Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh
RINAL RINOZA NIM: 104051001846
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i Abstrak
Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar
Film ini berkisah tentang seorang santri Pondok Pesantren Pabelan yang bernama Saiful Bahri yang dikirim untuk mengajar ke sebuah desa. Tekadnya untuk menegakkan kebenaran agama banyak menghadapi rintangan terutama dari Tuan Harun yang memfitnahnya dan sikap Haji Musa selaku tokoh agama yang disegani di kampung tersebut yang kurang bersimpati kepada Saiful karena perbedaan pandangan keagamaan. Dalam setiap dialog yang terjadi antara Haji Musa dan Saiful acapkali diwarnai perbedaan, Haji Musa disatu sisi konservatif dan Saiful Bahri disisi lain reformis yang membawa gagasan pembaruan di desa tersebut.
Dalam film ini bagaimana usaha Saiful Bahri untuk menegakkan kebenaran dengan meretas jalan dakwah melalui nilai-nilai pembaruan yang ia bawa dari Pesantrennya untuk diimplementasikan di desa sekarlangit. Bagaimana pula usaha Saiful untuk meyakinkan Haji Musa dan penduduk desa terhadap gagasan pembaruannya dan membuktikan dirinya bersih dari segala tuduhan fitnah yang ditimpakan kepadanya.
Secara teoritis, saya mendasarkan pada teori komunikasi antar budaya. Dalam pada itu, komunikasi antar budaya terjadi dalam ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur yang berbeda.
Secara metodologis, skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Metodologi ini digunakan karena sesuai dengan konteks film Al-Kautsar yang mengisahkan perbedaan antara kedua pemahaman dalam menginterpretasikan ajaran Islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan kebenaran menuju perubahan di penduduk desa sekarlangit.
Kedatangan Saiful Bahri tokoh protagonis dalam film ini menimbulkan konflik karena ketidaksenangan tokoh antagonis yang diwakili Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk melenyapkan Saiful mulai dari percobaan pembunuhan, memfitnah Saiful melakukan hubungan serong dengan seorang janda yang bernama Halimah hingga pengrusakan Madrasah yang ia kelola. Selain itu, mula-mula kehadiran Saiful menimbulkan pertentangan dengan Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat dihormati karena Saiful membawa gagasan-gagasan pembaruan dalam Islam dan setiap dialog yang terjadi dengan sangat jelas memperlihatkan perbedaan pandangan tersebut.
ii Bismilahirahmanirahim
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan
nikmat-Nya dan tak lupa penulis sampaikan salawat serta salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi bagi para mujaddid-mujaddid untuk melakukan pencerahan kepada umat Islam.
Penulis merasa bersyukur atas selesainya skripsi ini dengan perjuangan yang panjang selama
1,5 tahun waktu pengerjaan yang sempat tertunda karena berbagai hal dan penulis merasa
bahagia dengan selesainya skripsi ini. Selama waktu pengerjaan yang begitu panjang banyak
sekali pengalaman dan wawasan baru yang penulis dapat untuk memperkaya isi skripsi ini
dan adapun berbagai kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini menurut hemat penulis adalah
bagian dari sebuah proses untuk ‘menjadi’. Proses inilah yang mengantarkan penulis sampai
dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan, perhatian, dukungan dan motivasi dari
berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk menyampaikan penghargaan dan
terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.
2. Bapak Drs. Jumroni, M.Si selaku Ketua Jurusan dan Ibu Umi Musyarofah, MA selaku
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang senantiasa membantu
penulis dalam berbagai hal termasuk memberi kemudahan dalam penyelesaian skripsi
ini.
3. Bapak Prof. Dr. Murodi, MA selaku Pembimbing skripsi yang telah memberikan
iii
Gun Gun Heryanto, M. Si, Dra. Armawati Arbi, M.Si, Dr. Umaimah Wahid, M.Si dan
Drs. Syifak Masyuhudi, M.Si yang telah memberikan insight kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak H. Chaerul Umam selaku sutradara film Al-Kautsar yang penulis teliti di
skripsi ini, terima kasih atas waktu dan pemikirannya dalam pengerjaan skripsi ini.
6. Kedua orang tuaku tercinta, Ismet Tanjung dan Maharni yang telah memberikan kasih
sayang dan doanya yang tak pernah putus yang luar biasa kepada penulis,
karenanyalah aku bisa kuliah. Dan kedua adikku Andio dan Vina yang selalu
mengingatkanku untuk segera selesaikan kuliah.
7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi, Perpustakaan FFTV IKJ “Terima kasih Mas Ridwan
copy-an filmnya”, Perpustakacopy-an Sinematek ”Terima kasih materi naskah skenario film
Al-Kautsarnya”, dan Perpustakaan Unika Atmajaya.
8. Mas Ekky Imanjaya yang telah bersedia membantu dengan berkorespondensi via
email dengan memberikan buah pemikirannya mengenai film-film Islam sebagai
referensi yang berharga bagi penulis, juga kepada mas Eric Sasono, bang Hafiz yang
telah membuka cakrawala berpikir penulis tentang konteks kritik film serta Veronica
Kusuma yang baik hati sumbang pemikiran dan buku-buku yang dipinjamkan dan
yang diberikan kepada penulis.
9. Sahabat-sahabatku yang dipertemukan di kelas KPI C 2004: Ray Sangga Kusuma,
Hayustiro, Murniati, Iskandar, Etty Maryati, Agustin Intan serta Edwin Saleh, Lutfi
Anwar, dan teman-teman KPI C 2004 yang lain. Kenangan bersama kalian adalah
iv
Spirit perjuangan dan persyarikatan yang mempertemukan hati kita. Dan juga
Muhammad Hajid, penulis banyak belajar memahami sebuah kerendahhatian dan
keramahan. Tak ketinggalan Viki Fahmi dan Hilmi Arif yang begitu pengertian dan
memaklumkan tingkah laku penulis.
11. Zakka Abdul Malik dan Irfanul Hakim yang ikut membantu penulis dalam
pengerjaan skripsi ini, thanks foto & tape recordernya!
12. Sahabat-sahabat yang selalu baik padaku: Kesy Wulansari, Intan Leliana, Farah Nurul
Hikam, Arry Susanty, Sa’ada Pueri Natasari, Ana Sabhana, Dhini Utami dan Rina
Amalia Budiati yang di Tasikmalaya terima kasih curahan perhatiannya kepada
penulis. Kalian semua perempuan yang istimewa buat aku!
