• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketimpangan Gender dalam Pendidikan

Ketimpangan gender menggambarkan ketidaksetaraan capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan dan kesehatan. Salah satu target pencapaian tujuan ketiga MDGs dalam mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan adalah menghilangkan kesenjangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun 2015. Indikator yang digunakan adalah (a) rasio angka partisipasi murni (APM) anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan dasar, lanjutan, dan tinggi, dan (b) rasio angka melek huruf (AMH); indeks paritas melek huruf perempuan pada kelompok usia 15-24 tahun terhadap laki-laki.

Angka Partisipasi Murni (APM)

APM mengukur proporsi anak yang bersekolah tepat waktu, yang dibagi dalam tiga kelompok jenjang pendidikan yaitu SD untuk penduduk usia 7-12 tahun, SMP untuk penduduk usia 13-15 tahun, dan SMA untuk penduduk usia 16- 18 tahun. Secara umum capaian APM periode tahun 2009-2011 meningkat di semua jenjang pendidikan.

Tabel 5 Angka partisipasi murni menurut jenjang pendidikan, 2009-2011 (persen)

Jenjang Perkotaan Pedesaan

Pendidikan 2009 2010 2011 2009 2010 2011

Sekolah Dasar

Laki-laki (Lk) 94.70 95.67 91.70 94.32 94.10 91.44

Perempuan (Pr) 94.07 94.33 90.19 94.38 95.02 90.71

Lk+Pr 94.40 95.02 90.97 94.35 94.54 91.09

Sekolah Menengah Pertama

Laki-laki (Lk) 69.35 70.00 70.59 64.68 64.62 63.75

Perempuan (Pr) 68.70 69.40 70.59 67.61 67.54 68.13

Lk+Pr 69.03 69.70 70.59 66.07 66.00 65.84

Sekolah Menengah Atas

Laki-laki (Lk) 54.97 54.66 54.94 37.54 38.15 40.08

Perempuan (Pr) 50.60 50.28 53.14 37.84 38.33 42.70

Lk+Pr 52.81 52.47 54.05 37.68 38.24 41.30

36

Secara nasional persentase pencapaian APM SD meningkat dari 93.37 persen pada tahun 2009, menurun menjadi 91.03 persen pada tahun 2011. Sementara jenjang SMP selama periode tahun 2009-2011 berkisar 67-68 persen, angkanya masih dibawah APM-SD. Angkanya mengalami kenaikan walaupun tidak signifikan, yaitu dari 67.43 persen tahun 2009 mejadi 68.12 persen tahun 2011. Demikian halnya dengan APM-SMA selama periode tahun 2009-2011 berkisar 45-47 persen dan angka ini juga lebih rendah apabila dibandingkan dengan APM SD dan SMP. Tidak ada perbedaan pencapaian yang nyata antara anak laki-laki dan anak perempuan pada jenjang SD, SMP, dan SMA. Walaupun demikian, perlu mendapatkan perhatian adalah adanya perbedaan pencapaian berdasarkan jenjang pendidikan tertentu antara wilayah perdesaan dan perkotaan. Di perkotaan APM SMP dan SMA lebih tinggi dibanding perdesaan, artinya di perdesaan masih banyak penduduk yang hanya mampu menyekolahkan anaknya hanya sampai pada jenjang Sekolah Dasar (SD).

Tabel 6 Angka partisipasi murni menurut kawasan, 2011 (persen)

Kawasan SD SMP SMA

Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Sumatera 92.42 91.34 65.18 70.09 48.53 53.87

Jawa dan Bali 92.04 90.38 69.34 70.58 52.17 49.21

Kalimantan 92.35 91.97 64.63 67.14 43.08 45.93 Sulawesi 88.72 89.17 61.13 62.97 46.31 50.14 NT, Maluku, Papua 87.14 86.55 60.29 62.24 45.49 47.81 Kawasan barat 92.26 90.95 66.89 70.29 50.03 51.95 Kawasan timur 89.03 88.89 61.69 63.74 45.19 48.21 Indonesia 91.56 90.46 67.01 69.32 47.64 48.31 Sumber: BPS

Dilihat dari distribusi wilayah, ada disparitas antar provinsi dan kawasan terutama Provinsi Papua dimana APM SD baru mencapai 70.13 persen, sedangkan provinsi yang lainnya sudah diatas 86 persen. Kawasan timur APM baik laki-laki maupun perempuan di semua jenjang pendidikan lebih rendah daripada kawasan barat. Sementara APM-SMP-SMA di beberapa provinsi seperti: Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Aceh, Sumatera Utara dan D.I Yogyakarta, telah mampu mencapai kisaran 54 persen dan 68 persen.

