PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
(Effectiveness of Group Cognitive Behavioral Therapy to Improve Quality of Life in People Living with HIV/AIDS)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajad Magister Psikologi Program Studi Magister Psikologi Profesi
Minat Utama Psikologi Klinis Dewasa
Diajukan Oleh:
NAMIRA 167029012
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS DEWASA
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ... i
Lembar Pernyataan... ii
Daftar Isi ... iii
Daftar Tabel ... vi
Daftar Gambar ... vii
Ucapan Terima Kasih ... viii
Abstract ... xi
Abstrak ... xii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 10
1.3. Tujuan Penelitian ... 10
1.4. Manfaat Penelitian ... 10
1.4.1. Manfaat Teoritis ... 10
1.4.2. Manfaat Praktis ... 11
1.5. Sistematika Penelitian ... 11
1.6. Kerangka Permasalahan … ... 12
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1. Quality of Life ... 13
2.2.1. Defenisi Quality of Life ... 13
2.2.2. Dimensi pada Quality of Life ... 14
2.2.3. Faktor yang Mempengaruhi Quality of Life ... 15
2.2. Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok ... 20
2.3.1. Definisi Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok ... 20
2.3.2. Prinsip Dasar Terapi Kognitif Perilaku ... 21
2.3.3. Aspek-Aspek Terapi Kognitif Perilaku ... 24
2.3.4. Tahapan pada Terapi Kognitif Perilaku ... 25
2.3.5. Teknik-Teknik Terapi Kognitif Perilaku ... 27
2.3. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) ... 30
2.1.2. Gambaran tentang HIV/AIDS ... 31
2.1.2.1. Transmisi HIV … ... 31
2.1.2.2. Tingkatan pada HIV … ... 33
2.1.2.3. Penangan HIV … ... 35
2.4. Efektivitas Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok untuk Meningkatkan Quality of Life pada ODHA ... 36
2.5. Hipotesis ... 39
2.6. Kerangka Konsep Penelitian ... 40
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 41
3.1. Jenis Penelitian ... 41
3.2. Identifikasi Variabel Penelitian ... 41
3.3. Definisi Operasional Variabel ... 41
3.6.1. Quality of life … ... 42
3.6.2. Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok ... 44
3.6.3. Jenis Kelamin ... 46
3.6.4. Usia ... 46
3.6.5 Pendidikan ... 47
3.4. Desain Penelitian … ... 47
3.5. Rancangan eksperimen... 48
3.6. Tempat dan Waktu Penelitian ... 52
3.7. Populasi dan Sampel ... 52
3.8. Instrumen Penelitian... 53
3.7.1. Skala WHOQOL-HIV Bref …... 53
3.7.2. Modul Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok ... 54
3.9. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 57
3.10. Validitas Penelitian Eksperimen .. ... 59
3.11. Metode Analisa Data ... 61
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 63
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian … ... 64
4.2. Data Penelitian … ... 65
4.2.2. Data setelah Penelitian (Post-Test) .. ... .68
4.3. Hasil Penelitian .. ... 70
4.3.1. Perubahan Skor Quality of Life Subjek Penelitian .. ... 70
4.3.2. Perubahan Skor pada Domain Quality of Life Kelompok Eksperimen ... 72
4.3.3 Perubahan Skor pada Domain Quality of Life Kelompok Kontrol ... 77
4.3.2. Uji Mann-Whitney ... 82
4.4. Hasil Tambahan .. ... 74
4.5. Pembahasan ... 85
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
5.1. Kesimpulan ... 97
5.2. Saran ... 98
5.2.1. Saran Metodologis ... 98
5.2.2. Saran Praktis ... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Rancangan Pelaksanaan Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok ... 49
Tabel 3.2 Distribusi aitem skala WHOQOL-IV Bref ... 54
Tabel 3.3 Hasil Validitas isi Modul ... 56
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian Kelompok Eksperimen ... 63
Tabel 4.2 Gambaran Umum Subjek Penelitian Kelompok Kontrol ... 63
Tabel 4.3 Hasil Skor QOL Sebelum Perlakuan ... 63
Tabel 4.4 Analisis Fungsional Kelompok Eksperimen Sebelum Perlakuan ... 66
Tabel 4.5 Hasil Skor QOL Setelah Perlakuan ... 68
Tabel 4.6 Perubahan Skor WHOQOL-HIV Bref ... 69
Tabel 4.7 Kriteria N-Gain ... 70
Tabel 4.8 Hasil Uji Mann-Whitney ... 81
Tabel 4.10 Analisis Fungsional Kelompok Eksperimen Setelah Perlakuan ... 83
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 40
Gambar 3.1 Skema Desain Penelitian ... 48
Gambar 4.1 Bagan Domain Kesehatan Fisik Kelompok Eksperimen ... 71
Gambar 4.2 Bagan Domain Kesehatan Psikologis Kelompok Eksperimen ... 72
Gambar 4.3 Bagan Domain Tingkat Kemandirian Kelompok Eksperimen ... 73
Gambar 4.4 Bagan Domain Hubungan Sosial Kelompok Eksperimen ... 74
Gambar 4.5 Bagan Domain Lingkungan Kelompok Eksperimen ... 75
Gambar 4.6 Bagan Domain Spritual Kelompok Eksperimen ... 75
Gambar 4.7 Bagan Domain Kesehatan Fisik Kelompok Kontrol ... 76
Gambar 4.8 Bagan Domain Kesehatan Psikologis Kelompok Kontrol ... 77
Gambar 4.9 Bagan Domain Tingkat Kemandirian Kelompok Kontrol ... 78
Gambar 4.10 Bagan Domain Hubungan Sosial Kelompok Kontrol ... 79
Gambar 4.11 Bagan Domain Lingkungan Kelompok Kontrol ... 79
Gambar 4.12 Bagan Domain Spritual Kelompok Kontrol ... 80
UCAPAN TERIMA KASIH
Bismillahirrahmannirrahim
Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “efektivitas terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk meningkatkan quality of life pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA).” Selama penyelesaian tesis ini penulis banyak mendapatkan pelajaran sehingga sangat berguna untuk menambah khazanah berpikir.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada ayah, ibu, abang-abang, dan adik tercinta yang telah memberikan motivasi, perhatian, dan doa yang tidak habis-habisnya sehingga peneliti bisa menyelesaikan tesis ini.
Semoga peneliti bisa membalas semua kebaikan yang kalian berikan selama ini.
Selama menyusun tesis ini, peneliti juga banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan serta dukungan yang berharga dari berbagai pihak lainnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini. Untuk itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Zulkarnain Amin, Ph.D, Psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi 2. Ibu Raras Sutatminingsih, Ph.D, Psikolog selaku Ketua Program Studi
Magister Psikologi Profesi
3. Ibu Hasnida, P.hd, Psikolog selaku dosen pembimbing I dan Ibu Josetta M.
R. Tuapattinaja, M.PSi, Psikolog selaku dosen pembimbing II, sangat
banyak membantu dengan penuh kesabaran dan pengertian, memberikan bimbingan, arahan, doa dan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.
4. Bapak Eka Danta Jaya Ginting, MA, Psikolog, selaku dosen penguji, yang telah memberikan feedback kepada peneliti pada saat ujian proposal, seminar hasil dan sidang, sehingga peneliti bisa menyempurnakan penelitian.
5. Seluruh Dosen Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara khususnya klinis dewasa, atas semua support dan ilmu yang telah diberikan, mudah-mudahan ilmu ini dapat berguna serta dapat diterapkan dengan baik.
6. Seluruh pegawai Sekretariat Magister Psikologi Profesi yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada peneliti selama mengikuti studi di Magister Profesi Psikologi.
7. Seluruh pihak Balai Rehabilitasi Sosial ODH Bahagia Medan yang telah bersedia menjadi tempat pelaksanaan penelitian dan membantu peneliti selama melaksanakan penelitian.
8. Seluruh partisipan yang telah bersedia untuk mengikuti serangkaian kegiatan intervensi dan memberikan banyak dukungan dan doa.
9. Kepada Kak Lili yang sudah bersedia menjadi psikolog dalam pelaksanaan terapi kognitif perilaku dalam kelompok pada penelitian ini
10. Kak Ike, Kak Afrina, Kak Tami, dan Kak Putri sebagai expert judgement dalam modul penelitian ini. Terima kasih untuk segala masukan dan penilaiannya sehingga peneliti dapat menyelesaikan modul dengan baik.
11. Kepada teman seperjuangan peneliti yaitu Claudia, Agus, Kak Farah, Kak Desi, Elisabeth, Belinda, Kak Dhebby, Stifanny, terima kasih telah memberikan dukungan, bantuan, masukan, dan kesediaan waktu untuk mendengarkan segala cerita, pertanyaan dan memberikan jawaban.
