• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

Gambaran Umum Kabupaten Buru

Kabupaten Buru merupakan salah satu kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah pada tahun 2000. Secara astronomi Kabupaten Buru terletak pada 02º25’00” sampai dengan 04º00’00” Lintang Selatan (LS) dan 125º30’00” sampai dengan 127º30’00” Bujur Timur (BT), dengan luas wilayah

adalah ± 15.982,00 km2 yang terdiri dari daratan seluas ± 12.655,58 km2

(79,19 %) dan lautan seluas 3.326,42 km2 (20,82%), serta garis pantai sepanjang

512,1 km. Kabupaten Buru terdiri dari 13 buah pulau, 3 pulau diantaranya dihuni oleh penduduk yaitu pulau Buru, pulau Ambalau dan pulau Tengah, sementara 10 pulau lainnya tidak berpenghuni yakni pulau Batu Kapal, Nusa Geletan, Pombo, Buntal, Panjang, Batum, Fogi, Tengah, Tomahu dan Oki (Gambar 5).

Secara geografis Kabupaten Buru dibatasi oleh laut Buru di bagian utara, laut Banda di bagian selatan, laut Buru dibagian barat dan selat Manipa di bagian timur, dengan kewenangan untuk mengelola perairan laut seluas 4 mil laut, menjadikan perairan kabupaten ini menjadi sangat potensial dan kaya akan sumberdaya pesisir dan laut dengan didukung oleh adanya berbagai ekosistem pesisir dan laut yang produktif seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari serta ekosistem perairannya.

Kabupaten Buru secara administratif terdiri dari 10 kecamatan, yakni (1) Kecamatan Namlea, (2) Kecamatan Waeapo, (3) Kecamatan Batabual, (4) Kecamatan Waplau, (5) Kecamatan Air Buaya, (6) Kecamatan Namrole (7) Kecamatan Waesama, (8) Kecamatan Leksula, (9) Kecamatan Kapala Madan,

dan (10) Kecamatan Ambalau. Kabupaten Buru terdiri dari 94 desa dan 125 dusun. Sebagian besar wilayah administratif kabupaten ini berada di wilayah

pesisir, dan merupakan daerah-daerah sentra produksi yang menopang pelaksanaan pembangunan di wilayah Kabupaten Buru.

Gambar 5. Peta Wilayah Administratif Kabupaten Buru.

Fisiologi, Topografi dan Geomorfologi

Wilayah Kabupaten Buru memiliki 4 (empat) wilayah ekologis yakni, Wilayah Ekologis Teluk Kaiely, Wilayah Ekologis Buru Utara, Wilayah Ekologis Buru Selatan, dan Wilayah Ekologis Buru Selatan Timur. Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru mencakup batas dan luas wilayah, serta panjang garis pantai, sebagaimana tertera pada Tabel 11 di bawah ini.

Tabel 11. Dimensi Spasial Wilayah Ekologis Kabupaten Buru.

Wilayah Ekologis Dimensi Spasial Wilayah Teluk Kaiely (Kec.Namlea, Waeapo & Batabual) Buru Utara (Kec.Waplau & Air Buaya) Buru Selatan (Kec.Leksula & Kapala Madan) Buru Selatan Timur (Kec.Batabual, Waesama & Ambalau) Luas wilayah (km2) 2,12 2,59 2,79 1,132 Panjang Garis Pantai (km) 78,57 122,70 166,60 148,10 Luas Wilayah 4 mil laut (km2) 424,20 893,00 1.093,00 1.228,00 127.024712 BT 127.33.443 BT 126.072503 BT 127.064608 BT 125.927605 BT 126.694147 BT 126.678818 BT 127.339461 BT Batas Wilayah 4 mil laut 3.102444 LS 3.386605 LS 2.991822 LS 3.188209 LS 3.052506 LS 3.924117 LS 3.354245 LS 3.970427 LS Sumber : Data Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005.

