• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis- Jenis Perilaku Tidak Aman Supir Saat Mengemudi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Jenis- Jenis Perilaku Tidak Aman Supir Saat Mengemudi

Penelitian ini mengacu pada teori Bird (1990) karena pada teori ini telah mencakup sebagian besar jenis-jenis perilaku tidak aman yang terdapat pada teori Dessler (1978) dan Santoso (2004).

Teori Bird (1990) ini juga dipakai dengan mengadopsi 12 jenis dari 15 jenis-jenis perilaku tidak aman dari Bird (1990) karena relevan untuk menggambarkan perilaku tidak aman supir bus Mayasari Bakti saat mengemudi tahun 2013. Jenis-jenis perilaku tidak aman supir bus saat mengemudi yang diadopsi dari teori jenis-jenis perilaku tidak aman menurut Bird (1990) adalah:

1. Melakukan pekerjaan tanpa wewenang

Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas ialah mengemudi tanpa surat izin mengemudi yang sah. Mengemudi bus harus dilaksanakan oleh supir yang memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), khususnya SIM B1 umum untuk supir bus. Supir yang telah mendapatkan SIM B1 umum adalah mereka yang diberi wewenang untuk membawa/mengemudikan bus dengan suatu kecakapan dan pengalaman teknis serta terampil mengemudikan bus. Melakukan pekerjaan tanpa wewenang juga berarti mengemudi bus Mayasari Bakti yang dilakukan oleh supir tidak resmi Mayasari Bakti.

2. Gagal dalam mengamankan

Supir harus selalu memperhitungkan sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga akan senantiasa waspada dan sadar serta berhati-hati dalam bertingkah laku saat

mengemudikan kendaraan, seperti jika supir mengetahui ada kerusakan pada komponen peralatan, alat pengaman, mesin bus, atau masalah pada ban, tetapi tetap memaksa untuk menjalankan bus. Hal ini berisiko terjadinya kecelakaan. Supir yang mengetahui terjadinya kerusakan mesin saat mengemudi harus segera mematikan dan menepikan busnya.

Hal ini senada dengan pendapat Agung (2012), Agung (2011) menyatakan bahwa supir yang baik harus selalu menggunakan prinsip anticipation (antisipasi). Anticipation (antisipasi) ialah kesiagaan, kecermatan, dan kesigapan supir terkait perilaku berkendara yang aman sehingga supir mengetahui bagaimana cara mengendalikan kendaraan dan keluar dari kondisi bahaya saat itu, yakni supir secara terus-menerus mengamati kondisi bus untuk mengetahui adanya potensi bahaya sehingga mengantisipasi setiap kemungkinan yang akan timbul, dimana kondisi ini sebenarnya tidak pernah diharapkan oleh supir.

3. Bekerja dengan kecepatan berbahaya

Salah satu alasan paling lazim untuk mengambil risiko dalam bekerja adalah menghemat waktu agar bisa mendapatkan waktu santai atau waktu untuk menghasilkan uang lebih banyak, atau sekedar menghemat waktu dengan mempercepat menyelesaikan pekerjaan. Oleh karena itu, tidak aneh apabila keinginan menghemat waktu ini menyebabkan perilaku tidak aman (International Labour Office, 1989).

Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 mengenai Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu Pasal 115a dan pasal 124 ayat 1 yang menjelaskan tentang mematuhi batas kecepatan paling tinggi untuk angkutan umum.

Menurut undang-undang tersebut, batas kecepatan maksimum kendaraan roda empat atau lebih di jalan tol ialah 80 km/jam dan minimal 60 km/jam, dan kelajuan kendaraan bus umum di kawasan jalan umum kota Jakarta ialah minimal 20 km/jam dan maksimal 40 km/jam.

4. Menghilangkan alat pengaman

Peralatan pengaman merupakan peralatan keselamatan yang dipasang pada tempat-tempat tertentu dan berfungsi untuk memberi keamanan tambahan bagi para pekerja (O‟Brien, 1974 dalam Helliyanti, 2009), sedangkan alat pengaman pada bus ialah alat-alat yang berfungsi untuk keamanan serta mencegah kecelakaan saat mengemudi seperti rem, spion, lampu sen, klakson, penghapus kaca, dan seat belt (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan Pengemudi). Menghilangkan alat pengaman pada bus berarti meningkatkan risiko kecelakaan lalu-lintas.

5. Membuat alat pengaman tidak berfungsi

Pada beberapa kasus, alat pengaman yang menyebabkan ketidaknyamanan supir dalam mengemudi seperti seat belt, dapat mendorong supir untuk merusakkannya. Membuat alat pengaman pada bus menjadi tidak berfungsi sangat berbahaya karena kegunaannya sebagai pengaman pun akan hilang sehingga dapat menimbulkan risiko terjadinya kecelakaan serta memperbesar efek kecelakaan pada supir. Hal ini sesuai dengan Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) yang menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas ialah adanya kerusakan bagian dari kendaraan.

6. Menggunakan peralatan yang rusak

Komponen peralatan bus yang digunakan harus berfungsi dengan baik dan dalam kondisi layak pakai. Menggunakan peralatan yang tidak layak pakai dapat membahayakan keselamatan. Oleh karena itu, semua peralatan harus dirawat menurut kondisi dan waktu pemakaian. Tanpa perawatan yang teratur, keadaan peralatan berubah menjadi salah satu faktor bahaya. Menurut Silalahi (1985), perawatan yang tidak teratur adalah perbuatan yang berbahaya karena dapat menimbulkan keadaan berbahaya. Sedangkan Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas ialah adanya kerusakan bagian dari kendaraan.

