• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V Penutup

B. Saran-saran

Akhirnya film Al-Kautsar yang penulis teliti mengacu pada konteks perspektif komunikasi antar budaya, melalui proses komunikasi antar budaya kesejangan pengetahuan dan pemahaman

1

Ilya Sunarwinadi, Komunikasi Antar Budaya, ( Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun). Hal 30

keagamaan dapat diatasi melalui kesepahaman bersama dan dalam film ini usaha Saiful Bahri telah menemukan momentumnya di mana Haji Musa dan masyarakat desa Sekarlangit telah dapat menerima gagasan yang ia bawa dan keteguhan hatinya dalam menegakkan amar ma’ruf nahiy mungkar secara eksplisit telah mampu menyadarkan Sutan dan Harun dari kesesatan mereka. Dalam pandangan komunikasi antarbudaya, menurut Guo-Ming Chen dan William J. Starosta mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Tokoh protagonis, Saiful Bahri telah dengan sukses melakukan proses negosiasi atau pertukaran simbolik dengan Haji Musa, Sutan, tuan Harun dan masyarakat desa Sekarlangit. Gagasan pembaruannya dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat di desa Sekarlangit dan membawa nilai-nilai pembaruan yang berdasarkan konsepsi amar ma’ruf nahiy mungkar. Akhirnya tujuan komunikasi antarbudaya dapat tercapai dengan mengurangi tingkat ketidakpastian.

118 DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Abdullah, M. Amin. Dinamika Islam Kultural, Bandung: Penerbit Mizan, 2000.

Abdurahman, Moeslim. Islam Sebagai Kritik Sosial, Mahdi, Sayed (Ed)., Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003.

Abdullah, Taufik (dkk). Film Indonesia Bagian I (1900-1950),Jakarta: Dewan Film Nasional & Perum Pecetakan Negara RI, 1993.

Bazin, Andre. What Is Cinema? vol 1, Terj. Hugh Gray. California: The University of California Press, 1967.

____________, Sinema, Apakah Itu?Terj. Dr. Rahayu S. Hidayat dari Qu’est-ce Que le Cinema?/What Is Cinema?, Jakarta: Penerbit Pusat Pembinaan dan Pengetahuan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996.

Chisaan, Choirotun. LESBUMI; Strategi Politik Kebudayaan, Jogjakarta: Penerbit LKiS, 2008.

David Bordwell & Kristin Thompson, Film Art : An Introduction, Fifth edition, New York: McGraw-Hill, 1997.

Esposito, John L. Islam Warna Warni; Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus,Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet. I, Diterjemahkan dari Islam ; The Straight Path. 1988, Oxford University Press, 2004.

Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practises, Chapter I: The Work of Representation, London: Sage Publication Ltd, 1997.

H. Rumondor, Alex. Materi Pokok Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Universitas Terbuka, 1995.

Ismail, Usmar. Mengupas Film Indonesia, Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983.

Jainuri, Ahmad. “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan (Ed)., Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2004.

JB. Kristanto. Katalog Film Indonesia; 1926-2005, Jakarta: Penerbit Nalar, FFTV IKJ Press & Sinematek Indonesia, 2005.

____________, Nonton Film Nonton Indonesia, Cet. I, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2004.

Kuntowijoyo. Paradigma Islam; Interpretasi Untuk Aksi, Cet. VIII, Bandung : Penerbit Mizan, 1998.

Liliweri, Alo. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2007.

Madjid, Nurcholish. “Iman dan Tata Nilai Rabbaniyah”, dalam Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan. Jakarta: Penerbit Paramadina, 2000.

____________. “Penyegaran Kembali Pemahaman Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia” dalam Wacana Islam Liberal,Charles Kurzman (Ed)., Jakarta: Penerbit Paramadina, 2001.

M. Boggs, Joseph. The Art of Watching Film, Diterjemahkan oleh Asrul Sani dengan judul Cara Menilai Sebuah Film, Jakarta : Yayasan Citra, 1986.

Moleng. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung : Penerbit PT. Remaja Rosdakarya, 2006.

