• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya

Bab IV merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar

FILM FORM

A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya

Film Al-Kautsar adalah film yang diproduksi tahun 1977, disutradarai oleh Chaerul Umam dan skenarionya ditulis oleh Asrul Sani. Film ini berkisah tentang keteguhan hati seorang santri yang dikirim untuk mengajar di sebuah desa yang bernama desa Sekarlangit. Perjuangannya dalam menegakkan kebenaran merupakan tema utama film ini sebagai misi pembaruan Islam. Dalam film ini tokoh protagonis banyak mengalami berbagai kesulitan yang ia temui sepanjang cerita, mulai dari ketegangannya dengan seorang tokoh ulama setempat yang berselisih paham pada pemahaman dan pengalaman/praktik beragama, si tokoh protagonis—Saiful Bahri dengan tokoh ulama setempat—Haji Musa acapkali berdebat berkenaan dengan perbedaan pemahaman dalam mengartikulasikan ajaran Islam. 1

Di film ini diperlihatkan bagaimana seorang Saiful Bahri memperjuangkan Islam sesuai dengan konteks dalam menjawab kebutuhan paling aktual umat— warga desa Sekarlangit, Saiful Bahri tampil sebagai lokomotif pembaharu dengan membawa gagasan dan pemahaman Islam yang berkemajuan dengan perkembangan zaman dan akibat gagasannya tersebut ia mendapati berbagai macam rintangan. Salah satu implementasi gagasan pembaruannya ialah merombak sistem pendidikan di sebuah madrasah dengan metode pengajaran yang sangat baru dan melakukan transformasi keislaman yang menyangkut hidup orang banyak seperti pembangunan irigasi untuk memajukan pertanian dan keahliannya

1

dibidang pertanian ini membuatnya selalu berselisih paham dengan Haji Musa yang menyatakan antara ilmu agama dan ilmu umum (baca: pertanian) berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai kewajibannya sendiri-sendiri namun pendapat Haji Musa ini tidak dapat diterima oleh Saiful Bahri yang menyatakan bahwa agama harus dipindahkan kedalam perbuatan ke dalam kehidupan. Bagi Saiful Bahri antara agama dan dunia kehidupan lainnya tidaklah terpisah melainkan dapat dipersatukan karena itulah Islam dapat menjawab persoalan-persoalan kehidupan seperti apa yang dialami oleh masyarakat desa Sekarlangit yang memerlukan sistem irigasi pertanian untuk memajukan pertanian mereka. 2

Film yang berkisah di sebuah pelosok pedesaan yang masih memegang kuat nilai-nilai agama sebagai tolok ukur ini tiba-tiba menjadi berubah setelah kedatangan Saiful Bahri—tokoh protagonis yang membawa sebuah gagasan pembaruan dan menimbulkan berbagai macam polemik baik dengan Haji Musa dan tuan Harun—seorang tengkulak yang ditakuti penduduk. Dalam film ini, Asrul Sani menarasikan tentang bagaimana perdebatan dan friksi yang terjadi antara gagasan pembaruan di satu sisi dan pemahaman keagamaan yang berkutat pada aspek simbolik semata di sisi lain dan juga perilaku warga sebuah desa yang masih dalam kategori jumud sehingga mudah sekali terhasut dan terprovokasi. Film yang ditulis oleh Asrul Sani ini merupakan sebuah cerminan dari realitas yang ada saat itu berupa perdebatan yang penuh pergumulan, film ini dibuat sesuai dengan konteks zamannya yang diliputi pergulatan isu Islam modernis vis a vis Islam tradisional di mana Asrul Sani menangkap fenomena tersebut yang ia tuangkan dalam film Al-Kautsar.

