aceh. Di daerah tersebut ia bertemu dengan seorang laki-laki marga Sembiring dan mereka menikah. Di daerah itu, Iting dan suaminya yang juga berprofesi sebagai pengobat tradisional, melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional. Beberapa tahun kemudian Iting dan suaminya hijrah dan meneruskan pengobatan tersebut ke daerah Medan Tuntungan.

Iting mengaku tidak pernah bersekolah, sehingga ia tidak bisa menulis dan membaca, tetapi menurutnya ia mengenal uang dari warna dan gambar yang tertulis pada uang tersebut. Begitu juga bila ia menghitung jumlah uang, contohnya bila ia pergi berbelanja ke pasar, maka ia mampu melakukan hitungan-hitungan uang dengan baik, dan menurutnya hal itu ia ketahui berdasarkan pengalamannya sehari-hari selama bertahun-tahun.

Dari pernikahannya, ia mempunyai 7 orang anak, 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Bersama suaminya, Iting secara bersamaan melakukan praktik- praktik pengobatan tradisional selama lebih kurang 30 tahun. Dan menurut Iting, ketika bersama suaminya dalam mengelola pengobatan tradisional dengan ramuan

18

Kabanjahe adalah ibukota Kabupaten Karo, Sumatera Utara, terletak sekitar 76 km dari pusat Kota Medan.

Karo, berjalan sangat lancar, karena suaminya sangat ahli dalam pengobatan ramuan Karo tradisional, khususnya dalam menangani pasien “jongkang” (patah tulang).

Ia mengaku, ketika bersama suaminya dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional di daerah Medan Tuntungan, merupakan pengobat tradisional yang sangat terkenal, sehingga jumlah pasien yang berkunjung untuk berobat sangat banyak, baik itu untuk pasien rawat inap dan rawat jalan. Kemudian pada tahun 2000, suaminya meninggal dunia dalam usia 85 tahun karena menderita penyakit darah tinggi yang mengakibatkan stroke. Menurutnya, dalam sehari jumlah kunjungan orang yang berobat untuk pasien rawat jalan dapat mencapai 20-30 orang dalam sehari (termasuk diantaranya orang yang hanya melakukan perawatan tubuh dan kesehatan dengan mandi oukup). Demikian juga untuk pasien rawat inap, jumlah pasien yang dirawat mencapai 20-25 orang, dan menurut pengakuannya pernah rumah tempat perawatannya tidak mencukupi untuk pasien rawat inap, sehingga pasien tersebut dirawat ditempat kerabatnya yang letaknya masih dekat dengan rumah tempat Iting melakukan praktik.

Adapun gambaran rumah yang digunakan, dalam pembuatan serta pencampuran bahan-bahan obat untuk ramuan tradisional Iting, dapat saya gambarkan sebagai berikut, luas ruangan pencampuran ramuan obat 5 x 7 m, atap terbuat dari asbes, lantai semen, dinding terbuat dari beton. Kondisi kebersihan dari ruangan pencampuran dari bahan-bahan ramuan obat ada kesan tidak bersih, terlihat pakaian-pakaian bekas pakai yang ditaruh di kursi, lantai juga terlihat kurang bersih, kemudian sebahagian wadah obat tradisional juga tidak bersih secara baik karena

terlihat kotoran-kotoran yang berwarna kehitam-hitaman menempel pada sebahagian wadah yang digunakan untuk ramuan obat yang sudah jadi.

Selain itu Iting menyediakan tempat rawat inap penderita sakit, dengan luas 10 x 30 meter. Pasien rawat inap kebanyakan adalah penderita ‘jongkang’ (patah tulang), juga penderita penyakit seperti penyakit gula (diabetes mellitus), tekanan darah tinggi (hipertensi), dan lain-lain.

Iting menjelaskan, dalam membuat ramuan obat bila ada bahan yang kurang atau belum dimasukkan ke dalam ramuan yang dibuat olehnya, karena Ia lupa memasukkan suatu bahan maka Iting dapat mengetahui dari bau ramuan tersebut. Menurutnya, ia tidak menuliskan resep ramuan obat tersebut karena ia tidak dapat menulis dan membaca. Pengalamannya yang cukup lama dalam melakukan praktik- praktik pengobatan tradisional, membuatnya sangat ahli dalam membuat ramuan obat.