Munawar Rahman, Budhy. “Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah; Pemikiran Neo-Modernisme Islam di Indonesia”, dalam Artikulasi Islam Kultural; Dari Tahapan Moral ke Periode Sejarah, Asep Gunawan (Ed)., Jakarta : Penerbit PT Raja Grafindo Persada. 2004.

Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement In Indonesia 1900- 1942, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973, Diterjemahkan

oleh Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Cet. VIII, Jakarta : Penerbit Pustaka LP3ES,1996.

Said, Salim. Profil Dunia Film Indonesia,Jakarta: Grafiti Press, 1982. Sani, Asrul. Naskah Skenario Film Al-Kautsar, Jakarta: PT Sippang Jaya Sakti Film, 1976.

Siagian, Gayus. Menilai Film. Jakarta: Penerbit Dewan Kesenian Jakarta, 2006.

Sunarwinadi, Ilya. Komunikasi Antar Budaya, Jakarta: Pusat Antar Universitas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, tanpa tahun.

Tim Penyusun, Apa Siapa Orang Film Indonesia. Jakarta: Penerbit Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan RI, 1999.

Wahid, Abdurrahman. “Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk”, dalam Seni Masyarakat Indonesia; Bunga Rampai, Edi Sedyawati & Sapardi Djoko Damono (Ed.), Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.

Yusa Biran, H. Misbach. Sejarah Film 1900-1950; Bikin Film di Jawa, Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2009.

Zada, Khamami. “Dakwah Transformatif Mengantar Da’i sebagai Pendamping Masyarakat”, dalam Dakwah Transformatif, Mujtaba Hamdi (Ed.), Jakarta: Penerbit LAKPESDAM NU, 2006.

Referensi Artikel, Makalah

Adi Wicaksono, Dosa Asal Film Indonesia,

http://www2.kompas.com/kompascetak/0703/02/Bentara/3344569.htm Amir Syarifuddin,

http://palantaminang.wordpress.com/2009/07/20/tentang-harato- pusako- tinggi/

Dewi Indriastuti, Rantau, Surau dan Lapau di Minangkabau, http://satria11.blogspot.com/2009/08/rantau-surau-lapau-di- minangkabau.html

Ekky Imanjaya, Wajah Islam dan Umatnya dalam Film Indonesia, 2008, http://ekkyij.multyply.com/journal/item/104

Eric Sasono, Beragam Representasi Islam dalam Beberapa Film Indonesia,tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi mengenai film-film Islam di Yayasan Salihara, Jakarta 12 September 2008. Tulisan ini belum dipublikasikan.

Hardjuno Pramundito dan Bambang Triyono, Berburu Babi Hutan di Ranah Minang,

http://www.cimbuak.net/content/view/597/7/http://id.wikipedia.org/wik i/Budaya_Minangkabau

Kus Pujiati, Naratif dan Style; Pasangan Setia Tidak Terpisahkan. Makalah yang belum dipublikasikan.

Renal Rinoza Kasturi, Doa Yang Mengancam; Potret Pergulatan Iman Kaum Subaltern dipublikasikan di www.jurnalfootage.net

_________, Tauhid Sosial Dalam Film Al-Kautsar(makalah belum di publikasikan).

_________, André Bazin dan Akademisasi Film,Lembaran Viewfinder edisi desember 2008.

Veronica Kusuma, Asrul Sani dan Fragmen Keadaan, http://old.rumahfilm.org/artikel_asrul.htm

LAMPIRAN

Lembar Wawancara

Responden : H. Chaerul Umam

Koresponden : Rinal Rinoza

Waktu Wawancara : 4 Februari 2010

Tempat Wawancara : Gedung Perintis Kemerdekaan Jalan

Proklamasi Jakarta Pusat

Assalamuaikum wr.wb terima kasih atas atensi bapak kepada saya, begini skripsi saya membahas film Bapak Al-Kautsar, skripsi saya berjudul Persepektif Komunikasi Antar Budaya Dalam Film Al-Kautsar , jadi ada satu hal yang saya angkat dari film itu terutama dari konteks komunikasi antar budayanya Pak, dan berkenaan dengan materi skripsi saya, yang saya tanyakan kepada bapak.