13. Keluarga keduaku di Ciputat kawan di Komunitas Djuanda. Dan juga
kawan-kawan LS-ADI: Saiful Munir, Rezza,, Ki Bagus Hadikusuma. Rasanya aku jadi muda
terus bersama kalian!
Penulis mohon maaf tidak dapat menyebut satu persatu, tapi dukungan orang-orang yang
telah membantu baik langsung dan tak langsung penulis sangat hargai dan berterima kasih
banyak. Akhirul kalam, penulis haturkan rasa syukur atas selesainya skripsi ini dan semoga
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Ciputat, 12 Agustus 2010
iii
ABSTRAK...i
KATA PENGANTAR...ii
DAFTAR ISI ...iii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11
D. Metodologi Penelitian ... 12
E. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya... 16
1.Teori Komunikasi Antar Budaya... 16
2. Proses Komunikas Antar Budaya... 20
B. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya... 21
1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap... 23
1.1. Sistem Keyakinan... 23
1.2. Sistem Nilai... 25
1.3. Sistem Sikap... 26
2. Pandangan Dunia ... 27
3. Organisasi Sosial ... 28
C. Teori Film ... 26
D. Struktur Film ... 31
BAB III FILM AL-KAUTSAR DAN DERIVASI GAGASANNYA A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya ... 41
B. Relevansi Film Al-Kautsar dengan Gagasan Pembaruan... 54
C. Representasi Islam dalam Sinema: Studi Atas Film Al-Kautsar .. 57
1. Catatan Awal bagi Representasi Islam dalam Sinema Indonesia... 57
2. Representasi dan Film Profetik... 68
3. Film Al-Kautsar sebagai Representasi Islam yang Transformatif ... 69
D. Sekilas Profil Pembuat Film Al-Kautsar... 71
1. Asrul Sani ... 71
2. Chaerul Umam... 73
iv
(Tinjauan Konsepsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar)... 76
B. Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar... 81
C. Tinjauan Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya ... 87
1. Unsur Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap ... 93
2. Unsur Pandangan Dunia ... 102
3. Unsur Organisasi Sosial ... 105
BAB V Penutup A. Kesimpulan ... 115
B. Saran-saran... 117
DAFTAR PUSTAKA...118
1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Film Al-Kautsar dibuat ditengah kondisi perfilman Indonesia yang
bertemakan Islam masih sedikit. Sejarah film Indonesia mencatat produksi
film-film bertemakan Islam masih dalam kategori minus. Film-film-film Indonesia masih
di dominasi oleh film-film yang bertemakan cinta, remaja, komedi, dan horor.1
Ini dapat dilihat dari jumlah produksi film Indonesia yang masih
didominasi oleh genre tersebut. Perilaku dan pola seperti itu bukanlah tanpa
sebab, karena pada dasarnya ini merupakan sebuah tradisi yang diwariskan
secara terus menerus oleh para pembuat film, baik produser, sutradara, dan
1
Data mengenai tema-tema tersebut dapat dilihat selengkapnya di bukuKatalog Film Indonesia 1926-2005, karangan JB Kristanto yang diterbitkan secara bersama oleh Penerbit Nalar, FFTV-IKJ dan Sinematek Indonesia dan juga ulasan JB. Kristanto dalam resensinya yang dimuat di JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. (Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal 58. Dalam resensinya JB. Kristanto menuliskan film Al-Kautsar merupakan sebuah film bernafaskan Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Disamping itu menurutnya, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita.
Tema-tema tersebut dikategorikan sebagai Dosa Asal (terminologi Dosa Asal penulis pungut dari esai Wicaksono Adi, Dosa Asal Film Indonesia—esai tersebut menurut hemat penulis belum sepenuhnya membedah secara anatomis dan genealogis yang dimaksud dosa asal film Indonesia), film Indonesia di mana pada masa penjajahan kolonial Belanda, film-film di tanah air ditujukan sebagai komoditas barang dagangan yang berorientasi pada akumulasi modal dan ketika itu belum ada kesadaran untuk menjadikan film sebagai ekspresi kebudayaan dan medium perjuangan. Kesadaran mulai tampak tatkala di masa pendudukan Jepang, film dapat dijadikan medium propaganda dan disitulah beberapa seniman mulai menyadari film sebagai alat perjuangan. Usmar Ismail dalam artikelnya, “ Sari Soal dalam Film-film Indonesia”, yang dimuat Star News, Th. III, No.5, 25 September 1954,yang kembali dimuat di
distributor film termasuk pihak bioskop. Peta sosiologis penonton film
Indonesia pada sebelum kemerdekaan ialah mereka yang bertaraf pendidikan
rendah dan biasanya berprofesi sebagai kuliatau orang-orang kelas bawah. Oleh karena itu, mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan adalah orang-orang
kelas bawah, maka film-film Indonesia yang dibuat oleh produser-produser ini
pun adalah film-film bermutu rendah. Yang penting disini bukan lagi kualitas,
tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul pertahun
yang bisa dihasilkan tanpa pernah bersibuk dengan mutu di balik judul-judul
tersebut.2 Karena film dianggap semata-mata barang dagangan, maka yang
menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara—yang
sebagai pencipta mestinya harus menentukan—di sini harus tunduk saja pada
perintah yang punya uang. 3
Misbach Yusa Biran dalam bukunya, Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa pada akhir 1930-an, dunia film sepenuhnya dikuasai oleh anak wayang, bahkan sampai akhir 1950-an pemain yang berasal
dari kalangan bawah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis. Mereka
mempunyai alasan untuk memasuki profesi ini, seperti ada yang terpikat karena
nonton, terpikat oleh Anak Wayang, diajak teman, dibawa keluarga dan
sebagainya. Generasi berikut banyak yang merupakan keluarga dari Anak
Wayang sendiri karena dari kecil sudah ikut keliling dengan orangtuanya.
Mereka ikut tampil sesudah dewasa. Contohnya adalah Roekiah, pemain film
paling populer tahun 1938-1942 dan Kasma Booty, bintang film Malaya paling
2
Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia,(Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982). Hal 10-11.
3
populer di Malaya dan Indonesia awal tahun 1950-an. 4 Mereka hidup tertutup
disana. Mereka tidak boleh bergaul dengan orang luar. Hal ini dilakukan agar
jangan menghilangkan kharisma mereka, bahkan kalau sang sri
panggung/primadona pindah dari kendaraan masuk ke wilayah panggung,
kepalanya ditutup kain agar tidak dilihat masyarakat. Mereka tidak bersentuhan
dengan apa yang terjadi di luar dan tidak baca Koran karena tidak bisa baca. 5
Watak inilah yang sangat mempengaruhi film Indonesia saat itu, dengan
tingkat literasi yang rendah baik oleh para pemainnya maupun penontonnya
yang umumnya kalangan pribumi yang sebagian besar tidak terdidik. Kalangan
penonton pribumi kala itu dikenal dengan sebutan slam. Yang dimaksud dengan kata “slam” di atas adalah Pribumi, yang umumnya beragama Islam. Untuk
penonton pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut penonton.
