DAMPAK KETIMPANGAN GENDER TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
AGNES VERA YANTI SITORUS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Ketimpangan Gender terhadap Pertumbuhan Ekonomi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013
Agnes Vera Yanti Sitorus
RINGKASAN
AGNES VERA YANTI SITORUS. Dampak Ketimpangan Gender terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. Dibimbing oleh D.S.PRIYARSONO dan NUNUNG NURYARTONO.
Gender adalah perbedaan perlakuan antara lelaki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial-budaya, politik dan ekonomi. Ketimpangan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan di Indonesia, masih terdapat senjang antara capaian manfaat hasil pembangunan pada perempuan dan laki-laki yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai wilayah/provinsi. Menurut United Nations Development Programme (2010), tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Ketimpangan gender antara lain terjadi di pendidikan, pekerjaan, akses atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik. Perempuan menanggung beban paling berat akibat ketimpangan yang terjadi, namun pada dasarnya ketimpangan itu merugikan semua orang dan akhirnya merugikan perekonomian suatu negara.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami perkembangan yang pesat dalam mengurangi ketimpangan di bidang pendidikan antara laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan semakin mengecilnya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan dalam capaian tingkat pendidikan. Walaupun demikian, tingkat produktivitas dan partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah. Peran perempuan dalam pembangunan perlu terus diperhatikan dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Karena peningkatan peran perempuan mempunyai dampak penting dalam memutus lingkaran setan kemiskinan. Perbaikan kualitas manusia perempuan khususnya pendidikan menjadi isu penting karena sangat menentukan kualitas hidup generasi mendatang.
Tujuan dari penelitian untuk menganalisis ketimpangan gender di Indonesia dengan menggunakan Indeks Pembangunan Gender (IPG), menganalisis ketimpangan gender dalam pendidikan dan ketenagakerjaan (diproksi dengan ketimpangan gender di rata-rata lama sekolah dan tingkat partisipasi angkatan kerja) terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menggunakan data panel 30 provinsi selama tahun 2003-2012. Indeks ketimpangan gender diproksi dengan rasio IPG terhadap IPM. Hasil analisis deskriptif menunjukkan masih ada ketimpangan gender, dimana masih ada senjang antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG). Analisis ekonometrika dengan FEM (Fixed Effect Model) menunjukkan ada dampak positif pendidikan, rata-rata lama sekolah perempuan terhadap laki-laki, ketenagakerjaan, rasio tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan terhadap laki-laki, dan indeks ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi.
SUMMARY
AGNES VERA YANTI SITORUS. The Impact of Gender Inequality on Economic Growth in Indonesia. Supervised by D.S.PRIYARSONO and NUNUNG NURYARTONO.
Gender is a difference behaviours between men and women are not determined by biological differences, but by the socio-cultural environment, politics and economics. Gender inequality persists in all aspects of life in Indonesia, there are gaps between the achievement of the benefits of development on women and men related to basic human needs for jobs, education, and health. This is despite the fact there is a fairly rapid progress in gender equality today. The nature and extent of discrimination varies in different regions / provinces. According to the United Nations Development Programme (2010), there is no one else in the area of third world countries women have enjoyed equal rights in the legal, social and economic. Gender inequality in education among other things, employment, access to resources, economic power, and political participation. Women bear the heaviest burden due to inequality, but inequality is detrimental basically everyone and ultimately harm the economy of a country.
Indonesia is one country that is experiencing a rapid development in reducing disparities in education between men and women that is characterized by the narrowing gap between men and women in educational attainment levels. However, the level of productivity and labor force participation of women is still low. The role of women in development needs to be considered in national and regional development policies. Because of the increased role of women has a significant impact in breaking the vicious circle of poverty. Improvement of human quality of education of women in particular is an important issue because it determines the quality of life for future generations.
The objectives of this research are to analyze the gender inequality in Indonesia by using Gender Development Index (GDI), to analyze the effect of gender gaps in education and employment (proxied by using gender gap in mean years of schooling and labor force participation) on economic growth. This research uses panel data from 30 provinces during 2003-2012. Gender inequality index is represented by a proxy of ratio GDI to HDI. Descriptive analysis results show that there are gender inequality, there are still distances between Human Development Index (HDI) and Gender Development Index (GDI). Econometric analysis with FEM (Fixed Effect Model) determines that there are positive and significant effect of education, female-male mean years of schooling, employment, female-male labor force participation, and gender inequality index on economic growth.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
DAMPAK KETIMPANGAN GENDER TERHADAP
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul “Dampak Ketimpangan Gender terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia”.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir D.S. Priyarsono, MS selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi selaku anggota komisi pembimbing dan Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi, dan Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberi bimbingan, pencerahan dan koreksi. Secara khusus penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Kepala Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, Direktur Neraca Pengeluaran BPS RI, dan Kasubdit Neraca Rumah Tangga BPS RI yang telah memberikan kesempatan dan dukungan untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana IPB.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan dan seluruh rekan-rekan di Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi BPS Batch 4 atas semua diskusi dan masukannya. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada kedua orang tua, Bapak Ronald Sitorus, SPd dan Ibu Sontina Purba SPd yang selalu memberikan doa dan restu. Ucapan terima kasih yang tak lupa saya ucapkan kepada Suami D. Fendhi Endarto, MSi dan anakku Monica Angelina yang telah memberikan dukungannya.
