• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Supir Melakukan Pekerjaan Tanpa Wewenang

BAB VI PEMBAHASAN

6.2. Pembahasan Penelitian

6.2.1 Gambaran Supir Melakukan Pekerjaan Tanpa Wewenang

Melakukan pekerjaan tanpa wewenang dalam penelitian ini adalah mengemudi bus Mayasari Bakti yang dilakukan oleh supir yang tidak mempunyai SIM B1 umum dan bukan supir resmi bus Mayasari Bakti. Supir yang memiliki wewenang mengemudi dengan memiliki keterampilan mengemudi (memiliki SIM B1 umum) akan mengetahui bagaimana cara mengendalikan kendaraan dan keluar dari kondisi bahaya. Keterampilan mengemudi meliputi pengetahuan tentang cara kerja dan praktiknya serta pengenalan aspek-aspek mengemudi secara terperinci sampai kepada hal-hal kecil termasuk keselamatannya. Tingkat keterampilan yang

tinggi berkaitan dengan praktik keselamatan yang diharapkan dan mengecilnya kemungkinan terjadi kecelakaan. Menurut Suma‟mur (1996), kecelakaan mudah sekali terjadi pada tenaga kerja yang tidak terampil.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan para informan, diketahui bahwa setiap supir bus Mayasari Bakti wajib memiliki SIM B1 umum, dan jika supir tersebut tidak memilikinya maka supir tersebut dilarang menjalankan busnya sampai dia memperpanjang SIM B1 umum tersebut sebagai persyaratan. Selain itu dapat disimpulkan pula bahwa tidak terdapat bentuk melakukan pekerjaan tanpa wewenang yang dilakukan oleh supir bus Mayasari Bakti, mereka semua memiliki SIM B1 umum dan tidak pernah memberikan busnya kepada supir di luar Mayasari Bakti, akan tetapi mereka terkadang memberikan busnya kepada sesama supir Mayasari Bakti, supir menyuruh temannya yang masih termasuk supir bus Mayasari Bakti untuk membawakan bus yang dia bawa, hanya saja „supir tembak‟ ini tidak tercantum di Surat Perintah Jalan (SPJ) bus yang dia bawa. Surat Perintah Jalan (SPJ), ialah dokumen resmi yang dipegang oleh supir bus dan dikeluarkan oleh perusahaan sebagai bukti penunjukan kerja. Supir berbuat demikian sebab mereka merasa lelah akibat kerja atau sakit dan menyuruh temannya yang memiliki waktu kosong untuk menggantikannya.

Hal ini sesuai dengan Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap pencegahan kecelakaan lalu-lintas ialah mengemudi dengan surat izin mengemudi yang sah. Supir yang telah memiliki SIM B1 umum adalah orang

yang diberi wewenang untuk mengemudikan bus umum dengan syarat mempunyai kecakapan dan pengalaman serta keterampilan khusus dalam mengemudi. Adanya SIM B1 umum tersebut pada supir bertujuan untuk menunjukkan bahwa supir bus tersebut benar-benar mempunyai keahlian, kemampuan, dan keterampilan yang memadai dalam mengemudi. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 Pasal 77 ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan, wajib memiliki surat izin mengemudi sesuai dengan jenis kendaraan bermotor yang dikemudikan”.

Selain itu, hal ini juga untuk menghindari risiko yang tidak diinginkan, mengingat setiap pekerjaan mengemudi bus umum memiliki risiko yang tinggi, misalnya risiko tertabrak, bus terbalik, dan risiko kecelakaan lainnya, sehingga setiap pekerjaan mengemudikan bus umum haruslah dilakukan oleh supir yang sudah terlatih dan memahami betul risiko dari pekerjaannya.