Rata-rata Lama Sekolah

Rata-rata lama sekolah di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun baik di Kawasan Barat Indonesia (KBI) maupun Kawasan Timur Indonesia (KTI). Capaian kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan terus mengalami kemajuan. Rata-rata lama sekolah di KBI lebih tinggi daripada KTI, namun akselerasi menuju kesetaraan pendidikan di KTI lebih tinggi dibanding KBI. Hal

37 ini terlihat dari nilai rasio (pr/lk) meningkat dari 0.87 (2003) menjadi 0.91 (2012) untuk KBI dan 0.89 (2003) menjadi 0.92 (2012) untuk KTI. Walaupun demikian, sampai tahun 2012 masih terdapat kesenjangan pendidikan antara gender, terlihat dari rasio rata-rata lama sekolah perempuan terhadap laki-laki hanya naik 0.03- 0.04 selama kurun waktu sepuluh tahun. Provinsi DKI Jakarta rata-rata lama sekolah laki-laki sebesar 10.83 dan perempuan 9.99 tahun sedangkan provinsi Papua rata-rata lama sekolah laki-laki sebesar 6.90 dan perempuan 5.59 tahun. Tabel 7 Rata-rata lama sekolah perempuan dan laki-laki, 2003-2012 (tahun)

Kawasan Tahun

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Kawasan Barat Indonesia (KBI)

Laki-laki (Lk) 8.00 8.18 8.24 8.30 8.37 8.36 8.55 8.73 8.73 8.90 Perempuan (Pr) 6.99 7.15 7.31 7.38 7.45 7.53 7.71 7.97 8.00 8.13 Rasio (Pr/Lk) 0.87 0.87 0.89 0.89 0.89 0.90 0.90 0.91 0.92 0.91

Kawasan Timur Indonesia (KTI)

Laki-laki (Lk) 7.47 7.64 7.58 7.69 7.79 7.81 7.93 8.14 8.05 8.26 Perempuan (Pr) 6.63 6.78 6.84 6.93 7.02 7.08 7.25 7.50 7.43 7.63 Rasio (Pr/Lk) 0.89 0.89 0.90 0.90 0.90 0.91 0.91 0.92 0.92 0.92 Sumber: BPS

Ketimpangan Gender dalam Ketenagakerjaan

Salah satu perkembangan sektor ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian besar dalam pelaksanaan pembangunan adalah semakin pentingnya peranan angkatan kerja perempuan. Secara keseluruhan, tenaga kerja wanita di Indonesia menurut hasil Survei Angkatan Kerja Agustus 2012 mencapai sekitar 37.92 persen dari seluruh angkatan kerja. Sedangkan pada tahun 2003 angkatan kerja perempuan sebesar 37.13 persen. Dengan demikian, ada sedikit kenaikan pertumbuhan tenaga kerja wanita selama perode tahun 2003-2012. Pada umumnya perempuan terpaksa untuk memilih dua keadaan yakni antara bekerja atau mengurus rumah tangga. Dibanding kaum pria, kaum wanita banyak bekerja hanya di lingkungan keluarga saja. Status perempuan sekarang, dimana keadaan ekonomi menuntut tidak hanya kaum pria saja yang harus bekerja keras atau mencari nafkah.

Pencapaian pembangunan dalam bidang ketenagakerjaan menunjukkan adanya kesenjangan gender yang cukup besar dalam tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang cenderung membesar dari tahun ke tahun. Penyebab turun naiknya TPAK perempuan, antara lain karena faktor sosial, demografis, dan

budaya, misalnya stereotype peran perempuan yang menempatkan mereka pada

tuntutan untuk tetap memerankan tugas domestik, peran ganda. Sedangkan lelaki ditempatkan sebagai pekerja nafkah dan pekerja publik. Akibatkanya banyak perempuan yang bekerja nafkah di lingkup rumahtangga atau di lahan pertanian

38

milik keluarga, menganggap pekerjaannya sebagai perpanjangan pekerjaan domestik yang biasa mereka lakukan (Hubeis 2010).

Angkatan Kerja Menurut Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia. Pendidikan juga menjadi salah satu indikator kemajuan suatu wilayah, khususnya dalam pembangunan sosial. Semakin banyak penduduk yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi diharapkan pertumbuhan pembangunan dalam bidang sosial dan ekonomi akan semakin meningkat pula. Pendidikan angkatan kerja pada umumnya mengalami kemajuan selama periode 2008-2012, hal ini ditandai dengan meningkatnya mereka yang berpendidikan SLTP ke atas, sementara mereka yang berpendidikan SD atau lebih rendah semakin menurun. Walaupun demikian, angkatan kerja berpendidikan SD masih mendominasi sekitar 49 persen sepanjang periode 2008-2012.