Pada wilayah ekologis Teluk Kaiely ditemukan tiga satuan morfologi yakni dataran pantai, dataran tinggi dan perbukitan dengan variasi lereng topografi dari datar hingga sangat miring. Area dataran luas umumnya ditemukan di wilayah hulu teluk sepanjang muara hingga dataran alluvial Waeapu dan sekitarnya, sedangkan lereng miring hingga terjal umumnya ditemukan pada wilayah pantai tebing terjal laut dan lereng perbukitan denudasional terkikis sedang hingga kuat. Pesisir Namlea hingga Jikumerasa memiliki pantai berpasir dengan warna putih cerah, dimana dataran alluvial pantainya cukup lebar dan berpotensi sebagai daerah wisata pantai.

Dengan menggunakan sisi pendekatan fisiologi, bentang alam Kabupaten Buru dikelompokkan atas daerah pantai, perbukitan dan pegunungan termasuk didalamnya dataran tinggi dengan kelerengan bervariasi. Kabupaten Buru di dominasi oleh kawasan pegunungan dengan jenis elevasi rendah berlereng agak curam yang meliputi luas 15,43 % dari keseluruhan luas wilayah. Jenis kelerengan lain yang dominan adalah elevasi rendah dengan lereng bergelombang dan agak curam di bagian utara, dan rata-rata berlereng curam di bagian barat, sedangkan di bagian timur terutama di daerah aliran sungai Waeapu yang merupakan daerah dengan elevasi rendah dengan jenis landai sampai agak curam.

Topografi wilayah Kabupaten Buru sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng 15 – 40 % dan > 40 %, sementara sebaran ketinggian datarannya bervariasi. Puncak gunung tertinggi adalah Gunung Kepala Madan yang berada pada wilayah Kecamatan Kepala Madan dengan elevasi 2.736 meter di atas permukaan laut (dpl), menyusul kawasan di sekitar Danau Rana dengan elevasi lebih dari 1.000 meter dpl, sementara untuk Danau Rana sendiri, diperkirakan berada pada kisaran 700 – 750 meter dpl. Disamping itu terdapat tanah dataran yang terbesar di Kecamatan Waeapo, yakni wilayah yang ditempati oleh para transmigran dari Pulau Jawa.

Secara geomorfologi, lahan di Kabupaten Buru dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk lahan, yaitu (a) lahan bentukan asal vulkanik dicirikan dengan topografi bergunung dan berlereng terjal, (b) bentuk lahan asal denudasional dimana topografinya membentuk rangkaian pegunungan dan perbukitan berbentuk kubah, (c) bentuk lahan asal solusional, dan (d) bentuk lahan asal fluvial

membentuk topografi datar pada lembah-lembah sungai dengan dataran alluvial terluas di lembah Waeapo.

Gambar 6. Peta Wilayah Ekologis Kabupaten Buru.

Hidrologi dan Tanah

Kabupaten Buru mempunyai potensi sumber air yang cukup besar karena memiliki sejumlah sungai yang mengalir tetap sepanjang tahun walaupun pada musim kemarau. Kondisi hidrologi pada wilayah Kabupaten Buru bervariasi pada setiap wilayah ekologis. Pada wilayah ekologis Teluk Kaiely dijumpai 1 (satu) buah sungai besar, yakni sungai Waeapo dan beberapa sungai kecil di sekitarnya. Panjang total sungai Waeapo 588,1 km dan panjang sungai utamanya 93,7 km. Sungai ini merupakan sungai parenial, artinya memiliki aliran air sepanjang tahun. Sebagian sungai ini digunakan sebagai sumber air irigasi terutama di daerah pemukiman transmigrasi di dataran Waeapo, dan sebagian lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.

Pola aliran sungai yang berkembang di wilayah ini adalah pola dendritik pada bentuk lahan perbukitan dan pegunungan denidasional dengan panjang sungai utama bervariasi antara setiap lokasinya. Terdapat dua tipe aliran sungai di wilayah Kabupaten Buru yakni, sungai perenial dan sungai interniten. Sungai

perenial misalnya pada sungai Waemulang, Waemala, Waetina, Waenibe, Waeapo, dan beberapa sungai kecil seperti di wilayah Waohoka, Air Babunyi, Nalbessy, Waemasi, Waemsasi, Waeleko dan Waeula.

