• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran penyebab kejadian kecelakaan bus Transjakarta di koridor III

BAB VI PEMBAHASAN

6.2 Gambaran penyebab kejadian kecelakaan bus Transjakarta di koridor III

Pramudi

Perilaku tidak aman merupakan.

Perilaku tidak aman menurut Heinrich (1980) dalam Apiati (2008) yaitu tindakan seseorang atau beberapa orang yang memperbesar kemungkinan terjadinya kecelakaan pada pekerja. Perilaku tidak aman pramudi merupakan perilaku yang melanggar norma atau peraturan yang dilakukan oleh para pramudi bus Transjakarta.

Kejadian kecelakaan sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku tidak aman dari pekerja, hal tersebut dipaparkan berdasarkan studi penelitian yang dilakukan oleh Heinrich (1980) dalam Apiati (2008) dimana studi penelitian tersebut dilakukan terhadap 75 kasus kecelakaan dan di dapatkan hasil bahwa 88% dari semua kecelakaan tersebut disebabkan tindakan yang tidak aman. Dimana sisanya disebabkan faktor selain perilaku tidak aman. Selain itu, Bird dan Germain (1990) telah membagi penyebab kecelakaan menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung, dimana faktor unsafe act menjadi faktor penyebab langsung suatu kejadian kecelakaan.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada pramudi, diketahui bahwa para pramudi telah mengetahui tentang jenis-jenis perilaku tidak aman yang tidak boleh dilakukan pada saat mengemudi, namun demikian masih terdapat pelanggaran yang terkadang masih dilakukan oleh pramudi, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena faktor kesadaran dari dalam diri masing-masing

pramudi yang berbeda-beda. Selain itu faktor kondisi lingkungan pada saat bekerja juga berpengaruh terhadap munculnya perilaku tidak aman dari dalam diri pramudi. Seperti teori yang dikemukakan oleh Moesbar (2007) dalam Rosida (2008) yang mengatakan bahwa kondisi psikis yang tidak stabil dan banyaknya permasalahan yang ada pada diri sesorang yang disebabkan oleh lingkungan dapat mempengaruhi kinerja otak, sehingga emosi tersalurkan pada saat berkendara.

Hasil wawancara mendalam kepada pramudi, mereka mengatakan bahwa terkadang mereka lengah atau kurang dapat mengantisipasi kendaraan lain terutama saat berada di belokan, atau karena ingin menghindari kecelakaan sehingga melakukan pengereman mendadak. Hal tersebut sesuai dengan penelitian (Nawangwulan, 1997) yang menyebutkan bahwa dalam kondisi lengah, pada umumnya pengemudi menjadi kurang dapat antisipasi terhadap keadaan disekitarnya yang mendadak mengalami perubahan atau gerakan tiba-tiba. Selain itu juga penelitian yang dilakukan oleh Wisna (2007) dalam Rosida (2008) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengemudi lengah dalam berkendara dengan kejadian kecelakaan lalu lintas (P value = 0,001).

Faktor penyebab yang lainnya yang mungkin menyebabkan kurangnya antisipasi pramudi yaitu konsentrasi pada saat mengemudi yang terkadang terganggu, hal tersebut dapat disebabkan oleh banyak faktor diantaranya yaitu pengemudi tidak fokus ke kondisi jalan dan melihat kejadian di sekeliling jalan dalam waktu yang lama. Selain itu, panik karena ulah pengendara lain dan

bersikap terburu-buru pada saat mengemudi juga dapat menjadi penyebab buyarnya konsentrasi di jalan. Faktor konsentrasi pengemudi menempati urutan pertama penyebab kejadian kecelakaan pengemudi, dimana hasil penelitian menyebut faktor ini memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 55 % (NHTSA, 2011).

Secara umum, jenis perilaku tidak aman yang sering dilakukan oleh pramudi bus Transjakarta koridor III (Kalideres-Harmoni) Tahun 2012, berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada para pramudi dan pihak manajemen serta berdasarkan dokumen data kejadian kecelakaan PT Trans Batavia diantaranya yaitu pramudi melakukan pengereman mendadak, pramudi lengah atau kurang dapat mengantisipasi kendaraan lain terutama pada saat berada di jalur yang menikung atau berada di belokan dan melakukan pelanggaran baik itu pelanggaran disiplin lalu lintas maupun pelanggaran SOP perusahaan.