2

Di film ini Asrul Sani ingin memperlihatkan bahwa bukan “Islam modernis” yang hendak digelorakan tetapi bagaimana Islam mampu menjawab problem keumatan seperti yang ia bayangkan di dalam sosok Saiful Bahri yang konsisten dalam menegakkan amar ma’ruf nahiy mungkar melalui reformasi sistem pengajaran di madrasah, membuat irigasi untuk pengairan sawah, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang mungkar dengan kebulatan tekad untuk memperbaiki akhlak, taraf hidup dan mampu memecahkan persoalan umat di desa Sekarlangit.3

Film Al-Kautsar merupakan film bergenre religi yang boleh dibilang masih teramat langka ketika itu. Film yang diproduksi pada tahun 1977 ini, tahun di mana terjadi peningkatan jumlah produksi film nasional yang sangat tinggi. Perlu dicatat bahwa pada tahun 1977 film-film nasional masih didominasi oleh film-film yang bercerita tentang drama rumahtangga, remaja, komedi, action, sex, dan hanya beberapa film yang bergenrekan film religi selain film Al-Kautsar seperti Panggilan Ka’bah yang diproduksi oleh Mitra Djaya Film disutradarai oleh Chaidar Djafar, Ridho Allah yang diproduksi oleh PT. Yukawai Naviri Film Prod disutradarai oleh Yung Indrajaya. Jadi, film-film Islam masih tergolong minim

3

Bandingkan dengan ulasan Eric Sasono yang menyatakan bahwa film Al-Kautsar dan Titian Serambut Di Belah Tujuh tergolong luar biasa dalam merepresentasikan Islam. Kedua film ini tidak berangkat dari sebuah spektrum moral yang mencoba membuat orang “menjadi lebih baik” atau “menjadi muslim sempurna”, melainkan berangkat dari sebuah struktur masyarakat yang bermasalah dan kemudian tokoh muslim itu terlibat dalam penyelesaian masalah tersebut. Dan tokoh-tokohnya adalah wakil dari modernitas dan perubahan yang datang membawa dua hal sekaligus: Islam dan pembaruan dalam bidang-bidang sekuler. Maka pengertian mengenai film Islam dalam film-film Asrul Sani jauh dari pengertian normatif. Islam tidak merupakan satu-satunya penyelesaian persoalan, melainkan bagian dari kenyataan yang direkonstruksi ulang. Maka film Islam tidak dikaitkan sebagai bagian dari ajaran untuk mengajak orang untuk ‘menjadi lebih islami’ atau tidak sebagai sarana dakwah. Lihat Eric Sasono dalam Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia, tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi mengenai film-film Islam di Yayasan Salihara, Jakarta 12 September 2008. Tulisan ini belum dipublikasikan.

dalam skala produksi film nasional bahkan dapat dihitung dengan jari jumlah produksi film-film Islam dalam kurun waktu 10 tahun. 4

Salim Said dalam paparannya menyatakan bahwa pada perhelatan Festival Film Indonesia (FFI) 1977 banyak kritik yang dialamatkan pada industri film nasional. Setelah menonton 27 film cerita Juri Festival Film Indonesia (FFI) 1977 sampai pada kesimpulan:

… film Indonesia dewasa ini dibuat oleh para produser betul-betul semata-mata sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat. Produsen film kita menampakkan diri terutama sebagai pedagang impian (merchant of dreams), dalam posisi demikian si produser memang tidak memijak kakinya di bumi Indonesia sebab mimpi yang indah toh senantiasa berkisah mengenai dunia yang tidak selalu kita kenal. 5

Oleh karena itu, kehadirian film Al-Kautsar memberikan warna yang berbeda dan menegasikan kondisi industri film nasional ketika itu, dalam wawancara dengan penulis Chaerul Umam menyatakan bahwa film al-Kautsar dibuat untuk melawan arus industri film nasional dan keinginan masyarakat Islam Indonesia yang ingin menonton film-film Islam atau katakanlah sesuatu yang dapat merefleksikan kehidupan riil umat Islam. 6film ini menawarkan sebuah arus baru dala menonton, artinya film Al-Kautsar melawan arus utama dalam industry film nasional yang di dominasi oleh film-film yang bertemakan kehidupan urban dengan kompleksitas masalahnya yang masih berkutat pada drama rumahtangga yang menampilkan kemewahan dan kehidupan kota yang kosmopolit, selebihnya secara tematik dari yang penulis amati bahwa di tahun 1977 secara tematik film