Jenis tanah yang ada di Kabupaten Buru meliputi alluvial dengan bentang

alam datar sampai berombak di daerah pasang surut dan di cekungan pelembaban, podzolik merah kuning dengan bentang alam berbukit sampai berombak di daerah

dataran atau pasang surut, organosol dengan bentang alam berbukit sampai

berombak di daerah dataran, dan tanah-tanah kompleks dengan bentang alam berbukit dan bergunung di daerah pegunungan.

Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Buru adalah jenis tanah kompleks, sedangkan jenis alluvial meliputi wilayah yang paling luas yang tersebar pada dataran Waeapu. Jenis-jenis tanah tersebut menunjukkan sifat yang berbeda-beda yang disebabkan karena adanya perbedaan faktor iklim sehingga warna dan tingkat keasamannya bervariasi dari asam, netral sampai basa. Sifat tanah di lahan atas antara lain ditandai dengan kedalaman tanah sangat dangkal hingga sedang, sementara di lahan bawah ditandai dengan kedalaman tanah dalam hingga sangat dalam.

I k l i m

Kabupaten Buru memilki iklim tropis dan iklim muson, dimana iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan yang mengelilinginya dan berlangsung sejalan dengan musim yang ada yakni musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya berlangsung dari bulan Juni – Nopember, sedangkan musim penghujan berlangsung dari bulan Desember – Mei. Terdapat empat tipe musim yang berbeda yang mempengaruhi kondisi perairan Kabupaten Buru, yakni musim Barat (Desember – Pebruari), musim Pancaroba I (Maret – Mei), musim Timur (Juni – Agustus), dan musim Pancaroba II (September – Nopember). Setiap musim memiliki karakteristik cuaca yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan suhu udara, pola angin, curah hujan, dan faktor cuaca lainnya.

Suhu udara rata-rata tahunan di wilayah kecamatan empat wilayah ekologis

di Kabupaten Buru adalah 21,4 – 26,0 OC. Pada tahun 2003, suhu udara berkisar

dari 25,5 – 27,9 OC (rata-rata 26,7 OC), dengan suhu terendah sepanjang tahun

biasanya dicapai dalam musim Timur (Juni – Agustus) dan suhu tertinggi pada musim Pancaroba II hingga musim Barat (September – Nopember).

Curah hujan bulanan di Kabupaten Buru berkisar dari 0,3 – 311,6 mm dengan rata-rata bulanan 113,3 mm. Curah hujan terendah biasanya dicapai pada bulan September – Nopember (0,3 – 1,3 mm), dan tertinggi pada bulan Desember – Maret (137,2 – 311,6 mm). Kelembaban udara relatif berkisar dari 69 – 87 %, dengan rata-rata kelembaban bulanan 80 %. Penyinaran matahari terendah biasa terjadi pada bulan Desember – Maret dan Mei.

Kecepatan angin rata-rata bulanan di Kabupaten Buru adalah sebesar 10 knot, dengan rata-rata maksimum pada bulan Mei – Oktober (10 – 11 knot)

dengan arah 90O – 120O. Kecepatan angin maksimum terjadi pada setiap bulannya

dengan kecepatan berkisar dari 23 – 26 knot.

Kondisi Fisik Perairan Kabupaten Buru Kedalaman Perairan

Wilayah perairan Kabupaten Buru sampai batas kedalaman 200 m menunjukkan variasi kedalaman perairan pada setiap wilayah ekologisnya. Kawasan ekologis Teluk Kaiely, Buru Selatan Timur, Buru Selatan dan Buru Utara memiliki area perairan antara 0 – 50 m yang lebih luas dibandingkan

perairan dengan kedalaman 50 – 100 m dan kedalaman 100 – 200 m. Kawasan Teluk Kaiely memiliki mintakat kedalam antara 0 – 50 m adalah seluas 73,2693

km2, Buru Selatan Timur seluas 193,1977 km2, Buru Selatan seluas 208,54 km2

dan Buru Utara seluas 81,3865 km2 (lihat Gambar 10). Adanya variasi distribusi

isodepth antara setiap wilayah disebabkan oleh perbedaan banyaknya sungai yang bermuara di perairan, dimensi sungai dan tipe material batuan di daratan (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005).