6.2.2 Gambaran Supir Gagal dalam Mengamankan

Gambaran supir gagal dalam mengamankan pada penelitian ini ialah supir mengetahui ada kerusakan pada alat-alat bus, seperti ban, komponen mesin, atau alat-alat lainnya, tetapi tetap memaksa untuk menjalankan bus. Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, diketahui bahwa terdapat supir bus Mayasari Bakti yang mengamankan busnya, pada kasus seperti kurangnya angin pada selang rem atau kempes ban, para supir ini lebih memilih untuk meminggirkan bus di pinggir jalan, mereka tidak memaksa terus membawa bus tersebut sebab

khawatir bisa fatal dan berisiko. Seandainya kerusakan bisa diatasi maka awak bus sendiri yang memperbaiki, kalau tidak bisa, mereka memanggil mekanik, atau memanggil storing (derek resmi Mayasari Bakti). Untuk kerusakan alat atau mesin yang dapat ditolerir ataupun tidak, para supir tidak memaksa untuk terus membawa bus tersebut sebab khawatir kerusakan akan semakin parah, fatal, dan berisiko. Para kondektur juga menjelaskan bahwa jika bus ada gangguan, mereka menyuruh supir meminggirkan bus untuk mengecek dan melakukan tindakan pertama, seandainya tidak bisa, bus dibawa pulang ke pool.

Tidak membiarkan tanda-tanda gangguan pada komponen mesin saat menjalankan bus ini sesuai dengan pendapat Agung (2012), Agung (2011) menyatakan bahwa supir yang baik harus selalu menggunakan prinsip anticipation (antisipasi). Anticipation (antisipasi) ialah kesiagaan, kecermatan, dan kesigapan supir dalam perilaku berkendara yang aman sehingga supir mengetahui bagaimana cara mengendalikan kendaraan dan keluar dari kondisi bahaya saat itu, yakni supir secara terus-menerus mengamati kondisi bus untuk mengetahui adanya potensi bahaya sehingga mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan timbul, dimana kondisi ini sebenarnya tidak pernah diharapkan oleh supir.

6.2.3 Gambaran Supir Bekerja dengan Kecepatan Berbahaya

Bekerja dengan kecepatan berbahaya dalam penelitian ini adalah mengemudikan bus dengan kecepatan yang melebihi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, batas kecepatan maksimal kendaraan roda empat atau lebih di jalan tol ialah 80 km/jam

dan minimal 60 km/jam, dan kelajuan kendaraan bus umum di kawasan jalan umum kota Jakarta ialah minimal 20 km/jam dan maksimal 40 km/jam. Dari hasil wawancara dengan informan diketahui mereka sering membawa bus dengan kecepatan antara 40 km/jam sampai 80 km/jam di jalan umum, dan 80 km/jam sampai 100 km/jam di tol. Hal ini jelas berisiko terjadi kecelakaan di jalan, sebab melewati batas kelajuan yang ditetapkan pemerintah. Saat peneliti mengobservasi ketiga supir, mereka membawa bus dengan kecepatan rata-rata antara 80 km/jam sampai 100 km/jam di jalan tol, dan rata-rata antara 30 km/jam sampai 60 km/jam di jalan umum.

Mengemudi dengan kecepatan tinggi akan menambah risiko kecelakaan, semakin cepat seseorang berkendara maka semakin besar efek kerusakan yang ditimbulkan. Alasan mereka melaju dengan kecepatan seperti itu ialah ingin cepat sampai, kejar waktu, dan bisa mengatur selah, yakni mengatur jeda antara satu bus dengan bus lainnya ketika berhenti untuk mencari penumpang. Salah satu informan bahkan menjelaskan bahwa terkadang sesama supir saling adu mulut dan bertengkar jika „atur selah‟ nya tidak tepat, sebab hal ini terkait memperebutkan penumpang. Salah satu alasan paling lazim pekerja mengambil risiko saat bekerja adalah untuk menghemat waktu agar bisa mendapatkan waktu santai atau waktu untuk menghasilkan uang lebih banyak, atau sekedar menghemat waktu dengan mempercepat menyelesaikan pekerjaan. Oleh karena itu, tidak aneh apabila keinginan menghemat waktu ini menyebabkan perilaku tidak aman (International Labour Office, 1989).

6.2.4 Gambaran Supir Menghilangkan Alat Pengaman

Menghilangkan alat pengaman dalam penelitian ini adalah melepas alat pengaman pada bus. Alat pengaman merupakan peralatan keselamatan kerja yang dipasang pada tempat-tempat tertentu dan berfungsi untuk memberi keamanan tambahan bagi para pekerja (O‟Brien, 1974 dalam Helliyanti, 2009). Sedangkan alat pengaman pada bus ialah alat-alat yang berfungsi untuk keamanan serta mencegah kecelakaan saat mengemudi, seperti lampu sen, seat bealt, rem, spion, klakson, dan penghapus kaca (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan Pengemudi). Menghilangkan alat pengaman pada bus berarti meningkatkan risiko kecelakaan lalu-lintas.