4

Produksi film-film Islam pada tahun 1977 masih tergolong minim, dari data yang saya peroleh di buku Katalog Film Indonesia 1926-2005karangan JB. Kristanto hanya terapat 3 buah film Islam dari total 132 buah film nasional yang diproduksi pada tahun 1977. Dalam sejarah film Indonesia pada tahun 1977 merupakan rekor tertinggi dalam jumlah produksi film nasional dan hingga kini rekor tersebut belum ada yang menandingi, mengenai rekor ini juga dapat dilihat di sebuah grafik di Sinematek Indonesia.

5

Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia,(Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 3 6

nasional masih banyak didominasi oleh film-film yang menampilkan pada aspek kehidupan yang jauh dari realitas masyarakat, film-film yang ada hanya terpusat pada tema-tema yang secara komersil laku dipasaran tanpa mempertimbangkan atau berani membuat film yang berbeda dari kebanyakan film-film yang dibuat berdasarkan pada mekanisme pasar namun abai terhadap aspek-aspek problematika riil masyarakat. pada kasus ini tak mengherankan jika juri FFI 1977 dengan pedas mengatakan bahwa apa yang tersajikan di industri film Indonesia sebagai merchant of dreams yang kisahnya sebuah dunia yang tidak selalu dikenal masyarakat Indonesia.

JB. Kristanto dalam ulasannya mengatakan bahwa film Al-Kautsar pantas dicatat. Pertama, karena jenis film itu sendiri bernafaskan agama Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Kedua, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita. Ketiga,dan ini yang penting, ternyata film ini meruapakan hasil kerja yang sangat lumayan.7

Hal yang pantas pula dicatat dari film ini adalah usaha sutradara hanya menggunakan lagu-lagu kasidahan dalam bentuk kor dan suara orang mengaji sebagai ilustrasi musiknya. Satu-satu efek suara yang digunakan untuk membangun situasi dramatik adalah ketukan kayu, ini adalah sebagian dari usaha sutradara untuk mencapai cara pengucapan yang baru dalam film-film kita. Yang

7

JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia.(Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal 58.

penting lagi adalah bahwa usaha ini membawa utuhnya suasana keislaman seperti yang dimaksud. Dan film dengan nafas Islam ini bisa tampil secara utuh.8

Suara kor kasidahan inilah yang mengantarkan film Al-Kautsar meraih Penghargaan Festival Film Asia XXIII, di Bangkok Thailand, 1977 untuk Tata Suara Terbaik.9 Penghargaan ini merupakan sebuah apresiasi atas hal-hal yang sangat mencerminkan wajah keindonesiaan dengan ilustrasi musik kasidah sebagai cerminan masyarakat Indonesia kebanyakan yang masih kuat dengan tradisi keislamannya dan ini menjadi sangat kontras dengan produksi film nasional pada tahun 1970-an yang didominasi oleh jualan mimpi kaum elit perkotaan dengan setting yang penuh kemewahan.

Film Al-Kautsar merupakan satu dari tiga film Islam 10 yang diproduksi pada tahun 1977. Kehadiran film al-Kautsar tentunya memberikan corak tersendiri bagi perfilman nasional, berdasarkan fakta yang ada di tahun 1977 atau secara umum di tahun 1970-an, film-film nasional di dominasi oleh tema-tema yang menggambarkan sebuah sandiwara tonil yang diwariskan oleh watak perfilman

8

JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia.(Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal 58- 60.

9

JB. Kristanto, Katalog Film Indonesia 1926-2005, (Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ Press). Hal 145.

