2.4 Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) .1 Pengertian ODHA
2.4.2 Gambaran tentang HIV/AIDS .1 Transmisi HIV
HIV ditemukan pada darah, semen atau cairan vagina dari orang yang terinfeksi dan menular melalui pertukaran darah atau cairan tersebut dari orang yang terinfeksi HIV. HIV tidak ditularkan melalui hewan atau serangga atau nyamuk seperti malaria, bersentuhan, berpelukan atau bersalaman dengan orang yang terinfeksi (Stolley & Glass, 2009). Terdapat berbagai cara penularan HIV yang diketahui sampai saat ini yang dijabarkan oleh Durham dan Lashley (2010), yaitu sebagai berikut;
1. Transmisi melalui Perilaku Seksual
Transmisi HIV melalui perilaku seksual bisa terjadi, baik dari laki-laki dan laki-laki, dari wanita ke pria dan pria ke wanita. Penularan heteroseksual bisa terjadi saat melakukan sexual intercourse, serta
transmisi melalui oral sex walaupun resiko ini masih rendah karena biasanya tertular karena adanya kontak darah saat melakukan perilaku beresiko tersebut. Resiko bisa terinfeksi virus ini jika melakukan perilaku seksual yang tidak aman, memiliki pasangan yang berganti-ganti atau tidak diketahui. Salah satu pencegahan agar tidak tertular HIV saat melakukan perilaku seksual adalah dengan menggunakan kondom.
2. Transmisi melalui Darah
Penularan melalui darah bisa terjadi saat ODHA mendonorkan darahnya ke orang lain atau bisa juga terjadi ketika terkena darah saat melakukan tindik di kulit dengan suntik atau benda tajam yang terinfeksi;
berbagi jarum suntik pada pengguna narkoba; atau transfusi darah maupun transplantasi.
3. Transmisi melalui Perinatal
Penularan ini bisa terjadi dari seorang ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya atau anaknya, misalnya saat hamil, melahirkan dan pasca melahirkan. Pada saat melahirkan, penularan terjadi karena adanya kontak dengan darah dan jaringan pada ibu yang terinfeksi, sehingga anak saat itu terpapar dan ikut terinfeksi saat dilahirkan. Sedangkan pada saat pasca melahirkan, HIV bisa ditularkan melalui proses menyusui karena virus tersebut terisolasi di air susu ibu, sel dan komponen lainnya. Hal ini bisa lebih beresiko ketika durasi menyusui lebih lama dan ibu tidak mengonsumsi obat-obatan terkait HIV nya.
2.4.2.2 Tingkatan pada HIV
Durham dan Lashley (2010) merangkum tingkatan dari penyakit HIV, yaitu sebagai berikut:
1. Infeksi Primer (Infeksi Akut)
Tahap merupakan tingkat pertama dari HIV, biasanya hanya satu atau dua minggu, yaitu ketika virus pertama kali ada di tubuh. Simtom yang ada biasanya hanya dirasakan beberapa hari, misalnya demam, keringat pada malam hari, adanya ruam dan sebagainya. Pada tahap ini seringkali diagnosa belum terlihat karena belum terdeteksi dan CD4 masih pada ukuran normal.
2. Seroconversion
Pada tahap ini beberapa orang akan memberikan gejala seroconversion, yaitu periode ketika imun orang yang terinfeksi HIV merespon pada infeksi yang dihasilkan oleh antibodi. Kebanyakan orang memproduksi antibodi selama 3 bulan setelah infeksi dan pada kasus yang jarang terjadi mungkin hampir selama enam bulan sampai akhirnya antibodi muncul. Tiga bulan awal sejak pertama kali virus masuk kedalam tubuh merupakan masa jendela antara infeksi dan produksi antibodi.
3. Tahap Asimtomatik (Infeksi HIV Kronis)
Setelah melewati masa jendela, kebanyakan orang yang terinfeksi HIV terlihat baik-baik saja dalam waktu yang panjang, biasanya hingga bertahun-tahun. Walaupun periode ini dikarakteristikkan
dengan kesehatan yang baik dan adanya beberapa simtom, HIV masih sangat aktif dan terus melemahkan sistem imun. Jika tidak ada penanganan, CD4 akan menurun dan penyakit akan terus berkembang.
Jika tidak ada penanganan pada tahap ini, individu biasanya bisa bertahan 10 tahun atau lebih.
4. Tahap Simtomatik
Ketika sistem imun sudah dirusak oleh infeksi HIV, kebanyakan orang akan mengalami simtom HIV. Beberapa masalah yang umum terjadi misalnya adanya permasalahan di area mulut atau area genital, demam, diare dan penurunan berat badan yang drastis. Permasalahan ini biasanya menggiring pada diagnosa HIV. Jika tidak ada penanganan pada tahap ini, CD4 akan terus menurun sehingga dianjurkan untuk mengonsumsi antiretroviral therapy untuk memantau jumlah CD4.
5. AIDS
Diagnosa AIDS hanya diberikan ketika sudah dikonfirmasi dari laboratorium. Diagnosa AIDS juga dapat ditegakkan jika jumlah CD4 orang tersebut berada <200 cells/m3. Pada tahap ini merupakan tahap dimana individu mulai mengalami infeksi oportunitis dari infeksi HIV. Dikatakan opurtunitis karena pada orang normal tidak menyebabkan sakit yang parah, namun HIV mengambil kesempatan ini untuk menyerang sistem imum. Penanganan orang dengan AIDS yang memiliki infeksi oportunitis mungkin akan sangat rumit, dan
biasanya hasilnya tidak dapat diprediksi. Jika tidak ada penanganan pada tahap ini, kematian biasanya terjadi diantara dua sampai lima tahun setelah didiagnosa AIDS. Jika sistem imun sudah rusak, biasanya memperlihatkan simtom seperti demam, berkeringat malam, lelah, diare dan adanya ruam. Munculnya simtom ini mengindikasikan sistem imun sudah melemah dan sedang bertarung untuk melawan penyakit oportunitis (Sarafino & Smith, 2011). Pada tahap ini biasanya orang yang terinfeksi sudah dalam keadaan yang sangat kurus kehilangan berat badan yang signifikan. Beberapa contoh infeksi oportunitis yang sering ditemui pada orang HIV/AIDS misalnya tuberculosis (TB), infeksi bacterial, PCP (pneumocystis jirovecii pneumonia), infeksi herpes, candida oesophagitus dan toxoplasmosis (WHO, 2007).
2.4.2.3 Penanganan HIV secara Medis
Penanganan paling dasar yang bisa diberikan pada orang yang terinfeksi HIV adalah dengan memberikan antiretroviral therapy (ART).
ART merupakan obat yang berfungsi untuk menekan virus HIV secara maksimal untuk memberhentikan proses dari penyakit ini. WHO merekomendasikan ART untuk segera diberikan pada orang yang terinfeksi HIV. Penanganan yang optimal dapat memberikan manfaat jika orang tersebut patuh terhadap ART. Ketika kepatuhan tinggi, maka terjadi penurunan perkembangan virus HIV dan jika tidak patuh maka
akan membuat tubuh resisten dengan obat tersebut (WHO, 2007). Selain penanganan medis, ODHA juga disarankan melakukan gaya hidup sehat agar tidak mudah terserang penyakit.
2.5 Efektifitas Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok untuk