Pasang Surut

Pasang surut yang biasanya terjadi pada perairan Kabupaten Buru dan

sekitarnya adalah pasang surut campuran yang cenderung harian ganda (mixed

tide, prevailing semidiurnal) dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam kurun waktu sehari. Pasang pertama umumnya lebih besar dari pasang yang kedua dan juga berbeda waktu pasangnya. Kisaran pasang surut maksimum tercatat sebesar 2,3 meter pada saat pasang purnama (Dishidros, 2007). Pada teluk-teluk semi tertutup bahkan melampaui 3 meter, seperti yang terjadi pada perairan Teluk Kaiely.

Arus

Arus musiman yang berkembang terdiri dari arus pasut dan arus angin dengan kecepatan rata-rata sebesar 12 - 25 cm/detik. Pada musim Timur, dominasi arah arus dari Timur ke Timur Laut melewati Laut Buru menuju Selat Flores, dan dari Laut Banda menuju Selat Flores dengan kecepatan yang lebih besar yakni 24 - 50 cm/detik. Pada musim Pancaroba II, arus menuju dua arah yakni Barat Daya dari Laut Seram dan menuju selatan Buru dari Selat Flores dan Laut Banda, dengan kecepatan 6 - 25 cm/detik (Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan atas kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku dengan Lembaga Penelitian Universitas Pattimura (2005) yang dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2005, diketahui bahwa perairan Teluk Kaiely secara umum dipengaruhi oleh 2 tipe arus yaitu arus yang dibangkitkan oleh pasang surut dan arus yang dibangkitkan oleh angin, dengan didominasi oleh arus pasang surut. Ketika air pasang, arus bergerak masuk

antara 0,05 – 0,33 m/det. Selama pasang, arus bergerak menyusuri perairan bagian tenggara dan selatan teluk, dan ketika air bergerak surut, arus mengalir menyusuri pantai bagian barat sampai utara Namlea menuju inlet selanjutnya ke luar teluk. Kecepatan arus pada periode surut bervariasi antara 0,16 – 0,19 m/det.

Sumber utama massa air yang bergerak melintasi perairan Buru dan sekitarnya didominasi oleh massa air Samudera Pasifik. Pola pergerakan arus musiman ini terkadang menimbulkan fenomena front oseanik yang merupakan pertemuan antara dua massa air yang berbeda karakteristiknya, sehingga menjadi salah satu lokasi konsentrasi makanan bagi ikan pelagis.

Gelombang Laut

Pada musim Barat tinggi gelombang bervariasi antara 1 - 2 meter. Arah perambatan gelombang umumnya mengarah ke tenggara (135°) menuju perairan laut Banda. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan bagian utara Pulau Buru lebih dominan mengalami tekanan gelombang pada musim ini dari pada bagian selatan. Hal sebaliknya terjadi pada musim Timur dimana daerah yang dominan mengalami gelombang adalah bagian selatan Pulau Buru dan Pulau Ambalau.

Gelombang pecah yang sering ditemui adalah tipe plunging, dengan periode

gelombang berkisar dari 3,35 - 8,16 detik.

Gelombang di perairan Teluk Kaiely merupakan gelombang angin (variasi sea dan swell) dimana angin sebagai pembangkit utama. Pada musim timur (Juni – Agustus) perairan ini mendapat tekanan gelombang yang cukup signifikan. Sementara pada musim lainnya kondisi perairan relatif tenang terlindung oleh topografi perbukitan pada bagian utara hingga selatan teluk (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005).

Gelombang laut juga mempengaruhi dinamika dan penyebaran substrat, dimana komunitas biologis berada, berarti gelombang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi penyebaran komunitas dan ekosistem perairan pesisir. Selain itu, gelombang juga mempengaruhi kecerahan air dan kelangsungan hidup

tumbuhan laut di perairan pantai, dan upaya melekatkan diri (settlement) dari

larva organisme bentik di dasar laut (proses metamorfosis).