Upaya yang telah dilakukan oleh pihak manajemen untuk mencegah perilaku tidak aman pramudi diantaranya yaitu melakukan pengawasan kepada para pramudi dan memberikan sanksi kepada pramudi yang melakukan tindakan-tindakan berbahaya atau melanggar prosedur yang telah ditetapkan. dimana pengawasan pihak manajemen mempunyai hubungan terhadap perilaku tidak aman para pekerja, hal tersebut sejalan dengan penelitian (Apiati, 2009) yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengawasan dari atasan dengan perilaku tidak aman (p value = 0,000).

Sehingga, pihak perusahaan dalam hal ini pengelola koridor III harus lebih meningkatkan pengawasan kepada seluruh pramudi. Karena berdasarkan hasil wawancara mendalam pramudi mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan masih kurang. Menurut (Firmansyah, 2010), Pengawasan yang baik adalah pengawasan yang bersifat “Fact Finding” artinya pengawas harus menemukan fakta-fakta dan bagaimana tugas-tugas dijalankan, pengawasan tidak hanya dimaksudkan untuk menemukan siapa yang salah apabila terdapat ketidakberesan akan tetapi untuk menemukan apa yang tidak benar dan pengawasan harus bersifat membimbing.

Selain pengawasan, dalam upaya mencegah perilaku tidak aman (Unsafe Act) pekerja, pihak manajemen juga perlu mengadakan pelatihan kepada pramudi, hal tersebut dikarenakan menurut (Salinding, 2011) pelatihan kepada pekerja dapat membantu pekerja dalam memahami suatu pengetahuan praktis dan penerapannya dalam dunia kerja demi meningkatkan produktivitas kerja. Pelatihan juga merupakan motivasi bagi karyawan untuk bekerja lebih baik dan terarah.

Selain itu, penting pula untuk mengadakan diskusi terbuka dengan pekerja untuk menampung saran dan keluhan mereka dalam bekerja, diikuti adanya tindak lanjut yang tepat. Dengan demikian, diharapkan tercipta motivasi positif saat mereka bekerja sehingga dapat menumbuhkan kesadaran untuk selalu berperilaku aman pada saat bekerja, sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Munandar (2001) yang menyebutkan bahwa motivasi adalah faktor pendorong perilaku.

6.3 Gambara penyebab kejadian kecelakaan bus Transjakarta di koridor III (Kalideres-Harmoni) berdasarkan faktor unsafe condition (kondisi tidak aman)

Kondisi tidak aman merupakan kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang timbul ditempat kerja (Bird dan Germain, 1990). Dalam hal penelitian ini kondisi tidak aman di lingkungan kerja pramudi dibagi menjadi dua yaitu kondisi jalur dan kondisi bus. Berikut pembahasannya:

6.3.1 Gambaran Kondisi Jalur

Kondisi jalur merupakan kondisi jalur khusus yang dilewati oleh bus Transjakarta. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi diketahui bahwa kondisi jalur di sepanjang koridor III telah banyak mengalami kerusakan. Diantaranya yaitu banyak pembatas jalur yang telah hilang atau rusak sehingga banyak pengendara lain yang menerobos masuk, dimana hal tersebut dapat menimbulkan kejadian kecelakaan, sesuai dengan pernyataan (Dephub, 2008) yang menyatakan bahwa kejadian kecelakaan bus Transjakarta dapat bermula dari kerusakan jalur yang dapat menyebabkan kendaraan lain masuk kedalam jalur.

Selain itu kondisi jalur yang menikung menurut pengakuan para pramudi merupakan jalur yang rawan untuk terjadinya kecelakaan. Pernyataan tersebut sesuai dengan penelitian (Permana, 2007) yang menyebutkan bahwa jalur yang menikung dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan lalu lintas, sehingga pada saat melintasi jalan menikung diperlukan teknik khusus, dan antisipasi serta kehati-hatian, karena dapat

menyebabkan hilangnya kendali kendaraan, yang dapat menimbulkan kejadian kecelakaan.

Pada jalur yang menikung juga dibutuhkan rambu-rambu sebagai pegingat pengemudi agar lebih berhati-hati, berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi, rambu-rambu khusus di jalur bus Transjakarta telah banyak terpasang, terutama pada jalur yang menikung. Untuk mengatasi masalah pada kondisi jalur bus Transjakarta terutama koridor III dimana banyak pembatas jalur nya telah rusak atau hilang, pihak manajemen sedang berupaya untuk membuat pembatas jalur yang lebih tinggi dan lebih kuat. Untuk pembatas yang baru sebagian telah di pasang di jalur, namun sebagian lagi masih dalam proses penyelesaian.