12. Radinal Reza yang selalu mendengarkan keluh kesah selama peneliti menjalani proses perkuliahan di Magister Psikologi Profesi, terima kasih atas doa dan semangatnya.
13. Sahabat-sahabat terbaik peneliti yaitu Mia, Demi, Upik, Timeh, Nyaknyak, Indah, Kiki dan Aulia yang sudah meluangkan waktu dan memberi semangat dan doa dalam menjalani perkuliahan ini
14. Pihak-pihak lain yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini.
Peneliti menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih belum sempurna. Oleh karena itu peneliti mengharapkan bebagai kritik dan saran bagi siapa saja yang membaca tesis ini, tentunya yang bersifat membangun bagi tesis ini. Akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.
Medan, 8 Desember 2020 Peneliti
Namira
Universitas Sumatera Utara
EFEKTIVITAS TERAPI KOGNITIF PERILAKU DALAM KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN QUALITY OF LIFE PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
Namira, Hasnida, Josetta M. R. Tuapattinaja
ABSTRACT
This study aims to examine the effectiveness of group cognitive behavioral therapy to improve the quality of life in people with HIV/AIDS (PLWHA). The research design used was a quasi- experimental pretest-posttest control group design with a random sampling for sample method.
The subjects of this study were ten people with HIV/AIDS (PLWHA). The group cognitive behavioral therapy module includes cognitive restructuring and coping skills. Quality of life measurement using the WHOQOL-HIV Bref scale and were analyzed by Mann-Whitney nonparametric statistical test. The results showed a significant difference in the quality of life of people living with HIV/AIDS who took part in the group cognitive behavioral therapy and those who did not participate in group cognitive behavioral therapy, which meant that group cognitive behavioral therapy effective to improve the quality of life in PLWHA and the effect size is high.
Based on the result of the study, group cognitive behavioral therapy can be uses as an alternative or a second intervention after medical treatment to improve quality of life of PLWHA.
Key words: Group Cognitive Behavioral Therapy, People Living with HIV/AIDS, Quality of Life
EFEKTIVITAS TERAPI KOGNITIF PERILAKU DALAM KELOMPOK UNTUK MENINGKATKAN QUALITY OF LIFE PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)
Namira, Hasnida, Josetta M. R. Tuapattinaja ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan menguji efektifitas terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk meningkatkan quality of life pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Desain penelitian yang digunakan adalah quasi-experiment pretest-postest control group design dengan metode pengambilan data random sampling. Subjek penelitian ini berjumlah sepuluh orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Modul terapi kognitif perilaku dalam kelompok meliputi cognitive restructuring dan coping skill. Pengukuran quality of life menggunakan skala WHOQOL-HIV Bref dan dianalisis dengan uji statistik nonparametrik Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan pada quality of life ODHA yang mengikuti terapi kognitif perilaku dalam kelompok dan ODHA yang tidak mengikuti terapi kognitif perilaku dalam kelompok, artinya terapi kognitif perilaku dalam kelompok efektif untuk meningkatkan quality of life pada ODHA. Berdasarkan hasil penelitian ini, terapi kognitif perilaku dalam kelompok dapat dijadikan salah satu alternatif atau intervensi kedua setelah medis untuk meningkatkan quality of life ODHA Kata kunci: Orang dengan HIV/AIDS, Terapi kognitif perilaku dalam kelompok, Quality of life
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan data dari UNAIDS pada tahun 2018, saat ini terdapat kurang lebih 37.9 juta orang yang terinfeksi HIV dan setiap tahunnya mengalami peningkatan. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Pasifik yang penduduknya juga banyak terinfeksi HIV. Menurut data dari Kementrian Kesehatan dalam Profil Kesehatan Indonesia 2018, estimasi jumlah orang dengan HIV di Indonesia pada tahun 2018 adalah sebanyak 641.675 orang, dengan jumlah infeksi baru sebanyak 46.372 dan kematian sebanyak 38.734 orang. Kasus HIV yang baru terus ditemukan sebagai hasil dari upaya pencegahan dan penanggulangan penyebaran HIV dari berbagai program yang diselenggarakan pemerintah maupun non-pemerintah.
Berdasarkan data KEMENKES (2019), proporsi terbesar kasus HIV/AIDS di Indonesia terdapat pada penduduk usia produktif yaitu 15-49 tahun. Hal ini tentu saja menjadi perhatian karena usia produktif diharapkan dapat menciptakan berbagai prestasi atau pencapaian dalam kehidupannya, namun menjadi terhambat.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menginfeksi sel-sel kekebalan tubuh serta menghancurkan atau merusak fungsinya. Infeksi virus ini mengakibatkan kerusakan progresif sistem kekebalan tubuh sehingga tubuh tidak dapat lagi melawan sepenuhnya infeksi
dan penyakit. Hal ini menjadikan orang dengan HIV juga mengalami kemungkinan untuk mendapatkan infeksi oportunitik karena lemahnya sistem kekebalan tubuh. Sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan tingkat lanjut dari infeksi HIV dan biasanya individu juga menderita infeksi oportunistik satu atau lebih atau kanker terkait HIV (WHO, 2017).
HIV dapat ditularkan dari kontak cairan tubuh seperti darah dan sperma. Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) harus mengonsumsi Antiretroviral Therapy (ART) seumur hidupnya sebagai upaya agar memiliki harapan hidup lebih panjang. HIV/AIDS merupakan penyakit kronis yang bukan hanya berefek pada kondisi fisik, namun juga hubungan sosial, kesehatan mental dan finansial (Liping, Peng, Haijiang, Lahong & Fan, 2015). Secara fisik, ODHA biasanya akan merasakan cepat lelah, mengalami demam yang tidak kunjung hilang, mengalami penurunan berat badan yang drastis serta mengalami kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari karena kondisi fisik yang menurun dan mengakibatkan mereka menjadi kurang produktif (Handayani & Dewi, 2017; Butarbutar, 2017). Lalu, adanya perbedaan kekuatan fisik bagi ODHA sebelum dan setelah divonis positif HIV tentu membuat mereka memiliki persepsi negatif mengenai dirinya (Butarbutar, 2017).
Selain dari fisik yang menurun, ODHA juga menghadapi tantangan dari permasalahan sosial seperti mendapatkan stigma negatif dari masyarakat karena cara penulurannya yang dianggap menyalahi keyakinan budaya di
Indonesia. Dukungan sosial merupakan salah satu bagian penting bagi ODHA. Pada kenyataannya masih banyak ODHA mendapatkan penolakan dari lingkungannya sendiri karena stigma di masyarakat. Hal ini membuat ODHA juga memutuskan untuk tidak membuka statusnya terhadap orang lain karena pikiran-pikiran mengenai penolakan merupakan hal yang ditakuti dan membuat mereka tertekan dan pada akhirnya mempengaruhi quality of life mereka (Lubis, Sarumpaet & Ismayadi, 2016).
ODHA secara konsisten menghadapi tuntutan psikologis dan fisik yang kompleks karena memiliki penyakit yang sangat terstigmatisasi, kronis dan mengancam kehidupannya sehingga berurusan dengan keadaan emosi negatif tentunya menjadi lebih menantang dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi (Crepaz, Passin, Herbst & Rama, 2008). Peneliti juga menemukan fenomena ini pada ODHA yang ada di Balai X Medan. Berikut merupakan kutipan hasil wawancara pribadi dengan beberapa ODHA;
“Saat pertama kali saya tau bahwa saya terinfeksi HIV, dunia saya rasanya hancur, saya tidak percaya, saya memikirkan bagaimana anak saya, hidup saya sudah tidak panjang lagi, bagaimana nanti tetangga saya menilai saya ketika mereka tau, badan saya yang semakin kurus begini dipertanyakan mereka dan saya menutupinya dengan bilang kalau saya sakit lambung. Saya takut akan dijauhi oleh mereka, disini juga kampong, saya pasti akan diomongin dan dijauhin, belum lagi reaksi keluarga besar nantinya. Saya lebih memilih untuk diam aja di rumah, sampai benar-benar pulih baru berani keluar dan kerja lagi.