Maklum tingkat ekonomi Pribumi umumnya amat rendah.6 Oleh karena itu,
menurut Adi Wicaksono film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran
politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan,
kelangenan, pelipur lara.7 Maka, film sebagai seni bazaar, yang dimunculkan
dalam konteks masyarakat kolonial yang majemuk, tidak dapat berperan
sebagai alat integratif budaya. Dalam masyarakat bazaar orang membeli hiburan
yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan status sosialnya. 8
Kini, film Indonesia pun masih mewariskan kultur dan watak dari
periode awal perfilman nasional. Faktor genealogis inilah yang masih
4
Misbcah Yusa Biran Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa,(Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009). Hal 9
5
Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 10 6
Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 30 7
Adi Wicaksono , Dosa Asal Film Indonesia
http://www.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 8
mempengaruhi perfilman nasional saat ini walaupun secara tidak langsung
generasi pembuat film dewasa ini tidak mempunyai hubungan langsung dengan
generasi awal namun dilihat dari sifatnya tak dapat dielakkan lagi. Menurut Adi
Wicaksono dalam esainya Dosa Asal Film Indonesia,ia menyatakan bahwa apa yang menjadi momok bagi perfilman nasional ialah film Indonesia tumbuh
sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil
membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Fakta bahwa film adalah
benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia.
Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu
pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk
budaya sekaligus produk industri. 9
Menurut Usmar Ismail (1983), film sebagai alat komunikasi masa
dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film
itu sebagai media seni an-sich, sebagai media seni tok dan menterapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi
hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak memperdulikan norma,
nila-nilai selain daripada ukuran-ukuran mereka sendiri sebagai seniman. 10
Usmar Ismail juga mengkritik pemahaman film-film yang dibuat
berdasarkan segi komersil belaka, menurutnya film sifatnya tidak lagi
memberikan sekedar hiburan saja, tetapi dengan sengaja merangsang dan
menghidupkan gairah nafsu yang rendah, dan membangkitkan histeri manusia.
Di bidang sinematografi, ekses-ekses komersialisme ini menampakkan diri
dalam film-film sensasional, film-film seks, kejahatan, kekerasan dan
9
Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia,
http://www2.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 10
kekejaman, pendeknya yang dapat membangkitkan bulu tengkuk. Adapun
mengenai persoalan ini perlu diadakan penelitian secara saksama, karena pada
umumnya film-film yang dibikin, dimana pun di dunia dewasa ini tidak bisa
dilepaskan sama sekali dari perhitungan untung rugi. Baik di Negara-negara
sosialis di mana Negara yang menjadi produsernya ataupun Negara-negara
kapitalis di mana swasta yang menjadi pengusahanya, maupun di negara-negara
Pancasila seperti Indonesia, umumnya film-film dibuat dengan pengharapan
untuk pasaran yang seluas-luasnya. Hanyalah dalam pertimbangan
masing-masing produser itu ada perbedaan yang bertingkat-tingkat.11
Usmar Ismail dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa bagi sineas-sineas
Muslim Indonesia, yang harus diutamakan adalah juga patriot bangsa, adalah
menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah
Islamiyah. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu
problem yang sukar, justru karena filsafat negara dan bangsa Indonesia sudah
dicakup oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian tiap pengungkapan ayat
Allah serta kata perbuatan Rasulullah Saw, secara sinematografis dengan
sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang berpucukkan takwa
kepada Allah SWT. Dan selanjutnya pengungkapan-pengungkapan ajaran Bung
Karno, yang sudah disimpulkan beliau dalam ajimat revolusi yang semuanya
adalah juga diajarkan Islam, bagi para seniman Muslimin dalam
pemikiran-pemikiran menghadapi kewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk
mendapatkan kerelaan Allah SWT kelak di alam baka. Karena memang Allah
menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat.12
11
Usmar Ismail,Usmar Ismail Mengupas Film.(Cet. I Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983). Hal 98-9
12
Usmar Ismail dalam tulisannya mengatakan bahwa jika penulis-penulis
Muslimin sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat
dalam ayat-ayat Allah serta hadis-hadis sahih Nabi Besar Muhammad SAW dan
mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada
suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar
diabdikan di atas jalan Allah. Ini berarti bahwa kita tidak boleh membuat
film-film, apalagi yang komersial tujuannya seperti film-film keagamaan: “The Ten
Commandements” atau “King of Kings”. Tetapi jika seniman Muslimin di
dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela
kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum Marhaen dan
segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah
fardhu kifayah baginya. Artinya, itu adalah suruhan Allah yang mesti dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan”. 13
Dalam pada itu, Usmar Ismail menambahkan bahwa membuat film
untuk maksud komersial semata-mata, seperti yang telah dikemukan di atas
dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka
hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi para sineas Muslimin, yaitu mengabdikan
karya-karya mereka di atas jalan yang telah diredlai Allah yang pada hakikatnya
jalan ini cukup lebar, luas dan lapang untuk bergerak. Justru karena
sumber-sumber ilham adalah langsung dari wahyu Ilahi seperti yang telah dimaktubkan
di dalam kitab suci Alquran dan seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Besar
Muhammad SAW. 14
13
Usmar Ismail, Usmar Ismail… Hal 100 14
Adalah film besutan Asrul Sani yang berjudul Titian Serabut Di Belah Tujuh 15 yang di produksi pada tahun 1959 disebut-sebut sebagai tonggak kelahiran film bergenrekan agama, film ini mengisahkan seorang guru agama
yang bernama Efendi yang diutus ke sebuah desa yang penduduknya sudah
kehilangan panutan dan film ini memperlihatkan kondisi sosial keagamaan di
Tanah Air. Apabila kita pehatikan dengan seksama poduksi film Indonesia
setelah pasca kemerdekaan memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda di
bandingkan sebelum kemerdekaan. Pembuatan film Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1926, semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Tujuan pembuatan
film di masa itu jauh lebih sederhana, yaitu untuk kepentingan dagang. Para
pembuat film di masa itu bukanlah orang-orang yang memiliki latar belakang
budaya dan politik yang ingin menjadikan film sebagai salah satu bentuk
budaya bangsa. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer, menyatakan,
bahwa “umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu”. Dengan kata lain, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat
dalam hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa
itu.16
Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat melihat perbedaannya cukup
tajam antara film yang di produksi sebelum kemerdekaan dengan film yang di
produksi sesudah kemerdekaan. Pada masa pasca kemerdekaan filmdibuat
15
Film Titian Serabut Di Belah Tujuh di produksi lagi pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Chaerul Umam dan penulis skenarionya tetap pada Asrul Sani. Secara substansial film yang diproduksi kembali ini tidak ada perubahan yang signifikan pada ceritanya.