Secara umum kondisi jalur bus Transjakarta koridor III (Kalideres-Harmoni) Tahun 2012 yang dapat berpotensi menimbulkan kejadian kecelakaan berdasarkan hasil wawancara mendalam dan observasi yaitu jalur yang berada pada kondisi jalan yang menikung, dan juga jalur yang telah banyak mengalami kerusakan terutama pembatas jalur yang sudah banyak yang rusak atau hilang menyebabkan kendaraan lain dapat leluasa masuk kedalam jalur bus Transjakarta.

Pembatas jalur yang baru mempunyai tinggi kurang lebih 50 cm, sehingga diharapkan akan dapat menekan jumlah pengendara lain yang menerobos masuk kedalam jalur. Hal tersebut disebabkan oleh tidak pernah sterilnya jalur bus Transjakarta dari pengguna jalan lain yang sering memicu terjadinya kecelakaan. Sesuai dengan pernyataan

(Dephub, 2008) yang menyebutkan bahwa kecelakaan bus Transjakarta kerap terjadi pada saat pengendara sepeda motor menerobos jalur busway dimana biasanya sepeda motor masuk dari jalur kiri ke jalur busway, kemudian tertabrak busway dari arah belakang.

Upaya pihak manajemen untuk memperbaiki pembatas jalur bus Transjakarta merupakan suatu upaya yang sangat baik untuk mengurangi pelanggaran di jalur bus Transjakarta, namun tentunya perlu kerja sama yang saling terkait dengan pihak kepolisian lalu lintas setempat, dikarenakan pihak yang berwenang untuk menjaga ketertiban lalu lintas merupakan pihak kepolisian yang bertanggung jawab atas terlaksananya ketertiban peraturan lalu lintas.

Adanya kerja sama yang baik antar berbagai pihak untuk mengatasi masalah penegakan ketertiban lalu lintas diharapkan dapat memperbaiki sistem transportasi di indonesia, sebagai contoh pengadaan jalur bus transjakarta harus didukung dengan pengawasan yang maksimal oleh pihak yang berwenang dalam penerapannya di lapangan agar dapat mendapatkan hasil yang lebih baik dalam rangka mengurangi dan mencegah kejadian kecelakaan bus Transjakarta.

6.3.2 Gambaran Kondisi Bus

Kondisi bus merupakan keseluruhan kondisi bus Transjakarta yang meliputi seluruh komponen yang terdapat dalam bus Transjakarta. Berdasarkan hasil wawancara mendalam kepada pramudi yang pernah

mengalami kecelakaan, diketahui bahwa kondisi bus pada saat pramudi mengalami kejadian kecelakaan dalam kondisi bagus, dan tidak bermasalah. Namun, pramudi mengatakan bahwa terdapat beberapa kondisi ban pada bus Transjakarta yang sudah sedikit gundul.

Komponen kendaraan yang kondisinya kurang baik berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh National Highway Traffic Safety Administration (NHTSA) tahun 2011 merupakan faktor utama penyebab kecelakaan di jalan raya. Selain itu juga faktor kelengkapan komponen kendaraan memiliki persentase menyebabkan kecelakaan hingga 10 – 14 %. Faktor tersebut juga kerap tidak disadari oleh pemilik atau pengguna kendaraan (NHTSA, 2011).

Menurut para pramudi, apabila terdapat bus dengan kondisi yang bermasalah pada saat di jalur maka pramudi akan segera meminta pihak pool (perusahaan) untuk menarik kembali dan tidak digunakan untuk beroperasi hingga selesai diperbaiki, begitu juga apabila ditemukan kerusakan pada saat pengecekan sebelum beroperasi.

Adapun kelengkapan bus Transjakarta yang harus dipenuhi berdasarkan SOP diantaranya yaitu:

a. APAR (alat pemadam api ringan) b. P3K

c. Peralatan Radio Komunikasi d. Palu pemecah kaca

f. Lampu penerangan dalam kondisi baik g. Peralatan penghitung kilometer tempuh

Berdasarkan hasil wawancara, terdapat beberapa bus dengan kondisi kelengkapan yang kurang lengkap, seperti palu pemecah kaca yang seharusnya terdapat 6 buah, hanya terdapat 2 dan kondisi ban yang terdapat beberapa bus dengan kondisi ban yang telah gundul.