7. Menggunakan peralatan yang tidak sesuai

Menggunakan peralatan yang tidak sesuai dengan jenis pekerjaan yang dilakukan dan peraturan yang telah ditetapkan dapat menyebabkan kesalahan dalam melakukan pekerjaan. Hal ini merupakan tindakan yang berbahaya karena dapat berpotensi menimbulkan kecelakaan (Silalahi, 1985). Menggunakan peralatan yang tidak sesuai dalam penelitian ini adalah supir mengemudi dengan memakai alat yang tidak cocok dengan standar bus, seperti supir menggunakan sarung atau kain sebagai pengganti seat belt.

8. Tidak menggunakan APD dengan benar

Pada waktu melaksanakan pekerjaan, badan kita harus benar-benar terlindung dari kemungkinan terjadinya kecelakaan. Untuk melindungi diri dari risiko yang ditimbulkan akibat kecelakaan maka badan kita perlu menggunakan ala-alat pelindung ketika melaksanakan suatu pekerjaan. Alat Pelindung Diri (APD) didefinisikan

sebagai alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya (Rijanto, 2011).

Dalam penelitian ini, APD yang dimaksud adalah sabuk pengaman (seat bealt). Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang No.22 Tahun 2009 mengenai Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan, yaitu ayat 10 Pasal 289 yang berbunyi: “Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau penumpang yang duduk di samping pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp.250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah)”.

9. Pengisian/pembebanan yang tidak sesuai

Penyebab lain terjadinya kecelakaan adalah akibat beban muatan yang berlebihan sehingga melebihi kemampuan bus dalam menampung (over load). Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas adalah kehilangan kendali akibat pergeseran muatan. Membawa atau mengangkat barang dan penumpang yang terlalu berat dan terlalu banyak, akan membahayakan perjalanan. Akan jauh lebih aman bagi supir untuk membatasi jumlah penumpang yang diangkut agar bus tetap stabil sehingga meminimalisir risiko kecelakaan. Untuk bus Mayasari Bakti, batas muatan atau daya tampung hingga 60 orang.

10. Posisi tubuh yang salah

Sikap duduk yang keliru akan merupakan penyebab adanya masalah-masalah punggung. Seseorang dengan sikap duduk yang salah akan menderita pada bagian

punggungnya (Nurmianto, 2004). Sedangkan Suma‟mur (1999) menjelaskan bahwa sikap atau posisi tubuh dalam bekerja memiliki hubungan yang positif dengan timbulnya kelelahan kerja. Tidak peduli apakah pekerja harus berdiri, duduk, atau dalam sikap posisi kerja yang lain, dimana pertimbangan-pertimbangan ergonomis yang berkaitan dengan sikap/posisi kerja akan sangat penting.

Menurut Wignjosoebroto (2003), beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang kadang-kadang cenderung untuk tidak mengenakkan. Kondisi kerja seperti ini memaksa pekerja selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang tidak nyaman dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan pekerja cepat lelah, melakukan banyak kesalahan, dan menderita cacat tubuh.

Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas adalah adanya rasa sakit atau lelah. Membiasakan diri dengan kondisi postur yang baik akan membantu dalam mencegah berbagai gangguan fisik, seperti kelelahan, memperbaiki bentuk tubuh, memberi kesan penampilan diri lebih luwes dan tidak kaku. Postur yang baik sangat tergantung pada kebiasaan seseorang, untuk itu hindari sikap malas, posisi punggung yang membungkuk atau posisi tubuh yang membuat lekukan pada tulang punggung ketika sedang bekerja. Sikap duduk yang baik penting diperhatikan untuk mencegah kelelahan pada umumnya dan ketegangan pada punggung. Sikap duduk yang baik yaitu punggung tegak dan posisi duduk menekan bagian belakang (Wignjosoebroto, 2003).

11. Berkelakar atau bersenda gurau sambil menggunakan handphone.

Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas adalah mengemudi secara ceroboh. Bersenda gurau atau menggunakan handphone saat mengemudi sangat dilarang karena dapat mengganggu konsentrasi sehingga supir kurang fokus terhadap proses mengemudi nya. Hal tersebut akan membuat supir berpotensi untuk melakukan kesalahan dalam mengemudi yang akibatnya dapat menyebabkan kecelakaan. Menurut Andri (2013), berbincang-bincang masalah yang cukup pelik atau bercanda, harus dihindari saat mengemudi. Ketika melakukan hal tersebut kewaspadaan berkurang sehingga tidak mampu mengantisipasi gangguan dari luar yang bersifat mendadak. Kecederungannya pengemudi akan lengah ketika bercanda atau bicara. Sedangkan secara psikologis, ini penyebab yang mampu mengurangi konsentrasi saat mengemudi.

12. Bekerja dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan.

Menurut Sasangka (2003), alkohol dan obat-obatan termasuk ke dalam NAPZA. NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) adalah bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan, serta ketergantungan terhadap NAPZA. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu konsentrasi, penilaian, penglihatan, dan koordinasi pada orang yang mengonsumsinya.

Federal Highway Administration (1981) dalam Putranto (2007) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya kecelakaan lalu-lintas

adalah mengemudi dalam pengaruh alkohol atau obat-obatan. Kombinasi alkohol dengan obat-obatan lain sangat berbahaya karena hal ini meningkatkan efek dan pengaruh negatif yang tidak dapat diperkirakan, termasuk kerusakan serius yang menetap. Karena efek negatif yang ditimbulkan dari alkohol dan obat-obatan tersebut, seorang supir tidak boleh berada dibawah pengaruh alkohol atau obat-obatan pada saat mengemudi karena dapat menimbulkan terjadinya kecelakaan lalu-lintas.

Dokumen terkait