10

Pada tahun 1977 secara kuantitas produksi film nasional mencapai grafik tertinggi dalam sejarah film Indonesia tercatat ada sebanyak 132 buah film yang diproduksi. Namun dari sekian banyak produksi hanya terdapat tiga buah film Islam saja yang diproduksi diantaranya ialah film Al-Kautsar yang diproduksi oleh PT. Sippang Jaya Film disutradarai oleh Chaerul Umam sebagai debut pertamanya dalam menyutradarai film, film Panggilan Ka’bah produksi PT Mitra Djaya Film-PT Putra Utama Film, disutradarai oleh Chaedar Djafar, film Ridho Allah produksi PT Yukawi Naviri Film Production yang disutradarai oleh Yung Indrajaya. Film-film yang diproduksi sebagian besar bertemakan hal-hal yang menyangkut kehidupan nyata seperti film Nasib si Miskin, Kemelut Hidup, Rahasia Seorang Ibu, Saritem Penjual Jamu, Jakarta Jakarta, dll walaupun sebagian besar lagi menarasikan sesuatu hal yang meletakkan film sebagai brang dagangan dan ini terlihat dari segi tema yang diambil yang mengisahkan romansa drama kehidupan yang penuh kemewahan dan film-film komedi, remaja, action dan sex yang minus edukasi dan memberikan penerangan, contohnya ialah film Akibat pergaulan Bebas, Aula Cinta yang dibintangi oleh Roy Marten, Cowok Komersil, Guna-guna Istri Muda, Inem Pleyan Sexy, Pendekar Tangan Hitam, Sembilan Janda Genit, Ateng Sok Aksi dll.Hal ini sudah sangat jelas bahwa film-film bertemakan Islam masih belum mendapat tempat dan masih berada pada wilayah pinggiran bukan sesuatu yang mendatangkan keuntungan komersil di mata produser ketika itu. Ulasan ini penulis sarikan dari buku Katalog Film Indonesia 1926-2005karangan JB. Kristanto, Jakarta: Penerbit Nalar-FFTV IKJ Press, 2005.

Indonesia sebelum kemerdekaan yang sangat sarat dengan film-film yang berkualitas rendahan sesuai dengan sukses dipasaran. Penulis akan mengulas secara singkat fenomena tersebut.

Di awal tahun tujuh puluhan, wartawan terkemuka Rosihan Anwar sudah dengan kesal melontarkan pertanyaan:

Mengapa film Indonesia mesti memperlihatkan hal itu juga: rumah mewah, Mercedes Benz, pemuda dengan sepeda motor Honda, night club? 11 Hidup mewah, erotisme dan kekerasan yang ditampilkan oleh film-film buatan Indonesia dirasakan sangat asing oleh penulis Jacob Sumardjo. “ Kapan wajah kita yang sebenarnya bisa kita lihat disana?”, begitu Jacob bertanya. 12 Bagi Umar Kayam, Dirjen Radio TV dan Film Departemen Penerangan RI mengatakan bahwa film-film Indonesia sebagai penyaji impian-impian. cuma saja itu dinilainya sebagai “belum sebuah impian Indonesia. 13

Pendapat yang sama juga dikatakan oleh H. Asrul Sani :

Cerita-cerita kita pada umumnya sekarang bukan lagi datang dari pengarang-pengarang sebenarnya, tapi datang dari finasir yang mengajukan ramuan dari unsur-unsur yang menurut perhitungannya akan membuat film itu laku. Jadi, orang tidak bertolak dari sebuah cerita yang menarik, tapi dari kehadiran sekian persen unsur seks, sekian persen unsur kekejaman. 14

Begitupun Gayus Siagian seorang pengamat film menandaskan bahwa bilamana kita melihat hanya atau terutama sebagai barang dagang atau perusahaan

11

H. Rosihan Anwar : “Melihat Unsur Kemewahan dalam Film Indonesia”. Budaya Jaya,

Th. V. No. 44, Januari 1972. Hal 2 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Penerbit Grafiti Press, Jakarta, 1982). Hal 3

12

Jacob Sumardjo : “Image Indonesia dalam Film Nasional Kita”, Kompas, 16 April 1974, hal 4 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 4

13

Kompas, 25 November 1975 hal 4 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia,

(Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 4 14

Asrul Sani, “ Mengapa Film Indonesia Makin Lama Kehilangan Simpati Penonton”,

Tempo, 27 November 1971, hal 44 dalam Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 4

film itu sendiri sebagai industri hiburan yang memprodusir hiburan untuk massa, maka dengan sendirinya kita berpikir dalam istilah dagang, cost accounting, yang tidak berpretensi seni. Jika kita menerima film sebagai barang dagangan, konsekwensinya ialah, kita harus dapat melihat dengan kacamata seorang pedagang dengan semboyan: De klant is koning, langganan adalah raja. Implikasinya ialah, dia hanya akan menjual barang yang disukai oleh pembeli, yaitu film yang disukai publik. Sebab tujuannya untuk mencari uang, bukan mendidik massa. 15

Salim Said dalam argumennya menandaskan bahwa cerita umumnya tidak jalan lantaran disusun dari ramuan-ramuan yang diajukan oleh produser, karena pada mulanya memang adalah ramuan, unsur-unsurnya—seks, kemewahan, kekerasan, kesedihan yang berlebihan-sering kali lebih menonjol secara sendiri. Sebab ramuan itu kebanyakan diperdapat dari film-film impor. Maka “wajah Indonesia” memang jarang sekali ditemukan disana. Hal yang terakhir ini menyebabkan penampilan para aktor dan aktris tidak bisa dirasakan sebagai tokoh Indonesia, kaku, dan kurang meyakinkan. 16

Watak film nasional seperti ini merupakan sebuah warisan dari penggambaran film Indonesia sebelum kemerdekaan, eksodusnya orang-orang sandiwara tonil ke film terjadi pada paruh awal abad 20. Kegiatan kultural yang muncul dalam konteks hubungan pasar, membina seni yang bercorak bazaar, yang bisa dibeli. Jika seni kraton, yang bercorak high culture, lebih memperlihatkan sifat-sifat seremonial dan ritual yang secara simbolik terkait dalam usaha peneguhan wibawa sang penguasa, sedangkan kesenian rakyat cenderung “carnival” yang melebur batas-batas “pemain” dengan”penikmat”. Seni bazaar,

15

Gayus Siagian dalam Menilai Film, (Jakarta: Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 2006). Hal 9

16

adalah transaksi antara penikmat dan pemain. Keduanya—penikmat dan pemain— yang terpisah, kemudian dipertemuan oleh alat tukar yang berupa wang. Komersialisasi telah terjadi disini.17

Melalui film Terang Boelan yang diproduksi pada tahun 1938 menjadi sebuah momentum peralihan bagi pemain dan penonton kesenian sandiwara tonil untuk beralih menjadi pemain dan penonton film. Ada dua hal yang menjadi penting disini, Pertama,usaha pembuatan film bukan saja merupakan bisnis yang fisibel, tapi juga menjanjikan keuntungan yang fantastik; kedua, resep yang merupakan unsur penentu adalah yang ditarik dari panggung tonil. 18

Sukses besar yang dinikmati film Terang Boelan dilihat dari kenyataan bahwa penonton sandiwara dan tonil yang tidak pernah secara serempak jadi penonton film, kini telah berduyun-duyun menjadi datang ke gedung bioskop. Impian para pembuat film menarik sebanyak mungkin penonton dari berbagai kalangan, dengan resep Terang Boelan,hijrahnya orang panggung ke studio film, makin populernya gedung bioskop bagi pribumi, datangnya tambahan modal, peralatan dan tenaga ahli dari Shanghai, semua itulah yang menjadi sebab bagi bertambahnya dengan pesat jumlah perusahaan film di Batavia menjelang datangnya bala tentara Jepang.19

Hal yang sama juga berlaku bagi pembuat film ditahun 1970-an yang diwariskan dari watak seperti ini. Kebiasaan inilah yang telah menjadi faktor determinannya berupa resep dalam film Terang Boelan yang juga berlaku di era tahun 1970-an dan 1980-an. Memang ada kalanya seorang produser mencoba memberi arah pada selera publik dengan merubah tema cerita yang dia pandang