Informasi gelombang juga penting bagi kebutuhan pengembangan bangunan-bangunan air seperti halnya jembatan, maupun penempatan alat

penangkapan ikan dan konstruksi budidaya laut, hingga waktu melaut bagi nelayan. Pengaruh gelombang paling signifikan terjadi di hampir seluruh perairan Buru karena pada musim Timur dimana kondisi ombak dan gelombang besar, wilayah perairan Buru berhadapan langsung dengan perairan laut Banda, sehingga pengaruh ombak dan angin cukup terasa di perairan ini.

Suhu Perairan

Suhu di seluruh perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi secara musiman. Pada musim Timur, suhu akan mengalami penurunan hingga mencapai rata-rata 29 °C. Hal ini disebabkan oleh masuknya massa air yang lebih dingin yang mengalir dari Samudera Pasifik melalui Selat Formosa dan proses penaikan

massa air dari lapisan kedalaman ke permukaan (up-welling) yang berlangsung di

Laut Banda. Sedangkan, pada musim Barat massa air dari Samudera Hindia yang mengalir masuk ke perairan Pulau Buru dan sekitarnya melalui Laut Arafura dan Laut Flores akan mempengaruhi massa air yang ada, sehingga suhu akan mengalami kenaikan hingga mencapai rata-rata 32 °C. Berdasarkan pola sebaran suhu vertikal maka lapisan MLD (lapisan tercampur) yang ditemukan berkisar dari 3,7 m (perairan Buru Selatan dan Buru Utara Barat) hingga > 50 m (perairan Buru Selatan bagian Timur dan Ambalau). Variasi ketebalan MLD memiliki kontribusi terhadap distribusi vertikal beberapa jenis ikan pelagis, dan kedalaman setting peralatan penangkapan ikan pelagis seperti pancing ulur, rawai tuna, tonda (troll line), jaring insang hanyut dan jaring insang lingkar (purse seine) (Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005).

Suhu diperairan Teluk Kaiely dan sekitarnya pada bulan Desember 2004 memiliki variasi secara vertikal maupun horisontal. Suhu pada lapisan permukaan berkisar dari 27 – 31,90 ºC. Suhu terendah umumnya ditemukan di bagian outlet teluk akibat suplai massa ait tawar dari Sungai Waeapo yang lebih rendah (26 – 27 ºC). Suhu perairan mengalami peningkatan ke arah inlet teluk yakni > 30 ºC (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005).

Salinitas Perairan

Tingginya penguapan (evaporasi) dan curah hujan (rainfall) serta

kedudukan wilayah secara geografik merupakan penyebab teradinya variasi salinitas yang ekstrim. Nilai rata-rata salinitas di perairan Pulau Buru dan sekitarnya pada musim Timur bervariasi antara 32 – 34 ppm sedangkan pada

musim Barat antara 29 – 38 ppm. Namun secara umum variasi ini masih dalam

range salinitas dari laut-laut yang ada di perairan Maluku, yakni 31 – 35 ppm untuk Laut Banda dan 32 – 34,5 ppm untuk Laut Arafura. Pada musim Timur, massa air laut dengan salinitas rata-rata 33 ppm dari Samudera Pasifik yang mengalir melalui Laut Banda dan Laut Arafura akan memasuki perairan sekitar Pulau Buru. Sementara itu, pada musim Barat, massa air laut dengan salinitas yang tinggi mengalir dari Samudera Hindia melalui Laut Flores ke perairan, yang berdampak pada kenaikan salinitas rata-rata (Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005).

