• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif komunikasi antar budaya dalam Film Al-Kautsar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perspektif komunikasi antar budaya dalam Film Al-Kautsar"

Copied!
144
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh

RINAL RINOZA NIM: 104051001846

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

i Abstrak

Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar

Film ini berkisah tentang seorang santri Pondok Pesantren Pabelan yang bernama Saiful Bahri yang dikirim untuk mengajar ke sebuah desa. Tekadnya untuk menegakkan kebenaran agama banyak menghadapi rintangan terutama dari Tuan Harun yang memfitnahnya dan sikap Haji Musa selaku tokoh agama yang disegani di kampung tersebut yang kurang bersimpati kepada Saiful karena perbedaan pandangan keagamaan. Dalam setiap dialog yang terjadi antara Haji Musa dan Saiful acapkali diwarnai perbedaan, Haji Musa disatu sisi konservatif dan Saiful Bahri disisi lain reformis yang membawa gagasan pembaruan di desa tersebut.

Dalam film ini bagaimana usaha Saiful Bahri untuk menegakkan kebenaran dengan meretas jalan dakwah melalui nilai-nilai pembaruan yang ia bawa dari Pesantrennya untuk diimplementasikan di desa sekarlangit. Bagaimana pula usaha Saiful untuk meyakinkan Haji Musa dan penduduk desa terhadap gagasan pembaruannya dan membuktikan dirinya bersih dari segala tuduhan fitnah yang ditimpakan kepadanya.

Secara teoritis, saya mendasarkan pada teori komunikasi antar budaya. Dalam pada itu, komunikasi antar budaya terjadi dalam ragam situasi yang berkisar dari interaksi-interaksi antara orang-orang yang mempunyai budaya dominan yang sama tetapi mempunyai subkultur yang berbeda.

Secara metodologis, skripsi ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis. Metodologi ini digunakan karena sesuai dengan konteks film Al-Kautsar yang mengisahkan perbedaan antara kedua pemahaman dalam menginterpretasikan ajaran Islam dan keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan kebenaran menuju perubahan di penduduk desa sekarlangit.

Kedatangan Saiful Bahri tokoh protagonis dalam film ini menimbulkan konflik karena ketidaksenangan tokoh antagonis yang diwakili Tuan Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk melenyapkan Saiful mulai dari percobaan pembunuhan, memfitnah Saiful melakukan hubungan serong dengan seorang janda yang bernama Halimah hingga pengrusakan Madrasah yang ia kelola. Selain itu, mula-mula kehadiran Saiful menimbulkan pertentangan dengan Haji Musa tokoh ulama setempat yang sangat dihormati karena Saiful membawa gagasan-gagasan pembaruan dalam Islam dan setiap dialog yang terjadi dengan sangat jelas memperlihatkan perbedaan pandangan tersebut.

(3)

ii Bismilahirahmanirahim

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia dan

nikmat-Nya dan tak lupa penulis sampaikan salawat serta salam kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW yang telah memberikan inspirasi bagi para mujaddid-mujaddid untuk melakukan pencerahan kepada umat Islam.

Penulis merasa bersyukur atas selesainya skripsi ini dengan perjuangan yang panjang selama

1,5 tahun waktu pengerjaan yang sempat tertunda karena berbagai hal dan penulis merasa

bahagia dengan selesainya skripsi ini. Selama waktu pengerjaan yang begitu panjang banyak

sekali pengalaman dan wawasan baru yang penulis dapat untuk memperkaya isi skripsi ini

dan adapun berbagai kekurangan dalam pengerjaan skripsi ini menurut hemat penulis adalah

bagian dari sebuah proses untuk ‘menjadi’. Proses inilah yang mengantarkan penulis sampai

dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan, perhatian, dukungan dan motivasi dari

berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini izinkan penulis untuk menyampaikan penghargaan dan

terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Arief Subhan, MA. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

2. Bapak Drs. Jumroni, M.Si selaku Ketua Jurusan dan Ibu Umi Musyarofah, MA selaku

Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam yang senantiasa membantu

penulis dalam berbagai hal termasuk memberi kemudahan dalam penyelesaian skripsi

ini.

3. Bapak Prof. Dr. Murodi, MA selaku Pembimbing skripsi yang telah memberikan

(4)

iii

Gun Gun Heryanto, M. Si, Dra. Armawati Arbi, M.Si, Dr. Umaimah Wahid, M.Si dan

Drs. Syifak Masyuhudi, M.Si yang telah memberikan insight kepada penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak H. Chaerul Umam selaku sutradara film Al-Kautsar yang penulis teliti di

skripsi ini, terima kasih atas waktu dan pemikirannya dalam pengerjaan skripsi ini.

6. Kedua orang tuaku tercinta, Ismet Tanjung dan Maharni yang telah memberikan kasih

sayang dan doanya yang tak pernah putus yang luar biasa kepada penulis,

karenanyalah aku bisa kuliah. Dan kedua adikku Andio dan Vina yang selalu

mengingatkanku untuk segera selesaikan kuliah.

7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Komunikasi, Perpustakaan FFTV IKJ “Terima kasih Mas Ridwan

copy-an filmnya”, Perpustakacopy-an Sinematek ”Terima kasih materi naskah skenario film

Al-Kautsarnya”, dan Perpustakaan Unika Atmajaya.

8. Mas Ekky Imanjaya yang telah bersedia membantu dengan berkorespondensi via

email dengan memberikan buah pemikirannya mengenai film-film Islam sebagai

referensi yang berharga bagi penulis, juga kepada mas Eric Sasono, bang Hafiz yang

telah membuka cakrawala berpikir penulis tentang konteks kritik film serta Veronica

Kusuma yang baik hati sumbang pemikiran dan buku-buku yang dipinjamkan dan

yang diberikan kepada penulis.

9. Sahabat-sahabatku yang dipertemukan di kelas KPI C 2004: Ray Sangga Kusuma,

Hayustiro, Murniati, Iskandar, Etty Maryati, Agustin Intan serta Edwin Saleh, Lutfi

Anwar, dan teman-teman KPI C 2004 yang lain. Kenangan bersama kalian adalah

(5)

iv

Spirit perjuangan dan persyarikatan yang mempertemukan hati kita. Dan juga

Muhammad Hajid, penulis banyak belajar memahami sebuah kerendahhatian dan

keramahan. Tak ketinggalan Viki Fahmi dan Hilmi Arif yang begitu pengertian dan

memaklumkan tingkah laku penulis.

11. Zakka Abdul Malik dan Irfanul Hakim yang ikut membantu penulis dalam

pengerjaan skripsi ini, thanks foto & tape recordernya!

12. Sahabat-sahabat yang selalu baik padaku: Kesy Wulansari, Intan Leliana, Farah Nurul

Hikam, Arry Susanty, Sa’ada Pueri Natasari, Ana Sabhana, Dhini Utami dan Rina

Amalia Budiati yang di Tasikmalaya terima kasih curahan perhatiannya kepada

penulis. Kalian semua perempuan yang istimewa buat aku!

13. Keluarga keduaku di Ciputat kawan di Komunitas Djuanda. Dan juga

kawan-kawan LS-ADI: Saiful Munir, Rezza,, Ki Bagus Hadikusuma. Rasanya aku jadi muda

terus bersama kalian!