Tabel 8 Persentase angkatan kerja menurut jenjang pendidikan, 2008-2012

Pendidikan 2008 2010 2012 Lk Pr Lk Pr Lk Pr ≤ SD 49.63 55.29 47.19 50.96 45.37 50.63 SLTP+SLTA 44.14 36.12 45.87 39.10 46.75 38.62 Perg. Tinggi 6.23 8.59 6.93 9.94 7.88 10.75 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber: BPS

Pada periode 2008-2012 rata-rata angkatan kerja perempuan di tingkat Sekolah Dasar dan perguruan tinggi lebih tinggi dibanding laki-laki. Angkatan kerja perempuan di tingkat SLTP dan SLTA persentase pendidikan perempuan lebih rendah dibanding laki-laki. Hal ini menunjukkan masih rendahnya produktivitas angkatan kerja di Indonesia baik laki-laki maupun perempuan. Angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah persentasenya masih tetap cukup tinggi walaupun ada kecenderungan penurunannya.

Program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah belum sepenuhnya terealisasi. Hal ini dapat dilihat bahwa angkatan kerja yang berpendidikan SD ke bawah persentasenya masih tetap cukup tinggi walaupun ada kecenderungan penurunannya. Peningkatan kualitas angkatan kerja juga ditunjukkan dengan semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi terutama universitas dengan pertambahan rata-rata 11.95 persen per tahun. Keadaan Penduduk Indonesia yang Bekerja

Bekerja merupakan salah satu kegiatan yang mencerminkan aktivitas ekonomi suatu wilayah. Semakin banyak penduduk yang bekerja maka akan semakin positif dampaknya terhadap kehidupan sosial ekonomi suatu wilayah. Dengan semakin banyak penduduk yang bekerja dan sedikit penduduk yang menganggur, pemerintah akan semakin ringan dalam menangani masalah penyerapan tenaga kerja dan dapat berkonsentrasi di sektor yang lain misalnya peningkatan kualitas sumber daya manusia. Sebaliknya jumlah orang yang bekerja di suatu wilayah juga menggambarkan seberapa besar potensi ekonomi wilayah tersebut.

39 Jumlah orang yang bekerja di Indonesia pada tahun 2008 tercatat sebanyak 102.55 juta orang, naik menjadi 110.81 juta orang pada tahun 2012. Pada periode 2008-2012 jika dilihat dari daerah tempat tinggal jumlah yang bekerja di daerah pedesaan lebih banyak daripada di daerah perkotaan. Dilihat menurut jenis kelamin jumlah laki-laki yang bekerja lebih banyak dari perempuan.

Persentase orang yang bekerja di sektor pertanian tahun 2008-2012 terus menurun dari 40.30 persen menjadi 35.09 persen. Sektor perdagangan bergerak dari 20.69 persen menjadi 20.90 persen pada periode 2008-2012. Menurut jenis kelamin, perempuan banyak bekerja di sektor pertanian, sektor industri, sektor perdagangan, dan sektor jasa. Tenaga kerja perempuan bekerja di sektor pertanian sebesar 34.48 persen, perdagangan sebesar 27.81 persen, dan jasa sebesar 19.17 persen. Tenaga kerja perempuan umumnya bekerja di sektor informal. Penurunan lapangan kerja di sektor pertanian setiap tahun terjadi, ini berdampak pada tenaga kerja perempuan juga. Penurunan tersebut diimbangi dengan kenaikan proporsi penduduk yang bekerja di sektor industri, perdagangan, dan jasa. Di antara ketiga sektor tersebut ternyata peningkatan tenaga kerja perempuan sektor jasa lebih tinggi dibanding sektor industri dan perdagangan.

Makin menurunnya persentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian dapat pula mempersempit kesempatan kerja bagi perempuan. Sebelum teknologi pertanian berkembang seperti saat ini, dalam kegiatan pertanian tenaga kerja perempuan masih banyak dimanfaatkan dalam bidang pertanian, mulai dari proses menanam sampai dengan pemanenan hasil pertanian. Namun, adanya perkembangan teknologi di bidang pertanian, tenaga kerja perempuan nampaknya dapat tergeser, terutama hal ini terasa di daerah pedesaan.