Penulis menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, tesis ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, penulis tetap mengharapkan tesis ini dapat menghasilkan penelitian yang bermanfaat bagi semua pihak dan juga berkontribusi positif bagi dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Bogor, Agustus 2013
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 4
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup Penelitian 8
2 TINJAUAN PUSTAKA 9
Tinjauan Teori 9
Konsep Gender 9
Ukuran Ketimpangan Gender 11
Definisi Pertumbuhan Ekonomi 13
Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow 14
Teori Pertumbuhan Endogen 16
Investasi Modal Manusia 17
Hubungan Ketimpangan Gender dengan Pertumbuhan Ekonomi 19
Determinan Pertumbuhan Ekonomi 20
Tinjauan Empiris 21
Kerangka Pemikiran 25
Hipotesis Penelitian 26
3 METODE PENELITIAN 27
Jenis dan Sumber Data 27
Metode Analisis 27
Analisis Deskriptif 28
Analisis Regresi Data Panel 29
Regresi Data Panel Statis 30
Pemilihan Model (Hausman Test) 31
Spesifikasi Model 32
Definisi Variabel Operasional 33
4 GAMBARAN UMUM 35
Ketimpangan Gender dalam Pendidikan 35
Angka Partisipasi Murni (APM) 35
Rata-rata Lama Sekolah 36
Ketimpangan Gender dalam Ketenagakerjaan 37
Angkatan Kerja Menurut Pendidikan 38
Keadaan Penduduk Indonesia yang Bekerja 39
Formal dan Informal 40
5 HASIL DAN PEMBAHASAN 43
Perkembangan Indeks Ketimpangan Gender 43
Indeks Pembangunan Gender (IPG) 43
Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 45
Indeks Ketimpangan Gender (Rasio IPG/IPM) 46
Pendidikan dan Ketimpangan Gender di Pendidikan 52
Angkatan Kerja Perempuan 53
Tenaga Kerja dan Ketimpangan Gender di Ketenagakerjaan 53
Indeks Ketimpangan Gender 55
Keterbukaan Perdagangan 55
Pertumbuhan Penduduk 57
Implikasi Kebijakan 58
6 SIMPULAN DAN SARAN 59
Simpulan 59 Saran 59
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN 63
DAFTAR TABEL
1 Gender gap index Indonesia menurut kategori, 2006-2012 3 2 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPG 11
3 Jenis dan sumber data dalam penelitian 27
4 Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian 33 5 Angka partisipasi murni menurut jenjang pendidikan, 2009-2011
(persen) 35
6 Angka partisipasi murni menurut kawasan, 2011 (persen) 36 7 Rata-rata lama sekolah perempuan dan laki-laki, 2003-2012 (tahun) 37 8 Persentase angkatan kerja menurut jenjang pendidikan, 2008-2012 38 9 Persentase penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja seminggu
yang lalu menurut lapangan pekerjaan, 2008-2012 39 10 Proporsi penduduk bekerja di sektor formal dan informal, 2008-2012 40 11 Perkembangan indeks pembangunan manusia (IPM), indeks
pembangunan gender (IPG), dan rasio (IPG/IPM), 2005-2011 46 12 Pembagian provinsi menurut growth dan rasio (IPG/IPM), 2011 49 13 Dampak ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi 51 14 Persentase penduduk usia kerja menurut kegiatan, 2008 dan 2012 54
DAFTAR GAMBAR
1 Pertumbuhan PDB, penduduk, angkatan kerja, 2005-2012 2
2 IPG dan IPM Indonesia, 2005-2011 4
3 Perkembangan angka melek huruf (AMH), 2005-2011 5 4 Perkembangan rata-rata lama sekolah, 2003-2012 5 5 Perkembangan tingkat partisipasi angkatan kerja, 2003-2012 6 6 Indikator Indeks Pembangunan Gender (IPG) 12 7 Indikator Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) 13
8 Equilibrium dalam pasar barang 14
9 Tingkat pertumbuhan kondisi mapan (Steady State) model Solow 15 10 Trade Off keuangan dalam pengambilan keputusan untuk
melanjutkan sekolah 18
11 Hubungan ketimpangan gender dan pertumbuhan ekonomi 20
12 Kerangka pemikiran 25
13 Tingkat pengangguran terbuka (TPT), 2005-2011 41 14 Perkembangan Indeks Pembangunan Gender (IPG) provinsi, 2005-2011 44 15 Perkembangan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) provinsi, 2005-2011 45 16 Analisis kuadran IPG dan IDG provinsi, 2011 47 17 Analisis kuadran growth dan rasio IPG/IPM, 2011 48 18 Analisis kuadran growth dan IDG, 2011 50 19 Distribusi keterbukaan perdagangan terhadap PDRB, 2003-2012 (persen) 56
DAFTAR LAMPIRAN
1 Penelitian terdahulu 65
2 Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengistimasi dampak ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi (model 1) 68 3 Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengistimasi dampak
ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi (model 2) 69 4 Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengistimasi dampak
ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi (model 3) 70 5 Hasil pengujian dengan metode fixed effect untuk mengistimasi dampak
ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi (model 4) 71
6 Hasil pengujian normalitas model 1 72
7 Hasil pengujian normalitas model 2 72
8 Hasil pengujian normalitas model 3 73
9 Hasil pengujian normalitas model 4 73
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gender adalah perbedaan perlakuan antara lelaki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, akan tetapi oleh lingkungan sosial-budaya, politik dan ekonomi. Kesetaraan gender (gender equality) berarti perempuan dan lelaki menikmati status yang sama, dan memiliki kondisi dan potensi yang sama untuk merealisasikan hak-haknya sebagai manusia dan berkontribusi pada pembangunan nasional, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Keadilan gender merupakan proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki sehingga dalam menjalankan kehidupan tidak ada pembakuan peran, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan demikian, gender berarti relasi sosial perempuan dan lelaki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan (Hubeis 2010).
Ketimpangan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan di
Indonesia, masih terdapat senjang (gap) antara capaian manfaat hasil
pembangunan pada perempuan terhadap laki-laki yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai
wilayah/provinsi. Menurut United Nations Development Programme (2010), tidak
ada satu wilayah pun di negara berkembang dimana perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi. Ketimpangan gender cenderung terjadi antara kaum miskin. Ketimpangan gender antara lain terjadi di pendidikan, pekerjaan, akses atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik. Perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang dan akhirnya merugikan perekonomian suatu negara.
Seiring dengan globalisasi, isu kesetaraan gender menjadi isu yang relevan menyangkut keterpaduan antara kerjasama laki-laki dan perempuan di segala bidang. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan dari delapan
tujuan global negara-negara sedunia yang berkomitmen dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Pemerintah Indonesia juga sudah berkomitmen untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dengan bukti dikeluarkannya INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional yang mengintruksikan kepada seluruh pejabat Negara, termasuk Gubernur dan Bupati/Walikota untuk melaksanakan PUG di seluruh wilayah Indonesia. PUG yang dimaksudkan adalah melakukan seluruh proses pembangunan mulai dari penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang berperspektif gender dengan melibatkan peran serta warga negara baik laki-laki maupun perempuan.