Penulis mohon maaf tidak dapat menyebut satu persatu, tapi dukungan orang-orang yang

telah membantu baik langsung dan tak langsung penulis sangat hargai dan berterima kasih

banyak. Akhirul kalam, penulis haturkan rasa syukur atas selesainya skripsi ini dan semoga

bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Ciputat, 12 Agustus 2010

(6)

iii

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI ...iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

D. Metodologi Penelitian ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya... 16

1.Teori Komunikasi Antar Budaya... 16

2. Proses Komunikas Antar Budaya... 20

B. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya... 21

1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap... 23

1.1. Sistem Keyakinan... 23

1.2. Sistem Nilai... 25

1.3. Sistem Sikap... 26

2. Pandangan Dunia ... 27

3. Organisasi Sosial ... 28

C. Teori Film ... 26

D. Struktur Film ... 31

BAB III FILM AL-KAUTSAR DAN DERIVASI GAGASANNYA A. Gambaran Umum Film Al-Kautsar dan Konteks Historisnya ... 41

B. Relevansi Film Al-Kautsar dengan Gagasan Pembaruan... 54

C. Representasi Islam dalam Sinema: Studi Atas Film Al-Kautsar .. 57

1. Catatan Awal bagi Representasi Islam dalam Sinema Indonesia... 57

2. Representasi dan Film Profetik... 68

3. Film Al-Kautsar sebagai Representasi Islam yang Transformatif ... 69

D. Sekilas Profil Pembuat Film Al-Kautsar... 71

1. Asrul Sani ... 71

2. Chaerul Umam... 73

(7)

iv

(Tinjauan Konsepsi Amar Ma’ruf Nahi Mungkar)... 76

B. Tinjauan Teoritis Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar... 81

C. Tinjauan Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya ... 87

1. Unsur Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap ... 93

2. Unsur Pandangan Dunia ... 102

3. Unsur Organisasi Sosial ... 105

BAB V Penutup A. Kesimpulan ... 115

B. Saran-saran... 117

DAFTAR PUSTAKA...118

(8)

1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film Al-Kautsar dibuat ditengah kondisi perfilman Indonesia yang

bertemakan Islam masih sedikit. Sejarah film Indonesia mencatat produksi

film-film bertemakan Islam masih dalam kategori minus. Film-film-film Indonesia masih

di dominasi oleh film-film yang bertemakan cinta, remaja, komedi, dan horor.1

Ini dapat dilihat dari jumlah produksi film Indonesia yang masih

didominasi oleh genre tersebut. Perilaku dan pola seperti itu bukanlah tanpa

sebab, karena pada dasarnya ini merupakan sebuah tradisi yang diwariskan

secara terus menerus oleh para pembuat film, baik produser, sutradara, dan

1

Data mengenai tema-tema tersebut dapat dilihat selengkapnya di bukuKatalog Film Indonesia 1926-2005, karangan JB Kristanto yang diterbitkan secara bersama oleh Penerbit Nalar, FFTV-IKJ dan Sinematek Indonesia dan juga ulasan JB. Kristanto dalam resensinya yang dimuat di JB. Kristanto, Nonton Film Nonton Indonesia. (Jakarta: Penerbit KOMPAS, 2004). Hal 58. Dalam resensinya JB. Kristanto menuliskan film Al-Kautsar merupakan sebuah film bernafaskan Islam, sebuah film yang boleh dikatakan amat langka, dan bagi produsernya sebuah langkah baru yang cukup berani karena tindakannya ini boleh dibilang agak melawan arus produksi film yang dibanjiri dengan jenis film banyolan, cinta remaja, dan sebagainya. Disamping itu menurutnya, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film kita, yaitu kehidupan desa yang bernafaskan Islam, yang merupakan bagian penting kehidupan kita.

Tema-tema tersebut dikategorikan sebagai Dosa Asal (terminologi Dosa Asal penulis pungut dari esai Wicaksono Adi, Dosa Asal Film Indonesia—esai tersebut menurut hemat penulis belum sepenuhnya membedah secara anatomis dan genealogis yang dimaksud dosa asal film Indonesia), film Indonesia di mana pada masa penjajahan kolonial Belanda, film-film di tanah air ditujukan sebagai komoditas barang dagangan yang berorientasi pada akumulasi modal dan ketika itu belum ada kesadaran untuk menjadikan film sebagai ekspresi kebudayaan dan medium perjuangan. Kesadaran mulai tampak tatkala di masa pendudukan Jepang, film dapat dijadikan medium propaganda dan disitulah beberapa seniman mulai menyadari film sebagai alat perjuangan. Usmar Ismail dalam artikelnya, “ Sari Soal dalam Film-film Indonesia”, yang dimuat Star News, Th. III, No.5, 25 September 1954,yang kembali dimuat di

(9)

distributor film termasuk pihak bioskop. Peta sosiologis penonton film

Indonesia pada sebelum kemerdekaan ialah mereka yang bertaraf pendidikan

rendah dan biasanya berprofesi sebagai kuliatau orang-orang kelas bawah. Oleh karena itu, mayoritas penonton film Indonesia diperkirakan adalah orang-orang

kelas bawah, maka film-film Indonesia yang dibuat oleh produser-produser ini

pun adalah film-film bermutu rendah. Yang penting disini bukan lagi kualitas,

tapi kuantitas. Pembicaraan selalu berkisar di sekitar jumlah judul pertahun

yang bisa dihasilkan tanpa pernah bersibuk dengan mutu di balik judul-judul

tersebut.2 Karena film dianggap semata-mata barang dagangan, maka yang

menentukan dalam proses produksi adalah si pemilik modal. Sutradara—yang

sebagai pencipta mestinya harus menentukan—di sini harus tunduk saja pada

perintah yang punya uang. 3

Misbach Yusa Biran dalam bukunya, Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa menyebutkan bahwa pada akhir 1930-an, dunia film sepenuhnya dikuasai oleh anak wayang, bahkan sampai akhir 1950-an pemain yang berasal

dari kalangan bawah yang kebanyakan tidak bisa baca tulis. Mereka

mempunyai alasan untuk memasuki profesi ini, seperti ada yang terpikat karena

nonton, terpikat oleh Anak Wayang, diajak teman, dibawa keluarga dan

sebagainya. Generasi berikut banyak yang merupakan keluarga dari Anak

Wayang sendiri karena dari kecil sudah ikut keliling dengan orangtuanya.

Mereka ikut tampil sesudah dewasa. Contohnya adalah Roekiah, pemain film

paling populer tahun 1938-1942 dan Kasma Booty, bintang film Malaya paling

2

Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia,(Jakarta: Penerbit Grafiti Press. 1982). Hal 10-11.

3

(10)

populer di Malaya dan Indonesia awal tahun 1950-an. 4 Mereka hidup tertutup

disana. Mereka tidak boleh bergaul dengan orang luar. Hal ini dilakukan agar

jangan menghilangkan kharisma mereka, bahkan kalau sang sri

panggung/primadona pindah dari kendaraan masuk ke wilayah panggung,

kepalanya ditutup kain agar tidak dilihat masyarakat. Mereka tidak bersentuhan

dengan apa yang terjadi di luar dan tidak baca Koran karena tidak bisa baca. 5

Watak inilah yang sangat mempengaruhi film Indonesia saat itu, dengan

tingkat literasi yang rendah baik oleh para pemainnya maupun penontonnya

yang umumnya kalangan pribumi yang sebagian besar tidak terdidik. Kalangan

penonton pribumi kala itu dikenal dengan sebutan slam. Yang dimaksud dengan kata “slam” di atas adalah Pribumi, yang umumnya beragama Islam. Untuk

penonton pribumi, sejak 1903 diberikan keringanan agar bisa ikut penonton.

Maklum tingkat ekonomi Pribumi umumnya amat rendah.6 Oleh karena itu,

menurut Adi Wicaksono film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran

politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan,

kelangenan, pelipur lara.7 Maka, film sebagai seni bazaar, yang dimunculkan

dalam konteks masyarakat kolonial yang majemuk, tidak dapat berperan

sebagai alat integratif budaya. Dalam masyarakat bazaar orang membeli hiburan

yang sesuai dengan kemampuan ekonomi dan status sosialnya. 8

Kini, film Indonesia pun masih mewariskan kultur dan watak dari

periode awal perfilman nasional. Faktor genealogis inilah yang masih

4

Misbcah Yusa Biran Sejarah Film 1900-1950;Bikin Film di Jawa,(Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009). Hal 9

5

Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 10 6

Misbcah Yusa Biran Sejarah Film … Hal 30 7

Adi Wicaksono , Dosa Asal Film Indonesia

http://www.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 8

(11)

mempengaruhi perfilman nasional saat ini walaupun secara tidak langsung

generasi pembuat film dewasa ini tidak mempunyai hubungan langsung dengan

generasi awal namun dilihat dari sifatnya tak dapat dielakkan lagi. Menurut Adi

Wicaksono dalam esainya Dosa Asal Film Indonesia,ia menyatakan bahwa apa yang menjadi momok bagi perfilman nasional ialah film Indonesia tumbuh

sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil

membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Fakta bahwa film adalah

benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia.

Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu

pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk

budaya sekaligus produk industri. 9

Menurut Usmar Ismail (1983), film sebagai alat komunikasi masa

dewasa ini telah dipakai untuk berbagai tujuan. Bagi mereka yang melihat film

itu sebagai media seni an-sich, sebagai media seni tok dan menterapkan “seni untuk seni”, film hanyalah suatu media untuk menyatakan pikiran, perasaan, isi

hati, kadang-kadang nafsu mereka pribadi dengan tidak memperdulikan norma,

nila-nilai selain daripada ukuran-ukuran mereka sendiri sebagai seniman. 10

Usmar Ismail juga mengkritik pemahaman film-film yang dibuat

berdasarkan segi komersil belaka, menurutnya film sifatnya tidak lagi

memberikan sekedar hiburan saja, tetapi dengan sengaja merangsang dan

menghidupkan gairah nafsu yang rendah, dan membangkitkan histeri manusia.

Di bidang sinematografi, ekses-ekses komersialisme ini menampakkan diri

dalam film-film sensasional, film-film seks, kejahatan, kekerasan dan

9

Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm 10

(12)

kekejaman, pendeknya yang dapat membangkitkan bulu tengkuk. Adapun

mengenai persoalan ini perlu diadakan penelitian secara saksama, karena pada

umumnya film-film yang dibikin, dimana pun di dunia dewasa ini tidak bisa

dilepaskan sama sekali dari perhitungan untung rugi. Baik di Negara-negara

sosialis di mana Negara yang menjadi produsernya ataupun Negara-negara

kapitalis di mana swasta yang menjadi pengusahanya, maupun di negara-negara

Pancasila seperti Indonesia, umumnya film-film dibuat dengan pengharapan

untuk pasaran yang seluas-luasnya. Hanyalah dalam pertimbangan

masing-masing produser itu ada perbedaan yang bertingkat-tingkat.11

Usmar Ismail dalam tulisannya, ia mengatakan bahwa bagi sineas-sineas

Muslim Indonesia, yang harus diutamakan adalah juga patriot bangsa, adalah

menjadi kewajiban untuk menjadikan film media perjuangan dan media dakwah

Islamiyah. Ditilik dari sudut ideologi, pekerjaan itu bukanlah merupakan suatu

problem yang sukar, justru karena filsafat negara dan bangsa Indonesia sudah

dicakup oleh ajaran-ajaran Islam. Dengan demikian tiap pengungkapan ayat

Allah serta kata perbuatan Rasulullah Saw, secara sinematografis dengan

sendirinya juga akan turut membina jiwa Pancasila yang berpucukkan takwa

kepada Allah SWT. Dan selanjutnya pengungkapan-pengungkapan ajaran Bung

Karno, yang sudah disimpulkan beliau dalam ajimat revolusi yang semuanya

adalah juga diajarkan Islam, bagi para seniman Muslimin dalam

pemikiran-pemikiran menghadapi kewajiban di atas dunia yang fana ini, untuk

mendapatkan kerelaan Allah SWT kelak di alam baka. Karena memang Allah

menciptakan dunia untuk manusia dan manusia untuk akhirat.12

11

Usmar Ismail,Usmar Ismail Mengupas Film.(Cet. I Bandung: Penerbit Sinar Harapan. 1983). Hal 98-9

12

(13)

Usmar Ismail dalam tulisannya mengatakan bahwa jika penulis-penulis

Muslimin sudah sadar dan menghayati sumber-sumber ilham yang terdapat

dalam ayat-ayat Allah serta hadis-hadis sahih Nabi Besar Muhammad SAW dan

mereka telah menguasai pula teknik penulisan skenario, maka insya Allah pada

suatu ketika kita pun akan dapat membanggakan film-film yang benar-benar

diabdikan di atas jalan Allah. Ini berarti bahwa kita tidak boleh membuat

film-film, apalagi yang komersial tujuannya seperti film-film keagamaan: “The Ten

Commandements” atau “King of Kings”. Tetapi jika seniman Muslimin di

dalam karya-karyanya berdasarkan atas ajaran-ajaran agamanya membela

kepentingan-kepentingan kaum kecil, kaum yang tertindas, kaum Marhaen dan

segala sesuatu yang dilakukannya “karena Allah semata-mata”, maka itu adalah

fardhu kifayah baginya. Artinya, itu adalah suruhan Allah yang mesti dikerjakannya, “mendorong kepada kebajikan dan mencegah kejahatan”. 13

Dalam pada itu, Usmar Ismail menambahkan bahwa membuat film

untuk maksud komersial semata-mata, seperti yang telah dikemukan di atas

dengan panjang lebar, teranglah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Maka

hanyalah tinggal lagi satu jalan bagi para sineas Muslimin, yaitu mengabdikan

karya-karya mereka di atas jalan yang telah diredlai Allah yang pada hakikatnya

jalan ini cukup lebar, luas dan lapang untuk bergerak. Justru karena

sumber-sumber ilham adalah langsung dari wahyu Ilahi seperti yang telah dimaktubkan

di dalam kitab suci Alquran dan seperti yang telah diteladankan oleh Nabi Besar

Muhammad SAW. 14

13

Usmar Ismail, Usmar Ismail… Hal 100 14

(14)

Adalah film besutan Asrul Sani yang berjudul Titian Serabut Di Belah Tujuh 15 yang di produksi pada tahun 1959 disebut-sebut sebagai tonggak kelahiran film bergenrekan agama, film ini mengisahkan seorang guru agama

yang bernama Efendi yang diutus ke sebuah desa yang penduduknya sudah

kehilangan panutan dan film ini memperlihatkan kondisi sosial keagamaan di

Tanah Air. Apabila kita pehatikan dengan seksama poduksi film Indonesia

setelah pasca kemerdekaan memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda di

bandingkan sebelum kemerdekaan. Pembuatan film Indonesia sudah dimulai

sejak tahun 1926, semasa Indonesia masih dijajah Belanda. Tujuan pembuatan

film di masa itu jauh lebih sederhana, yaitu untuk kepentingan dagang. Para

pembuat film di masa itu bukanlah orang-orang yang memiliki latar belakang

budaya dan politik yang ingin menjadikan film sebagai salah satu bentuk

budaya bangsa. Seorang pakar teori film, Sigfried Kracauer, menyatakan,

bahwa “umumnya dapat dilihat bahwa teknik, isi cerita dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu”. Dengan kata lain, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat

dalam hubungannya dengan latar belakang perkembangan sosial budaya bangsa

itu.16

Berdasarkan asumsi tersebut, kita dapat melihat perbedaannya cukup

tajam antara film yang di produksi sebelum kemerdekaan dengan film yang di

produksi sesudah kemerdekaan. Pada masa pasca kemerdekaan filmdibuat

15

Film Titian Serabut Di Belah Tujuh di produksi lagi pada tahun 1982 dengan disutradarai oleh Chaerul Umam dan penulis skenarionya tetap pada Asrul Sani. Secara substansial film yang diproduksi kembali ini tidak ada perubahan yang signifikan pada ceritanya.

16

(15)

membantu “revolusi Indonesia” dengan film dan dengan demikian impian

mereka memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia

jadi alat untuk melarikan diri dari kenyataan, tapi untuk mendorong dialog

dalam diri setiap penonton hingga ia dapat memperoleh gambaran yang lebih

jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya. 17 Begitupun Film-film yang

bertemakan agama dalam hal ini film-film Islam. Sudut pandang yang

disuguhkan dalam film Islam adalah mencoba merepresentasikan dan

mengartikulasikan pengejahwantahan nilai-nilai ajaran Islam yang

mendasarkan pada kondisi sosio-historis masyarakat atau umat untuk mencapai

sebuah dialog antara yang di tonton dengan yang menonton.

Kehadiran film-film yang bertemakan Islam penting artinya sebagai

media untuk mengartikulasikan dan merepresentasikan Islam kepada

masyarakat yang notabene mayoritas beragama Islam. Berbicara film Islam tak

terlepas dari konteks yang melingkupinya, kehadirannya tidak hanya

menyuguhkan keberagamaan yang simbolik namun substansi keberislaman

yang ditampilkan sebagai bagian dari misi profetik dalam menyiarkan Islam.

Namun sebelum itu, saya akan menguraikan sedikit ekspresi kebudayaan Islam

di mana film juga memainkan peranan yang signifikan bagi kebudayaan Islam.

Pada dasarnya, ekspresi kebudayaan Islam tak terlepas dari sistem nilai dalam

ajaran Islam sebagai bentuk menifestasi dalam mengaktualisasikan ajaran Islam

yang bersumbu pada doktrin tauhid. Di bawah ini saya akan menguraikan

secara singkat konsepsi ajaran Islam yang memiliki implikasi pada karya seni

dan kebudayaan Islam.