Tersiksa tapi saya lebih takut untuk dijauhi oleh tetangga dan dibicarakan, saya juga menjadi sulit tidur dan menangis saat sebelum tidur”. (MY, Komunikasi Personal, 10-02-2020)
“Saya memang sudah tau dari teman-teman saya ada penyakit namanya HIV, saya kan dulunya waria, saya juga pernah tes HIV tapi ga pernah positif, saya memakai kondom jika bekerja, hanya beberapa kali saja tidak pakai. Setelah sekian lama saya tidak pernah periksa, saya merasa sering sakit, diare tidak berhenti sampai badan saya kurus sekali, ketika
di periksa ternyata positif, saya berpikir bagaimana saya akan mencari uang lagi, bagaimana jika saya mati, siapa yang akan merawat saya, kenapa saya bisa sakit ini, saya merasa tidak percaya diri dengan tubuh saya yang dulunya bagus dan banyak pujian, sekarang semua orang menanyakan kenapa saya begini, pertanyaan itu yang menghantui saya sampai saya tidak bisa tidur dan menangis, saya juga gamau keluar rumah, hanya seperlunya saja, bahkan obat saya sering minta titip saja”.
(SY, Komunikasi Personal, 10-02-2020)
Fenomena di atas sering ditemui pada ODHA. Adanya ketidakmampuan-ketidakmampuan ODHA untuk produktif bagi dirinya maupun pada kehidupan sosialnya mengindikasikan bahwa mereka mengalami penurunan quality of life (Butarbutar, 2017). Quality of life dianggap sama dengan status kesehatan, status fungsional, kesejahteraan psikologis, kebahagiaan dengan hidup, kepuasan dari kebutuhan serta penilaian tentang hidupnya sendiri (Yeboah et al., 2017). Adanya isolasi sosial dan konflik pada interaksi sosial dapat meningkatkan stress pada individu yang tentunya semakin memperburuk keselurahan fungsi sosial individu (Basavaraj et al., 2013).
WHO bekerjasama dengan UNAIDS mengusulkan bahwa peningkatan quality of life juga merupakan tujuan utama dalam memberikan perawatan dan dukungan terhadap ODHA (Handayani & Dewi, 2017). Hal ini dikarenakan pemikiran-pemikiran individu mengenai kesehatannya memprediksi quality of life mereka, yaitu lebih rendahnya quality of life seseorang ketika mereka mempersepsikan sebagai orang sakit (Yeboah et al., 2017). Ketika seseorang divonis memiliki HIV positif, maka individu akan mempersepsikan bahwa mereka tidak terima dengan keadaannya. Hal ini juga karena stigma masyarakat yang cenderung menolak orang-orang dengan HIV.
Mereka menjadi tertekan karena harus juga menghadapi permasalahan sosial selain masalah kesehatannya sehingga memberikan pengaruh lebih luas dibandingkan virus HIV itu sendiri dan memberikan efek dominan menurunnya quality of life ODHA (Lubis et al., 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Aranjo (Oguntibeju, 2012) mengatakan bahwa ODHA yang menghadapi berbagai permasalahan psikologis, seperti stigma, depresi, penggunaan obat terlarang, kemiskinan dan keyakinan budaya dapat mempengaruhi quality of life, tidak hanya dilihat dari kesehatan fisik namun juga kesehatan mental dan sosialnya yang dapat berefek pada aktifitas penting dan minatnya.
Penurunan quality of life pada ODHA berpengaruh banyak terhadap aspek penting dalam hidupnya, sehingga perlu menjadi perhatian untuk ditangani. Beberapa sumber mengatakan bahwa ketika persepsi akan quality of life pada ODHA tinggi, maka berhubungan dengan kepatuhan mengonsumsi ART. Sebaliknya, pasien yang memiliki quality of life yang rendah diindikasikan akan memiliki proporsi dari kecemasan dan simtom depresi yang juga akan memperburuk hingga kondisi AIDS, serta juga berhubungan dengan kepatuhan dalam mengonsumsi ART (Oguntibeju, 2012). HIV/AIDS sebagai penyakit kronis tentunya memiliki efek samping yang berasal dari obat-obatan, infeksi oportunistik, dan stigma serta diskriminasi yang terus didapat ODHA, sehingga butuh juga berfokus pada bagaimana keseluruhan kesejahteraan ODHA baik secara fisik, psikologis serta ranah sosial-ekonomi perlu diberikan intervensi atau dampingan selain
obat ART (Liping et al., 2015). Meta-analisa yang dilakukan oleh Bhatta, Liabsuetrakul dan Mcneil (2017) mengenai intervensi sosial dan perilaku memperlihatkan bahwa intervensi tersebut dapat meningkatkan quality of life ODHA dari rendah ke menengah walaupun terdapat beberapa penelitian yang tidak meningkatkan seluruh aspek quality of life.
Salah satu intervensi untuk meningkatkan quality of life ODHA adalah dengan memberikan terapi kognitif perilaku atau disebut juga dengan cognitive behavioral therapy (CBT). Pada intervensi CBT, pasien dibimbing untuk mengidentifikasi pola pikiran distorsi dan perilaku yang tidak efektif, lalu untuk dimodifikasi melalui percakapan yang bertujuan dan tugas yang sudah tersusun sebelumnya (Riyahi, Ziaee & Dastjerdi, 2018). ODHA memiliki pemikiran irasional terkait dirinya dan anggapan dari orang lain serta seringkali mereka menstigma negatif diri mereka sendiri (Lubis et al., 2016). Stigma negatif pada diri mereka sendiri karena mereka berpikir bahwa mereka orang yang tidak ada gunanya, hina, penyakit memalukan, tidak diterima lingkungan dan sebagainya. Pikiran-pikiran irasional tersebut membuat mereka menjadi mengurung diri serta terkadang memiki pikiran untuk mati. Hal ini sesuai dengan wawancara pribadi yang peneliti lakukan dengan salah satu ODHA, yaitu sebagai berikut:
“Saya menganggap diri saya sudah tidak ada gunanya lagi, untuk apalagi saya hidup, penyakit saya ini memalukan, apalah kata orang lain, orang lain pasti menghina saya dan beranggapan saya orang yang tidak baik, daripada saya nanti ditanya mereka, saya lebih memilih untuk di rumah dan tidak mau beraktifitas, semuanya jadi terhambat tapi ketakutan saya orang akan menjelek-jelekkan saya dan keluarga lebih besar, terkadang ini juga yang membuat saya stress sendiri dan
tidak bisa tidur, makan juga tidak selera” (BA, Komunikasi Personal, 12-02-2020)
Fenomena diatas juga sering dijumpai pada ODHA. Mereka memiliki pikiran-pikiran irasional terkait dengan situasinya. Pikiran irasional seperti yang dirasakan BA adalah tipe pikiran distorsi personalization, yaitu adanya anggapan orang lain menilai negatif dan memberikan stigma pada dirinya padahal tidak ada bukti yang terlihat. Pikiran-pikiran irasional ini mempengaruhi cara pandang ODHA tentang dirinya serta berefek pada perilakunya yang tidak mau beraktifitas, berhubungan dengan orang lain dan sebagainya. Hal tersebut masuk dalam beberapa cakupan dari quality of life misalnya pada domain hubungan sosial, lingkungan serta psikologis pada ODHA serta memberikan pengaruh persepsi individu tersebut terhadap keseluruhan QOL ODHA (WHO, 2002).
Berdasarkan pemaparan diatas dapat dilihat bahwa ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi QOL ODHA. Menurut Basavaraj et al.
(2013) beberapa faktor tersebut adalah stigma negatif, komsumsi ART dan coping style. ODHA yang memberikan stigma negatif pada dirinya dan memiliki persepsi bahwa ia orang yang sakit juga menggambarkan QOL yang rendah (Yeboah et al., 2017). Adanya persepsi negatif mengenai dirinya juga berpengaruh terhadap minat dan aktifitas sosialnya sehingga perlu diberikan penanganan lebih lanjut.
CBT dianggap dapat meningkatkan QOL ODHA melalui penggantian pemikiran irasional ODHA dan mengatur stress (Lechner, 2003). CBT juga
dianggap efektif untuk menurunkan permasalahan ODHA lainnya seperti kecemasan, depresi, burnout dan somatisasi pada ODHA (Lechner et al., 2003). Menurut hasil penelitian dari Atmasari (2016), terdapat penurunan tingkat depresi pada wanita penderita HIV/AIDS yang terinfeksi dari suaminya ketika diberikan CBT. Melalui terapi ini individu dibantu untuk mengurangi pikiran-pikiran irasional serta membantu untuk menurunkan gejala-gejala fisik serta dapat mengembangkan individu untuk berperilaku lebih adaptif.