Pembuatan ramuan obat dilakukan dengan cara, semua bahan ramuan obat digiling dengan alat penggiling khusus, diaduk dengan menggunakan tangan. Menurutnya, ia dapat merasakan apakah ramuan obat tersebut sudah tercampur dengan baik. Sebagai bahan pengawet agar ramuan bahan-bahan yang sudah dicampur dapat bertahan lama digunakan rimo bunga.

Untuk memeras air rimo bunga yang berguna sebagai pengawet sehingga

tawar yang sudah jadi tidak mudah basi, digunakan kayu jambu yang kecil, pada

salah satu ujung kayu diruncingkan, setelah itu asam yang sudah dipotong tengahnya diperas dengan menggunakan kayu tersebut. Cara untuk mengetahui bahwa rimo

bunga sudah cukup sebagai pengawet dalam tawar tersebut, adalah dengan

menambahkan perasan air rimo bunga ke dalam campuran bahan yang sudah digiling, kemudian perlahan-lahan air rimo bunga akan meresap sampai kebawah, demikian diulang secara terus menerus sampai diperoleh batas akhir, yaitu sediaan obat yang sudah digiling tidak kering atau pada permukaan atas obat tersebut mengandung banyak air asam.

Semua bahan-bahan sisa (sampah) dari pembuatan ramuan obat tidak dibuang, seperti biji asam dicampur dengan bahan-bahan lain, digunakan sebagai obat untuk penyakit darah tinggi (tensi), stroke, masuk angin. Sisa bahan lain seperti kulit rimo

bunga, digunakan untuk campuran bahan oukup yang juga terdiri dari bermacam-

macam tanaman. Oukup dimaksudkan untuk bahan mandi uap yang berfungsi untuk membuang racun-racun yang ada dalam tubuh, dan memperlancar peredaran aliran darah.

Bahan-bahan yang dipakai untuk ramuan obat diambil dari hutan di daerah Kabanjahe oleh seseorang yang sudah ditugaskan dan mereka sudah lama melakukan kerja sama seperti itu. “Orang yang mengambil tanaman itu punya “indera keenam”, kalau tidak mana berani tinggal di hutan dan ngambil sampai jauh sekali, tempatnya di tempat pesawat jatuh”19. Iting menjelaskan kepada saya. “Orang itu tinggal

19

Lokasi pesawat jatuh dimaksudkan adalah, tempat di mana Garuda Indonesia Penerbangan GA 152 dengan pesawat Airbus A300-B4 yang jatuh di Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Indonesia (sekitar 32 km dari bandara dan 45 km dari Kota Medan) saat hendak mendarat di Bandara Polonia Medan pada 26 September 1997. Kecelakaan ini menewaskan seluruh penumpangnya yang berjumlah 222 orang dan 12 awak dan hingga kini merupakan kecelakaan pesawat terbesar dalam sejarah Indonesia. Pesawat tersebut

di hutan dan kalau obat yang diambil sudah cukup kadang-kadang diantar sendiri atau dikirim kepada orang yang juga masih ada hubungan keluarga dengan aku”. Bahan lain diperoleh dari masyarakat yang khusus menanam di daerah Kabanjahe, sebahagian lagi dibeli dari pasar seperti Pusat Pasar (Pajak Sentral), dan Pancur Batu.

Selanjutnya, untuk membuat ramuan obat akan dilakukan apabila obat sudah akan habis dan tergantung “mood yang baik” dari Iting, dalam membuat ramuan obat ada doa-doa tertentu sebelum pembuatan ramuan obat dilakukan. Doa tersebut hanya diketahui oleh Iting, karena ketika saya menanyakan isi doa tersebut ia tidak berkenan untuk mengungkapkannya.

Cerita lain dari Iting, Ia pernah menjadi tenaga konsultan informal dalam melakukan pertolongan persalinan di Rumah Sakit di Kabanjahe. Katanya, sebelum dokter-dokter memutuskan apa tindakan yang akan dilakukan kepada pasien yang akan melakukan persalinan, bertanya dulu kepada Iting. Jika Iting bilang operasi maka dokter baru melaksanakan operasi, jika tidak maka dokter tidak melakukan operasi. “Aku bisa menolong orang melahirkan, kata dokter orang ini harus dioperasi karena kakinya duluan yang keluar, tapi ‘ku bilang nggak usah dioperasi, ‘ku bilang sama orang yang mau melahirkan itu, jangan kam takut, keluarkan saja, kutarik kaki anak itu sambil ku dorong pake kakiku kaki orang yang melahirkan itu, keluarlah anaknya. “Dokter saja pun nggak berani bikin seperti itu nak ku” Iting menceritakan

sedang dalam perjalanan dari Jakarta ke Medan dan telah bersiap untuk mendarat. Menara pengawas Bandara Polonia kehilangan hubungan dengan pesawat sekitar pukul 13.30 WIB.

pengalamannya dahulu ketika bekerja sebagai tenaga konsultan informal dengan salah satu Rumah Sakit di Kabanjahe.