17

(16)

Di dalam Islam kita mengenal adanya konsep tauhid, suatu konsep

sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan

bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep

tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan

manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya. Doktrin bahwa hidup harus

diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang merupakan kunci

dari seluruh ajaran Islam.

Tapi kemudian ternyata bahwa sistem tauhid ini mempunyai arus balik

kepada manusia. Dalam banyak sekali ayat kita melihat bahwa iman, yaitu

keyakinan religius yang berakar pada pandangan teosentris, selalu dikaitkan

dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan manusia; keduanya merupakan satu

kesatuan yang tak terpisahkan. Ini berarti bahwa iman harus selalu

diaktualisasikan menjadi amal, bahwa konsep tentang iman, tentang tauhid,

harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Pusat dari perintah

zakat-misalnya-adalah iman, adalah keyakinan kepada Tuhan; tapi ujungnya adalah

terwujudnya kesejahteraan sosial. Dengan demikian, di dalam Islam, konsep

teosentrisme ternyata bersifat humanistik. Artinya, menurut Islam, manusia

harus memusatkan diri kepada Tuhan, tetapi tujuannya adalah untuk

kepantingan manusia sendiri. Humanisme-teosentris inilah yang merupakan

nilai-inti (core-value)dari seluruh ajaran Islam.18

18

(17)

Dalam konteks ini, apa yang terkandung pada cerita film Al-Kautsar,

film yang telah memenangi penghargaan pada Festival Film Asia XVIII di

Bangkok untuk kategori Tata Suara terbaik 19 adalah melakukan dakwah

Islamiyah dengan menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit yang dilakukan oleh tokoh protagonis Saiful Bahri dalam mengaktualisasikan

ajaran Islam yang sesuai dengan konteks emansipasi dan pembebasan. Usaha

Saiful Bahri dalam melangsungkan dakwahnya terbukti telah memberikan

perubahan yang signifikan bagi desa sekarlangit dengan menggagas dan

mengimplentasikan Islam yang berpihak pada transformasi sosial. Memang

pada awal mulanya usaha untuk merintis gagasan Islam yang transformatif

banyak mendapatkan tentangan terutama dari Haji Musa tokoh ulama setempat

yang sangat disegani, ditambah ulah seorang tengkulak yang bernama Tuan

Harun dengan berbagai cara ia tempuh untuk menghentikan usaha Saiful Bahri

dalam menegakkan amr ma’ruf nahiy mungkar di desa sekarlangit. Maka, penulis dengan ini mengangkatnya ke dalam bentuk skripsi dan penulis

memberi judul: “Perspektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar”

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Untuk mempermudah penulisan dalam skripsi ini, maka perlu bagi

penulis untuk membatasi ruang lingkup dari permasalahan yang akan dibahas

pada kajian ini. Penulis hanya membatasi pada isi film Al-Kautsar, dalam hal

penulis mengupas jalan cerita film Al-Kautsar dan relevansinya dengan gagasan

mungkar, diarahkan untuk mengemansipasikan manusia kepada nur, kepada cahaya petunjuk ilahi, untuk mencapai keadaan fitrah. Fitrah adalah keadaan di mana manusia mendapatkan posisinya sebagai makhluk yang mulia. Kuntowijoyo, Paradigma Islam; Interpretasi untuk Aksi.Cet. VIII. (Bandung: Penerbit Mizan. 1998). Hal 228-229

19

(18)

pembaruan Islam—penulis melakukan analisis tinjauan dari konteks konsepsi

amar ma’ruf nahi mungkar dan analisis tinjauan perspektif komunikasi

antarbudaya yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini. Berdasarkan

pembatasan di atas, maka rumusan yang diajukan adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penjabaran kontekstualisasi gagasan pembaruan Islam dalam film

Al-Kautsar?

2. Bagaimana penjabaran analisis tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya dalam

film Al-Kautsar?

3. Bagaimana unsur-unsur komunikasi antarbudaya dibentuk, dikemas, dan

ditetapkan dalam film Al-Kautsar?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dengan mengacu kepada permasalahan sebagaimana penulis rumuskan

di atas, maka ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini, di

antaranya:

1. Untuk dapat mengetahui hubungan film Al-Kautsar dengan konteks gagasan

pembaruan Islam—dalam hal ini tinjauan konsepsi amar ma’ruf nahi mungkar.

2. Untuk dapat mengetahui tinjauan teoritis Komunikasi Antar Budaya dalam film

Al-Kautsar.

3. Untuk dapat mengetahui unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung

dalam film Al-Kautsar.

Sedangkan manfaat yang dapat dipetik dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dengan jelas hubungan film Al-Kautsar dengan gagasan pembaruan

Islam terutama konsepsi mengenai amar ma’ruf nahi mungkar

2. Mengetahui dengan jelas analisis tinjauan Komunikasi Antar Budaya dalam

(19)

3. Mengetahui dengan jelas unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terkandung

dalam film Al-Kautsar

4. Menjelaskan dan mengetahui secara umum unsur-unsur budaya yang

menentukan dalam proses Komunikasi Antar Budaya dalam film Al-Kautsar.

5. Memberikan informasi tentang unsur-unsur budaya yang secara langsung

pengaruhnya terhadap makna dan persepsi dalam konteks Komunikasi Antar

Budaya.

6. Menjadi sumbangan sederhana bagi wacana keilmuan tentang representasi

Islam dalam film dan diskursus yang berjalin kelindan antara gagasan

pembaruan dan konservatisme.

C. Metodologi Penelitian

Dilihat dari segi tujuannya penelitian ini termasuk penelitian deskriptif.

Sedangkan dilihat dari segi jenis data, penelitian ini merupakan penelitian

kualitatif. Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi

kepustakaan, yakni dengan cara mencatat dan mendokumentasikan informasi

dari bahan-bahan tertulis, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari naskah

skenario film Al-Kautsar dan materi film Al-Kautsar dalam format DVD

sebagai landasan analisis dan pendapat-pendapat para ahli dari berbagai literatur

yang ada seperti buku-buku, jurnal, makalah, tulisan-tulisan lain termasuk di

internet yang ada relevansinya dengan penelitian ini.

Di samping itu diterapkan juga teknik wawancara. Observasi dan

wawancara dilakukan untuk memperkuat data-data primer yang bersumber dari

naskah film al-Kautsar dan materi filmnya. Peneliti sendiri merupakan alat

(20)

mewawancarai yang berkenaan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok

bahasan yang akan dibahas. Wawancara dilakukan dengan pihak-pihak terkait.

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara induktif, yaitu

penulis berangkat dari fakta-fakta dan ketentuan-ketentuan yang bersifat

khusus, kemudian membuat spesialisasi analisis sehingga dapat ditarik

kesimpulan yang bersifat umum. Pendekatan induktif jelas pada beberapa jenis

analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai yang digambarkan oleh

beberapa penulis penelitian kualitatif. Pendekatan induktif dimaksudkan untuk

membantu pemahaman tentang pemaknaan dalam data yang rumit melalui

pengembangan tema-tema yang diikhtisarkan dari data kasar. Pendekatan ini

jelas dalam analisis data kualitatif. Ada yang menjelaskan secara gamblang

sebagai induktif dan lainnya menggunakan pendekatan tanpa memberikan nama

secara eksplisit.20

Dalam penelitian ini, saya berangkat dari pendekatan analisis data

kualitatif, di mana data-data yang penulis peroleh berasal dari sumber-sumber

yang terdapat dari film Al-Kautsar dan kemudian di sintesiskan dengan data

yang bersumber pada konteks film Al-Kautsar. Jadi, data yang ada sesuai

dengan konteks film yang penulis teliti, artinya memiliki relevansinya dengan

objek penelitian penulis. Adapun Teknik dan sistematika Penulisan skripsi

berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi ,Tesis, dan Disertasi UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

E. Sistematika Penulisan

20

(21)

Adapun sistematika pembahasan skripsi ini terdiri dari lima bab yang

terdiri dari beberapa sub bab. Secara sistematis bab-bab tersebut adalah sebagai

berikut:

Bab Idiawali dengan pendahuluan yang menjadi alasan diangkatnya penelitian ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II menjelaskan tinjauan teoritis komunikasi antarbudaya. Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya. Selain itu, pada bab ini juga dijelaskan tinjauan

teoritis tentang teori film, yang meliputi: pengertian film, elemen-elemen dalam

film, struktur film.