Selain itu, CBT juga dianggap efektif untuk meningkatkan QOL pada penderita kanker dan penyakit amyotrophic lateral sclerosis (penyakit sistem saraf yang melemahkan otot-otot dan mempengaruhi fungsi fisik). Hal ini dilakukan dengan cara mengajarkan coping yang efektif kepada pasien ketika menghadapi sumber stress yang dapat memperburuk kondisi kesehatan (Groenetjin et al., 2015). Menurut hasil penelitian Yoesefy dan Manshaee (2012), pasien kardiovaskular mengalami peningkatan QOL setelah diberikan CBT dan dianggap efektif untuk dijadikan pencegahan sekunder, bahkan dapat menurunkan penggunaan obat-obatan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mazidi, Avoudi dan Mehrabizadeh (2016) memperlihatkan hasil penelitian bahwa Group-CBT efektif untuk meningkatkan quality of life pada mahasiswa dengan premenstrual syndrome. Sebaliknya jika melihat dari hasil penelitian dari Riyahi, Ziaee dan Dastjerdi (2018), CBT tidak memberikan efek signifikan secara keseluruhan terhadap quality of life pasien dengan Hepatitis B, namun
meningkatkan salah satu domain dari quality of life yaitu kesejahteraan emosional pasien tersebut.
Berdasarkan pemaparan permasalahan quality of life ODHA dan hasil penelitian penerapan CBT pada berbagai permasalahan, maka peneliti meyakini bahwa hal ini perlu diberikan kepada ODHA sebagai salah satu upaya promosi kesehatan. Semakin tinggi quality of life ODHA, maka ia diindikasikan akan memiliki kemampuan untuk menghadapi penyakit dan hidupnya (Liping et al., 2015). Jika QOL ODHA meningkat, maka akan sejalan dengan perasaan sejahtera secara psikologis serta kepuasan terhadap hidupnya. Hal ini akan berpengaruh juga terhadap semangat dari ODHA untuk kembali produktif dan berfungsi secara sosial mengingat fenomena yang ada bahwa usia yang paling banyak terinfeksi HIV adalah 15-49 tahun (KEMENKES, 2019).
Penerapan CBT dapat dilakukan secara individu dan kelompok, namun pada penelitian ini akan menerapkan CBT dalam bentuk kelompok. CBT dalam kelompok dapat memberikan manfaat yang lebih banyak dibandingkan individu. Misalnya, melalui kebersamaan dan menerima dukungan serta empati dari anggota kelompok lainnya memberikan efek yang baik terhadap permasalahan yang dihadapi, dan tentunya juga memfasilitasi mereka belajar proses coping (Mazidi, Avoudi & Mehrabizadeh, 2016). Berdasarkan hasil penelitian Zhang et al. (2016), CBT dalam bentuk kelompok memiliki manfaat yang lebih lama pada quality of life dan fungsi sosial seseorang yang depresi selain mengonsumsi obat antidepresan.
Beberapa penelitian mengenai CBT dan QOL telah diteliti, misalnya Riyahi, Ziaee dan Dastjerdi (2018). Penelitian tersebut melihat efek pemberian CBT pada QOL pasien dengan hepatitis B. Berbeda dengan penelitian tersebut, penelitian ini akan melihat CBT pada QOL dengan subjek yang berbeda yaitu ODHA. Penelitian CBT dan QOL pada ODHA juga pernah dilakukan oleh Lechner et al. (2003), namun penelitian tersebut menggunakan CBT secara individual, sementara penelitian ini akan berbentuk terapi kelompok dan diberikan kepada ODHA. Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka dari itu peneliti tertarik untuk meneliti
“efektifitas terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk meningkatkan quality of life pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA)”.
1.2 Rumusan Masalah
“Seberapa efektif terapi kognitif perilaku dalam kelompok dalam meningkatkan quality of life pada ODHA?”.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan peneltian ini adalah untuk mengetahui efektifitas terapi kognitif perilaku dalam kelompok untuk meningkatkan quality of Life pada ODHA.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis:
a. Menambah pengetahuan, pemahaman dan sumber informasi bagi ilmu psikologi klinis, khususnya mengenai penerapan Cognitive Behavioral Therapy untuk meningkatkan quality of life pada ODHA.
b. Memberikan masukan bahwa orang dengan HIV/AIDS tidak hanya membutuhkan intervensi medis, namun juga psikologis dengan mengganti pikiran irasional menjadi rasional serta memberikan coping skill agar quality of life meningkat.
1.4.2 Manfaat praktis:
a. Bagi praktisi kesehatan seperti dokter, bidan, dan perawat agar dapat memperhatikan quality of life ODHA sebagai langkah dalam promosi kesehatan.
b. ODHA mengetahui aspek kehidupan yang mempengaruhi quality of life mereka.
c. Lembaga atau masyarakat yang melibatkan ODHA dapat lebih memahami faktor-faktor yang mempengaruhi quality of life ODHA dan penanganannya.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan: Bab ini menguraikan secara umum mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan penelitian.
Bab 2 Landasan Teori: Bab ini menguraikan mengenai berbagai teori yang dapat memberikan penjelasan dan mendukung data penelitian.
Bab 3 Metode Penelitian: Bab ini menguraikan rangkaian penelitian yang meliputi perencanaan, pelaksanaan dan analisa data.
Bab 4 Hasil dan Pembahasan: Bab ini menguraikan mengenai hasil yang ditemukan dalam penelitian serta pembahasan hasil penelitian dan perbandingan hasil penelitian dengan teori.
Bab 5 Kesimpulan, dan Saran: Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dari seluruh hasil yang telah diperoleh, dan saran untuk penyempurnaan penelitian selanjutnya.
2.1 Quality of Life
2.1.1 Definisi Quality of Life
Quality of life didefinisikan oleh WHO (1999) sebagai persepsi individu terhadap posisinya dalam hidup, pada konteks budaya dan sistem nilai tempat individu tersebut tinggal dan hubungannya pada tujuan akhir, harapan, standar dan perhatiannya. Hal ini merupakan konsep yang luas dan kompleks antara kesehatan fisik, mental, tingkat kebebasan, hubungan sosial, belief dan hubungan mereka dengan lingkungan. Definisi ini merefleksikan bahwa quality of life tertuju pada evaluasi subjektif, yang tertanam pada konteks budaya, sosial dan lingkungan sehingga tidak dapat disederhanakan dengan istilah status kesehatan, gaya hidup, kepuasaan hidup, keadaan mental atau kesejateraan, namun merupakan konsep yang multidimensional yang melibatkan perepsi individu terhadap hal tersebut dan aspek lain dalam hidup (WHO, 1999).
Oguntibeju (2012) mengatakan bahwa QOL (quality of life) tertuju pada tingkatan dari keunggulan kehidupan seseorang pada periode tertentu yang berkontribusi pada kepuasaan dan kebahagiaannya dan manfaat ke masyarakat sekitarnya. Liping et al. (2015) mendefiniskan QOL sebagai evaluasi subjektif yang multidimensial dari keberfungsian dan kesejahteraan di kesehariannya.
Selanjutnya menurut Yeboah et al. (2017) QOL dianggap identik dengan status kesehatan, status fungsional, kesejahteraan psikologis, kebahagiaan dalam
hidup, kepuasaan kebutuhan dan penilaian terhadap kehidupannya. Sebagai tambahan, kesehatan secara umum dilihat sebagai salah satu hal penting dari keseluruhan QOL dan adanya HIV/AIDS mungkin memberikan efek yang unik pada QOL individu (Oguntibeju, 2012).
2.1.2 Dimensi pada Quality of Life
Secara umum terdapat enam domain atau dimensi pada quality of life pada ODHA yang diungkapkan oleh WHO (2002) yaitu sebagai berikut:
1. Kesehatan fisik mencakup rasa nyeri dan ketidaknyamanan fisik, energi dan kelelahan, tidur dan istirahat yang merupakan simtom dari ODHA.
2. Kesehatan psikologis mencakup perasaan positif, berpikir, belajar, mengingat dan konsentrasi, self esteem, gambaran diri dan penampilan serta perasaan negatif.
3. Tingkat kemandirian mencakup mobilitas, aktivitas sehari-hari, ketergantungan pada medis atau treatment, dan kapasitas dalam bekerja.
4. Hubungan sosial mencakup hubungan pribadi, dukungan sosial, aktivitas seksual dan keterlibatan sosial.
5. Lingkungan meliputi perasaan aman secara fisik, lingkungan rumah, sumber finansial, jaminan kesehatan dan sosial (aksebilitas dan kualitas), kesempatan untuk mendapatkan informasi dan ketrampilan baru, kesempatan untuk berpartisipasi pada hal yang bersifat rekreasi
atau aktivitas menyenangkan, lingkungan fisik (polusi atau kebisingan atau kemacetan atau iklim) serta transportasi.
6. Spritualitas atau religi atau personal beliefs yang mencakup spritualitas, kepercayaan pribadi, pengampunan dan penyesalan, kekhawatiran mengenai masa depan, kematian dan sekarat.