1. Sebelum saya membahas film al-kautsar ini ke bapak, ada yang ingin saya tanyakan ke bapak. Indonesia itu adalah menganut Islam terbesar di dunia. Ironisnya film-film Islam masih minim diproduksi, bagaimana menurut bapak?

Ya, karena Indonesia itu kuantitasnya saja yang besar tapi kualitas keberagamaannya sangat rendah dibandingkan dengan kuantitasnya jadi masih agama turunan masih belum jadi agama kesadaran. Jadi, itu pun menyangkut dari hal yang lain seperti si pembuat filmnya juga tidak tersentuh dengan ajaran-ajaran agamanya, terus bisnismennya tidak tersentuh dengan sentimen ajaran agamanya , kebanyakan begitu yang tersntuh itu bisa dihitung dengan jari bisa dikatakan tidak ada, itu masalahnya, jadi, besarnya umat islam di Indonesia itu besarnya secara kuantitas tapi kualitasnya masih rendah dari segala hal.

2. Termasuk dalam ranah kebudayaan yang didalamnya ada film? Ya, itu apalagi. Film adalah teknologi baru

3. Yang berkaitan dengan pertanyaan saya ini ketika film Al – Kautsar ini diproduksi pada tahun 1977 itu kan kita bisa lihat perbandingannya sangat jumping sekali itu pak, dengan tema-tema

yang lain, bagimana bapak melihat film Al-Kautsar ini dengan film-film yang lain pada saat itu pak?

Saya kira sama saya, sekarang juga sama saja ya kalau waktu itu motivasinya sebetulnya disamping memang keinginan saya tema-tema Islam itu lebih dekat dengan kehidupan saya secara marketing itu sudah saya perhitungkan hal-hal yg melawan arus itu biasanya sensasionil dan ternyata itu memang benar. Saya tidak tahu apa karena melawan arus atau kerinduan masyarakat muslim akan tontonan yang Islami, saya belum tahu,

4. Mungkin bisa dengan keseharian mereka (masyarakat muslim- red)?

Mungkin juga, mungkin mereka jenuh dengan tontonan yang sampai sekarang ini ada tontonan anti agama. Ketika ada film-film yang bertema religius mereka akan suka tapi disamping itu film-filmnya (film Islam) harus komunikatif kalau nggak ya jadinya tetap slogan melulu

5. Hanya bersifat simbolik belaka?

Ya slogan, jadi cuma simbol-simbol saja

6. Dan itu berkaitan dengan apa sih yang menjadi problem mendasar dengan film al-kautsar ini?

Bahwa agama itu dilakukan didalam motif cerita film ini, agama itu dilakukan tidak sekedar diomongkan tapi dilakukan jadi Islam agama yang juga mengurus masalah pertanian, mengurus masalah keterbelangan, mengurus masalah HAM juga

7. Kalau Boleh saya asumsikan tokoh Saiful Bahri itu lokomotif pembaharu dicerita film tersebut dan juga berkenaan dengn figur Saiful Bahri sebagai agen transformasi sosial yang merombak sistem pendidikan di madarasah dengan metode baru, membangun irigasi pertanian?

Ya, saya kira memang betul dia mengimplementasikan bahwa agama itu dilakukan bukan sekedar diomongkan yang sekedar ritual, sekedar di-tabligh-kan aja tapi dilakukan

8. Cuma masalahnya upaya yang dilakukan Saiful Bahri itu justru mendapat atau kurang ada rasa simpatik dari H. Musa, bagaimana menurut pandangan bapak?

Nggak, sebetulnya tidak, sebetulnya h.Musa itu berpihak kepada Saiful Bahri cuma ia tidak langsung menerima, dia menguji, prinsipnya anak muda oke, tapi harus diuji dulu jangan langsung diterima saja ka nada adegan ketika orang kampung datang kemudian menyampaikan semacam laporan. H. Musa si Saiful begini- begini…, ini akan mengaliri sawah menurut kamu bagus apa nggak… tapi men urut pak haji aja deh… oh nggak bisa itu namanya kamu keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa… menurut kamu bagus nggak … kalau menurut saya bagus… ya ikutin, gitu! Jadi dia ini (H. Musa-red) bermain di dua tempat di masyarakat ia menganjurkan ikutin Saiful tapi sementara di depan Saifulnya tidak begitu saja memberi hati, di tes… diteror… Ya anak uda ini bisanya ngomong doang… uwah jadi anu… jadi semangat. Disini sebetulnya bukan konflik antar generasi, bukan.