Kondisi ban merupakan salah satu bagian yang berperan penting dalam menentukan keselamatan bus selama beroperasi. Sehingga, kondisi nya harus selalu di jaga dan diperhatikan perawatannya. Pihak manajemen selalu berupaya untuk melakukan perbaikan kepada bus yang bermasalah, setiap bus yang diketahui mempunyai masalah akan ditarik kembali dan tidak akan digunakan kembali hingga selesai dilakukan perbaikan.

Pihak manajemen selalu menghimbau kepada para pramudi untuk segera melapor apabila terdapat kerusakan atau ketidaknyamanan bus. Hal tersebut dilakukan dengan pembuatan lembar cheklist untuk setiap pengecekan kondisi bus sebelum beroperasi agar kondisi bus dapat sesuai dengan SOP perusahaan.

Untuk inspeksi kendaraan yang dilakukan oleh BLU Transjakarta hanya bersifat temporer, hanya apabila dianggap perlu untuk dilakukan, sehingga perlu diupayakan untuk dilakukan pemeriksaan kondisi bus atau inspeksi rutin untuk dapat

lebih memastikan agar kondisi bus selalu dalam keadaan yang memenuhi standar, agar dapat beroperasi dengan baik dan mencegah terjadinya kejadian yang tidak diinginkan seperti kebakaran bus, rem blong, dan lain sebagainya.

6.4 Gambaran penyebab kejadian kecelakaan bus Transjakarta di koridor III (Kalideres-Harmoni) berdasarkan faktor pengendalian manajemen

6.4.1 Pengawasan

Pengawasan merupakan pengecekan manajemen terhadap sumber daya, iklim dan proses untuk memastikan lingkungan kerja yang aman dan produktif. Pengawasan berhubungan dengan manajemen risiko dan program keselamatan yang telah dibuat Reason (1990) dalam Ramli (2010).

Pengawasan secara berkala dapat digunakan untuk memastikan bahwa sistem berjalan sesuai dengan rencana, sehingga apabila terjadi penyimpangan, manajemen dapat segera mengambil langkah perbaikan, pengawasan dapat dilakukan melalui observasi, laporan atau melalui rapat berkala (Ramli, 2010).

Pengawasan yang dilakukan oleh pihak manajemen bus Transjakarta koridor III dilakukan oleh pihak pengelola koridor III yaitu PT Trans Batavia dan juga dari pihak BLU Transjakarta langsung. Pengawasan sendiri dibagi menjadi dua jenis yaitu pengawasan terhadap disiplin para pramudi tentang SOP perusahaan dan pengawasan terhadap

disiplin pramudi selama mengemudi. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan bahwa penerapan SOP dan peraturan-peraturan yang lainnya telah terlaksana di lapangan. Sesuai dengan penelitian (Salinding, 2011) yang menyebutkan bahwa pengawasan merupakan upaya pihak manajemen untuk memastikan bahwa pelaksanaan program telah berjalan dengan baik.

Adapun untuk pengawasan terhadap aspek perilaku pramudi tentang penerapan SOP perusahaan dilakukan oleh pihak PT Trans Batavia, sementara untuk pemberian sanksi diberikan langsung oleh pihak BLU Transjakarta, sedangkan untuk pengawasan terhadap disiplin lalulintas para pramudi pihak perusahaan menyerahkan sepenuhnya kepada kepolisian lalu lintas di jalan raya.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, pramudi mengatakan bahwa penerapan pengawasan di lapangan dirasa masih kurang, hal tersebut ditunjukkan melalui masih terdapatnya pramudi yang melakukan pelanggaran SOP hal tersebut dikarenakan frekuensi pengawasan yang dilakukan oleh pihak manajemen bersifat jarang, sehinnga para pramudi pun tidak merasa takut melakukan pelanggaran, yang dalam aplikasinya terdapat para pramudi yang berperilaku tidak aman saat mengemudi. Hal tersebut sesuai dengan Hasil penelitian Karyani (2005) dalam Apiati (2008) yang menyebutkan bahwa peran supervisor mempunyai hubungan yang bermakna terhadap perilaku aman para pekerja.

Sementara itu, menurut pihak manajemen pihaknya telah melakukan pengawasan setiap hari kepada para pramudi, adanya ketidaksesuaian antara pemeparan para pramudi dan pihak manajemen dikarenakan para pramudi kurang memahami sistem pengawasan yang dilakukan oleh perusahaan, dimana yang melakukan pengawasan yang sifatnya jarang adalah pengawasan dari pihak BLU, sedangkan dari pihak perusahaan pengawasan dilakukan setiap hari.