2.1.3 Faktor yang Mempengaruhi Quality of Life
Menurut beberapa hasil penelitian, terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi quality of life pada ODHA, yaitu sebagai berikut:
1. Usia
Usia 20-40 tahun merupakan tahap perkembangan dewasa awal.
Adapun tugas perkembangan masa dewasa awal adalah memilih pasangan hidup, mencapai peran sosial, bertanggung jawab, mencapai kemandirian emosional, belajar membangun kehidupan rumah tangga dengan pasangan hidup, mengasuh anak, dan menjadi warga negara yang baik (Putri, 2019). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ferreira, Teixeira, Silveira dan Carneiro (2017) usia yang lebih tua (>45 tahun) diindikasikan memiliki QOL yang lebih tinggi dibandingkan yang lebih muda karena dianggap lebih matang dan memiliki pengalaman yang lebih banyak dibandingkan yang muda.
Peneliti menyimpulkan bahwa usia >40 tahun memiliki QOL yang lebih baik karena sudah melewati masa dewasa awal sehingga memiliki pengalaman dan matang secara fisik dan psikologis. Namun
berdasarkan Nazir (dalam Novianti, 2015) usia tidak mempengaruhi QOL dikarenakan pada individu terjadi proses kematangan dari hasil belajar dari lingkungan, sosial dan kematangan fungsi secara fisik dan psikologis.
2. Jenis Kelamin
Yeboah et al. (2017) pada penelitiannya mengenai QOL pada ODHA bahwa laki-laki memiliki QOL yang lebih rendah dibandingkan perempuan walaupun tidak berbeda secara signifikan.
Jika melihat dari hasil penelitian dari Liping et al. (2015) bahwa laki- laki memiliki QOL yang lebih baik dibandingkan perempuan.
Menurut Alec (Mardia, Andono & Riyanto, 2016) perbedaan QOL antara laki-laki dan perempuan tergantung pada berbagai faktor antara lain: perbedaan fisiologis, genetik, tekanan emosional, kebiasaan individu, dan pelayanan medik.
3. Dukungan Sosial
Dukungan sosial pada ODHA menunjukkan pengaruh yang besar pada HRQOL. Komponen dukungan sosial adalah dukungan emosi, informasi dan bantuan nyata (Basavaraj, Navya dan Rashmi, 2013).
Adanya dukungan sosial membuat ODHA merasa terbantu ketika menghadapi situasi yang menekan misalnya dari penyakitnya maupun lingkungan sosialnya dan dapat berdampak baik juga pada kesehatannya (Yang dalam Khumsaen Aouppor & Thammachak, 2012). ODHA yang menutup diri dan tidak membuka statusnya
karena kurangnya dukungan sosial juga berhubungan dengan rendahnya QOL (Biraguma, Mutimura & Frantz, 2018).
4. Stigma Negatif
Stigma merupakan salah satu yang mempengaruhi ODHA memandang hidupnya karena ODHA tidak hanya berhadapan dengan penyakitnya, namun juga stigma sosial yang diskriminatif (Lubis et al., 2016). Stigma sosial seperti mendapatkan hukuman, memalukan dan sebagainya masih melekat kuat pada ODHA karena masyarakat masih memegang teguh nilai-nilai moral, agama, budaya serta adat istiadat bangsa timur. Adanya stigma pada ODHA ini membuat mereka lebih menderita dibandingkan penderita penyakit kronis lainnya (Butarbutar, 2017). Selain stigma dari sosial, penelitian dari Lubis et al. (2016) juga menemukan bahwa ODHA seringkali juga menstigmatisasi dirinya sendiri yaitu menghakimi dirinya sendiri sebagai orang yang tidak disukai oleh masyarakat sekitarnya, tidak berguna, menjijikan dan pemikiran irasional lainnya. Adanya stigma dari diri sendiri berasal dari internalisasi pengalaman negatif dari diskriminasi dan prasangka dari orang lain sehingga mempengaruhi QOL seseorang (Nobre, Pereira, Roine, Sutinen & Sintonen, 2018).
5. Pendidikan
ODHA yang memiliki memiliki pendidikan lebih tinggi melaporakan QOL yang lebih baik, hal ini dikarenakan adanya pengetahuan mengenai penanganan dan penyakit yang diderita, akses
ke pelayanan kesehatan serta status fungsional (Oguntibeju, 2012;
Handayani & Dewi, 2017). Selain itu alasan ODHA yang memiliki pendidikan yang tinggi atau pengetahuan yang lebih baik berpengaruh terhadap QOL karena mereka lebih tercerahkan dengan penyakitnya dengan peningkatan kesadaran akan adanya HIV (Liping et al., 2015;
Yeboah et al., 2017).
6. Antiretroviral Therapy (ART)
Dampak dari antiretroviral therapy (ART) pada ODHA adalah HIV/AIDS pasien menjadi penyakit yang bisa diatur dan bisa meningkatkan kelangsungan hidup, mengurangi infeksi oportunistik, dan meningkatkan QOL pasien (Basavaraj et al., 2013). Kepatuhan dalam mengonsumsi ART memberikan kontribusi yang besar pada QOL ODHA dan mengindikasikan bahwa pasien tersebut memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengadapi penyakit dan hidupnya (Oguntibeju, 2012; Liping et al., 2015).
7. Pekerjaan
HIV dan pengangguran juga merupakan faktor yang mempengaruhi QOL ODHA karena mereka harus menyesuaikan hidup dengan penyakit kronik serta tantangan baru dihidupnya.
ODHA yang bekerja bukan hanya bermanfaat karena mendapatkan gaji, namun juga pekerjaan tersebut bisa menjadi sumber dukungan sosial, identitas peran dan makna. Sementara ODHA yang menganggur atau tidak bekerja melaporkan bahwa mereka lebih
mudah untuk depresi, cemas, isolasi sosial dan memiliki self esteem yang rendah (Basavaraj, Navya dan Rashmi, 2013).
8. Coping Style
Coping merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi QOL.
Individu yang menghadapi stress menggunakan coping problem solving dan pendekatan perilaku yang dimodifikasi menunjukkan QOL yang lebih baik daripada yang tidak menerapkan coping tersebut. Coping menghindar yang bagi sebagian kasus selain dengan ODHA memiliki keefektifan, namun tidak untuk ODHA. Coping menghindar pada ODHA berhubungan dengan QOL yang rendah karena coping menghindar kemungkinan mengekspresikan ketidakberdayaan, marah, atau depresi dan pasien-pasien ini membuntuhkan intervensi psikologis (Basavaraj, Navya dan Rashmi, 2013).
Berdasarkan pemaparan diatas, peneliti melihat bahwa faktor-faktor QOL berhubungan dengan pikiran yang irasional yang berkaitan dengan stigma, pendidikan serta coping style. Peneliti beranggapan bahwa adanya pikiran yang irasional dan cara menghadapi situasi menekan yang maladaptif ini perlu diberikan intervensi salah satunya CBT. CBT dapat membantu ODHA mengubah pikiran irasional menjadi rasional melalui percakapan yang bertujuan dan mengajarkan ketrampilan dalam menghadapi situasi menekan (Riyahi et al., 2018).
2.2 Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok
2.3 Definisi Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok
Terapi kognitif perilaku atau disebut juga dengan cognitive behavioral therapy (CBT) merupakan salah satu pendekatan yang berfokus pada modifikasi pikiran, yaitu mengajarkan klien untuk mengganti pikiran distorsi dan tidak realistis dengan pikiran yang lebih realistis yang secara tidak langsung juga mempengaruhi perilakunya (Spiegler & Guevremont, 2003; Taylor, 2006). Hal ini sesuai dengan tiga asumsi dari CBT yaitu kognisi mempengaruhi perilaku, kognisi bisa dipantau serta perilaku berubah dikarenakan adanya perubahan kognitif (Taylor, 2006).
CBT dalam kelompok adalah bentuk intervensi yang efisien untuk berbagai masalah spesifik dan untuk beragam populasi individu. Keefektifan CBT dalam kelompok berkaitan dengan adanya pembelajaran inividu kepada individu lain dalam kelompok, dapat menguatkan antar satu sama lain untuk menuju perubahan umum atau spesifik yang diinginkan serta mendapat wawasan dari cerita atau pengalaman orang lain. Dalam melakukan CBT kelompok, praktisi CBT menggunakan model singkat, aktif, direktif, kolaboratif, didaktik, dan psikoedukasional. Jumlah orang yang ada di kelompok tergantung dari tujuan, kebutuhan dan keadaan lapangan seperti ketersediaan ruangan, berapa lama tinggal di institusi tersebut dan sebagainya (Hersen & Sledge, 2002).