9. Bukan juga dikotomi antara yang satu modernis yang satu tradisional,

Bukan juga, yang tradisional itu masyarakatnya, sebetulnya H.Musa itu modern tapi baru dalam pemikiran kan, dia cuma tidak berbuat nah ini ada anak muda yang berbuat, setuju dia… dia diuji dulu

10. Ya, kalau saya boleh katakan hal apa yang membuat film itu dalam konteks ini adalah pandangan bapak mengenai tajdid

Tadjid, ya itu tadi bahwa agama itu dikerjakan… dilakukanlah… itu sebetulnya tajdid, bahwa agama mengurus pertanian, waktu itu kan tidak, pertanian ya pertanian… agamawan ya agamawan… (Renal: ya itu menjadi dialog-dialog yang sangat alot yang ketika H. Musa

berdebat dengan Saiful Bahri) Ya itu pancingan saja… itu sebetulnya teror H. Musa untuk menguji sampai seberapa jauh semangatnya anak muda ini. Jadi sekadar menguji…

11. Ya itukan sering kita lihat ada sebuah adegan terjadi perdebatan soal mengimplementasikan ajaran Islam, itu menurut bapak posisinya baigamana?

Tetap dalam konteks itu, dalam rangka menguji dalam rangka menyangi… seberapa jauh motivasi si Saiful Bahri sebab sebelumnya ada yang jago seperti dia yang jago Al-Quran, jago Hadis disitu yang namanya Sutan akhirnya dia rusak terlena duniawi jangan-jangan ini anak begitu juga, ada contohnya makanya H.Musa menguji

12. Ini berkenaan dengan posisi film al-kautsar dengan film-film nasional ketika itu, ada hal yang menarik ulasan dari kritikus film. Menurut JB. Kristanto seorang kritikus film mengatakan bahwa film Al-Kautsar pantas dicatat. Pertama, karena jenis film itu langka/melawan arus. Kedua, film ini sempat menyuguhkan suatu suasana masyarakat yang selama ini tak terjamah dalam film-film nasional. Nah Salim Said mengatakan film Indonesia tidak jauh dari wajah perkotaan yang serba mewah dan dipenuhi gaya hidup yang sangat kontras dengan kebanyakan masyarakat Indonesia, namun film Al-Kautsar berani untuk mengambil tema yang berbeda, bagaimana komentar bapak berkenaan dengan grafik perfilman nasional yang ketika mencapai puncaknya dan bapak berani membuat film seperti itu?

Ya kira mereka benar, karena analisanya saya tadi, sesuatu yang melawan arus secara teoritis itu akan diminati orang dan yang kedua motif saya itu saya beranggapan sebuah karya akan komunikatif apabila si pembuat itu tahu dan dekat dengan permasalahannya, film saya yang Islami itu cuma 4 biji klo nggak salah tuh disamping 20 sekian biji tapi orang mencap saya sebagai sutradara film Islam karena itu yang lebih komunikatif disamping film yang komedi .

Mungkin karena sejak kecil saya dekat dengan lingkungan surau, Ibu saya seorang muballighat… kemana-mana saya dibawa disekolah juga teman-temannya yang Islam ketika mahasiswa masuknya ke HMI sampai dengan sekarang ini lingkungan saya itu ustad-ustad… sehingga lebih mengerti masalah-masalah lingkungan keislaman… (Ya, jadi itu menurut bapak) Ya, disamping melawan arus juga ada motivasi pribadi saya berpendapat bahwa suatu karya akan komunikatif apalabila si pembuat dekat dengan lingkungannya

13. Dan itu berbanding terbalik dengan tema-tema film nasional ketika itu yang melihat wajah perkotaan yg serba mewah, glamour, wah, dsb?