Selanjutnya dia menjelaskan beberapa keunikan yang ada pada dirinya sebagai pengobat “Aku nggak pernah sekolah, surat saja pun aku nggak tau, dokter saja nggak percaya aku nggak tau surat tapi aku bisa menolong orang yang melahirkan”. “Itu semua karena tanganku yang sebelah kiri ini ‘nak ku, tangan ini adalah tangan Tuhan karena dia yang tau penyakit orang dan dari otak ku datang sendiri penyakit apa orang yang aku urut, tapi kalau aku pake tangan kanan dia nggak tau jadi aku bukan dukun ‘nak ku”. Kata Iting sambil bercanda, ‘tangan kananku ini menghabiskan uang, tetapi tangan kiriku ini mencari uang’, kemudian Iting menunjukkan kakinya dan menjelaskan kepada saya, “Aku punya kaki kiri lebih panjang dari kaki kanan dan ini adalah berkat Tuhan sehingga aku bisa mengobati orang” (saya melihat posisi lutut tidak sama, lutut kanan lebih tinggi dari lutut kiri). Dan yang membuat saya takjub adalah ketika Iting berjalan, tidak tampak sama sekali kalau Iting berjalan jingklak karena kaki yang panjang sebelah itu, Iting berjalan layaknya orang normal).

“Dikalangan masyarakat Barat maupun Non-Barat, unsur-unsur supranatural sering memainkan peranan dalam menentukan siapa yang akan menjadi penyembuh. Di Spaniol, pengobat rakyat yang paling penting, saludador (“yang membuat orang sembuh”, dari kata

salud = “sehat”) mendapat gracia, anugerah khusus dari Tuhan,

yang terwujud dalam situasi kelahiran” (Foster 1953a: 213 dalam Foster, 2008: 127).

Artinya, hal seperti yang terjadi pada masyarakat Barat dan Non-barat tersebut juga berlaku bagi Iting, anugerah khusus dari Tuhan yang diterimanya dalam situasi

kelahiran yaitu kaki kirinya sedikit lebih panjang dari kaki kanan. Ia menganggapnya sebagai sebuah “berkat” sehingga diyakini dapat menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit. Hal itu semakin mengukuhkan dirinya sebagai seorang penyembuh yang mendapat “anugerah” dan orang-orang dekat di sekitar tempat tinggal Iting juga mengakui akan adanya kelebihan tersebut.

Dalam hal biaya pengobatan untuk setiap pasien selama dalam melakukan praktik-praktik pengobatan tidak pernah menentukan tarif pengobatan, penentuan tarif adalah sesuatu yang tabu bagi Iting. Tetapi Iting juga menjelaskan kepada saya, bahwa katanya pasien-pasien yang berobat kepadanya ada juga yang membayar tidak sesuai dengan biaya pengobatan yang dilakukannya. Misalnya, kalau dibuat perhitungan dalam pengobatan seperti biaya untuk verband (pembalut luka) dan bahan-bahan yang digunakan untuk ramuan pengobatan itu semuanya dibeli, dan menurut Iting harusnya pasien sudah tahu dan menyesuaikannya dengan harga di Rumah Sakit.

Cerita lain selama Iting melakukan pengobatan dengan ramuan tradisional adalah, bahwa Bachtiar Chamsyah (Menteri Sosial dalam Kabinet Indonesia Bersatu), menurut Iting adalah anak angkatnya. Iting pernah tinggal selama 2 bulan di rumah beliau untuk mengobati cucu angkatnya tersebut. Menurut pengakuan Iting, anaknya menderita sakit dan sudah dibawa ke dokter tetapi tidak juga sembuh, akhirnya ada keluarga Bachtiar Chamsyah yang mengenal Iting dapat menyembuhkan penyakit yang tidak dapat ditangani oleh dokter. Menurut Iting, sakit cucu angkatnya itu dikirimkan orang melalui guna-guna, dan ia pun mengobatinya sampai sembuh.