2
masuk peringkat ke-16 PDB terbesar di dunia. Pada tahun 2012 PDB Indonesia sebesar 8242 triliun rupiah dan PDB perkapita sebesar 33.34 juta perkapita. Perekonomian Indonesia mampu tumbuh sekitar 4-6 persen per tahun selama dekade terakhir ini, di saat negara-negara maju mengalami krisis. Di sisi lain, Indonesia adalah negara berkembang yang berpendapatan menengah dengan populasi penduduk yang sangat besar, menduduki peringkat keempat di dunia. Laju pertumbuhan penduduk diperkirakan masih akan tetap tinggi (sekitar 1.5 persen per tahun), sedangkan laju penyerapan tenaga kerja cenderung menurun dari 1.87 persen di tahun 2005 menjadi 0.58 di tahun 2012, walaupun di tahun 2007 sempat mencapai 3.34 persen.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 1 Pertumbuhan PDB, penduduk, angkatan kerja, 2005-2012
Populasi penduduk yang sangat besar ini dapat menjadi berkah untuk perekonomian Indonesia jika dapat memanfaatkan secara optimal momen bonus demografi, yang hanya dapat dinikmati sekali ini saja. Saat ini Indonesia sedang menghadapi tantangan menuju tahapan bonus demografi, dimana kondisi struktur
umur penduduk menjadikan dependency ratio berada pada tingkat yang rendah.
Untuk mendapatkan manfaat besar tertinggi dari bonus demografi yang sudah dimulai dari tahun 2000 dan mencapai puncaknya pada tahun 2025, sumber daya manusia harus baik dari sisi kesehatan, kecerdasan, dan pendidikan. McKinsey Global Institute (2012) menyatakan pada 2030 Indonesia diperkirakan dapat meraih peringkat ke-7 terbesar di dunia dengan mengandaikan kita memiliki sumber daya manusia terdidik dan perempuan juga masuk ke lapangan pekerjaan. Jika pemerintah mengabaikan kesetaraan gender, maka Indonesia dapat terjebak menjadi negara berpendapatan menengah.
Menurut World Economic Forum (2012), Gender Gap Index Indonesia dari
tahun ke tahun menunjukkan ada sedikit peningkatan menuju kesetaraan, tahun 2006 sebesar 0.654 menjadi 0.659 di tahun 2012. Tetapi peringkatnya terus turun
dibanding negara-negara lain di dunia. Gender Gap Index menggambarkan
3
nilai indeks yang terus meningkat dari 0.949 ke 0.973. Demikian juga halnya dalam bidang ekonomi, peringkat turun dari 67 (2006) ke 104 (2012), dengan nilai indeks turun dari 0.598 menjadi 0.565.
Tabel 1 Gender gap index Indonesia menurut kategori, 2006-2012
Tahun Ekonomi Pendidikan Kesehatan Politik Gap Index
2006 (dari 128 negara)
0.599 (dari 130 negara)
0.571 (dari 134 negara)
0.572 (dari 134 negara)
0.575 (dari 135 negara)
0.564 (dari 135 negara)
0.565
Keterangan: 1 (equality) dan 0 (inequality)
Sumber: World Economic Forum
Dengan demikian, sampai saat ini kualitas hidup penduduk perempuan masih tertinggal dibanding laki-laki. Hal ini terlihat dari data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Pencapaian pembangunan manusia secara kuantitatif dapat dilihat dari besaran IPM. Besaran angka IPM tidak dapat menjelaskan berapa besar kesenjangan antara pencapaian kualitas hidup perempuan dan laki-laki yang diukur melalui gabungan indikator kesehatan, pendidikan dan kehidupan yang layak. Namun, melalui IPG perbedaan pencapaian yang menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan, yakni dengan mengurangkan atau merasiokan nilai IPM dengan IPG.
4
masih terjadi. Selanjutnya, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) tahun 2012 sebesar 69.40. Indeks ini menunjukkan bahwa masih rendahnya kesetaraan peranan yang dijalankan laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan perempuan di Indonesia.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 2 IPG dan IPM Indonesia, 2005-2011
Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) menunjukkan bahwa sampai saat ini ketimpangan gender masih terjadi. Kenyataan ini berarti pembangunan daerah yang telah dilaksanakan belum mampu mengangkat peran dan status perempuan. Pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil belum dapat memperbaiki ketimpangan gender, dampaknya tidaklah bisa langsung kelihatan. UNDP (2010) menyatakan bahwa dampak pertumbuhan ekonomi terhadap kesetaraan gender sebagian besar tergantung pada hak-hak, akses atas berbagai sumber daya produktif (seperti tanah dan kredit), dan partisipasi politik. Lebih dari itu, kebijakan-kebijakan sosial yang memberantas diskriminasi di pasar tenaga kerja atau mendukung perawatan anak-anak akan mengurangi ketidaksetaraan gender-sesuatu yang tidak mungkin dicapai oleh pembangunan ekonomi saja.
Perumusan Masalah
Menurut data Sensus Penduduk BPS 2010, jumlah penduduk sebanyak 237.6 juta, laki-laki sebanyak 119.6 juta (50.34 persen) dan perempuan sebanyak 118 juta (49.66 persen). Jika kehidupan penduduk di semua kelompok umur dan gender berkualitas bagus maka akan menjadi potensi besar bagi pembangunan dan sebaliknya jika kualitasnya kurang baik akan menjadi beban pembangunan.
5
Sumber: BPS, diolah
Gambar 3 Perkembangan angka melek huruf (AMH), 2005-2011
Capaian tingkat pendidikan dapat dilihat dari Angka Melek Huruf (AMH). Perkembangan AMH baik laki-laki maupun perempuan selama periode 2005-2011 terus meningkat. AMH perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Pada tahun 2011 AMH perempuan sebesar 90.55 persen sedangkan laki-laki sebesar 95.73 persen. Angka Partisipasi Sekolah (APS) 2011 di tingkat SD dan SLTP perempuan sedikit lebih tinggi persentasenya, masing-masing 97.72 persen berbanding 97.27 persen di tingkat SD, dan 88.94 persen berbanding 86.32 persen di tingkat SLTP. Pada jenjang SLTA peluang perempuan sedikit menurun, yakni 57.35 persen berbanding 57.78 persen. Rata-rata lama sekolah laki-laki lebih tinggi sekitar satu tahun dibandingkan rata-rata lama sekolah perempuan. Pada tahun 2012, rata-rata lama sekolah laki-laki tercatat sebesar 8.47 tahun dan perempuan sebesar 7.64 tahun.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 4 Perkembangan rata-rata lama sekolah, 2003-2012
6
35.01 persen. Akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi lebih rendah daripada laki-laki terlihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), 2003-2012. TPAK perempuan 2012 sebesar 51.39 persen, sedangkan TPAK laki-laki sebesar 84.42 persen. Rendahnya TPAK perempuan dibanding laki-laki disebabkan karena di Indonesia khususnya dan negara berkembang umumnya laki-laki tulang punggung utama pencari nafkah keluarga, sementara perempuan baru akan terjun ke dunia kerja untuk membantu meringankan beban keluarga jika kondisi memaksa mereka bekerja. Selain itu, perempuan juga sering terpaksa harus meninggalkan dunia kerja ketika melahirkan dan harus mengurus anak dan rumah tangga (Handayani dan Sugiarti 2008).