Berdasarkan hasil wawancara dengan semua informan, mereka tidak pernah menghilangkan atau melepas alat-alat pengaman pada bus dengan alasan bahwa mereka menganggap alat-alat itu penting dan fital saat mengemudi. Berdasarkan hasil observasi, peneliti tidak menemukan adanya supir yang menghilangkan alat pengaman pada bus, ini dibuktikan dengan masih tersedianya alat-alat pengaman tersebut dalam bus. Hal ini bertentangan dengan pendapat Suma‟mur (1996) yang menyatakan bahwa banyak pekerja bekerja tanpa perlindungan alat pengaman dengan melepas perlengkapan pengaman tersebut dengan alasan dapat mengganggu pekerjaan.

6.2.5 Gambaran Supir Membuat Alat Pengaman Tidak Berfungsi

Membuat alat pengaman tidak berfungsi dalam penelitian ini adalah supir sengaja merusak alat-alat pengaman pada bus seperti rem, spion, klakson, lampu sen, hiter (penghapus kaca), dan seat belt. Pada beberapa kasus, alat pengaman yang menyebabkan ketidaknyamanan supir dalam mengemudi seperti seat belt, dapat mendorong supir untuk merusakkannya. Membuat alat pengaman pada bus menjadi tidak berfungsi sangat berbahaya karena kegunaannya sebagai pengaman akan hilang sehingga dapat menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan serta memperbesar efek kecelakaan pada supir. Menurut para informan, alat-alat pengaman pada bus tetap berfungsi sebagai mana mestinya, sebab mereka tahu keuntungan dari alat-alat pengaman tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas ialah adanya kerusakan bagian dari kendaraan.

Hal ini juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 pasal 106 ayat 3 yaitu setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik jalan (kaca spion, klakson, lampu sen, rem).

6.2.6 Gambaran Supir Menggunakan Peralatan yang Rusak

Menggunakan peralatan yang rusak dalam penelitian ini adalah mengunakan alat yang tidak berfungsi dengan baik saat membawa bus. Komponen peralatan bus yang digunakan harus berfungsi dengan baik dan dalam kondisi layak pakai.

Menggunakan komponen peralatan bus yang tidak layak pakai dapat membahayakan keselamatan. Oleh karena itu, semua peralatan harus dirawat menurut kondisi dan waktu pemakaian. Tanpa perawatan yang teratur, keadaan komponen peralatan bisa berubah menjadi salah satu faktor bahaya. Menurut Silalahi (1985), peralatan kerja yang digunakan harus berfungsi dengan baik dan dalam kondisi layak pakai. Perawatan yang tidak teratur adalah perbuatan yang berbahaya karena dapat menimbulkan keadaan berbahaya. Menggunakan peralatan bus yang sudah tidak layak pakai dapat membahayakan keselamatan awak bus dan penumpang. Hal ini sesuai dengan Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas ialah adanya kerusakan bagian dari kendaraan. Akan tetapi, teori tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masih ada supir yang tetap menggunakan alat yang tidak berfungsi dengan baik pada saat mengemudi. Informan menerangkan bahwa biasanya gangguan dan timbulnya kerusakan itu di jalan, bukan dari pool.

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan, mereka sering mengalami kerusakan di rem dan kopling. Untuk masalah kopling, jika saat menggunakan kopling tercium bau terbakar, disarankan segera menghentikan kendaraan dan parkir terlebih dahulu, karena ini menunjukkan terjadi panas tinggi pada kopling dan dapat mengakibatkan kerusakan pada kopling (Fambeta, 2013). Saat peneliti mengobservasi beberapa bus terdapat juga kerusakan pada speedometer, jok supir, dan kabel penghidup lampu sen yang terkadang mati. Prosedur yang harus dilakukan oleh supir jika terdapat alat-alat yang mengalami

kerusakan adalah supir tersebut harus segera melapor kepada mekanik karena mekanik adalah pihak yang berwenang untuk memperbaiki segala kerusakan, baik itu ringan maupun berat, pada komponen alat-alat bus.

Dokumen terkait