Menurut Iting, karena cucu angkatnya sembuh maka ia diminta untuk tinggal untuk waktu yang lebih lama lagi, tetapi ia menolaknya. Kata Iting “tidak enak tinggal di rumah orang kaya, banyak uang di rumahnya sehingga selalu saja ada orang-orang jahat yang mengintai rumahnya”. Ketika ia pulang kembali ke Medan, ia diberi hadiah dan menurutnya rumah tempat ia melakukan praktik pengobatan tersebut juga dapat ia perbaiki menjadi lebih bagus bentuknya adalah karena kontribusi yang diberikan oleh anak angkatnya tersebut.

Suatu hari ketika saya datang untuk melakukan bincang-bincang dengan Iting, beliau memperlihatkan bahan-bahan obat yang baru datang (bahan tanaman yang akan digunakan itu terletak diteras depan rumah Iting). Cukup banyak jenis-jenis bahan obat tersebut, dan saya sempat terkecoh, ada satu daun saya katakan bahwa daun tersebut adalah daun kecibeling, tetapi ternyata bukan kata Iting. Menurut saya, butuh waktu yang cukup lama untuk menghapal dan mengingat semua jenis tanaman tersebut. Dan karena pengalaman Iting yang sudah lama melakukan praktik-praktik pengobatan tradisional, Iting dapat mengenali dengan baik nama, jenis dan khasiat dari tanaman tersebut. ‘Nanti waktu membuat ramuan obat maunya kam datang juga

‘nak ku, biar tau kam bagaimana cara-cara membuatnya’.

Beberapa tanaman obat yang diperkenalkan Iting beserta kegunaannya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut:

Tabel 4.1. Beberapa Tanaman Obat dengan Masing-Masing Kegunaannya

No Nama Tanaman Kegunaan

1 Lateng ndiru Untuk mandi uap

2 Kerto Untuk mandi uap

3 Paris warup Untuk mandi uap dan kuning

4 Benang-benang jarum Untuk mandi uap dan tawar

5 Daun cimen riris Untuk mandi uap dan kuning

6 Daun belasih Untuk mandi uap

7 Belo sirih Untuk mandi uap

8 Tumbuk tulan Untuk mandi uap dan kuning

9 Polasari Untuk patah tulang

10 Raja bulung-bulung Untuk patah tulang

11 Asar-asar Untuk patah tulang

12 Kapel-kapel Untuk patah tulang

13 Bunga kiong Untuk kesemua obat digunakan

14 Paris Untuk patah tulang

15 Daun siberani Untuk patah tulang

16 Sigerbeng Untuk obat mata rabun

17 Daun krah kandang Untuk mandi uap dan patah tulang

18 Sere wangi Untuk mandi uap dan patah tulang

19 Daun debuk-debuk Untuk obat gula (diabetes mellitus)

20 Tubung Untuk mengompres luka yang bengkak

4.1.2. Ibu Ati

Pengobat tradisional selanjutnya adalah seorang ibu berusia 50 tahun, Ibu Ati (atas permintaan dari informan maka nama sebenarnya harus saya samarkan). Pengetahuan dan keterampilannya sebagai pengobat tradisional dimulai ketika dia masih usia belia yang diperoleh dari ke dua orang tuanya. Awalnya Ibu Ati melakukan praktek pengobatan tradisional bergabung dengan orang tua dan saudaranya laki-laki. Perbedaan pemahaman dalam menangani pasien dengan saudaranya laki-laki yang juga berprofesi sebagai pengobat tradisional membuatnya berfikir untuk membuka praktek pengobatan tradisional secara mandiri. Perbedaan

pemahaman tersebut terletak pada cara (manajemen) pengelolaan pengobatan tradisional tersebut, di mana Ibu Ati mengkombinasikan pengobatan tradisional dengan cara medis modern, sedangkan saudara laki-lakinya tidak berkenan dengan cara tersebut. Kemudian dia memberanikan dirinya untuk membuka secara mandiri pada tahun 2004 dengan bekal pengetahuan yang sudah dia peroleh dari ibu dan sebahagian dari bapaknya sebelum meninggal dunia.