Sumber: BPS, diolah
Gambar 5 Perkembangan tingkat partisipasi angkatan kerja, 2003-2012
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RJPMN) telah menggariskan sasaran yang ingin dicapai terkait dengan peningkatan kualitas hidup perempuan (dan anak). Dalam hal ini, kualitas manusia perempuan menjadi isu penting karena sangat menentukan kualitas hidup generasi mendatang, terkait dengan kondisi pendidikan dan kesehatan perempuan saat ini. Hal ini terasa semakin penting di tengah persaingan antar bangsa, karena negara kita hanya akan mampu bersaing manakala didukung oleh penduduk yang berkualitas, baik laki-laki maupun perempuan.
Hal ini sesuai dengan penelitian Klasen dan Lamanna (2009) yang menyatakan bahwa kesenjangan gender di pendidikan dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi baik secara langsung dan tidak langsung melalui jalur pertumbuhan penduduk, investasi, dan angkatan kerja. Pertama, kesenjangan gender dalam pendidikan akan mengurangi jumlah rata-rata modal manusia dalam masyarakat (Dollar dan Gatti 1999). Kesenjangan ini menghalangi bakat-bakat yang memiliki kualifikasi tinggi yang terdapat pada anak perempuan yang pada akhirnya akan mengurangi tingkat pengembalian investasi sektor pendidikan (marginal returns of education). Hal ini terbukti dari berbagai studi yang menyatakan bahwa tingkat pengembalian investasi pendidikan pada anak perempuan lebih baik dibandingkan pada anak laki-laki. Mengurangi kesenjangan gender dalam akses pendidikan secara keseluruhan akan meningkatkan pembangunan ekonomi.
7
baik bagi generasi mendatang. Ketiga, penurunan fertilitas memberikan eksternalitas positif bagi penurunan angka beban ketergantungan dalam angkatan kerja (Bloom dan Williamson 1998). Pemerataan kesempatan dalam sektor pendidikan dan pekerjaan bagi setiap gender memberikan dampak positif bagi kemampuan bersaing suatu negara dalam perdagangan internasional. Keempat, bekal pendidikan dan kesempatan kerja di sektor formal yang lebih besar bagi
kaum wanita akan meningkatkan bargaining power mereka dalam keluarga. Hal
ini penting karena terdapat perbedaan pola antara perempuan dan laki-laki dalam perilaku menabung dan investasi ekonomi baik non ekonomi seperti kesehatan dan pendidikan anak yang akan meningkatkan modal manusia generasi mendatang dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, peran perempuan dalam pembangunan perlu terus diperhatikan dalam kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Karena peningkatan peran perempuan mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan. Perbaikan kualitas manusia perempuan khususnya pendidikan menjadi isu penting karena sangat menentukan kualitas hidup generasi mendatang.
Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana dinamika ketimpangan gender di pendidikan dan
ketenagakerjaan?
2. Bagaimana perkembangan indeks ketimpangan gender (rasio IPG/IPM),
Indeks Pembangunan Gender (IPG), dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) provinsi?
3. Bagaimana dampak variabel makro dan ketimpangan gender terhadap
pertumbuhan ekonomi?
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. menganalisis ketimpangan gender di Indonesia dengan menggunakan
indikator pendidikan dan tenaga kerja
2. menganalisis indeks ketimpangan gender di Indonesia dengan menggunakan
rasio (IPG/IPM), Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)
3. menganalisis dampak variabel makro dan ketimpangan gender terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk:
1. memberikan informasi sebagai dasar pertimbangan, pendukung dan
sumbangan pemikiran kepada pengambil keputusan dalam usaha mengurangi ketimpangan gender
2. memperkaya penelitian, khususnya tentang ketimpangan gender di Indonesia
8
Ruang Lingkup Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS). Wilayah penelitian meliputi 30 provinsi di Indonesia selama tahun 2003-2012. Data yang dikumpulkan adalah data tahunan provinsi di Indonesia.
Pendidikan diproksi dengan rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki. Ketimpangan gender di pendidikan diproksi dengan rasio rata-rata lama sekolah penduduk perempuan terhadap laki-laki. Dengan asumsi, pengurangan ketimpangan di pendidikan dengan memperluas kesempatan pendidikan kepada perempuan tanpa mengurangi pendidikan laki-laki (karena tingkat pendidikan laki-laki dianggap konstan). Tenaga kerja diproksi dengan tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki. Ketimpangan gender di tenaga kerja diproksi dengan rasio tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan terhadap laki-laki. Selanjutnya,
menurut United Nations Development Programme (UNDP) tolok ukur
9
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Konsep Gender
Menurut Handayani dan Sugiarti (2008), untuk menganalisis ketimpangan gender perlu didefinisikan terlebih dahulu pengertian gender dengan seks atau jenis kelamin. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin tertentu. Seks berarti perbedaan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang secara kodrati memiliki fungsi-fungsi organisme yang berbeda. Secara biologis alat-alat biologis melekat pada lelaki dan perempuan selamanya, fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologi atau ketentuan Tuhan (kodrat). Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, atau perbedaan jenis kelamin. Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan. Bentukan sosial atas laki-laki dan perempuan itu antara lain: kalau perempuan dikenal makhluk yang lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Sifat-sifat diatas dapat dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender dapat diartikan sebagai konsep sosial yang membedakan (dalam arti: memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan fungsi dan peran laki-laki dan perempuan itu tidak ditentukan karena antara keduanya terdapat perbedaan biologis atau kodrat, tetapi dibedakan atau dipilah-pilah menurut kedudukan, fungsi dan peranan masing-masing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan.