Penerapan pengawasan kepada pramudi dibuktikan oleh pihak manajemen berupa pemberian sanksi kepada pramudi yang melakukan pelanggaran, selain pemberian sanksi juga dilakukan penempelan nama dan jumlah pelanggaran yang dilakukan oleh pramudi di papan pengumuman.

Pihak BLU Transjakarta sendiri menyerahkan pengawasan langsung kepada pihak perusahaan, dimana pihak BLU hanya mengadakan pengawasan yang bersifat berkala untuk memastikan bahwa SOP berjalan dengan baik di lapangan, hal tersebut telah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh (Ramli, 2010) yang menyatakan bahwa pengawasan berkala dapat digunakan untuk memastikan bahwa sistem telah berjalan sesuai dengan rencana.

Secara umum pengawasan kepada pramudi yang dilakukan oleh perusahaan telah terlaksana, dimana sesuai prosedur perusahaan bahwa yang melakukan pengawasan merupakan pihak PT Trans Batavia dan pemberian sanksi di berikan oleh pihak BLU Transjakarta.

Namun, untuk menambah pemahaman para pramudi tentang sistem pengawasan penerapan SOP perusahaan sebaiknya perusahaan lebih mensosialisasikan sistem pengawasan yang ada dan lebih meningkatkan pengawasn, sehingga para pramudi dapat lebih memahami karena masih terdapapt pramudi yang merasa bahwa pengawasan perusahaan dirasa masih kurang dan masih terdapat pramudi yang melakukan pelanggaran.

6.4.2 SOP Perusahaan

Standar Operating Procedure (SOP) merupakan suatu rangkaian instruksi tertulis yang mendokumentasikan kegiatan atau proses rutin yang terdapat pada suatu perusahaan. SOP berisi apa yang harus dilakukan dan siapa yang harus melakukansuatu proses yang akan dilakukan atau diikuti oleh setiap anggota dalam perusahaan (Mayanda, 2009).

SOP yang ada di PT Trans Batavia berdasarkan wawancara kepada manajemen terdapat dua jenis yaitu SOP yang dibuat oleh BLU Transjakarta dan SOP yang dibuat oleh PT Trans Batavia sendiri. Adapun perbedaan SOP tersebut yaitu lebih kepada aspek standar umum yang harus diterapkan di perusahaan. Sedangkan SOP yang dibuat oleh PT Trans Batavia sendiri bersifat lebih rinci tentang penerapannya di lapangan.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa masih terdapat peralatan-peralatan keselamatan yang belum sesuai dengan SOP yang

ada, selain itu menurut hasil wawancara juga diketahui masih terdapat pramudi yang terkadang melakukan pelanggaran. Sehingga Secara umum penerapan SOP dilapangan masih perlu pengawasan yang lebih, terutama pengawasan kepada peralatan Bus, dikarenakan kondisi bus juga merupakan salah satu faktor yang diduga berpengaruh terhadap kecelakaan.

Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh (Gybson, 1996) yang menyebutkan bahwa faktor manajemen dalam hal ini peraturan yang dibuat oleh manajemen merupakan faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap perilaku kerja pekerja, oleh sebab itu untuk memastikan bahwa standar yang telah dibuat telah terlaksana maka perlu diiringi dengan pengawasan yang maksimal dalam perusahaan.

Dalam hal ini, pengawasan yang dilakukan oleh manajemen baik itu dari pihak PT Trans Batavia maupun Blu Transjakarta, agar dapat mengurang pelanggaran-pelanggaran yang terkadang masih dilakukan oleh para pramudi.

6.4.3 Pelatihan

Pelatihan merupakan pembinaan yang dilakukan untuk memproses seorang pekerja agar berperilaku sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sebelumnya (Ramli, 2010). Pelatihan dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku sehingga pelatihan harus dirancang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pekerja.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa pihak perusahaan PT Trans Batavia tidak pernah mengadakan pelatihan khusus kepada seluruh pramudi. Namun, Pihak perusahaan hanya mengirim beberapa pramudi setiap tahun sekali untuk mewakili pelatihan yang diselenggarakan oleh ditlantas yang bertempat di serpong.

Pemahaman atau budaya mengenai keselamatan berkendara dan kepatuhan terhadap pelaksanaan peraturan tidak selalu datang dari dalam diri individu, namun harus dibentuk melalui sebuah pelatihan dan pembinaan (Ramli, 2010).