Bab III menguraikan gambaran umum tentang film Al-Kautsar. Pada bab ini menjelaskan tentang cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar, relevansi film

ini dengan konteks gagasan pembaruan Islam, representasi Islam dalam sinema,

dan profil pembuat film Al-Kautsar dalam hal ini sutradara Chaerul Umam dan

Asrul Sani yang melatari pembuatan film ini dan platform apa yang mereka

anut sehingga film ini dibuat.

Bab IV merupakan inti persolan yang diangkat dalam skripsi ini, yaitu berupaya menerangkan analisis cerita yang dibangun dalam film Al-Kautsar

dan korelasinya dengan konteks perdebatan gagasan pembaruan Islam dan

keteguhan tokoh protagonis dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.

Pada bab ini dijelaskan secara mendalam tinjauan teoritis komunikasi antar

budaya dan unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya dengan disertai tabel yang

(22)

Bab V merupakan akhir atau penutup dari penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran. Pada bagian penutup ini merupakan jawaban

terhadap beberapa pertanyaan yang termuat dalam rumusan masalah.

Lampiran-lampiran. Berisikan naskah wawancara, dokumentasi tentang film

(23)

16 TINJAUAN TEORITIS

A. Pengertian Komunikasi Antar Budaya 1. Teori Komunikasi Antar Budaya

Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Lustig dan Koester dalam jurnal

Intercultural Communication Competence, komunikasi antarbudaya adalah suatu proses komunikasi simbolik, interpretatif, transaksional, kontekstual yang

dilakukan oleh sejumlah orang- karena memiliki derajat kepentingan

tertentu-memberikan interpretasi dan harapan secara berbeda terhadap apa yang disampikan

dalam bentuk perilaku tertentu sebagai makna yang dipertukarkan. Dalam

bukunya, Alo Liliweri menambahkan satu pendapat lagi mengenai teori

komunikasi antarbudaya dari Guo-Ming Chen dan William J. Starosta yang

mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau

pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka

dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. 1

Pengertian-pengertian komunikasi antarbudaya tersebut membenarkan

sebuah hipotesis proses komunikasi antarbudaya, bahwa semakin besar derajat

perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula kita kehilangan peluang untuk

merumuskan suatu tingkat kepastian sebuah komunikasi yang efektif. Jadi harus

ada jaminan terhadap akurasi interpretasi pesan-pesan verbal dan non-verbal. Hal

ini disebabkan karena ketika kita berkomunikasi dengan seseorang dari

kebudayaan yang berbeda, maka kita memiliki pula perbedaan dalam sejumlah hal,

misalnya derajat pengetahuan, derajat kesulitan dalam peramalan, derajat

1

(24)

ambiguitas, kebingungan, suasana misterius yang tak tampak dijelaskan, tidak

bermanfaat, bahkan tampak tidak bersahabat. Dengan demikian manakala suatu

masyarakat berada pada kondisi kebudayaan yang beragam maka komunikasi

antarpribadi dapat menyentuh nuansa-nuansa komunikasi antarbudaya. Disini,

kebudayaan yang menjadi latar belakang kehidupan, akan mempengaruhi perilaku

komunikasi manusia. 2

Asumsi sebuah teori komunikasi antarbudaya merupakan seperangkat

pernyataan yang menggambarkan sebuah lingkungan yang valid tempat di mana

teori-teori komunikasi antarbudaya itu dapat di terapkan. Dalam rangka memahami

kajian komunikasi antarbudaya maka kita mengenal beberapa asumsi, yaitu:

1. Komunikasi antarbudaya di mulai dengan anggapan dasar bahwa ada perbedaan

persepsi antar komunikator dengan komunikan.

2. Dalam komunikasi antarbudaya terkandung isi dan relasi antarpribadi.

3. Gaya personal mempengaruhi komunikasi antarpribadi.

4. Komunikasi antarbudaya bertujuan mengurangi tingkat ketidakpastian.

5. Komunikasi berpusat pada kebudayaan.

6. Efektivitas antarbudaya merupakan tujuan komunikasi antarbudaya.3

Disini penulis dengan mengutip dari Alo Liliweri dalam bukunya

menjabarkan secara singkat beberapa asumsi teori komunikasi antarbudaya yang

telah ditulis diatas:

1. Tujuan Komunikasi Antarbudaya: Mengurangi Tingkat Ketidakpastian

Salah satu perspektif komunikasi antarbudaya menekankan bahwa tujuan

komunikasi antarbudaya adalah mengurangi tingkat ketidakpastian tentang orang

2

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2

3

(25)

lain. Gudykunst dan Kim (1984) menunjukkan bahwa orang-orang yang kita tidak

kenal selalu berusaha mengurangi tingkat ketidakpastian melalui peramalan yang

tepat atas relasi antarpribadi. Usaha untuk mengurangi tingkat ketidakpastian itu

dapat dilakukan melalui tiga tahap interaksi, yakni:

(1) pra-kontrak atau tahap pembentukan kesan melalui simbol verbal maupun

non-verbal (apakah komunikan suka berkomunikasi atau menghindari komunikasi);

(2)initial contact and impression, yakni tanggapan lanjutan atas kesan yang muncul dari kontak awal tersebut; misalnya anda bertanya pada diri sendiri; Apakah saya

seperti dia? Apakah dia mengerti saya? Apakah saya rugi waktu kalau

berkomunikasi dengan dia?;

(3)closure, mulai membuka diri anda yang semula tertutup melalui atribusi dan pengembangan kepribadian implisit. Teori atribusi menganjurkan agar kita harus

lebih mengerti perilaku orang lain dengan menyelidiki motivasi atas suatu perilaku

atau tindakan dia. Pertanyaan yang relevan adalah apa mendorong dia berkata,

berpikir atau berbuat demikian? Kalau seorang menampilkan tindakan yang positif

maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang positif kepada orang itu, karena

dia bernilai bagi relasi kita. Sebaliknya kalau orang itu menampilkan tindakan

yang negatif maka kita akan memberikan atribusi motivasi yang negatif pula.

Sementara itu kita pun dapat mengembangkan sebuah kesan terhadap orang itu

melalui evaluasi atas kehadiran sebuah kepribadian implisit.

2. Komunikasi Berpusat pada Kebudayaan

Menurut John B. Gatewood (1999) tentang hubungan antara keberadaan

manusia (baca: melalui komunikasi) dengan kebudayaan, yaitu bahwa: (1)

(26)

)”trait-complexes” are the unit). Gatewood sendiri menjawab bahwa kebudayaan yang meliputi seluruh kemanusiaan itu sangat banyak, dan hal tersebut meliputi seluruh

periode waktu dan tempat. Artinya kalau komunikasi itu merupakan bentuk,

metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka

komunikasi adalah sarana bagi transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan

itu sendiri merupakan komunikasi.4

Sedangkan menurut Smith (1976) bahwa “Komunikasi dan kebudayaan

tidak dapat dipisahkan”. Atau Edward T. Hall mengatakan: “ Komunikasi adalah

kebudayaan dan kebudayaan adalah komunikasi”. Sekurang-kurangnya ada dua

jawaban; pertama, dalam kebudayaan ada sistem dan dinamika yang mengatur tata

cara pertukaran simbol-simbol komunikasi dan kedua, hanya dengan komunikasi

maka pertukaran simbol-simbol dapat dilakukan, dan kebudayaan hanya akan eksis

jika ada komunikasi.

3. Tujuan Komunikasi Antarbudaya adalah Efektivitas Antarbudaya

Dalam kenyataan sosial disebutkan bahwa manusia tidak dapat dikatakan

berinteraksi sosial kalau dia tidak berkomunikasi. Demikian pula dikatakan bahwa

interaksi antarbudaya yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarbudaya.

Konsep ini sekaligus menerangkan bahwa tujuan komunikasi antarbudaya akan

tercapai (komunikasi yang sukses) bila bentuk-bentuk hubungan antarbudaya

menggambarkan upaya yang sadar dari peserta komunikasi untuk memperbaharui

relasi antara komunikator dengan komunikan, menciptakan sebuah manajemen

komunikasi yang efektif. 5

4

Alo Liliweri, M.S, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya,(Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007). Hal 11-2

5

(27)

2. Proses Komunikasi Antarbudaya

Menurut Alo Liliweri yang dikutip dari Wahlstrom mengatakan bahwa

pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi

yang lain, yakni yang interaktif dan transaksional serta dinamis. Komunikasi

antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/timbal balik (two way communication) namun masih tahap rendah. Alo Liliweri dengan mengutip Hybels dan Sandra mengatakan

bahwa komunikasi antarbudaya memasuki tahap transaksional apabila ada proses

pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami

perasaan dan tindakan bersama.

Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yakni; (1) keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus-menerus dan

berkesinambungan atas pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri

waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; (3)

partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu. Baik

komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat

dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup,

berkembang dan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu.

Karena proses komunikasi yang dilakukan merupakan dinamisator atau

“penghidup” bagi proses komunikasi tersebut. 6

6

(28)

B. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya

Unsur-unsur Komunikasi Antar Budaya terkait erat dengan persoalan

persepsi. Pengertian persepsi dalam konteks KAB ialah proses penyeleksian yang

sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, proses penyeleksian atau penyaringan adalah

salah satu fungsi dari kebudayaan bagi anggota-anggota kelompok budaya yang

memiliki budaya tersebut, dalam menghadapi lingkungan ekstern. Kebudayaan lalu

menentukan apa-apa saja yang perlu diperhatikan dan yang perlu dihindari. Fungsi

penyaringan disini diartikan melindungi sistem syaraf manusia dari kejenuhan

informasi. Kejenuhan informasi atau information load ada kaitannya dengan sistem pemrosesan informasi untuk menggambarkan suatu situasi yang kacau dan macet pada seseorang karena bertimbunnya informasi yang masuk. Proses penyeleksian

yang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan ini, dikenal dengan istilah dan pengetian

persepsi. Tentu saja persepsi itu bersifat subyektif sepanjang menentukan perilaku

termasuk perilaku komunikasi.7

Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih,

mengevaluasi dan juga mengorganisasikan stimulasi (rangsangan) dari lingkungan

eksternal. Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik

lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk perilaku

tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini adalah hasil

pengalaman budaya. Oleh karena itu KAB lebih dapat dipahami sebagai perbedaan

budaya dalam mempersepsi peristiwa dan objek-objek tertentu. Sesuatu masalah

dapat timbul karena rangsangan yang sama, kadang-kadang dipersepsi secara

berbeda-beda oleh individu dalam kelompok berbeda. Masing-masing individu,

kelompok budaya yang berbeda melihat dengan perspektifnya sendiri. Jika kita

7

(29)

bermaksud meningkatkan kemampuan bergaul dengan orang-orang yang

kebudayaannya berbeda-beda, perlulah kita memahami jawaban (respons) arah

perseptual mereka. Perlu disadari bahwa kebudayaan itulah yang umumnya

menentukan standar ukuran-ukuran persepsi itu. Oleh karena itu dapat diartikan

bahwa pemahaman tentang persepsi bermanfaat sebagai landasan memahami

hubungan antar kebudayaan dan persepsi itu sendiri. 8

Kembali pada pemahaman keterpaduan hubungan persepsi dengan

unsur-unsur budaya dalam kita berkomunikasi. Unsur-unsur-unsur budaya disini laksana suatu

stereo, setiap unsur budaya berfungsi saling berhubungan dan saling membutuhkan

antara satu unsur dengan lainnya. KAB dipahami sebagai perbedaan budaya

mempersepsi dunia, manusia dan peristiwa. Perlu dipahami benar bahwa

masalah-masalah yang timbul dalam komunikasi dan berkomunikasi bersumber dari

perbedaan-perbedaan persepsi. Oleh karena itu perlu kita memahami benar apa dan

bagaimana kerangka persepsi orang lain tentang pemilihan, penilaian dan

tindakannya terhadap dunia, manusia dan peristiwa di lingkungan eksternal. Dalam

KAB diupayakan banyak persamaan pengalaman dan persepsinya sungguhpun ciri

kebudayaan itu sendiri banyak menimbulkan perbedaan dalam pengalaman dan

persepsi.9

Samover et.al (1981:38-48) membagi berbagai aspek kebudayaan kedalam

tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya yang secara langsung sangat

mempengaruhi penciptaan makna untuk persepsi, yang selanjutnya menentukan

tingkah laku komunikasi. Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat

8

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58.

9

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 57-58.

9

(30)

beragam dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses KAB

unsur-unsur yang sangat menentukan ini bekerja dan berfungsi secara terpadu

bersama-sama seperti komponen-komponen dari suatu sistem stereo—karena

masing-masing saling berkaitan dan membutuhkan yang lainnya. 10

Unsur-unsur komunikasi dalam kajian KAB, dikenal tiga unsur sosial

budaya utama yang besar dan secara langsung pengaruhnya terhadap makna dalam

persepsi kita ialah sebagai berikut:

- sistem kepercayaan/keyakinan (belief),nilai-nilai (values), sikap (attitude) - pandangan dunia(worldview)

- organisasi sosial(social organization).

Pengaruh makna dalam persepsi dari tiga unsur utama sosial budaya tersebut

selanjutnya mempengaruhi aspek-aspek makna yang bersifat pribadi dan subjektif,

seperti orang melihat sesuatu objek (dunia, manusia dan peristiwa) secara umum

melalui nama, istilah, dan tanggapan itu, sama. Tetapi dari segi pandangan

kepribadian (subjektif) seseorang, berbeda.11

Disini penulis akan menjabarkan masing-masing unsur budaya tersebut

yang menentukan dalam proses KAB.

1. Sistem Keyakinan, Nilai dan Sikap. 1.1 Sistem Keyakinan

Keyakinan secara umum diartikan sebagai perkiraan secara subyektif

bahwa sesuatu obyek atau peristiwa ada hubungannya dengan obyek atau peristiwa

lain, atau dengan nilai, konsep, atribut tertentu. Singkatnya, suatu obyek atau

10

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 25

11

(31)

peristiwa diyakini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu. Keyakinan ini

mempunyai derajat kedalaman atau intensitas tertentu.

Ada 3 macam keyakinan, yaitu: (a) keyakinan, berdasarkan pengalaman

(experinsial); (b) keyakinan berdasarkan infornasi (Informasional) dan (c)

keyakinan berdasarkan penarikan kesimpulan (inferensial).

a. Keyakinan dapat terbetuk melalui pengalaman langsung. Melalui indera peraba,

kita belajar untuk mengetahui dan kemudian meyakini bahwa obyek atau peristiwa

tertentu memiliki karakteristik tertentu. Kebudayaan, sebaliknya sangat

mempengaruhi pembentukan keyakinan berdasarkan informasi dan pengambilan

kesimpulan.

b. Keyakinan berdasarkan informasi dibentuk melalui sumber-sumber luar sperti

orang-orang lain, buku, majalah, televisi, film. Sumber-sumber inipun biasanya

kita pilih karena keyakinan kita akan kebenarannya. Keyakinan semacam ini

sangat dipengaruhi oleh berbagai ragam faktor kebudayaan. Seringkali

pembentukannya tergantung pada tingkat keyakinan yang lebih tinggi, yaitu

keyakinan akan otoritas (kewenangan) seseorang atau lembaga atas topik-topik

atau masalah-masalah tertentu. Misalnnya, jika kita percaya bahwa surat kabar

Kompas merupakan sumber pemberitaan yang bersifat netral, maka kita yakin dan

percaya akan kebenaran isi beritanya. Latar belakang dan pengalaman kebudayaan

berperan penting dalam pembentukan keyakinan berdasarkan informasi ini. Dalam

komunikasi Antar Budaya, tidak dapat dikatakan keyakinan mana yang salah atau

benar.

c. Keyakinan yang dibentuk berdasarkan pengambilan kesimpulan melibatkan

(32)

terhadap suatu tingkah laku atau peristiwa, kemudian perkiraan bahwa tingkah laku

tersebut digerakkan atau disebabkan oleh suatu perasaan atau emosi tertentu.

1.2 Sistem Nilai

Nilai-nilai merupakan aspek evaluatif dari sistem keyakinan, nilai dan

sikap. Dimensi-dimensi evaluatif mencakup kualitas-kualitas seperti kegunaan,

kebaikan, estetika, kemampuan memuaskan kebutuhan dan pemberian kepuasan.

Walaupun nilai-nilai bisa bersifat unik dan individual, tetapi ada pula yang

cenderung untuk sudah merasuk dalam suatu kebudayaan, yakni yang disebut

nilai-nilai kebudayaan.