Dalam perkembangan gender berikutnya dikenal ada tiga jenis peran gender, yaitu peran produktif, peran reproduktif, dan peran sosial. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jas, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula disebut dengan peran di sektor publik. Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sektor domestik. Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan bersama.
10
sebagai kelompoklah yang menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Keyakinan pembagian itu selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya penuh dengan proses, negosiasi, restensi maupun dominasi. Akhirnya lama kelamaan pembagian keyakinan gender tersebut dianggap alamiah, normal dan kodrat sehingga bagi mereka yang mulai melanggar dianggap tidak normal dan melanggar kodrat. Oleh karena itu diantara bangsa-bangsa dalam kurun waktu yang berbeda, pembagian gender tersebut berbeda-beda.
Perbedaan gender dalam beberapa hal akan mengantarkan pada ketimpangan gender (gender inequalities). Ketimpangan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, misalnya: marginalisasi, subordinasi, beban kerja lebih banyak, dan stereotype. Marginalisasi atau disebut juga pemiskinan ekonomi, dari segi sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, keyakinan tradisi dan kebiasaan atau asumsi ilmu pengetahuan. Subordinasi adalah anggapan bahwa perempuan tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Perempuan tersubordinasi oleh faktor-faktor yang dikonstruksikan secara sosial. Hal ini disebabkan karena belum terkondisikannya konsep gender dalam masyarakat yang mengakibatkan adanya diskriminasi kerja bagi perempuan. Stereotype adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu dan biasanya selalu berakibat pada ketidakadilan.
Seperti halnya negara-negara lain di dunia, masyarakat Indonesia, mengenal pembagian tugas laki-laki dan perempuan, baik peranan dalam masyarakat maupun dalam keluarga. Laki-laki berperan sebagai kepala keluarga dan pencari
nafkah (bread winner) dan perempuan bertugas untuk melakukan kegiatan
domestik seperti mengatur rumah tangga, mengasuh anak dan sebagainya. Dengan adanya perbedaan peran ini, orang tua cenderung memprioritaskan anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan untuk bersekolah terutama jika keuangan keluarga terbatas. Kondisi ini kontradiktif terhadap keuntungan yang diperoleh dari semakin tingginya pendidikan perempuan, walaupun ini tidak berarti bahwa pendidikan bagi perempuan lebih penting dibandingkan dengan laki-laki.
Menurut Schultz (1995) ada tiga faktor yang menjadi motivasi bagi orang tua untuk memprioritaskan pendidikan anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan:
1. Tingkat pengembalian investasi untuk perempuan lebih rendah dibandingkan
untuk laki-laki. Ini mungkin karena permintaan tenaga kerja terkait dengan teknologi untuk perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
2. Remittance (uang transfer) dari anak perempuan lebih kecil dibandingkan anak laki-laki.
3. Kepuasan orang tua melihat kesuksesan anak laki-laki yang lebih besar
dibandingkan dengan anak perempuan.
11
tangga untuk mendidik dan membesarkan anak melalui pengasuhan. Dengan demikian, pembangunan berprespektif gender bukan hanya besaran materi (barang dan jasa) untuk mendongrak ekonomi keluarga, melainkan juga terciptanya kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai aspek kehidupan serta terbentuknya generasi bangsa yang berkualitas.
Ukuran Ketimpangan Gender
Pemikiran tentang pentingnya kesetaraan dan keadilan gender (gender equality and equity) ini diterima dan diadopsi, bahkan menjadi kesepakatan internasional (MDGs) yang mengikat dan wajib dijalankan oleh negara-negara di dunia serta melahirkan konsep pembangunan berprespektif gender. Kemudian
United Nations Development Program (UNDP) menyusun tolok ukur keberhasilan pembangunan melalui formula Human Development Index/HDI. Karena adanya isu kesetaraan gender kemudian menyusun formula baru yang
mengakomodasi perspektif gender, yaitu Gender Development Index (GDI) dan
Gender Empowerment Measure (GEM).
GDI merupakan variasi HDI yang disagregasi menurut jenis kelamin.Variabel-variabel yang membentuk GDI adalah merupakan variabel
Human Development Index (HDI) yang dikhususkan pada pencapaian kaum perempuan yaitu angka harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita (PPP). Sedangkan GEM lebih memfokuskan pencapaian perempuan dalam lingkup sosial ekonomi dan politik. GEM secara eksplisit mengukur aktivitas pemberdayaan perempuan dalam politik, pemerintahan dan kegiatan ekonomi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Badan Pusat Statistik menerbitkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yang disesuaikan dengan GDI dan GEM. IPG mengukur tingkat pencapaian kemampuan dasar yang sama seperti IPM, yakni harapan hidup, tingkat pendidikan, dan pendapatan sama dengan memperhitungkan ketimpangan gender. IPG dapat juga digunakan untuk mengetahui kesenjangan pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Apabila nilai IPG sama dengan IPM, maka dapat dikatakan tidak terjadi kesenjangan gender, tetapi sebaliknya IPG lebih rendah dari IPM maka terjadi kesenjangan gender.
Penyusunan indeks IPG melalui tahap-tahap berikut:
1. Menentukan nilai maksimum dan minimum komponen IPG (Tabel 2)
Tabel 2 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPG
Komponen Maksimum Minimum
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Angka harapan
kapita (Rp/bln) 732720 360000 (1999,2002)
12
2. Menghitung nilali Xede dari tiap indeks
Xede = [Pf Xf(1-Ɛ) + Pm Xm(1-Ɛ)] (1)
dimana Xf : pencapaian perempuan
Xm : pencapaian laki-laki
Pf : proporsi penduduk perempuan
Pm : proporsi penduduk laki-laki
3. Menghitung IPG dengan rumus
IPG = 1/3 (Xede(1) + Xede(2) + Iinc-dis) (2)
dimana Xede(1) : Xede untuk harapan hidup
Xede(2) : Xede untuk pendidikan
Iinc-dis :indeks distribusi pendapatan
Sumber: BPS
Gambar 6 Indikator Indeks Pembangunan Gender (IPG)
IDG memperlihatkan sejauh mana peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik. Peran aktif perempuan dalam kehidupan ekonomi dan politik mencakup partisipasi berpolitik, partisipasi ekonomi dan pengambilan keputusan serta penguasaan sumber daya ekonomi.