Jumlah orang yang ada di kelompok biasanya berada pada kisaran tiga hingga delapan orang. Biasanya jumlah yang ideal yang memungkinkan seluruh orang yang ada di sesi terapi terlibat aktif adalah enam orang (Hersen & Sledge, 2002).
2.3.1 Prinsip Dasar Terapi Kognitif Perilaku
Terapi kognitif perilaku merupakan terapi yang terstrukrur dengan panduan cognitive model. Cognitive model mengajukan bahwa pikiran yang disfungsional dan tidak realistik terkait situasi atau kejadian tertentu dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku secara negatif dan proses ini bersifat timbal balik dan dapat menjadi gangguan lebih lanjut serta permasalahan psikologis lain (Taylor, 2006). Sebuah asumsi dasar dari perspektif cognitive behavioral adalah bahwa sebagian besar perilaku, kognitif dan emosi yang bermasalah telah dipelajari dan dapat dimofikasi oleh pembelajaran baru (Corey, 2012). Selanjutnya Beck juga mengungkapkan bahwa gangguan psikologi biasanya dikaitkan dengan pola spesifik dari distorsi kognitif (cognitive distortion). Persepsi individu sering terdistorsi dan disfungsional saat mereka dalam kondisi tertekan (distress). Berikut merupakan distorsi kognitif yang biasa ditemui pada pasien dengan kondisi penyakit kronis yang diadaptasi dari Beck (Taylor, 2006):
1) Black and white thinking; yaitu klien melihat sebuah situasi dengan cara yang dikotomis, hanya membagi suatu pengalaman dalam dua kategori yang ekstrim hitam dan putih, tidak ada warna abu-abu atau kemungkinan diantaranya. Contohnya “saya sudah di tempat tidur selama tiga hari, saya tau bahwa kondisi saya akan semakin memburuk disini”
2) “Should” and “musts”; yaitu klien memiliki harapan yag kaku dan terlalu idealis terhadap perilakunya, begitu juga perilaku orang lain.
Klien sangat memberikan penilaian yang tidak pantas jika tidak sesuai dengan harapan. Contohnya “tenaga kesehatan professional seharusnya selalu positif dan optimis ketika mendiskusikan masalah kesehatan dengan pasien”
3) Personalization; yaitu klien menyalahkan dirinya sendiri karena kejadian negatif atau perilaku negatif orang lain dibandingkan adanya penjelasan alternatif untuk perilakunya. Contohnya “ Dr Harvey terlihat murung hari ini. Pasti melelahkan baginya karena merawat orang seperti saya”
4) Tunnel vision; yaitu klien hanya melihat karekter negatif dari dirinya atau kejadian yang terjadi. Contohnya “saya tidak bisa melakukan percobaan ini. Saya terlalu takut, saya sebenarnya hanya pecundang”
5) Emotional reasoning; yaitu klien mengasumsikan bahwa kepercayaannya berdasarkan perasaannya daripada berdasarkan realita yang objektif. Contohnya “saya tau penyakit kanker saya kembali, saya hanya merasakannya”
6) Overgeneralization; yaitu klien menggeneralisasikan pengalaman negatif mengenai sebuah situasi dan mengabaikan fakta dan situasi pada situasi tersebut. Contohnya “pengobatan terakhir sangat menyakitkan.
Saya tau obat ini juga akan lebih sakit”
7) Jumping to conclusion; yaitu klien mempercayai kemungkinan yang negatif di kemudian hari dibandingkan kemungkinan atau alternatif
lainnya. Contohnya “punggung saya sakit lagi, pasti ada sesuatu pada ginjal saya”
8) Magnification/minimization; yaitu klien melebih-lebihkan suatu aspek negatif atau situasi yang dan dan mengabaikan aspek positif. Contohnya
“mereka mengatakan operasinya berjalan lancar, tapi saya tidak berpikir demikian karena saya tidak sembuh secepat yang mereka katakana. Pasti terjadi sesuatu pada saya”
9) Mind reading; yaitu klien mempercayai bahwa orang lain memikirkan dirinya dengan penilaian yang negatif dimana tidak ada bukti dan bukan masalah. Contohnya “pacar saya pasti jijik dengan alat kateter saya ini”
10) Ignoring the positive; yaitu klien memilih untuk fokus hanya pada aspek negatif di dirinya atau situasi atau performanya. Hal positif diabaikan. Contohnya “orang-orang mengatakan saya pemberani namun mereka pasti juga mengatakan hal yang sama kepada orang yang menghadapi situasi seperti ini”
11) Mental filter; yaitu klien memilih satu detil negatif tentang penampilannya, performanya atau situasi yang ada dan mengabaikan segala aspek dari situasi tersebut dibandingkan melihat secara keseluruhan. Contohnya “perawat itu kasar, saya yakin ini perawatannya tidak bagus”
12) Labelling; yaitu klien menggambarkan label yang kaku kepada dirinya atau orang lain tanpa mempertimbangkan kekuatan atau karakter positif lainnya. Contohnya “saya pecundang”.
2.3.2 Aspek-Aspek Cognitive Behavioral Therapy
Beberapa langkah penting dalam memahami masalah individu jika menggunakan pendekatan kognitif perilaku menurut Spiegler dan Guevremont (2003) yaitu adanya analisa fungsional atau analisa masalah berdasarkan prinsip S-O-R-C. Melalui S-O-R-C, kognisi distorsi individu dapat diidentifikasi dan melihat pola perilaku maladaptifnya. Prinsip S-O-R-C secara rinci yaitu sebagai berikut:
S (Stimulus) : Situasi, kejadian atau objek tertentu sebelum individu menunjukkan perilaku tertentu
O (Organism) : Isi pikiran (C) dan perasaan (E) klien terhadap stimulus R (Respond) : Respon yang terlihat dari hasil pikiran individu, disebut
juga dengan perilaku (behavior), baik perilaku yang tampak (overt) maupun yang tidak tampak (covert)
C
(Consequence)
: Peristiwa yang ada karena konsekuensi dari perilaku individu. Konsekuensi ini dapat berefek pada dirinya ataupun orang lain yang merupakan hasil dari perilaku individu.
2.3.3 Tahapan pada Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok
Dalam melakukan CBT kelompok, terdapat beberapa tahapan yang dilakukan (Bieling, 2006; Corey, 2012) yaitu sebagai berikut:
1. Initial stage
Pada tahapan ini hal yang dilakukan adalah membangun kohesivitas dari kelompok merupakan tujuan utamanya. Para partisipan diberitahu bagaimana CBT kelompok dapat membantu mereka satu sama lain serta membuat situasi di dalam kelompok aman untuk mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan mendorong antar partisipan untuk berinteraksi satu sama lain dan membuat aturan kelompok yang disepakati bersama. Selanjutnya langkah yang penting dalam tahap ini adalah anggota harus diberitahu mengenai CBT kelompok, bagaimana prosesnya, dan cara kerjanya sehingga mereka bisa secara bersama-sama memiliki tujuan kelompok dan harapan dari keikutsertaan dalam intervensi ini. Pada tahap ini juga mengidentifikasi keluhan para partisipan dan menyepakati tujuan kelompok bersama. Psikoedukasi mengenai permasalahan dan teknik CBT merupakan hal yang penting sebelum memasuki tahap selanjutnya serta pemberian homework untuk memantau para partisipan selama diluar sesi.
2. Working stage
Working stage adalah tahapan pelaksanaan dari intervensi yang diberikan kepada kelompok. Pada tahap ini, kelompok secara
aktif mengerjakan materi dalam setiap sesinya. Pada tahapan ini merupakan bagian penting dari intervensi karena berisi berbagai teknik. Selama tahap ini juga penting untuk terus mendorong partisipan dengan memberikan dukungan dan penguatan positif antar partisipan agar mencapai kemajuan dan perubahan. Pada tahapan ini para partisipan juga berbagi kesulitan yang mereka hadapin dan permasalahan-permasalahan yang tidak terselesaikan. Tugas rumah harus direncanakan dan diberikan kepada partisipan dan idealnya dibicarakan bersama partisipan untuk melihat latihan apa yang berguna untuk kelompok secara keseluruhan. Pada tahapan ini terdapat beberapa teknik yang biasa digunakan yaitu modeling, shaping, behavioral rehearsal, coaching, homework, feedback, cognitive restructuring, desensitization, problem-solving, exposure- based strategies, meditation, relaxation training, stress management, dan information giving.