Nilai-nilai kebudayaan biasanya berakar dari falsafah dasar secara

keseluruhan dari suatu kebudayaan. Nilai-nilai ini umumnya bersifat normatif,

karena memberikan informasi pada anggota kebudayaan tentang apa yang baik dan

buruk, yang benar dan salah, yang postif dan negatif, apa yang perlu diperjuangkan

dan dilindungi, apa yang perlu ditekuni dan lain-lain. 12

Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai (values) yang ada, sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem-sistem kepercayaan, nilai,

dan sikap, yang meliputi kualitas atau asas-asas seperti:

-Kemanfaatan

-Kebaikan

-Keindahan (estetika)

-Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan

Di antara nilai-nilai (values) itu ada yang sudah membaku dan meresap

lama melalui proses internalisasi kepada individu-individu. Yaitu yang dinamakan

nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya dengan agama sehingga

12

(33)

sering istilahnya digabung menjadi sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama.

Umumnya nilai budaya dan nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa

yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan

yang palsu, yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang mubazir, dan

sebagainya. Kesemua nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari sistem

kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku mana yang baik dan

buruk, mana yang dituruti dan dihindari. Nilai-nilai inilah yang disebut nilai

normatif karena dianggap sudah diterima menjadi peraturan yang berlaku, seperti

bidang agama, atau lalu lintas ataupun di kantor. Yang penting dalam KAB bahwa

nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif sehari-hari

sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk mengurangi atau mengatasi

suatu konflik. 13

1.3 Sistem Sikap

Kepercayaan atau keyakinan serta nilai-nilai menyumbang pada atau

melandasi perkembangan dan isi dari sistem sikap. Secara formal, sikap

dirumuskan sebagai kecenderungan yang dipelajari untuk memberikan respons

secara konsisten terhadap objek orientasi tertentu.

Sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu:

a. Komponen kognitif atau keyakinan

b. Komponen afektif atau evaluatif

c. Komponen intensitas atau harapan.

Intensitas dari sikap berlandaskan pada derajat penyaluran akan kebenaran

dari keyakinan dan evaluasi. Kerja komponen sikap tersebut berinteraksi untuk

menciptakan keadaan siap secara psikologis untuk bereaksi terhadap obyek-obyek

13

(34)

dan peristiwa-peristiwa dalam lingkungan. Sikap dipelaajri atau dibentuk dalam

konteks budaya. Sikap ini kemudian mempengaruhi kesiapan untuk memberi

respons dan tingkah laku. Pengaruh kebudayaan terhadap sistem keyakinan, nilai

dan sikap dapat terlihat dalam contoh menyerupai pertarungan antara binatang

banteng dengan orang yang berasal dari negara Spanyol. Bagi sejumlah orang di

Amerika, kekejaman terhadap binatang adalah perbuatan yang salah. Contoh dan

kekejaman ini ialah kegiatan secara sistematik untuk membuat lemah dan

kemudian membubuh binatang banteng tersebut. Akibatnya banyak orang Amerika

Serikat yang memandang pertandingan manusia binatang dalam rangka sifat yang

negatif dan secara aktif akan menghindarkan diri dari kemungkinan terekspose

pada peristiwa tersebut. Tetapi bagi orang Amerika Latin, pertarungan manusia

dengan banteng diyakini sebagai cara untuk mempertunjukkan keberanian

sehingga dinilai positif.14

2. Pandangan Dunia

Unsur budaya ini berkaitan dengan orientasi, pandangan hidup manusia

terhadap makhluk dan masalah-masalah filosofis mengenai Tuhan, kemanusiaan,

alam, alam semesta. Pandangan hidup ini bersifat abadi dan merupakan landasan

budaya. Konsep pemahamannya cukup sulit karena sangat abstrak di antara

unsur-unsur kebudayaan.15 Unsur kebudayaan ini, walaupun sebagai konsep dan

deskripsi bersifat abstrak, tetapi merupakan salah satu yang terpenting dari

aspek-aspek perseptual komunikasi antar budaya. Karena sifatnya yang kompleks,

14

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 27- 28

15

(35)

kadang-kadang sulit untuk memisahkan dan mengindentifikasikannya dalam suatu

peristiwa antara budaya. 16

Pandangan hidup merupakan landasan pokok yang paling mendalam dari

suatu kebudayaan. Efeknya seringkali sangat tersamar sehingga tidak dapat terlihat

secara nyata seperti misalnya cara-cara berpakaian, gerak isyarat dan

perbendaharaan kata. 17 Apalagi pandangan hidup tersebut menyebar, menjiwa

serta membudaya ke dalam keseluruhan aspek kebudayaan. Dalam pandangan

hidup itu melekat pula kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan aspek-aspek kebudayaan

lainnya.18

3. Organisasi Sosial

Organisasi sosial sebagai unsur budaya, merupakan cara bagaimana

suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana lembaga-lembaganya

mempengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia serta

bagaimana pula mereka berorganisasi.19 Ada dua macam bentuk pengaturan sosial

yang berkaitan dengan komunikasi antarbudaya:

a. Kebudayaan geografik, yakni negara, suku-bangsa, kasta, sekte keagamaan dan

lain sebagainya yang dirumuskan berdasarkan batas-batas geografik.

b. Kebudayaan-kebudayaan peranan, yaitu keanggotaan dalam posisi-posisi sosial

yang jelas batasannya dan lebih spesifik, sehingga menghasilkan perilaku

komunikasi yang khusus pula. Pengorganisasian masyarakat atas dasar peranan ini

melintasi organisasi masyarakat secara geografik dan mencakup seluruh

16

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28

17

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 28-29

18

Alex H. Rumondor, Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hal. 63

19

(36)

organisasi-organisasi yang menekankan ideologi-ideologi tertentu. Karena

kebudayaan-kebudayaan peranan mangajarkan cara-cara berperilaku dalam

posisi-posisi sosial khusus, maka jelas pengaruhnya terhadap komunikasi antarbudaya.

Misalnya, seorang tenaga pengajar di Indonesia telah mempelajari seperangkat

cara-cara bertingkah laku komunikasi yang sangat berbeda dari apa yang dipelajari

dan dimiliki oleh seorang pelacur di Amerika. Dalam hal ini, dua kebudayaan

peranan sosial telah memberikan batasan kepada masing-masing anggotanya

pola-pola bertingkah laku tertentu dan menentukan jaringan komunikasinya. Apalagi

anggota dari kebudayaan-kebudayaan geografik mungkin menemukan kesulitan

dalam proses komunikasi antar budaya karena latar belakang pengalaman yang

sangat berbeda sehingga kerangka acuan berbeda pula, maka anggota-anggota dari

kebudayaan peranan mungkin lebih mudah untuk berkomunikasi dalam batasan

peranan-peranannya walaupun mereka berasal dari kebudayaan-kebudayaan

geografik yang berbeda.20

Beberapa unit-unit sosial yang dominan berpengaruh dalam suatu

kebudayaan ialah: keluarga, sekolah dan lembaga keagamaaan. Institusi-institusi

ini bertanggungjawab dalam transmisi budaya dari satu generasi ke generasi lain

dan pelestariannya. Kita semua merupakan anggota dari bermacam-macam

institusi sosial, yaitu dari yang berjangka waktu lebih singkat seperti sekolah,

sampai pekerjaan. Semua institusi ini mempunyai derajat pengaruh tertentu

terhadap pembentukan diri dalam kebudayaan. Semua unsur-unsur sosial budaya

di atas mempengaruhi proses-proses persepsi. Walaupun demikian daftar dari

unsur-unsur budaya itu bersifat terbatas (“exhaustive”). Segala segi atau aspek

kebudayaan dapat dimasukkan ke dalam macam-macam cara klasifikasi dan cara

20

(37)

analisis. Bagaimanapun dua hal yang perlu ditegaskan, yakni: (1). Apa yang

dipersepsikan sebagai hal yang penting bervariasi dari satu kebudayaan ke

kebudayaan lain; (2) Apa yang dikomunikasikan oleh dan bagaimana seseorang

berkomunikasi meruapakan pencerminan dari apa yang dipersepsikan oleh

kebudayaannya. 21

Harris dan Moran (1979) mengajukan sepuluh klasifikasi umum sebagai

model sederhana untuk menilai dan menganalisis suatu kebudayaan secara

sistematik, yakni:

(a). Komunikasi dan Bahasa

(b). Pakaian dan penampilan

(c). Makanan dan cara makan

(d). Konsep dan kesadaran tentang waktu

(f). Pemberian imbalan dan pengakuan

(g). Hubungan-hubungan

(h). Konsep kesadaran diri dan jarak ruang

(j). Keyakinan (kepercayaan) dan sikap.