Dalam penghitungan Dalam penghitungan IDG, terlebih dahulu dihitung
Equally Distributed Equivalent Persentage (EDEP) yaitu indeks untuk masing-masing komponen berdasarkan persentase yang ekuivalen dengan distribusi yang merata EDEP. Penghitungan sumbangan pendapatan untuk IDG sama dengan penghitungan untuk IPG sebagaimana diuraikan di atas. Selanjutnya, masing-masing indeks komponen, yaitu nilai EDEP dibagi 50. Nilai 50 dianggap sebagai
Umur panjang dan sehat
Pengetahuan Kehidupan
yang layak
Indeks pembangunan gender (IPG)
13
kontribusi ideal dari masing-masing kelompok gender untuk semua komponen IDG.
Sumber: BPS
Gambar 7 Indikator Indeks Pemberdayaan Gender (IDG)
Penghitungan IDG dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Indeks keterwakilan di parlemen (Ipar)
EDEP(par) = {(Xf)(Yf)-1 + (Xm)(Ym)-1}-1 (3)
I(par) = {EDEP(par)}/50 (4)
dimana Xf : proporsi penduduk perempuan
Xm : proporsi penduduk laki-laki
Yf : proporsi keterwakilan perempuan di parlemen
Ym : proporsi keterwakilan laki-laki di parlemen
2. Indeks pengambilan keputusan (IDM)
EDEP(DM) = {(Xf)(Zf)-1 + (Xm)(Zm)-1}-1 (5)
I(DM) = {EDEP(DM)}/50 (6)
dimana Zf : proporsi perempuan sebagai tenaga profesional
Zm : proporsi laki-laki sebagai tenaga profesional
3. Indeks distribusi pendapatan (Iinc-dis)
Sebagaimana disajikan pada penghitungan IPG diatas
4. Indeks pemberdayaan gender (IDG)
IDG = 1/3 (I(par) + I(DM) + Iinc-dis) (7)
Definisi Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi didefinisikan sebagai penambahan nilai PDB riil dari waktu ke waktu, atau dapat juga diartikan sebagai meningkatnya kapasitas perekonomian suatu wilayah. Dalam kerangka regional, konsep PDB identik dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDB atau PDRB dapat diukur dengan 3 macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan pendapatan dan pendekatan pengeluaran. Pendekatan produksi dan pendekatan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply - AS) sedangkan pendekatan pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat
Partisipasi dan laki-laki parlemen
Proporsi perempuan dan laki-laki yang bekerja sebagai professional, teknisi, pimpinan
dan tenaga ketatalaksanaan
Perkiraan penghasilan perempuan dan
laki-laki
EDEP untuk keterwakilan di
parlemen
EDEP untuk partisipasi dalam pengambilan
keputusan
EDEP untuk penghasilan
14
(Aggregate Demand - AD). PDRB dengan pendekatan produksi didefinisikan sebagai penjumlahan Nilai Tambah Bruto (NTB) yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi di suatu wilayah tertentu selama periode tertentu (biasanya satu tahun). PDRB dengan pendekatan pendapatan dihitung berdasarkan jumlah pendapatan atau balas jasa yang diterima oleh semua faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi di semua sektor, berupa upah/gaji untuk pemilik tenaga kerja, bunga atau hasil investasi bagi pemilik modal, sewa tanah bagi pemilik lahan serta keuntungan bagi pengusaha. Dari sisi pengeluaran, PDRB dihitung sebagai penjumlahan semua komponen permintaan akhir, yakni konsumsi rumah tangga (C), investasi (I), pengeluaran pemerintah (G), serta
ekspor bersih (X-M) (Dornbusch et al. 2008). Sampai saat ini perekonomian
Indonesia masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga, dengan proporsi konsumsi rumah tangga terhadap PDB sebesar 55 persen.
Sumber: Dornbusch et al. 2008
Gambar 8 Equilibrium dalam pasar barang
PDRB atas dasar harga konstan sering disebut sebagai PDRB riil dan mencerminkan nilai output yang dihitung dengan harga pada tahun dasar tertentu. Perubahan PDRB riil dari waktu ke waktu mencerminkan perubahan kuantitas dan sudah tidak mengandung unsur perubahan harga baik inflasi maupun deflasi. PDRB riil perkapita dihitung dari PDRB riil dibagi jumlah penduduk dalam waktu yang sama. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan perubahan nilai output (PDRB riil) dari waktu ke waktu dan diformulasikan sebagai berikut:
(8)
Teori Pertumbuhan Neoklasik Solow
Model Pertumbuhan Neoklasik Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan modal, pertumbuhan tenaga kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pengaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu negara secara keseluruhan. Model Solow
15
merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta memperkenalkan variabel independen yang ketiga, yakni teknologi, ke dalam persamaan pertumbuhan. Namun, berbeda
dengan Harrod-Domar yang mengasumsikan skala hasil tetap (constant return to
scale) dengan koefisien baku, model Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing return to scale) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis terpisah; jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga memakai asumsi skala hasil tetap tersebut.
Sumber: Mankiw (2006)
Gambar 9 Tingkat pertumbuhan kondisi mapan (steady state) model Solow Fungsi produksi adalah Y = F (K, L), yang menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan angkatan kerja. Model pertumbuhan Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan. Persediaan modal adalah determinan output perekonomian yang penting karena persediaan modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bsa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Biasanya, terdapat dua kekuatan yang memengaruhi persediaan modal: investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu menyebabkan persediaan modal berkurang.
Kondisi mapan (steady-state) menunjukkan ekuilibrium perekonomian
jangka panjang. Tingkat modal kondisi-mapan k* adalah tingkat dimana investasi sama dengan depresiasi yang menunjukkan bahwa jumlah modal tidak akan berubah sepanjang waktu. Di bawah k*, investasi melebihi depresiasi, sehingga persediaan modal tumbuh. Di atas k*, investasi kurang dari depresiasi, sehingga persediaan modal menyusut.