Salinitas perairan di Teluk Kaiely dan sekitarnya pada lapisan permukaan berkisar dari 30 – 35 ppm. Nilai terendah ditemukan pada bagian dalam teluk terutama disekitar muara Sungai Waeapo. Salinitas berangsur-angsur meningkat kearah luar teluk dan perairan sekitarnya. Salinitas pada kedalaman 25 meter umumnya berkisar dari 34 – 35 ppm. Pada kedalaman 50 dan 100 meter, nilai salinitas lebih tinggi yakni 34,5 – 35 ppm. Pola distribusi salinitas pada kedua kedalaman ini memiliki kecenderungan yang hampir sama, dimana nilai yang lebih rendah terkonsentrasi pada perairan teluk bagian tenggara kemudian meningkat ke arah luar teluk (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005).

Kecerahan Perairan

Kecerahan perairan Pulau Buru dan sekitarnya termasuk Pulau Ambalau bervariasi menurut lokasi dan musim. Kecerahan minimum antara 5 - 7 meter ditemukan pada perairan Buru Selatan bagian Timur saat musim Timur, sementara pada lokasi yang sama saat musim Barat kecerahan dapat mencapai 10 - 12 m. Kecerahan tertinggi terjadi pada musim Barat, dimana pada perairan Buru Selatan, Buru Utara Barat, Buru Utara Timur serta Pulau Ambalau, kecerahan berkisar antara 15 - 18 meter, bahkan di perairan Pulau Ambalau, kecerahan dapat mencapai lebih dari 20 m. Tingginya nilai kecerahan menyebabkan suatu perairan

nampak jernih dan penetrasi cahaya matahari dapat mencapai kedalaman tertinggi sehingga berdampak pada kesuburan serta tingginya aktivitas fotosintesis karang. Hal ini berdampak positif untuk pengembangan berbagai kegiatan wisata bahari dan perikanan budidaya.

Tingkat kekeruhan di perairan Pulau Buru dan sekitarnya mengalami perubahan secara eksponensial terhadap perubahan kedalaman. Sumber penyebab kekeruhan didominasi oleh masuknya partikel tersuspensi (sedimen) yang berasal dari sungai, khususnya ketika berlangsung musim hujan serta proses pengikisan (erosi) tanah dari daerah pertanian, lokasi pemukiman, dan hasil resuspensi dasar perairan oleh ombak. Kisaran nilai kekeruhan yang digambarkan sebagai koefisien attenuasi (k) bervariasi dari 3 - 6. Nilai kekeruhan tertinggi ditemukan pada perairan Teluk Kaiely dan Teluk Tifu. Namun nilai ini masih layak untuk menunjang berbagai kegiatan perikanan, wisata bahari, dan konservasi.

Gambar 8. Kondisi Sedimentasi di Perairan Teluk Kaiely Kabupaten Buru.

Kondisi Kimia Perairan Kabupaten Buru Klorofil-a

Kepadatan partikel tersuspensi termasuk klorofil-a pada perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi menurut lokasi dan musim. Hasil pengamatan lewat data Citra Satelit TERA MODIS tanggal 22 Desember 2004 yang dilakukan dalam survey potensi perikanan Kabupaten Buru oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan Universitas Pattimura, menunjukkan konsentrasi klorofil-a

di Teluk Kaiely dan sekitarnya berkisar antara 0,3 sampai 0,6 mg/m3. Konsentrasi

ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Kaiely dan sekitarnya sangat subur. Sementara itu konsentrasi material tersuspensi di perairan Buru Selatan berkisar

antara 0,87 – 1,63 ppm/detik dan 0,21 - 0,85 ppm/detik di perairan Pulau Ambalau.

Oksigen Terlarut (DO)

Kandungan oksigen terlarut (DO) di permukaan perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi antar lokasi dan musim. Di perairan Buru Utara Barat kandungan DO berkisar antara 6,5 - 7,5 mg/l dan 6,2 3 - 10,41 mg/l (rata-rata 8,32 mg/l) di perairan Buru Selatan. Sementara di perairan Pulau Ambalau dan Buru Selatan bagian Timur, kandungan DO berkisar antara 3,52 - 4,48 mg/l (rata-rata 4,21 mg/1). Konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari 0,2 mg/l mengindikasikan bahwa perairan setempat mampu menunjang kegiatan perikanan tangkap komersil. Sebaran nilai oksigen terlarut di perairan Pulau Buru dan sekitarnya, semuanya tergolong normal menurut Standard Baku Mutu, dan layak untuk pengembangan perikanan budidaya, pariwisata bahari, maupun konservasi sumberdaya laut (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005).