Tabel 9 Persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja seminggu yang lalu menurut lapangan pekerjaan, 2008-2012

Lapangan Usaha *) 2008 2010 2012

Lk Pr Lk Pr Lk Pr

Pertanian 40.55 39.89 38.80 37.60 35.46 34.48

Pertambangan 1.47 0.34 1.64 0.37 2.11 0.34

Industri 11.16 14.02 11.60 14.72 13.01 15.28

Listrik, gas, dan air 0.29 0.04 0.31 0.05 0.33 0.05

Bangunan 8.31 0.33 8.09 0.34 9.61 0.37 Perdagangan 16.45 27.70 16.90 27.22 16.72 27.81 Angkutan 8.55 1.85 7.62 1.18 6.83 0.67 Keuangan 1.61 1.12 1.82 1.25 2.75 1.83 Jasa 11.60 14.71 13.23 17.26 13.18 19.17 Jumlah 100 100 100 100 100 100 Sumber: BPS

Sektor jasa bukanlah hal yang asing lagi bagi perempuan untuk memasuki bidang ketenagakerjaan. Bahkan pada sektor jasa, perempuan lebih cepat untuk menekuni dan memgembangkan karirnya. Nampaknya sektor jasa lebih fleksibel bagi perempuan, artinya selain untuk menambah pendapatan keluarga, fungsi sebagai ibu rumah tangga juga masih dapat dilakukan. Hal ini didukung terbukanya kesempatan kerja bagi perempuan di subsektor jasa kemasyarakatan.

40

Selain perdagangan dan jasa, tenaga kerja perempuan yang bekerja di sektor industri juga naik dari 14.02 persen di tahun 2008 menjadi 15.28 persen.

Formal dan Informal

Pengelompokan tenaga kerja dapat dibedakan menurut kegiatan formal dan kegiatan informal. Pendekatan kelompok formal dan informal yang digunakan didasarkan pada kombinasi antara status pekerjaan (employment status) dan jenis

pekerjaan (occupation). Melalui pendekatan itu seorang pekerja dikategorikan

pekerja formal didefinisikan sebagai pekerja yang berstatus berusaha dibantu pekerja tetap/pekerja dibayar, buruh/karyawan, di luar itu sebagai pekerja informal. Berdasarkan pengelompokan tersebut, pada tahun 2012 penduduk yang bekerja di sektor informal sebesar 53.57 persen, suatu sektor yang bercirikan berskala serba kecil dilihat dari modal maupun tenaga kerja yang seringkali masih memiliki mobilitas yang tinggi dalam arti mudah berubah bidang kegiatannya. Umumnya tenaga kerja infomal memiliki upah yang lebih rendah, sehingga mereka rentan terhadap kemiskinan. Data Sakernas menunjukkan bahwa kegiatan informal merupakan penyelamat keadaan ketenagakerjaan di Indonesia, karena kenaikan jumlah tenaga kerja di sektor informal secara keseluruhan dapat menjadi penampungan jumlah tenaga kerja atau mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia.

Tabel 10 menunjukkan bahwa proporsi penduduk perempuan yang bekerja di sektor informal lebih besar dibanding penduduk laki-laki. Proporsi perempuan bekerja di sektor informal sebesar 57.51 persen, sedangkan laki-laki sebesar 51.19 persen. Adanya fleksibilitas dalam bekerja di sektor informal, perempuan nampaknya lebih sesuai bekerja di dalamnya. Sedangkan proporsi perempuan bekerja di sektor formal hanya 42.49 persen dibandingkan laki-laki sebesar 48.81 persen.

Tabel 10 Proporsi penduduk bekerja di sektor formal dan informal, 2008- 2012

Tahun Laki-laki Perempuan

Formal Informal Total Formal Informal Total 2008 40.68 59.32 100 35.53 64.47 100 2009 39.91 60.09 100 36.02 63.98 100 2010 42.75 57.25 100 38.20 61.80 100 2011 47.32 52.68 100 42.11 57.89 100 2012 48.81 51.19 100 42.49 57.51 100 Sumber: BPS

Angka tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan selalu lebih tinggi dari tahun ke tahun. TPT adalah proporsi angkatan kerja yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan yang dapat digunakan untuk mengindikasikan seberapa besar penawaran kerja yang tidak dapat terserap dalam pasar tenaga kerja. Menurut BPS (2011), TPT perempuan tinggi diduga terkait dengan tipe pekerjaan perempuan yang bersifat informal atau tenaga kerja keluarga tidak dibayar. Karena pekerja tidak dibayar, pekerjaan mereka tidak terhitung dalam pencatatan nasional.

41

Sumber: BPS, diolah

42

43

Dokumen terkait