Ibu Ati menikah dengan dengan seorang laki-laki bernama Raja Perangin- angin, dari hasil pernikahannya memiliki 5 orang anak kandung dan seorang anak angkat (anak dari saudara laki-laki yang dia asuh sejak masih bayi). Suaminya bekerja sebagai seorang pegawai negeri sipil, dan akibat menderita penyakit tekanan darah tinggi suaminya mendapat serangan stroke. Penyakit stroke yang dialaminya oleh suaminya sudah berlangsung selama lebih kurang dalam waktu 9 tahun hingga saya melakukan kajian ini, suaminya masih menderita sakit stroke dan hanya duduk tidak berdaya di kursi roda. Menurutnya, pada awal suaminya mendapat serangan stroke, ia merawat dengan menggunakan ramuan obat Karo serta terapi oukup setiap hari, dan kesehatannya perlahan mulai membaik. Tetapi, oleh karena suaminya tidak patuh dalam menjalani terapi serta pola makan yang tidak benar, maka penyakit stroke yang diderita suaminya menjadi lebih buruk. Kondisi suaminya sampai saat saya melakukan penelitian ini, belum pulih dari penyakit stroke.

Dari ke-6 anaknya, anak yang pertama seorang laki-laki yang pernah bekerja sebagai teknisi di sebuah perkebunan swasta, ia panggil untuk melanjutkan sekolah, dan ia menyarankan untuk melanjutkan ke akademi fisioterapi. Untuk penjelasan itu,

dapat dilihat dari narasi sebagai berikut, dan pembicaraan ini kami lakukan ketika anaknya yang paling sulung ia perkenalkan kepada saya.

“Ini anakku yang paling besar baru datang, dia sudah bekerja di perkebunan swasta selama 4 tahun, walaupun dia hanya tamat SMA, gajinya besar tapi saya kasihan meliat anakku ini, ditempat Ia bekerja, ia adalah orang yang rajin dan menurut bosnya yang masih saudara dengan saya, anak saya ini rajin, pintar dan ulet dalam bekerja, makanya gajinya pun cukup besar kalau dibandingkan dengan orang lain yang tamat SMA. Tapi karena sekolahnya hanya SMA, dan ada karyawan yang baru masuk tamatan sarjana, beberapa tahun kemudian gaji yang sarjana tadi lebih tinggi dari anakku ini, padahal dia yang mengajari sarjana itu semua alat-alat di pabrik itu. Akhirnya saya panggil anakku ini balik ke Medan, saya sarankan supaya kuliah lagi ambil jurusan fisioterapi, jadi nanti setelah anakku ini tamat kami bisa kerja sama mengembangkan pengobatan ini. Karena saya berencana akan membangun tanah disebelah rumah ini, buka klinik pengobatan tradisional yang lebih profesional bersama dengan keahlian anak saya sebagai seorang fisioterapist, kan itu pasti nyambung nanti dengan usaha saya ini”.

Dan menurutnya, karena kebaikan dan kepintarannya itu ia mempercayakan bahwa anaknya akan mempergunakan kesempatan yang ia berikan untuk melanjutkan sekolah. Dan dari bincang-bincang saya dengan anaknya, terlihat keinginan yang tinggi untuk melanjutkan sekolah, dapat dilihat dari narasi di bawah ini.

“Sakit hati rasanya ‘kak, karena aku cuma tamat SMA, aku yang mengajari sarjana-sarjana baru tamat itu, padahal 3 bulan kemudian setelah habis masa training, gaji yang sarjana itu hampir sama dengan gajiku yang sudah kerja selama 4 tahun, trus beberapa tahun kemudian gajinya jauh lebih besar dari pada aku, padahal kalau gajiku naik pun nggak seberapa naiknya ‘kak, makanya sukur kali lah mamak ini mau mengkuliahkan aku lagi.” “Kata mamak aku melanjut di akademi fisioterapi, aku mau aja karena kalau kuliat dari usaha mamak, nenek dan bulang, bisa diandalkan untuk hidup yang baik, apalagi kalau aku sudah punya keahlian nanti, pastilah usaha mamak ini jadi lebih maju”.

Demikian anak Ibu Ati menjelaskan rencananya ke depan bersama ibunya untuk membuka usaha dalam bentuk klinik pengobatan tradisional.

Ibu Ati mempunyai latar belakang pendidikan sebagai perawat hewan, sehingga mendukung pekerjaannya dalam melakukan praktik pengobatan tradisional. Saya melihat dari caranya dalam menangani pasien yang pada umumnya adalah pasien patah tulang. “Periksa semua tubuhnya, mana tau ada bagian-bagian tubuh seperti perut bagian dalam walaupun tidak nampak ada luka tapi karena benturan bisa saja ada yang luka dalam dan itu tandanya ada gangguan apabila di tekan terasa sakit”, katanya menjelaskan.

Dalam melaksanakan praktik-praktik pengobatan, ia dibantu oleh 3 orang asisten, 2 orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Salah seorang yang membantunya

Dokumen terkait