Model Solow dasar menunjukkan bahwa akumulasi modal tidak bisa menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan: tingkat tabungan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang tinggi secara temporer, tetapi perekonomian pada akhirnya mendekati kondisi mapan dimana modal dan output konstan. Untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, model Solow harus diperluas agar mencakup dua sumber lain dari pertumbuhan ekonomi, yaitu
Modal per pekerja efektif, k Investasi, sf(k)
Break Even Investment, ( + n + g)k
Investasi, Break Even Investment
16
pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi. Dalam kondisi mapan dengan pertumbuhan populasi, modal per pekerja dan output per pekerja adalah konstan. Namun, karena jumlah pekerja bertambah pada tingkat n, modal total dan output total juga harus bertambah pada tingkat n. Dengan demikian, meskipun tidak dapat menjelaskan pertumbuhan yang berkelanjutan dalam standar kehidupan (karena output per pekerja adalah konstan dalam kondisi mapan), pertumbuhan populasi akan membantu menjelaskan pertumbuhan output total yang berkelanjutan.
Untuk memasukkan kemajuan teknologi, fungsi produksi adalah Y = F(K, LxE), dimana K adalah capital, L adalah tenaga kerja, dan E adalah efisiensi tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Efisiensi tenaga kerja mencerminkan pengetahuan masyarakat tentang metode-metode produksi; ketika teknologi mengalami kemajuan, efisiensi tenaga kerja meningkat. Efisiensi tenaga kerja juga meningkat ketika ada pengembangan dalam kesehatan, pendidikan, atau keahlian tenaga kerja. LxE mengukur para pekerja efektif. Jadi, fungsi produksi ini menyatakan bahwa output total Y bergantung pada jumlah unit modal K dan jumlah pekerja efektif, LxE.
Inti dari pendekatan terhadap model kemajuan teknologi ini adalah peningkatan efisiensi tenaga kerja E sejalan dengan peningkatan angkatan kerja L. Bentuk kemajuan teknologi ini disebut pengoptimalan tenaga kerja, dan g disebut
tingkat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja (labor-augmenting
technological progress). Karena angkatan kerja L tumbuh pada tingkat n, dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g, maka jumlah pekerja efektif LxE tumbuh pada tingkat n + g. Kemajuan teknologi juga memodifikasi kriteria untuk Kaidah Emas. Tingkat modal Kaidah Emas didefinisikan sebagai kondisi mapan yang memaksimalkan konsumsi per pekerja efektif, dimana MPK = + n + g.
Mengacu pada Solow, kemajuan teknologi mengarah ke pertumbuhan yang berkelanjutan dalam output per pekerja. Sebaliknya, tingkat tabungan mengarah ke tingkat pertumbuhan yang tinggi hanya jika kondisi mapan tercapai. Model Solow menganggap kemajuan teknologi sebagai variabel eksogen.
Teori Pertumbuhan Endogen
Model pertumbuhan Solow menunjukkan bahwa pertumbuhan berkelanjutan itu berasal dari kemajuan teknologi. Tetapi darimana kemajuan teknologi berasal? Dalam model Solow, hal itu hanya diasumsikan. Salah satu kritik terhadap model pertumbuhan Solow adalah penggunaan asumsi perbaikan teknologi yang kurang spesifik, terutama awal mula variabel perbaikan teknologi itu berasal. Teori ini dicetuskan oleh Robert Lucas dan Paul Romer. Teori ini menyebutkan bahwa akumulasi dari modal fisik dan modal sumber daya manusia kemungkinan besar dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi. Jika modal sumber daya manusia tetap maka peningkatan pada modal fisik akan
memberikan return yang menurun. Demikian juga, jika modal fisik tetap, maka
peningkatan modal sumber daya manusia akan memberikan return yang menurun.
17
melalui pendidikan, pelatihan, dan sebagainya. Teori ini dimulai dari fungsi produksi sederhana:
(9)
dimana Y adalah output, K adalah stok modal dan A adalah konstanta yang menunjukkan jumlah output yang dihasilkan masing-masing modal. Fungsi produksi ini tidak menunjukkan kondisi adanya diminishing returns to capital. Tidak adanya tingkat hasil modal yang menurun inilah yang menjadi kunci perbedaan model pertumbuhan endogen dengan model pertumbuhan Solow.
Untuk melihat hubungan fungsi produksi diatas dengan pertumbuhan ekonomi maka diasumsikan s adalah bagian dari pendapatan yang disimpan dan diinvestasikan kembali. Sehingga persamaan akumulasi modalnya adalah sama dengan pembahasan sebelumnya, yakni:
(10)
Persamaan ini menyatakan bahwa perubahan pada stok modal ( ) adalah sama
dengan jumlah ( ) dikurangi depresiasi ( ). Sehingga dengan menggabungkan
persamaan ini dengan fungsi produksi maka didapatkan:
(11)
Persamaan ini menunjukkan faktor yang menyebabkan pertumbuhan output ( ).
Selama sA> maka perekonomian tersebut akan terus tumbuh selamanya, bahkan tanpa adanya penggunaan asumsi kemajuan teknologi eksogen.
Dengan sedikit perubahan fungsi produksi dapat menyebabkan perubahan drastis terhadap prediksi pertumbuhan ekonomi. Pada model pertumbuhan Solow, tingkat tabungan menyebabkan pertumbuhan hanya sementara saja, tetapi imbal balik modal yang terus menurun adalah yang sebenarnya menggerakkan ekonomi
untuk mencapai kondisi steady state dimana pertumbuhan tersebut hanya
tergantung pada perbaikan teknologi secara eksogen. Sebaliknya, teori endogen menyatakan bahwa tingkat tabungan dan investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Apakah asumsi penurunan imbal balik modal yang menurun (diminishing
returns to capital) dapat diabaikan? Tergantung bagaimana variabel K dalam fungsi Y = AK diintepretasikan. Jika dipandang dari sudut pandang lama, maka K hanya memasukkan jumlah persediaan pabrik dan peralatan dalam perekonomian, maka seharusnya diasumsikan imbal balik menurun. Memberikan 10 komputer kepada setiap pekerja tidak membuat produktivitas pekerja naik 10 kali lipat.
Teori pertumbuhan endogen berpendapat bahwa asumsi imbal balik yang konstan (constant returns to capital) adalah bisa diterima bila K diintepretasikan lebih luas, misalkan dengan memasukkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu bentuk modal. Jika dibandingkan dengan bentuk modal (sudut pandang lama), maka modal pengetahuan tidak memiliki kondisi imbal balik yang menurun,
bahkan sebaliknya cenderung imbal balik yang meningkat (increasing returns to
18
Investasi Modal Manusia
Pendidikan merupakan tujuan pembangunan. Pendidikan memainkan peran utama dalam membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan juga dapat dilihat sebagai komponen pertumbuhan dan pembangunan yang vital-sebagai input fungsi produksi agregat. Peran gandanya sebagai input maupun output menyebabkan pendidikan sangat penting dalam pembangunan ekonomi.