16
membantu “revolusi Indonesia” dengan film dan dengan demikian impian
mereka memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia
jadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi untuk mendorong dialog
dalam diri setiap penonton hingga ia dapat memperoleh gambaran yang lebih
jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya. 17 Begitupun Film-film yang
bertemakan agama dalam hal ini film-film Islam. Sudut pandang yang
disuguhkan dalam film Islam adalah mencoba merepresentasikan dan
mengartikulasikan pengejahwantahan nilai-nilai ajaran Islam yang
mendasarkan pada kondisi sosio-historis masyarakat atau umat untuk mencapai
sebuah dialog antara yang di tonton dengan yang menonton.
Kehadiran film-film yang bertemakan Islam penting artinya sebagai
media untuk mengartikulasikan dan merepresentasikan Islam kepada
masyarakat yang notabene mayoritas beragama Islam. Berbicara film Islam tak
terlepas dari konteks yang melingkupinya, kehadirannya tidak hanya
menyuguhkan keberagamaan yang simbolik namun substansi keberislaman
yang ditampilkan sebagai bagian dari misi profetik dalam menyiarkan Islam.
Namun sebelum itu, saya akan menguraikan sedikit ekspresi kebudayaan Islam
di mana film juga memainkan peranan yang signifikan bagi kebudayaan Islam.
Pada dasarnya, ekspresi kebudayaan Islam tak terlepas dari sistem nilai dalam
ajaran Islam sebagai bentuk menifestasi dalam mengaktualisasikan ajaran Islam
yang bersumbu pada doktrin tauhid. Di bawah ini saya akan menguraikan
secara singkat konsepsi ajaran Islam yang memiliki implikasi pada karya seni
dan kebudayaan Islam.
17
Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep
sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan
bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep
tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan
manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus
diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci
dari seluruh ajaran Islam.
Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik
kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu
keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan
dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu
diaktualisasikan menjadi amal, bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid,
harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah
zakat-misalnya-adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah
terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep
teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia
harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk
kepantingan manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang merupakan
nilai-inti (core-value)dari seluruh ajaran Islam.18
18
Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Al-Kautsar,
film yang telah memenangi penghargaan pada Festival Film Asia XVIII di
Bangkok untuk kategori Tata Suara terbaik 19 adalah melakukan dakwah
Islamiyah dengan menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit yang dilakukan oleh tokoh protagonis Saiful Bahri dalam mengaktualisasikan
ajaran Islam yang sesuai dengan konteks emansipasi dan pembebasan. Usaha
Saiful Bahri dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah memberikan
perubahan yang signifikan bagi desa sekarlangit dengan menggagas dan
mengimplentasikan Islam yang berpihak pada transformasi sosial. Memang
pada awal mulanya usaha untuk merintis gagasan Islam yang transformatif
banyak mendapatkan tentangan terutama dari Haji Musa tokoh ulama setempat
yang sangat disegani, ditambah ulah seorang tengkulak yang bernama Tuan
Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Saiful Bahri
dalam menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit. Maka, penulis dengan ini mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan penulis
memberi judul: “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar”
A. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi
penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas
pada kajian ini. Penulis hanya membatasi pada isi film Al-Kautsar, dalam hal
penulis mengupas jalan cerita film Al-Kautsar dan relevansinya dengan gagasan
mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi.Cet. VIII. (Bandung: Penerbit Mizan. 1998). Hal 228-229
19
pembaruan Islam—penulis melakukan analisis tinjauan dari konteks konsepsi
amar ma’ruf nahi mungkar dan analisis tinjauan perspektif komunikasi
antarbudaya yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Berdasarkan
pembatasan di atas, maka rumusan yang diajukan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penjabaran kontekstualisasi gagasan pembaruan Islam dalam film
Al-Kautsar?
2. Bagaimana penjabaran analisis tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya dalam
film Al-Kautsar?
3. Bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan
ditetapkan dalam film Al-Kautsar?
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan
di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di
antaranya:
1. Untuk dapat mengetahui hubungan film Al-Kautsar dengan konteks gagasan
pembaruan Islam—dalam hal ini tinjauan konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar.
2. Untuk dapat mengetahui tinjauan teoritis Komunikasi Antar Budaya dalam film
Al-Kautsar.
3. Untuk dapat mengetahui unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung
dalam film Al-Kautsar.
Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui dengan jelas hubungan film Al-Kautsar dengan gagasan pembaruan
Islam terutama konsepsi mengenai amar ma’ruf nahi mungkar
2. Mengetahui dengan jelas analisis tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam
3. Mengetahui dengan jelas unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung
dalam film Al-Kautsar
4. Menjelaskan dan mengetahui secara umum unsur-unsur budaya yang
menentukan dalam proses Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar.
5. Memberikan informasi tentang unsur-unsur budaya yang secara langsung
pengaruhnya terhadap makna dan persepsi dalam konteks Komunikasi Antar
Budaya.
6. Menjadi sumbangan sederhana bagi wacana keilmuan tentang representasi
Islam dalam film dan diskursus yang berjalin kelindan antara gagasan
pembaruan dan konservatisme.
C. Metodologi Penelitian
Dilihat dari segi tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.
Sedangkan dilihat dari segi jenis data, penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi
kepustakaan, yakni dengan cara mencatat dan mendokumentasikan informasi
dari bahan-bahan tertulis, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari naskah
skenario film Al-Kautsar dan materi film Al-Kautsar dalam format DVD
sebagai landasan analisis dan pendapat-pendapat para ahli dari berbagai literatur
yang ada seperti buku-buku, jurnal, makalah, tulisan-tulisan lain termasuk di
internet yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
Di samping itu diterapkan juga teknik wawancara. Observasi dan
wawancara dilakukan untuk memperkuat data-data primer yang bersumber dari
naskah film al-Kautsar dan materi filmnya. Peneliti sendiri merupakan alat
mewawancarai yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok
bahasan yang akan dibahas. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait.