Harris dan Moran juga mengakui bahwa kategorisasi tersebut belum

mencakup semua aspek kebudayaan atau satu-satunya cara untuk menganalisis

kebudayaan. Hanya diingatkan oleh mereka bahwa semua aspek kebudayaan saling

berkaitan sehingga berubahnya salah satu aspek atau bagian dapat mengakibatkan

berubahnya keseluruhan. Harris dan Moran juga menyatakan bahwa ada berbagai

macam cara pendekatan anthropologis terhadap analisis kebudayaan. Selain yang

21

(38)

telah disebut tadi, ada alternatif lain yang bisa dipilih, yakni pendekatan sistem

yang terkoordinasi.22

C. Teori Film

Sebagai sebuah bentuk kesenian, film adalah sama dengan media artistik

lainnya, karena ia memiliki sifat-sifat dasar dari media lain tersebut yang terjalin

dalam susunannya yang beragam itu. Seperti halnya seni lukis dan seni pahat, film

juga mempergunakan garis, susunan, warna, bentuk, volume, dan massa, sama

baiknya dalam saling pengaruh-mempengaruhi secara halus antara cahaya dan

bayang-bayang. Sebagian besar dari petunjuk-petunjuk komposisi fotografi yang

dijadikan anutan dalam film juga sama dengan yang dipergunakan dalam seni lukis

dan seni pahat. Seperti drama, film melakukan komunikasi verbal melalui dialog.

Seperti musik dan khususnya seperti puisi ia berkomunikasi melalui citra, metafora

dan lambang-lambang. Laksana pantomime, film memusatkan diri pada gambar

bergerak dan seperti tari, gambar bergerak itu memiliki sifat-sifat ritmis tertentu.

Akhirnya seperti novel, film mempunyai kesanggupan untuk memainkan waktu

dan ruang, mengembangkan dan mempersingkatnya, menggerak-majukan atau

memundurkannya secara bebas dalam batas-batas wilayah yang cukup lapang dari

kedua dimensi ini.

Tapi biarpun antara film dan media terdapat kseamaa-kesamaan, film

adalah sesuatu yang unik, yang dibedakan dari segenap media lainnya karena

sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap. Berkat unsur ini, film dapat

melangkahi keterbatasan statis lukisan dan hasil seni pahat pada segi keruwetan

pikatan daya tariknya dan sekaligus berkomunikasi serentak dengan

22

(39)

mempergunakan penglihatan, suara dan gerak. Film melebihi drama karena ia

memiliki kemampuan ajaib dalam mengambil sudut pandangan yang

bermacam-macam. gerak, waktu dan karena rasa ruang yang tak terbatas yang bisa ia

timbulkan. Berbeda dengan drama panggung, film punya kesanggupan untuk

menyajikan suatu arus yang terus menerus dan tak terpatah-patah, yang

mengaburkan atau mengecilkan transisi waktu dan tempat sambil tetap

mempertahankan suatu kejernihan dan kejelasan. Berbeda dari novel dan sajak,

film berkomunikasi tidak melalui lambang-lambang abstrak yang dicetak di atas

halaman kertas (sehingga memerlukan peterjemahan oleh otak ke pelukisan visual

dan suara), tapi langsung melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata.

Selanjutnya, film memiliki kseanggupan untuk menangani berbagai –bagai

subyek yang tidak terbatas ragamnya.

Dalam buku The Art of The Film, Ernest Lindgreen antara lain menyatakan:

Adalah mustahil untuk membayangkan sesuatu yang dapat dilihat oleh mata atau didengar oleh telinga, baik sesuatu yang benar-benar ada maupun sesuatu yang ada dalam khayalan, yang tidak dapat disajikan dalam media film. Dari kutub sampai khatulistiwa, dari Grand Canyon sampai ke cacat yang sekecil-kecilnya pada sepotong baja, dari desing lajunya sebutir peluru sampai kepada kelambanan pertumbuhan setangkai bunga, dari kejapan fikiran pada wajah yang hampir-hampir tidak member ksean apapun, sampai pada hingar-bingarnya ocehan seorang gila, tidak ada satu titik pun dalam ruang, tidak ada kadar besar atau cepatnya gerak yang mungkin difahami manusia, yang tidak berada dalam jangkauan film.

Film tidak hanya tak terbatas dalam lingkungan subyeknya, tapi pun dalam

cakupan cara pendekatan pada materi tersebut. dalam suasana dan cara pengerjaan,

ia bisa berada antara suasana yang liris dan nada yang epis; dalam soal sudaut

pandangan ia bisa meliputi seluruh spektrum dari yang bersifat obyektif murni

(40)

memusatkan diri pada permukaan realitas dan pada yang bersifat sensual murni,

atau menggali sesuatu yang bersifat intelektual dan falsafi.

Dalam soal dimensi, waktu, film dapat berpaling ke belakang dan

memandang kea rah kelampauan yang jauh, atau menyusup ke depan, ke kanan

yang jauh. Ia bisa membuat beberapa detik terasa seperti beberapa jam. Ia dapat

memadatkan satu abad menjadi beberapa menit. Akhirnya, film sanggup

menghidupkan seluruh spektrum kepekaan manusia, mulai dari yang paling

lembut, halus, rapuh, dan indah sampai kepada yang kasar, kejam dan memuakkan.

Tapi yang lebih penting lagi daripada ketidak-terbatasan ruang lingkup

media film ini menyangkut sasaran utama dan penanganannya adalah citarasa

kenyataan yang melimpah ruah yang dapat ia sampaikan, tanpa menghiraukan sifat

dasar daripada masalah intinya itu. Citarasa kenyataan dalam film ini terutama

bersumber pada arus penglihatan, arus suara dan arus gerak yang serba

berkesinambungan yang terdapat dalam media ini, yang keseluruhannya

merupakan modal dasar sinematik, yang mampu membuat segala yang tampak

pada layar seakan-akan tengah berlangsung pada saat yang sama dan menjadikan

penonton benar-benar terbenam dalam angan yang paling lengkap dan mutlak yang

diemban oleh film adalah bentuk dan dampak emosional dari realita yang paling

telanjang. 23

Sedangkan menurut André Bazin24 sinema adalah fenomena gagasan.

Gagasan yang direka manusia itu sudah ada secara lengkap di benaknya.25

23Joseph M. Boggs, Cara Menilai Sebuah Film (The Art of Watching Film)diterjemahkan oleh Asrul Sani, Jakarta:Penerbit Yayasan Citra, 1992. Hal 4-6

24

Gambar

figure ekspresi & movement, juga lighting. Elemen sound juga diadopsi dari seni
Tabel 1.4Analisis petikan dialog di setiap scene terhadap unsur-unsur KAB
Tabel 2.4
Tabel 3.43. Unsur Organisasi Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Namun, yang harus diperhatikan adalah bila lempung tidak mengandung pasir atau lanau, maka nilai c u bisa diperoleh dari uji geser kipas (vane shear test) di lapangan. Tanah lunak

Hasil studi ini mengkonfirmasi hasil studi Suprapti, dkk (2007) yang menyatakan bahwa kualitas jasa berpengaruh pada niat pemakaian ulang pelanggannya. Secara lebih

Dihadapan saodara tersajikan sirup buah kersen, kesediaan sodara diminta untuk memberikan penilaan terhadap kekentalan sirup buah kersen, sesuwai dengan

Pada proses ini, penulis menggunakan pengujian dengan metode black box pada halaman login admin, tambah data admin ubah data admin, pendaftaran pelanggan, login pelanggan,

Beberapa hal yang menarik untuk kegiatan jamboree nasional ke X adalah, untuk pertama kalinya Jamboree Nasional Gerakan Pramuka dilaksanakan pada Bulan Agustus 2016 (Bumi

Tujuan dan sasaran yang termuat dalam SMK3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan

Pengeluaran biaya akibat kecelakaan dan sakit yang berkaitan dengan kerja merugikan ekonomi dunia lebih dari seribu miliar dollar (850 miliar euro) diseluruh dunia., atau 20

Dari analisa data man-hours dan wawancara dengan perwakilan perusahaan, pada tahun 2010, jumlah kecelakaan tercatat yang terbesar terjadi pada departemen Operation