3. Final stage
Pada tahap ini umpan balik dari orang lain dalam kelompok dan fasilitator merupakan hal utama karena partisipan dipersiapkan untuk dapat mandiri menyelesaikan permasalahannya setelah terapi selesai. Persiapan untuk generalisasi dan pemeliharaan perubahan diberi fokus khusus pada tahap final. Pada tahap ini juga partisipan membicarakan mengenai permasalahan terminasi, termasuk pikiran dan perasaan akan berakhirnya terapi kelompok. Tahap ini juga akan
melakukan pembuatan ringkasan mengenai hal-hal yang didapatkan selama sesi terapi (mereka sebagai individu yang lama, individu yang sekarang dan individu yang akan datang), halangan apa saja yang akan dihadapi kedepannya dan tujuan apa yang akan dicapai.
Hal ini bertujuan sebagai relapse prevention dan menjaga keahlian dalam menerapkan CBT.
2.3.4 Teknik-Teknik Terapi Kognitif Perilaku
Terapi kognitif perilaku memiliki dua teknik besar yaitu cognitive restructuring dan coping skill. Cognitive restructuring merupakan proses mengidentifikasi dan mengevaluasi kognisi individu, memahami dampak perilaku yang berasal dari kognisi, dan mempelajari bagaimana mengganti pikiran-pikiran tersebut menjadi pikiran yang lebih realistis, pantas dan rasional (Corey, 2010). Pada coping skills, individu akan diajarkan ketrampilan untuk merespon dengan cara yang adaptif untuk menghadapi situasi yang sulit secara efektif (Spiegler & Guevremont, 2003). Berikut merupakan penjabaran dari kedua teknik tersebut:
1. Cognitive Restructuring
Pada teknik ini individu diajarkan untuk mengubah kognitif terdistorsi yang menyebabkan individu tersebut memiliki masalah perilaku dengan cara mengganti pikiran distorsi menjadi pikiran yang lebih rasional.
Terapis dan individu berkolaborasi untuk mengidentifikasi distorsi kognitif dengan mencari kebenaran dari pikiran tersebut berdasarkan fakta yang
sebenarnya ada. Pada teknik ini strategi yang akan dilakukan yaitu melalui collaborative empiricism yaitu strategi yang dilakukan terapis dan klien untuk menginvestigasi pikiran dan pengalaman dengan metode seperti saintifik yaitu memaparkan bukti empiris (Bieling, 2006). Terapis tidak secara langsung mengatakan bahwa pikiran otomatis klien salah atau benar, namun bersama-sama menguji pikiran klien. Hal ini dilakukan dengan pengembangan hipotesis mengenai pikiran dan mengujinya melalui analisa yang logis dan mengumpulkan bukti nyata. Melalui strategi ini para partisipan dalam kelompok CBT dapat menjadi terapis satu sama lain dengan cara memberikan pertanyaan dibandingkan memberikan umpan balik atau nasihat secara langsung.
Terdapat beberapa tahapan untuk melakukan cognitive restructuring yaitu sebagai berikut:
1) Mengidentifikasi pikiran yang terdistorsi dan situasi yang memunculkan pikiran tersebut
2) Mengidentifikasi respon emosional, mood yang tidak menyenangkan atau masalah perilaku akibat pikiran yang mengganggu
3) Mengganti pikiran distorsi dengan pikiran alternatif yang rasional untuk setiap automatic thought yang muncul.
2. Coping Skills
Teknik coping skill bertujuan untuk mengajarkan ketrampilan pada individu untuk menghadapi situasi atau permasalahan sulit agar
berperilaku lebih adaptif. Ketika klien berperilaku yang adaptif, mereka akan berpikir yang berbeda tentang situasi yang sulit (Spiegler &
Guevremont, 2003). Selain mengubah pikiran distorsi individu, penambahan coping skill pada CBT dianggap lebih efektif agar pasien dapat menghadapi penyakitnya secara adaptif (Atmasari, 2016). Berikut merupakan beberapa coping skill berdasarkan Taylor (2006) yang akan diberikan pada penelitian ini:
a) Finding benefit; Menemukan dampak positif merupakan proses dari menemukan contoh-contoh bagaimana kejadian dalam hidup, misalnya terinfeksi HIV diasosiasikan dengan perubahan postif dalam hidupnya.
b) Reversal activity; Membuat rencana aktifitas-aktifitas yang sebaliknya dilakukan untuk dapat merubah mood atau pikiran negatif dan konsekuensi perilaku dari pikiran irasional individu. Aktifitasnya dapat berupa merawat diri, olahraga, bertemu dengan orang lain, melakukan hobi, bercocok tanam dan sebagainya.
c) Positive imagery; Positive imagery dapat dilakukan dengan menambahkan beberapa script yang mengindikasikan suasana yang menyenangkan. Teknik ini akan dilakukan bersamaan dengan relaksasi diapraghmatic breathing.
d) Thought stopping; Pada teknik ini individu akan diajarkan untuk menghentikan dan menjernihkan pikirannya dari pesan verbal atau gambaran visual yang negatif atau menyakitkan.
e) Distraction and meditation; Mengubah fokus perhatian merupakan teknik yang efektif saat individu mengalami stres atau menghadapi situasi yang tidak menyenangkan. Salah satu yang dapat dilakukan yaitu melalui meditasi pernafasan yaitu diapraghmatic breathing.
2.4 Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) 2.4.1 Pengertian ODHA
ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV/AIDS. Istilah ini digunakan sebagai pengganti dari pengertian bahwa orang tersebut positif terinfeksi HIV. HIV merupakan singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, yaitu suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang.
Sistem kekebalan tubuh secara alamiah berfungsi untuk melawan penyakit (bakteri, virus dan lain-lain), namun adanya virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh seseorang dan membuat orang tersebut melemah (Stolley &
Glass, 2009). Virus ini melekat pada dua jenis dari sel darah putih yaitu T cells dan CD4 cells. Sel ini merupakan komponen dari sistem imun seseorang.
Ketika HIV melekat pada T-cells dan menggunakan sel tersebut sebagai inangnya yang bertujuan untuk dapat memperbanyak virus ini, T-cells seseorang tersebut juga ikut menjadi rusak. Kerusakan pada T-cells menghasilkan kerusakan pada sistem imun, yang juga nantinya dapat membuat kondisi yang disebut AIDS (acquired immune defiency syndrome) (Stolley &
Glass, 2009).
Seseorang yang terinfeksi HIV sangat rentan terhadap virus sehingga kondisi tubuh melemah secara cepat dan pada akhirnya jika tidak ditangani dapat berkembang menjadi AIDS. Ketika infeksi HIV muncul, terdapat beberapa tahun sebelum pada akhirnya fungsi imun seseorang rusak (akibat berkurangnya jumlah T-cells) dan memunculkan simtom. Jika orang dengan AIDS tidak ditangani, biasanya hanya bertahan selama tiga tahun setelah didiagnosa (Sarafino & Smith, 2011). AIDS terjadi karena infeksi HIV pada tahap akhir yang merusak sistem imun sehingga membuat penderita memiliki penyakit penyerta satu atau lebih (Stolley & Glass, 2009).
2.4.2 Gambaran tentang HIV/AIDS 2.4.2.1 Transmisi HIV
HIV ditemukan pada darah, semen atau cairan vagina dari orang yang terinfeksi dan menular melalui pertukaran darah atau cairan tersebut dari orang yang terinfeksi HIV. HIV tidak ditularkan melalui hewan atau serangga atau nyamuk seperti malaria, bersentuhan, berpelukan atau bersalaman dengan orang yang terinfeksi (Stolley & Glass, 2009). Terdapat berbagai cara penularan HIV yang diketahui sampai saat ini yang dijabarkan oleh Durham dan Lashley (2010), yaitu sebagai berikut;
1. Transmisi melalui Perilaku Seksual
Transmisi HIV melalui perilaku seksual bisa terjadi, baik dari laki-laki dan laki-laki, dari wanita ke pria dan pria ke wanita. Penularan heteroseksual bisa terjadi saat melakukan sexual intercourse, serta
transmisi melalui oral sex walaupun resiko ini masih rendah karena biasanya tertular karena adanya kontak darah saat melakukan perilaku beresiko tersebut. Resiko bisa terinfeksi virus ini jika melakukan perilaku seksual yang tidak aman, memiliki pasangan yang berganti-ganti atau tidak diketahui. Salah satu pencegahan agar tidak tertular HIV saat melakukan perilaku seksual adalah dengan menggunakan kondom.
2. Transmisi melalui Darah
Penularan melalui darah bisa terjadi saat ODHA mendonorkan darahnya ke orang lain atau bisa juga terjadi ketika terkena darah saat melakukan tindik di kulit dengan suntik atau benda tajam yang terinfeksi;
berbagi jarum suntik pada pengguna narkoba; atau transfusi darah maupun transplantasi.