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, yaitu
penulis berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat
khusus, kemudian membuat spesialisasi analisis sehingga dapat ditarik
kesimpulan yang bersifat umum. Pendekatan induktif jelas pada beberapa jenis
analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai yang digambarkan oleh
beberapa penulis penelitian kualitatif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk
membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui
pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar. Pendekatan ini
jelas dalam analisis data kualitatif. Ada yang menjelaskan secara gamblang
sebagai induktif dan lainnya menggunakan pendekatan tanpa memberikan nama
secara eksplisit.20
Dalam penelitian ini, saya berangkat dari pendekatan analisis data
kualitatif, di mana data-data yang penulis peroleh berasal dari sumber-sumber
yang terdapat dari film Al-Kautsar dan kemudian di sintesiskan dengan data
yang bersumber pada konteks film Al-Kautsar. Jadi, data yang ada sesuai
dengan konteks film yang penulis teliti, artinya memiliki relevansinya dengan
objek penelitian penulis. Adapun Teknik dan sistematika Penulisan skripsi
berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi ,Tesis, dan Disertasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.
E. Sistematika Penulisan
20
Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang
terdiri dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai
berikut:
Bab Idiawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II menjelaskan tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan tinjauan
teoritis tentang teori film, yang meliputi: pengertian film, elemen-elemen dalam
film, struktur film.
Bab III menguraikan gambaran umum tentang film Al-Kautsar. Pada bab ini menjelaskan tentang cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar, relevansi film
ini dengan konteks gagasan pembaruan Islam, representasi Islam dalam sinema,
dan profil pembuat film Al-Kautsar dalam hal ini sutradara Chaerul Umam dan
Asrul Sani yang melatari pembuatan film ini dan platform apa yang mereka
anut sehingga film ini dibuat.
Bab IV merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar
dan korelasinya dengan konteks perdebatan gagasan pembaruan Islam dan
keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tinjauan teoritis komunikasi antar
budaya dan unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya dengan disertai tabel yang
Bab V merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan jawaban
terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.
Lampiran-lampiran. Berisikan naskah wawancara, dokumentasi tentang film
16 TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya 1. Teori Komunikasi Antar Budaya
Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Lustig dan Koester dalam jurnal
Intercultural Communication Competence, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang
dilakukan oleh sejumlah orang- karena memiliki derajat kepentingan
tertentu-memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampikan
dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Dalam
bukunya, Alo Liliweri menambahkan satu pendapat lagi mengenai teori
komunikasi antarbudaya dari Guo-Ming Chen dan William J. Starosta yang
mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau
pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka
dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. 1
Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan
sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat
perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk
merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus
ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal dan non-verbal. Hal
ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari
kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal,
misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat
1
ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak tampak dijelaskan, tidak
bermanfaat, bahkan tampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu
masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi
antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini,
kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku
komunikasi manusia. 2
Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat
pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana
teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat di terapkan. Dalam rangka memahami
kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:
1. Komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan
persepsi antar komunikator dengan komunikan.
2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.
3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.
4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.
5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.
6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.3
Disini penulis dengan mengutip dari Alo Liliweri dalam bukunya
menjabarkan secara singkat beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya yang
telah ditulis diatas:
1. Tujuan Komunikasi Antarbudaya: Mengurangi Tingkat Ketidakpastian
Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan
komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang
2
Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2
3
lain. Gudykunst dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak
kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang
tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu
dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:
(1) pra-kontrak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun
non-verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi);
(2)initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut; misalnya anda bertanya pada diri sendiri; Apakah saya
seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau
berkomunikasi dengan dia?;
(3)closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus
lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku
atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa mendorong dia berkata,
berpikir atau berbuat demikian? Kalau seorang menampilkan tindakan yang positif
maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang itu, karena
dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan
yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula.
Sementara itu kita pun dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu
melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit.
2. Komunikasi Berpusat pada Kebudayaan
Menurut John B. Gatewood (1999) tentang hubungan antara keberadaan
manusia (baca: melalui komunikasi) dengan kebudayaan, yaitu bahwa: (1)
)”trait-complexes” are the unit). Gatewood sendiri menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusiaan itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh
periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk,
metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka
komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan
itu sendiri merupakan komunikasi.4
Sedangkan menurut Smith (1976) bahwa “Komunikasi dan kebudayaan
tidak dapat dipisahkan”. Atau Edward T. Hall mengatakan: “ Komunikasi adalah
kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada dua
jawaban; pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata
cara pertukaran simbol-simbol komunikasi dan kedua, hanya dengan komunikasi
maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis
jika ada komunikasi.
3. Tujuan Komunikasi Antarbudaya adalah Efektivitas Antarbudaya
Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan
berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula dikatakan bahwa
interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya.
Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan
tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya
menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui
relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan sebuah manajemen
komunikasi yang efektif. 5
4
Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2
5
2. Proses Komunikasi Antarbudaya
Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Wahlstrom mengatakan bahwa
pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi
yang lain, yakni yang interaktif dan transaksional serta dinamis. Komunikasi
antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik (two way communication) namun masih tahap rendah. Alo Liliweri dengan mengutip Hybels dan Sandra mengatakan
bahwa komunikasi antarbudaya memasuki tahap transaksional apabila ada proses
pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami
perasaan dan tindakan bersama.
Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yakni; (1) keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus-menerus dan
berkesinambungan atas pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri
waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; (3)
partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu. Baik
komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat
dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup,
berkembang dan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu.
Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau
“penghidup” bagi proses komunikasi tersebut. 6
6
B. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya
Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya terkait erat dengan persoalan
persepsi. Pengertian persepsi dalam konteks KAB ialah proses penyeleksian yang
sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, proses penyeleksian atau penyaringan adalah
salah satu fungsi dari kebudayaan bagi anggota-anggota kelompok budaya yang
memiliki budaya tersebut, dalam menghadapi lingkungan ekstern. Kebudayaan lalu
menentukan apa-apa saja yang perlu diperhatikan dan yang perlu dihindari. Fungsi
penyaringan disini diartikan melindungi sistem syaraf manusia dari kejenuhan
informasi. Kejenuhan informasi atau information load ada kaitannya dengan sistem pemrosesan informasi untuk menggambarkan suatu situasi yang kacau dan macet pada seseorang karena bertimbunnya informasi yang masuk. Proses penyeleksian
yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan ini, dikenal dengan istilah dan pengetian
persepsi. Tentu saja persepsi itu bersifat subyektif sepanjang menentukan perilaku
termasuk perilaku komunikasi.7
Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,
mengevaluasi dan juga mengorganisasikan stimulasi (rangsangan) dari lingkungan
eksternal. Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik
lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk perilaku
tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini adalah hasil
pengalaman budaya. Oleh karena itu KAB lebih dapat dipahami sebagai perbedaan
budaya dalam mempersepsi peristiwa dan objek-objek tertentu. Sesuatu masalah
dapat timbul karena rangsangan yang sama, kadang-kadang dipersepsi secara
berbeda-beda oleh individu dalam kelompok berbeda. Masing-masing individu,
kelompok budaya yang berbeda melihat dengan perspektifnya sendiri. Jika kita
7
bermaksud meningkatkan kemampuan bergaul dengan orang-orang yang
kebudayaannya berbeda-beda, perlulah kita memahami jawaban (respons) arah
perseptual mereka. Perlu disadari bahwa kebudayaan itulah yang umumnya
menentukan standar ukuran-ukuran persepsi itu. Oleh karena itu dapat diartikan
bahwa pemahaman tentang persepsi bermanfaat sebagai landasan memahami
hubungan antar kebudayaan dan persepsi itu sendiri. 8
Kembali pada pemahaman keterpaduan hubungan persepsi dengan
unsur-unsur budaya dalam kita berkomunikasi. Unsur-unsur-unsur budaya disini laksana suatu
stereo, setiap unsur budaya berfungsi saling berhubungan dan saling membutuhkan
antara satu unsur dengan lainnya. KAB dipahami sebagai perbedaan budaya
mempersepsi dunia, manusia dan peristiwa. Perlu dipahami benar bahwa
masalah-masalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi bersumber dari
perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan
bagaimana kerangka persepsi orang lain tentang pemilihan, penilaian dan
tindakannya terhadap dunia, manusia dan peristiwa di lingkungan eksternal. Dalam
KAB diupayakan banyak persamaan pengalaman dan persepsinya sungguhpun ciri
kebudayaan itu sendiri banyak menimbulkan perbedaan dalam pengalaman dan
persepsi.9
Samover et.al (1981:38-48) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam
tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat
mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan
tingkah laku komunikasi. Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat
8
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58.
9
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58.
9
beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses KAB
unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu
bersama-sama seperti komponen-komponen dari suatu sistem stereo—karena
masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan yang lainnya. 10
Unsur-unsur komunikasi dalam kajian KAB, dikenal tiga unsur sosial
budaya utama yang besar dan secara langsung pengaruhnya terhadap makna dalam
persepsi kita ialah sebagai berikut:
- sistem kepercayaan/keyakinan (belief),nilai-nilai (values), sikap (attitude) - pandangan dunia(worldview)
- organisasi sosial(social organization).
Pengaruh makna dalam persepsi dari tiga unsur utama sosial budaya tersebut
selanjutnya mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif,
seperti orang melihat sesuatu objek (dunia, manusia dan peristiwa) secara umum
melalui nama, istilah, dan tanggapan itu, sama. Tetapi dari segi pandangan
kepribadian (subjektif) seseorang, berbeda.11
Disini penulis akan menjabarkan masing-masing unsur budaya tersebut
yang menentukan dalam proses KAB.
1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap. 1.1 Sistem Keyakinan
Keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara subyektif
bahwa sesuatu obyek atau peristiwa ada hubungannya dengan obyek atau peristiwa
lain, atau dengan nilai, konsep, atribut tertentu. Singkatnya, suatu obyek atau
10
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25
11
peristiwa diyakini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Keyakinan ini
mempunyai derajat kedalaman atau intensitas tertentu.
Ada 3 macam keyakinan, yaitu: (a) keyakinan, berdasarkan pengalaman
(experinsial); (b) keyakinan berdasarkan infornasi (Informasional) dan (c)
keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferensial).
a. Keyakinan dapat terbetuk melalui pengalaman langsung. Melalui indera peraba,
kita belajar untuk mengetahui dan kemudian meyakini bahwa obyek atau peristiwa
tertentu memiliki karakteristik tertentu. Kebudayaan, sebaliknya sangat
mempengaruhi pembentukan keyakinan berdasarkan informasi dan pengambilan
kesimpulan.
b. Keyakinan berdasarkan informasi dibentuk melalui sumber-sumber luar sperti
orang-orang lain, buku, majalah, televisi, film. Sumber-sumber inipun biasanya
kita pilih karena keyakinan kita akan kebenarannya. Keyakinan semacam ini
sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor kebudayaan. Seringkali
pembentukannya tergantung pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi, yaitu
keyakinan akan otoritas (kewenangan) seseorang atau lembaga atas topik-topik
atau masalah-masalah tertentu. Misalnnya, jika kita percaya bahwa surat kabar
Kompas merupakan sumber pemberitaan yang bersifat netral, maka kita yakin dan
percaya akan kebenaran isi beritanya. Latar belakang dan pengalaman kebudayaan
berperan penting dalam pembentukan keyakinan berdasarkan informasi ini. Dalam
komunikasi Antar Budaya, tidak dapat dikatakan keyakinan mana yang salah atau
benar.
c. Keyakinan yang dibentuk berdasarkan pengambilan kesimpulan melibatkan
terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan bahwa tingkah laku
tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan atau emosi tertentu.
1.2 Sistem Nilai
Nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai dan
sikap. Dimensi-dimensi evaluatif mencakup kualitas-kualitas seperti kegunaan,
kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan.
Walaupun nilai-nilai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang
cenderung untuk sudah merasuk dalam suatu kebudayaan, yakni yang disebut
nilai-nilai kebudayaan.
Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara
keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif,
karena memberikan informasi pada anggota kebudayaan tentang apa yang baik dan
buruk, yang benar dan salah, yang postif dan negatif, apa yang perlu diperjuangkan
dan dilindungi, apa yang perlu ditekuni dan lain-lain. 12
Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai (values) yang ada, sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai,
dan sikap, yang meliputi kualitas atau asas-asas seperti:
-Kemanfaatan
-Kebaikan
-Keindahan (estetika)
-Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan
Di antara nilai-nilai (values) itu ada yang sudah membaku dan meresap
lama melalui proses internalisasi kepada individu-individu. Yaitu yang dinamakan
nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya dengan agama sehingga
12
sering istilahnya digabung menjadi sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama.