Kembali kepada tujuan daripada diadakannya pelatihan yaitu untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan, maka akan lebih baik apabila pihak manajemen berupaya untuk melakukan pembinaan kepada para pramudi tidak hanya perwakilan namun keseluruhan pramudi. Pramudi mengakui bahwa sering mendapat pengarahan dari manajemen apabila melakukan pelanggaran namun secara khusus pelatihan tidak pernah diselenggarakan oleh perusahaan.

Meskipun pihak perusahaan telah bekerja sama dengan pihak ditlantas untuk mengirim perwakilan dari pramudi mengikuti pelatihan, namun, Sebaiknya perusahaan tetap mengadakan pelatihan kepada pramudi dengan menyesuaikan kebutuhan, sesuai dengan penelitian (Salinding, 2011) bahwa pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan pekerja, adapun untuk melihat kebutuhan pelatihan dapat dilakukan dengan melihat data kejadian kecelakaan yang ada di perusahaan, karena

menurut teori yang dikemukakan (Ramli, 2010) informasi kejadian kecelakaan yang pernah terjadi merupakan masukan penting dalam merancang sebuah pelatihan keselamatan.

Menurut Bird dan Germain (1990), pelatihan yang sesuai akan menyebabkan kinerja lebih efisien dan akan dapat mengurangi angka kejadian kecelakaan. Selain itu, hasil dari sebuah pelatihan juga dapat digunakan untuk meningkatkan efektifitas penerapan SOP, dimana sebelumnya harus dievaluasi untuk menentukan efektifitasnya, adapun evaluasi dari proses pelatihan kepada pekerja dapat digunakan untuk melakukan perbaikan masalah terutama masalah penyebab kecelakaan agar dapat ditemukan solusi penanganannya.

Secara umum proses pelatihan yang dilakukan perusahaan bersifat pelatihan eksternal, yaitu dengan mengirim perwakilan pramudi untuk melakukan pelatihan, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Salinding, 2011) terdapat hubungan yang bermakna antara pelatihan dengan produktivitas pekerja, sehingga perlu dilakukan pelatihan khusus kepada pramudi terutama bagi pramudi yang baru agar dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan para pramudi.

6.4.4 Shift Kerja

Menurut Suma’mur (1994), shift kerja merupakan pola waktu kerja yang diberikan pada tenaga kerja untuk mengerjakan sesuatu oleh perusahaan dan biasanya dibagi atas kerja pagi, sore dan malam.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh (Mayanda, 2009 ) shift kerja akan mempengaruhi perasaan lelah dan stress kerja kepada para pekerja, seseorang yang bekerja terlalu malam atau terlalu pagi akan merasa lelah dan mengantuk atas jadwal kerja mereka.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam diketahui bahwa shift kerja yang di berlakukan di perusahaan dimulai pukul 05.00 hingga pukul 14.00, dan pukul 14.00 hingga pukul 22.00. para pramudi mengatakan bahwa mereka tidak pernah mendapatkan jadwal istirahat khusus setiap hari nya, waktu istirahat mereka hanya pada saat melakukan pengisian BBG (Bahan Bakar Gas), biasanya dua kali dalam sehari yaitu pada saat sebelum memulai shift kerja pertama dan kedua.

Perusahaan telah menerapkan satu hari libur kerja bagi para pekerja setiap minggu nya, namun apabila terdapat pengganti shift yang bermasalah pramudi harus menggantikannya, selain itu juga terdapat pramudi yang masih mengambil jadwal lembur demi untuk mendapatkan tambahan gaji.

Berdasarkan hasil wawancara mendalam, Para pramudi setiap hari nya tidak pernah mendapat jadwal istirahat yang tetap, waktu istirahat mereka hanya pada saat pengisian BBG (Bahan Bakar Gas). Hal tersebut menjadikan para pramudi terkadang merasa kelelahan, menurut Jawawi (2008) kelelahan akibat shift kerja yang dialami oleh pekerja dapat mengakibatkan efek fisiologis dan efek psikososial yang menyebabkan menurunnya kinerja sehingga berpengaruh terhadap perilaku

kewaspadaan pekerjaan seperti kualitas kendali dan pemantauan. Oleh sebab itu sebaiknya pihak perusahaan membuat jadwal khusus agar dalam sehari pramudi bisa mempunyai jadwal istirahat yang tetap.

Hal tersebut juga untuk menghindari kelelahan dan stres kerja yang dialami oleh pramudi, dikarenakan menurut penelitian stres kerja dan kelelahan kerja merupakan faktor yang diduga dapat mempengaruhi

Dokumen terkait