Tapi si pembuatnya orang kampung , sutradara-sutradaraanya kan waktu itu orang kampung jadi aneh terlalu dibuat-buat ada orang dirumah mau masak pake make up nggak karuan baju mewah… itu kan berarti dia nggak ngerti kehidupan orang kaya, orang kayak lo dirumah juga pake daster biasa kan tapi di film kita nggak karena mereka nggak tahu klo orang kaya tuh begini…begini… berarti dia nggak tau tuh masak dirumah pake sanggul…pake gincu ngapain 14. Berkenaan dengan itu, bapak sependapat bahwa film Al-Kautsar

ini bukan bertujuan mencari keuntungan akan tetapi mendidik masyarakat?

Tetap, kita tetap cari keuntungan juga itu yang saya bilang bahwa yang melawan arus pasti diminati dan itukan duit dan kenyataannya memang benar apalagi ketika itu dapat Piala kan ah tambah laris… beredarnya setelah Festival Film Asia XVIII di Bangkok tahun 1977, wah orang pada rame-rame nonton … apa karena temanya apa karena itu (FFA XVII-red)…

15. Berkenaan dengan FFA XVIII di Bangkok pada tahun 1977, film ini mendapat penghargaan untuk Tata Suara Terbaik karena ada kor kasidahannya yang membuat film ini kira-kira mendapat penghargaan?

Bukan karena itu juga (kasidahan-red) karena komposisi itunya meskipun kasidah klo kasidahnya jelek… jadi perekamannya itu lo… rekaman suara terus sama sesuai budaya (Itu siapa yg punya idenya Pak yang masukin suara kor kasidahan) saya sendiri, saya pake grup amatir saja itu, anak-anak Assyafiiyah dan konduktornya teman di Jogja dulu… saya suruh ngarang aja…

16. Di film tersebut syutingnya benar-benar di Pabelan?

Ya, cuma ada antah-berantah lagi namanya desa sekarlangit disekitar Magelang saja tapi asosiasinya Sumatera, tadinya pengen kesana tapi nggak enak kesanya Sumatera terbelakang… ya cumja asosiasinya kesana (sumatera-red). Sepuluh tahun kemudian saya pake kembali dalam film Ketika Cinta Bertasbih, (laku banget Pabelan Pak, di 3 Doa 3 Cinta juga pake Pabelan, kenapa harus Pabelan Pak) saya udah keliling kemana-mana, saya mencari Pesantren yang teduh yang tidak modern bangunannya tetapi bangunannya bersih kemudian suasananya teduh, rindang nah saya tuh sudah keliling ke pesantren-pesantren di Jawa Timur di Jawa Barat. Ada bangunannya yang modern sekali, ada yang terlalu rapet/padat dengan rumah penduduk , hampir semua pesantren-pesantren tradisional itu padet nggak ada halaman kan secara secara gambar kurang enak, pengennya yg teduh saya dapetnya di itu tuh dapetnya jam 2 malem, saya terperosok disitu, kami lagi jalan dari jogja ke jakarta lewat magelang terus kita lihat ada Pondok Pesantren Pabelan, terus masuk gelap nggak ada lampu, ada lapangan luas, ada mesjid, didatangi sama santrinya kenalan disitu, besoknya kita lihat…oh memang enak tempatnya, adem sekali (dosen- dosen saya ada dari Pabelan, Rektor saya juga dari situ)

17. Dalam Film Al-Kautsar ini ceritanya berasal dari cerita H. Chan Pattimura dan skenarionya ditulis oleh H. Asrul Sani, bisa bapak ceritakan mengenai hal ini?

Tadinya itu, saya pengen bikin film Titian SDT, semacam janji klo saya jadi sutradara, wah Titian sudah ada yg beli, wah klo gitu yang

mirip2 aja deh Pak, kan mirip-mirip tokohnya, latarnya dari Pesantren cuma konsepnya beda

18. Ini balik lagi ke cerita film itu Pak, di film Al-Kautsar ini bagaimana cara bapak menyatukan persepsi antara Saiful Bahri dengan H. Musa dalam konteks kalimatunswa (common platform), atau adegan-adegan mana yang dapat menyatukan persepsi mereka berdua?