Umumnya nilai budaya dan nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa
yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan
yang palsu, yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang mubazir, dan
sebagainya. Kesemua nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari sistem
kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku mana yang baik dan
buruk, mana yang dituruti dan dihindari. Nilai-nilai inilah yang disebut nilai
normatif karena dianggap sudah diterima menjadi peraturan yang berlaku, seperti
bidang agama, atau lalu lintas ataupun di kantor. Yang penting dalam KAB bahwa
nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif sehari-hari
sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk mengurangi atau mengatasi
suatu konflik. 13
1.3 Sistem Sikap
Kepercayaan atau keyakinan serta nilai-nilai menyumbang pada atau
melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Secara formal, sikap
dirumuskan sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respons
secara konsisten terhadap objek orientasi tertentu.
Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu:
a. Komponen kognitif atau keyakinan
b. Komponen afektif atau evaluatif
c. Komponen intensitas atau harapan.
Intensitas dari sikap berlandaskan pada derajat penyaluran akan kebenaran
dari keyakinan dan evaluasi. Kerja komponen sikap tersebut berinteraksi untuk
menciptakan keadaan siap secara psikologis untuk bereaksi terhadap obyek-obyek
13
dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan. Sikap dipelaajri atau dibentuk dalam
konteks budaya. Sikap ini kemudian mempengaruhi kesiapan untuk memberi
respons dan tingkah laku. Pengaruh kebudayaan terhadap sistem keyakinan, nilai
dan sikap dapat terlihat dalam contoh menyerupai pertarungan antara binatang
banteng dengan orang yang berasal dari negara Spanyol. Bagi sejumlah orang di
Amerika, kekejaman terhadap binatang adalah perbuatan yang salah. Contoh dan
kekejaman ini ialah kegiatan secara sistematik untuk membuat lemah dan
kemudian membubuh binatang banteng tersebut. Akibatnya banyak orang Amerika
Serikat yang memandang pertandingan manusia binatang dalam rangka sifat yang
negatif dan secara aktif akan menghindarkan diri dari kemungkinan terekspose
pada peristiwa tersebut. Tetapi bagi orang Amerika Latin, pertarungan manusia
dengan banteng diyakini sebagai cara untuk mempertunjukkan keberanian
sehingga dinilai positif.14
2. Pandangan Dunia
Unsur budaya ini berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup manusia
terhadap makhluk dan masalah-masalah filosofis mengenai Tuhan, kemanusiaan,
alam, alam semesta. Pandangan hidup ini bersifat abadi dan merupakan landasan
budaya. Konsep pemahamannya cukup sulit karena sangat abstrak di antara
unsur-unsur kebudayaan.15 Unsur kebudayaan ini, walaupun sebagai konsep dan
deskripsi bersifat abstrak, tetapi merupakan salah satu yang terpenting dari
aspek-aspek perseptual komunikasi antar budaya. Karena sifatnya yang kompleks,
14
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 27- 28
15
kadang-kadang sulit untuk memisahkan dan mengindentifikasikannya dalam suatu
peristiwa antara budaya. 16
Pandangan hidup merupakan landasan pokok yang paling mendalam dari
suatu kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat terlihat
secara nyata seperti misalnya cara-cara berpakaian, gerak isyarat dan
perbendaharaan kata. 17 Apalagi pandangan hidup tersebut menyebar, menjiwa
serta membudaya ke dalam keseluruhan aspek kebudayaan. Dalam pandangan
hidup itu melekat pula kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan aspek-aspek kebudayaan
lainnya.18
3. Organisasi Sosial
Organisasi sosial sebagai unsur budaya, merupakan cara bagaimana
suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana lembaga-lembaganya
mempengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia serta
bagaimana pula mereka berorganisasi.19 Ada dua macam bentuk pengaturan sosial
yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya:
a. Kebudayaan geografik, yakni negara, suku-bangsa, kasta, sekte keagamaan dan
lain sebagainya yang dirumuskan berdasarkan batas-batas geografik.
b. Kebudayaan-kebudayaan peranan, yaitu keanggotaan dalam posisi-posisi sosial
yang jelas batasannya dan lebih spesifik, sehingga menghasilkan perilaku
komunikasi yang khusus pula. Pengorganisasian masyarakat atas dasar peranan ini
melintasi organisasi masyarakat secara geografik dan mencakup seluruh
16
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28
17
Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28-29
18
Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 63
19
organisasi-organisasi yang menekankan ideologi-ideologi tertentu. Karena
kebudayaan-kebudayaan peranan mangajarkan cara-cara berperilaku dalam
posisi-posisi sosial khusus, maka jelas pengaruhnya terhadap komunikasi antarbudaya.
Misalnya, seorang tenaga pengajar di Indonesia telah mempelajari seperangkat
cara-cara bertingkah laku komunikasi yang sangat berbeda dari apa yang dipelajari
dan dimiliki oleh seorang pelacur di Amerika. Dalam hal ini, dua kebudayaan
peranan sosial telah memberikan batasan kepada masing-masing anggotanya
pola-pola bertingkah laku tertentu dan menentukan jaringan komunikasinya. Apalagi
anggota dari kebudayaan-kebudayaan geografik mungkin menemukan kesulitan
dalam proses komunikasi antar budaya karena latar belakang pengalaman yang
sangat berbeda sehingga kerangka acuan berbeda pula, maka anggota-anggota dari
kebudayaan peranan mungkin lebih mudah untuk berkomunikasi dalam batasan
peranan-peranannya walaupun mereka berasal dari kebudayaan-kebudayaan
geografik yang berbeda.20
Beberapa unit-unit sosial yang dominan berpengaruh dalam suatu
kebudayaan ialah: keluarga, sekolah dan lembaga keagamaaan. Institusi-institusi
ini bertanggungjawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain
dan pelestariannya. Kita semua merupakan anggota dari bermacam-macam
institusi sosial, yaitu dari yang berjangka waktu lebih singkat seperti sekolah,
sampai pekerjaan. Semua institusi ini mempunyai derajat pengaruh tertentu
terhadap pembentukan diri dalam kebudayaan. Semua unsur-unsur sosial budaya
di atas mempengaruhi proses-proses persepsi. Walaupun demikian daftar dari
unsur-unsur budaya itu bersifat terbatas (“exhaustive”). Segala segi atau aspek
kebudayaan dapat dimasukkan ke dalam macam-macam cara klasifikasi dan cara
20
analisis. Bagaimanapun dua hal yang perlu ditegaskan, yakni: (1). Apa yang
dipersepsikan sebagai hal yang penting bervariasi dari satu kebudayaan ke
kebudayaan lain; (2) Apa yang dikomunikasikan oleh dan bagaimana seseorang
berkomunikasi meruapakan pencerminan dari apa yang dipersepsikan oleh
kebudayaannya. 21
Harris dan Moran (1979) mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai
model sederhana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara
sistematik, yakni:
(a). Komunikasi dan Bahasa
(b). Pakaian dan penampilan
(c). Makanan dan cara makan
(d). Konsep dan kesadaran tentang waktu
(f). Pemberian imbalan dan pengakuan
(g). Hubungan-hubungan
(h). Konsep kesadaran diri dan jarak ruang
(j). Keyakinan (kepercayaan) dan sikap.