pH Perairan

Nilai pH di perairan Pulau Buru dan sekitarnya termasuk Pulau Ambalau bervariasi sesuai dengan nilai pH perairan umumnya yakni 7,8 - 8,2. Di perairan Teluk Kaiely variasinya rendah antara 7,2 - 7,4, sedangkan di perairan Buru Utara Barat dan Pulau Ambalau (termasuk Buru Selatan bagian Timur), nilai tersebut sedikit lebih tinggi yakni antara 7,66 - 7,92 dan 7,0 - 8, 1. Nilai pH tertinggi ditemukan di perairan Buru Selatan yakni 7,5 - 8,4. Nilai pH ideal yang diperuntukkan bagi budidaya adalah 6,5 - 9,0 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005).

Nutrient

Fluktuasi nilai hara (nutrient) di perairan Pulau Buru dan sekitarnya sangat bergantung pada besarnya input yang diterima, terutama akibat masukan massa air dari Samudra Pasifik lewat Laut Banda. Kandungan hara yang tinggi dijumpai pada musim Timur sedangkan terendah pada musim Pancaroba. Konsentrasi Nitrat rata-rata di perairan tersebut adalah 0,111 mg/l di perairan Teluk Kaiely, 0,142 mg/l di perairan Buru Selatan, 0,144 mg/l di perairan Pulau Ambalau termasuk Buru Selatan bagian Timur, dan 0,217 mg/l di Buru Utara Barat. Untuk

kepentingan kegiatan perikanan nilai nitrat yang diperbolehkan adalah 0,1 - 0,4 mg/l, dengan demikian nilai nitrat pada perairan Pulau Buru dan

sekitarnya (0,15 mg/1) masih berada dalam kisaran yang ditentukan, baik untuk kepentingan tumbuhan aquatik maupun untuk kehidupan di laut (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005).

Fosfat dan Silikat

Konsentrasi fosfat di perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi menurut lokasi dan musim. Rata-rata konsentrasi fosfat adalah 0,099 mg/l, dimana konsentrasi fosfat pada perairan alami berkisar antara 0,005 - 0,02 mg/l sesuai dengan standard yang dikeluarkan oleh UNESCO/WHO/UNEP pada tahun 1992.

Untuk kepentingan kegiatan perikanan, nilai fosfat yang diperbolehkan adalah 0,2 - 0,5 mg/t, dengan demikian nilai fosfat pada perairan Pulau Buru dan

sekitarnya masih berada dalam kisaran yang ditentukan, baik untuk kepentingan tumbuhan aquatik maupun untuk kehidupan di laut.

Kandungan silika di perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi menurut lokasi dan musim, dimana nilai rata-rata adalah sebesar 0,04 mg/l. Untuk perairan alami kadar silika kurang dari 5 mg/l, akan tetapi untuk perairan yang melewati batuan vulkanik dapat mencapai 100 mg/l. Dibandingkan dengan rata-rata kadar silikat yang diperoleh, maka nilai ini masih tergolong kecil atau tidak melebihi kadar yang normal (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005).

Logam Berat

Konsentrasi logam berat (Pb, Cd, dan Hg) di perairan Pulau Buru dan sekitarnya termasuk perairan Pulau Ambalau masih tergolong rendah, yakni rata-rata 0,00343 mg/l (Pb), 0,00071 mg/l (Cd), dan 0,0000387 mg/l (Hg) dibandingkan dengan Standard Baku Mutu sesuai Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990. Untuk kegiatan perikanan kadar logam berat yang diperbolehkan masing-masing sebesar 0,03 mg/l (Pb), 0,01 mg/l (Cd), dan 0,002 mg/l (Hg). Dengan demikian kisaran tersebut masih berada jauh dibawah ambang batas yang

Dokumen terkait