Pertama adegan itu tadi, klo dalam perdebatan tidak kelihatan. Jadi ketika orang-orang kampung datang laporan yang tadi saya sebutkan. Kedua, yang ketika orang-orang kampung pada demonstrasi bahwa Saiful berkhalwat sama si Halimah, kelihatan H. Musa membela Saiful tapi tidak ditampakkan. H. Musa tidak memusuhi ternyata dibelakangnya ada apa ini. Terakhir, ketika H. Musa berkelahi sama si Harun, kenapa paman membela dia, karena dia benar kamu (Harun) salah. Saiful Nurhayati ada di rumah tuh, loh-loh ternyata selama ini dia (H. Musa) simpati. Jadi tiga hal yang jelas disitu yang sengaja kita sembunyikan disana supaya ada ketegangan, sedikit-sedkit kita kasih nggak ketara.

19. Seperti apa bapak menilai intisari ajaran Islam berupa zikir, fikir, dan ibadah dalam konteks amar ma’ruf nahiy mungkar di film Al-Kautsar ini?

Amar ma’rufnya itulah membuat irigasi, memperbagus, merombak (sebuah madrasah-red), nahiy mungkarnya adalah membela Halimah yang mau diperkosa oleh Harun, amar ma’rufnya lagi bagaimana ia menginsyafkan si Sutan, disitu jelas sekali ketika ia mempergoki Sutan yang mengintip lalu Sutan ditarik ke dalam malah suruh ngajar (di Madrasah-red).

20. Itu cara Saiful Bahri untuk mengajak kembali Kamarudin Sutan ke jalan lurus?

Usahanya disentuhnya saja dengan gurunya (Syeikh Manggar), hati nuraninya disentuh tp tetap memberontak tapi hati sudah goyang…

implementasinya ketika ia membela ketika Saiful berkelahi dengan Harun… disitu udah ketara sekali si Sutan membela Saiful ditambah dia pulang sobek2an lalu ia ke rumah sholat… dibakar gudang milik Harun, cukup dingatkan saja ia…

21. Dan antklimaknya di film ini adalah ketika Kamarudin Sutan dan Harun terperangkap di gudang beras milik Harun yang sengaja dibakar oleh Kamarudin Sutan

Itu klimaks (Chaerul Umam)… antiklimaksnya ketika mereka pingsan kedua-duanya dan mengucapkan kalimat Lailaaillah… dan itu udah mulai antiklimaks dan dua-duanya udah mulai insyaf, dua-duanya udah sama-sama lemas artinya dua-duanya sama syahadat

22. Itu kenapa harus seperti itu Pak, harus pake syahadat segala? Ya artinya insyaf, klo nggak nggak jelas si Harunnya itu loh… (Itu informasi bagi penonton kalau Harun sudah insyaf)… Ya itu sebagai tanda bahwa Harun insyaf, ya jadi selama ini aku salah bahwa api neraka lebih besar dari api ini, klo si Sutan sudah siap, sudah selesai, ketika diluar dinyatakan lagi si pamannya (H. Musa) nanya kenapa Sutan ada disana… kata Harun, Sutan menyelamatkan saya dari api neraka… Halimah langsung jatuh hati disitu… bawa dia kerumah saya (kata Halimah)…jadi itu adalah pengembangan karakter … salah satu daya tarik juga… karakter dari awal sampe akhir jahat melulu… kan cape kita… (Itu pengembangan karakter) ketika diakhir bagaimana karaktrer dikembangkan dengan baik tapi susah itu bagaimana dengan penyangkut logika, bagaimana menyangkut ini segalanya kan…

23. Dan terakhir Pak, tercapai sebuah kesepakatan baik antara Saiful Bahri, H. Musa dan tobatnya Kamarudin Sutan dan Harun dan masyarakat disitu dengan adanya Saiful Bahri, bagaimana menurut bapak?

Ya, permasalahannya semua sudah selesai, Harun sama Saiful selesai, Harun sama Sutan selesai, Harun sama Halimah selesai, Sutan dengan istrinya keluarganya selesai juga, kemudian Saiful Bahri dgn si

Nurhayati selesai juga, H. Musa juga setuju dengan hubungan Saiful Bahri dengan anaknya, Nurhayati. Penyelesaian disana, sementara si Saiful dan Sutan sudah sama-sama mengajar di madrasah itu… Happy ending disana…