Harris dan Moran juga mengakui bahwa kategorisasi tersebut belum
mencakup semua aspek kebudayaan atau satu-satunya cara untuk menganalisis
kebudayaan. Hanya diingatkan oleh mereka bahwa semua aspek kebudayaan saling
berkaitan sehingga berubahnya salah satu aspek atau bagian dapat mengakibatkan
berubahnya keseluruhan. Harris dan Moran juga menyatakan bahwa ada berbagai
macam cara pendekatan anthropologis terhadap analisis kebudayaan. Selain yang
21
telah disebut tadi, ada alternatif lain yang bisa dipilih, yakni pendekatan sistem
yang terkoordinasi.22
C. Teori Film
Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik
lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin
dalam susunannya yang beragam itu. Seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film
juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan massa, sama
baiknya dalam saling pengaruh-mempengaruhi secara halus antara cahaya dan
bayang-bayang. Sebagian besar dari petunjuk-petunjuk komposisi fotografi yang
dijadikan anutan dalam film juga sama dengan yang dipergunakan dalam seni lukis
dan seni pahat. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog.
Seperti musik dan khususnya seperti puisi ia berkomunikasi melalui citra, metafora
dan lambang-lambang. Laksana pantomime, film memusatkan diri pada gambar
bergerak dan seperti tari, gambar bergerak itu memiliki sifat-sifat ritmis tertentu.
Akhirnya seperti novel, film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu
dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak-majukan atau
memundurkannya secara bebas dalam batas-batas wilayah yang cukup lapang dari
kedua dimensi ini.
Tapi biarpun antara film dan media terdapat kseamaa-kesamaan, film
adalah sesuatu yang unik, yang dibedakan dari segenap media lainnya karena
sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap. Berkat unsur ini, film dapat
melangkahi keterbatasan statis lukisan dan hasil seni pahat pada segi keruwetan
pikatan daya tariknya dan sekaligus berkomunikasi serentak dengan
22
mempergunakan penglihatan, suara dan gerak. Film melebihi drama karena ia
memiliki kemampuan ajaib dalam mengambil sudut pandangan yang
bermacam-macam. gerak, waktu dan karena rasa ruang yang tak terbatas yang bisa ia
timbulkan. Berbeda dengan drama panggung, film punya kesanggupan untuk
menyajikan suatu arus yang terus menerus dan tak terpatah-patah, yang
mengaburkan atau mengecilkan transisi waktu dan tempat sambil tetap
mempertahankan suatu kejernihan dan kejelasan. Berbeda dari novel dan sajak,
film berkomunikasi tidak melalui lambang-lambang abstrak yang dicetak di atas
halaman kertas (sehingga memerlukan peterjemahan oleh otak ke pelukisan visual
dan suara), tapi langsung melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata.
Selanjutnya, film memiliki kseanggupan untuk menangani berbagai –bagai
subyek yang tidak terbatas ragamnya.
Dalam buku The Art of The Film, Ernest Lindgreen antara lain menyatakan:
Adalah mustahil untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film. Dari kutub sampai khatulistiwa, dari Grand Canyon sampai ke cacat yang sekecil-kecilnya pada sepotong baja, dari desing lajunya sebutir peluru sampai kepada kelambanan pertumbuhan setangkai bunga, dari kejapan fikiran pada wajah yang hampir-hampir tidak member ksean apapun, sampai pada hingar-bingarnya ocehan seorang gila, tidak ada satu titik pun dalam ruang, tidak ada kadar besar atau cepatnya gerak yang mungkin difahami manusia, yang tidak berada dalam jangkauan film.
Film tidak hanya tak terbatas dalam lingkungan subyeknya, tapi pun dalam
cakupan cara pendekatan pada materi tersebut. dalam suasana dan cara pengerjaan,
ia bisa berada antara suasana yang liris dan nada yang epis; dalam soal sudaut
pandangan ia bisa meliputi seluruh spektrum dari yang bersifat obyektif murni
memusatkan diri pada permukaan realitas dan pada yang bersifat sensual murni,
atau menggali sesuatu yang bersifat intelektual dan falsafi.
Dalam soal dimensi, waktu, film dapat berpaling ke belakang dan
memandang kea rah kelampauan yang jauh, atau menyusup ke depan, ke kanan
yang jauh. Ia bisa membuat beberapa detik terasa seperti beberapa jam. Ia dapat
memadatkan satu abad menjadi beberapa menit. Akhirnya, film sanggup
menghidupkan seluruh spektrum kepekaan manusia, mulai dari yang paling
lembut, halus, rapuh, dan indah sampai kepada yang kasar, kejam dan memuakkan.
Tapi yang lebih penting lagi daripada ketidak-terbatasan ruang lingkup
media film ini menyangkut sasaran utama dan penanganannya adalah citarasa
kenyataan yang melimpah ruah yang dapat ia sampaikan, tanpa menghiraukan sifat
dasar daripada masalah intinya itu. Citarasa kenyataan dalam film ini terutama
bersumber pada arus penglihatan, arus suara dan arus gerak yang serba
berkesinambungan yang terdapat dalam media ini, yang keseluruhannya
merupakan modal dasar sinematik, yang mampu membuat segala yang tampak
pada layar seakan-akan tengah berlangsung pada saat yang sama dan menjadikan
penonton benar-benar terbenam dalam angan yang paling lengkap dan mutlak yang
diemban oleh film adalah bentuk dan dampak emosional dari realita yang paling
telanjang. 23
Sedangkan menurut André Bazin24 sinema adalah fenomena gagasan.
Gagasan yang direka manusia itu sudah ada secara lengkap di benaknya.25
23Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film (The Art of Watching Film)diterjemahkan oleh Asrul Sani, Jakarta:Penerbit Yayasan Citra, 1992. Hal 4-6
24