17

Taufiq Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I (1900-1950 . (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1993). Hal 18

18

Taufiq Abdullah, dkk, Film Indonesia Bagian I (1900-1950). (Jakarta: Dewan Film Nasional, 1933). Hal 165

19

sudah terlalu banyak dipakai atau mencari genre lain, umpamanya dari Western beralih ke love storyatau dari silat ke musicaldengan maksud untuk mendahului saingan-saingan dengan genreyang baru mendapat pasaran. Jika genreyang baru ini ternyata dapat sambutan baik dari publik, maka dia akan meneruskan percobaan ini. Produser-produser lain tentu akan cepat mengikuti jejaknya dan dalam waktu yang singkat pasaran akan dibanjiri film-film genrebaru itu.

Sebaliknya jika eksperimen itu gagal, maka dia tidak akan meneruskan dan akan meneruskan kembali membuat film genre lama. Produser-produser lain tidak akan mengikutinya juga dan akan mengulangi kegagalan itu. Sikap publik ini akan merupakan petunjuk bagi para produser, penonton belum bosan dengan genrelama dan mereka harus menunggu sampai nampak tanda-tanda kebosanan. Dengan kata lain, juga di bidang film spekulasi tidak asing. Dengan berpijak semata-mata pada dasarnya winstmotief (motif keuntungan) seorang produser yang bermentalitas pedagang tentu tidak akan buang waktu memikirkan segi-segi moral atau moral.20

Penonton yang banyak dan orang sandiwara yang memadati dunia film masa itu, bukanlah tidak memberi karakter tersendiri terhadap film-film buatan sebelum perang. Resep Terang Boelanyang diperoleh dulu masih tetap dipegang asarinya—pemandangan indah, perkelahian, lagu-lagu merdu, pemain terkenal— tapi variasinya makin lama makin dekat dengan sandiwara. Hal yang demikian ini nampaknya memang sulit untuk dihindarkan oleh dunia film yang sudah didominir oleh orang sandiwara. Pengaruh sandiwara terlihat, baik pada struktur cerita maupun pada cara bermain.21

20

Gayus Siagian dalam Menilai Film, (Jakarta: Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 2006). Hal 10-11

21

Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Penerbit Grafiti Press, 1982). Hal 27-8

Dalam sejarah film Indonesia rupanya adanya polarisasi dalam membuat film Indonesia dan masing-masing kutub tersebut satu sama lain saling berlawanan. Yang satu memandang film sebagai sebuah komoditi dan di satu sisi film dipandang sebagai manifestasi ekspresi seni atau merekam realitas yang sebenarnya. Disini penulis akan menguraikan polarisasi yang terjadi dan ini memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan film Indonesia selanjutnya termasuk watak film Indonesia di tahun 1970-an yang di mana kedua kutub tersebut semakin bertentangan namun sayangnya yang dominan ialah film dipandang sebagai barang dagangan berupa julan mimpi-mimpi dan menurut hemat penulis posisi film al-Kautsar berada dalam aras film yang menggambarkan kondisi realitas masyarakat Indonesia pada umumnya berupa kehidupan religius dunia pesantren dan kampung namun sekali lagi sangat disayangkan justru realitas seperti ini tidak menarik bagi kebanyakan insan film Indonesia dalam membuat film.

Dari sejarah kepeloporan orang Tionghoa dalam bidang film di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa alasan utamanya adalah komersial. Sebagai orang Timur Asing masa itu, tidak banyak yang bisa diharapkan dari orang Tionghoa untuk membuat film yang mempunyai keterlibatan sosial, apalagi politik, kendati masa itu udara Hindia Belanda berangsur-angsur dipenuhi oleh semangat pergerakan nasional.

Setelah Indonesia merdeka, Usmar Ismail memulai suatu tradisi yang sama sekali baru untuk dunia perfilman di Indonesia, berbeda dengan kebiasaan pembuat film Tionghoa, sebelum maupun setelah perang—yang waktu itu bangkit kembali—Usmar Ismail membuat film cerita-cerita yang digalinya dari kenyataan