3. Transmisi melalui Perinatal
Penularan ini bisa terjadi dari seorang ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya atau anaknya, misalnya saat hamil, melahirkan dan pasca melahirkan. Pada saat melahirkan, penularan terjadi karena adanya kontak dengan darah dan jaringan pada ibu yang terinfeksi, sehingga anak saat itu terpapar dan ikut terinfeksi saat dilahirkan. Sedangkan pada saat pasca melahirkan, HIV bisa ditularkan melalui proses menyusui karena virus tersebut terisolasi di air susu ibu, sel dan komponen lainnya. Hal ini bisa lebih beresiko ketika durasi menyusui lebih lama dan ibu tidak mengonsumsi obat-obatan terkait HIV nya.
2.4.2.2 Tingkatan pada HIV
Durham dan Lashley (2010) merangkum tingkatan dari penyakit HIV, yaitu sebagai berikut:
1. Infeksi Primer (Infeksi Akut)
Tahap merupakan tingkat pertama dari HIV, biasanya hanya satu atau dua minggu, yaitu ketika virus pertama kali ada di tubuh. Simtom yang ada biasanya hanya dirasakan beberapa hari, misalnya demam, keringat pada malam hari, adanya ruam dan sebagainya. Pada tahap ini seringkali diagnosa belum terlihat karena belum terdeteksi dan CD4 masih pada ukuran normal.
2. Seroconversion
Pada tahap ini beberapa orang akan memberikan gejala seroconversion, yaitu periode ketika imun orang yang terinfeksi HIV merespon pada infeksi yang dihasilkan oleh antibodi. Kebanyakan orang memproduksi antibodi selama 3 bulan setelah infeksi dan pada kasus yang jarang terjadi mungkin hampir selama enam bulan sampai akhirnya antibodi muncul. Tiga bulan awal sejak pertama kali virus masuk kedalam tubuh merupakan masa jendela antara infeksi dan produksi antibodi.
3. Tahap Asimtomatik (Infeksi HIV Kronis)
Setelah melewati masa jendela, kebanyakan orang yang terinfeksi HIV terlihat baik-baik saja dalam waktu yang panjang, biasanya hingga bertahun-tahun. Walaupun periode ini dikarakteristikkan
dengan kesehatan yang baik dan adanya beberapa simtom, HIV masih sangat aktif dan terus melemahkan sistem imun. Jika tidak ada penanganan, CD4 akan menurun dan penyakit akan terus berkembang.
Jika tidak ada penanganan pada tahap ini, individu biasanya bisa bertahan 10 tahun atau lebih.
4. Tahap Simtomatik
Ketika sistem imun sudah dirusak oleh infeksi HIV, kebanyakan orang akan mengalami simtom HIV. Beberapa masalah yang umum terjadi misalnya adanya permasalahan di area mulut atau area genital, demam, diare dan penurunan berat badan yang drastis. Permasalahan ini biasanya menggiring pada diagnosa HIV. Jika tidak ada penanganan pada tahap ini, CD4 akan terus menurun sehingga dianjurkan untuk mengonsumsi antiretroviral therapy untuk memantau jumlah CD4.
5. AIDS
Diagnosa AIDS hanya diberikan ketika sudah dikonfirmasi dari laboratorium. Diagnosa AIDS juga dapat ditegakkan jika jumlah CD4 orang tersebut berada <200 cells/m3. Pada tahap ini merupakan tahap dimana individu mulai mengalami infeksi oportunitis dari infeksi HIV. Dikatakan opurtunitis karena pada orang normal tidak menyebabkan sakit yang parah, namun HIV mengambil kesempatan ini untuk menyerang sistem imum. Penanganan orang dengan AIDS yang memiliki infeksi oportunitis mungkin akan sangat rumit, dan
biasanya hasilnya tidak dapat diprediksi. Jika tidak ada penanganan pada tahap ini, kematian biasanya terjadi diantara dua sampai lima tahun setelah didiagnosa AIDS. Jika sistem imun sudah rusak, biasanya memperlihatkan simtom seperti demam, berkeringat malam, lelah, diare dan adanya ruam. Munculnya simtom ini mengindikasikan sistem imun sudah melemah dan sedang bertarung untuk melawan penyakit oportunitis (Sarafino & Smith, 2011). Pada tahap ini biasanya orang yang terinfeksi sudah dalam keadaan yang sangat kurus kehilangan berat badan yang signifikan. Beberapa contoh infeksi oportunitis yang sering ditemui pada orang HIV/AIDS misalnya tuberculosis (TB), infeksi bacterial, PCP (pneumocystis jirovecii pneumonia), infeksi herpes, candida oesophagitus dan toxoplasmosis (WHO, 2007).
2.4.2.3 Penanganan HIV secara Medis
Penanganan paling dasar yang bisa diberikan pada orang yang terinfeksi HIV adalah dengan memberikan antiretroviral therapy (ART).
ART merupakan obat yang berfungsi untuk menekan virus HIV secara maksimal untuk memberhentikan proses dari penyakit ini. WHO merekomendasikan ART untuk segera diberikan pada orang yang terinfeksi HIV. Penanganan yang optimal dapat memberikan manfaat jika orang tersebut patuh terhadap ART. Ketika kepatuhan tinggi, maka terjadi penurunan perkembangan virus HIV dan jika tidak patuh maka
akan membuat tubuh resisten dengan obat tersebut (WHO, 2007). Selain penanganan medis, ODHA juga disarankan melakukan gaya hidup sehat agar tidak mudah terserang penyakit.
2.5 Efektifitas Terapi Kognitif Perilaku dalam Kelompok untuk Meningkatkan Quality of Life pada ODHA
HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang saat ini masih menjadi konsentrasi kesehatan dunia karena jumlah penderitanya kian meningkat setiap tahunnya (KEMENKES, 2019). ODHA secara konsisten menghadapi tuntutan psikologis dan fisik yang kompleks karena memiliki penyakit yang sangat terstigmatisasi, kronis dan mengancam kehidupannya sehingga berdampak pada quality of life ODHA (Crepaz, Passin, Herbst & Rama, 2008). UNAIDS (2018) mengatakan bahwa quality of life pada ODHA merupakan salah satu hal penting dalam upaya promosi kesehatan penderitanya. Hal ini menjadi penting karena ODHA yang memiliki quality of life rendah memiliki kepatuhan terhadap ART juga rendah dan rentan akan kecemasan sehingga dapat berpengaruh pada kondisi fisiknya, sehingga memiliki kemungkinan berkembangnya virus ini dan menjadi penyakit lebih lanjut yaitu AIDS dan tidak dapat mengelola penyakitnya dengan baik (Oguntibeju, 2012; Liping et al., 2015).
Beberapa faktor-faktor dari quality of life misalnya stigma negatif dari dirinya sendiri serta coping style yang biasa mereka lakukan (Basavaraj et al., 2013 & Lubis et al., 2016) terkait dengan pikiran distorsinya yang menganggap
bahwa mereka tidak berguna, merasa dijauhi dan menganggap bahwa ia tidak disukai oleh masyarakat. Hal ini juga sesuai dengan wawancara personal yang peneliti lakukan kepada tiga ODHA yang ada di Balai Rehabilitasi X di Medan yang menggambarkan domain psikologis, lingkungan serta hubungan sosial dari quality of life mereka rendah karena merasa tidak nyaman. Adanya kondisi fisik dan keterbatasan menjalani kehidupan sehari-hari juga membuat ODHA merasa bahwa ia tidak berguna dan menyusahkan orang lain dan berdampak pada quality of life yang rendah.
Salah satu cara untuk meningkatkan quality of life pada ODHA adalah dengan memberikan CBT. Menurut Branwalld dan Durham (dalam Yousefi et al., 2012) CBT dianggap dapat menjadi intervensi yang efektif pada penanganan tingkat kedua setelah medis. CBT berfokus pada modifikasi pikiran, yaitu mengajarkan klien untuk mengganti pikiran distorsi dan tidak realistis dengan pikiran yang lebih realistis dan rasional yang secara tidak langsung juga mempengaruhi perilakunya (Spiegler & Guevremont, 2003;
Taylor, 2006). Pemikiran-pemikiran individu mengenai kesehatannya memprediksi quality of life mereka, yaitu lebih rendahnya quality of life seseorang ketika mereka mempersepsikan sebagai orang sakit (Yeboah et al., 2017). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Atmasari (2016) CBT dapat membantu mengurangi pikiran-pikiran irasional atau distorsi kognitif serta menurunkan gejala-gejala fisik dan mendorong munculnya perilaku yang lebih adaptif pada wanita dengan HIV/AIDS. Riyahi et al. (2018) juga memaparkan bahwa melalui intervensi CBT, individu terbantu untuk mengidentifikasi