Dalam perspektif ekonomi, pendidikan merupakan bentuk investasi sumber daya manusia yang akan memberi keuntungan dimasa mendatang, baik kepada masyarakat atau negara, maupun orang-orang yang mengikuti pendidikan itu sendiri. Sebagai salah satu bentuk investasi sumber daya manusia, investasi
pendidikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu private investment dan
public investment (Todaro dan Smith 2006).
Private investment merupakan investasi pendidikan pada level mikro atau tingkat individu. Bentuk dari private investment adalah individu yang mengenyam bangku pendidikan formal maupun nonformal termasuk orangtua yang
mengajarkan anak pelajaran. Sedangkan public investment merupakan investasi
yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah dalam bentuk penyediaan gedung sekolah, lembaga pendidikan, guru, dana pendidikan, penyediaan infrastruktur pendidikan, dan lain sebagainya.
Rumus keuntungan pendapatan pendidikan adalah sebagai beikut:
Yt = (12)
dimana E adalah pendapatan dengan pendidikan, N adalah pendapatan tanpa ketrampilan, dan t adalah tahun, dan penjumlahannya adalah tahun-tahun bekerja selama hidup.
Sumber: Todaro dan Smith (2006)
Biaya Tak Langsung
Biaya Langsung Manfaat
Pendapatan Lulusan
Sekolah Atas
Lulusan Sekolah Dasar
Umur
Biaya Langsung
19
Gambar 10 Trade off keuangan dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan sekolah
Gambar 10 mengasumsikan bahwa seorang bekerja pada saat ia lulus sekolah hingga ia tidak mampu bekerja lagi atau meninggal. Lulusan sekolah dasar diasumsikan mulai bekerja pada usia 13, dan lulusan sekolah tingkat atas diasumsikan mulai bekerja pada umur 17. Seseorang di negara berkembang yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat atas akan mengorbankan 4 tahun pendapatan yang tidak dapat diperolehnya karena bekerja. Hal ini adalah biaya tidak langsung. Disamping itu, juga terdapat biaya langsung seperti biaya sekolah, seragam, buku, dan pengeluaran lain yang tidak akan dikeluarkan jika anak tersebut tidak melanjutkan sekolah begitu lulus dari sekolah dasar. Selama sisa hidupnya, dia akan memperoleh penghasilan yang lebih besar setiap tahunnya daripada jika ia bekerja dengan berbekal ijazah SD saja. Perbedaan ini disebut manfaat. Sebelum membandingkan biaya dan manfaatnya, keuntungan pendapatan di masa depan tersebut harus didiskontokan sesuai waktunya.
Hubungan Ketimpangan Gender dengan Pertumbuhan Ekonomi
Penelitian terdahulu seperti Klasen 1999, Klasen dan Lamanna 2009 menyimpulkan bahwa ketimpangan gender merugikan pertumbuhan ekonomi suatu negara/wilayah. Ketimpangan gender di pendidikan mengakibatkan
produktivitas modal manusia (human capital) akan rendah sehingga pertumbuhan
ekonomi juga rendah. Hal ini seperti penyimpangan pajak terhadap pendidikan menyebabkan misalokasi sumberdaya pendidikan dan selanjutnya menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah (Dollar dan Gatti 1999). Efek ini memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara langsung melalui kualitas modal manusia atau produktivitas tenaga kerja.
Ketimpangan gender di pendidikan menyebabkan eksternalitas langsung. Pendidikan perempuan mempunyai efek eksternalitas positif atas kuantitas dan kualitas pendidikan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Peningkatan modal manusia akan meningkatkan tingkat pengembalian investasi fisik, selanjutkan akan meningkatkan tingkat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan gender di pendidikan juga menyebabkan eksternalitas tidak langsung melalui efek demografi. Ada empat mekanisme dampak demografi terhadap pertumbuhan ekonomi. Pertama, tingkat fertilitas rendah mengurangi angka beban
ketergantungan dalam angkatan kerja (dependency ratio) sehingga meningkatkan
suplai tabungan. Kedua, sejumlah besar penduduk memasuki angkatan kerja karena pertumbuhan penduduk sebelumnya tinggi, akan mendorong permintaan investasi. Jika peningkatan permintaan didukung peningkatan tabungan domestik
atau capital inflow akan mendorong ekspansi investasi dan selanjutnya akan
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Bloom dan Williamson 1998). Ketiga, tingkat fertilitas rendah akan meningkatkan kontribusi penduduk usia kerja. Jika pertumbuhan tenaga kerja diserap oleh peningkatan pekerjaan, maka pertumbuhan perkapita akan meningkat walaupun upah dan produktivitas tetap sama. Fenomena
ini hanya sementara (merujuk kepada Bloom dan Williamson ‘demographic gift’)
20
pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, dampak kelahiran terhadap pertumbuhan melalui investasi modal manusia generasi mendatang.
Pemerataan kesempatan dalam sektor pendidikan dan pekerjaan bagi setiap gender memberikan dampak positif bagi kemampuan bersaing suatu negara/wilayah dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kemudahan akses teknologi juga akan meningkatkan produktivitas perempuan. Disamping itu, efek pengukuran juga berdampak pada ketimpangan gender. Ada banyak jenis
pekerjaan perempuan tidak dimasukkan dalam System of National Accounts
(SNA). Akibatnya, substitusi dari tenaga kerja rumah tangga (invisible) dengan pasar tenaga kerja (visible) tetap tidak ada peningkatan produktivitas, dampak pengukuran ini berimplikasi kebijakan (terukur atau tidak) dan output ekonomi tidak berubah.
Determinan Pertumbuhan Ekonomi
Tenaga kerja: ‐ Kuantitas dan
kualitas dipengaruhi oleh
pendidikan Hambatan di pasarkerja
Fertilitas
Efek pengukuran diSNA
21
Menurut Klassen dan Lemanna (2009), variabel-variabel ekonomi dan gender berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan
Kualitas sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi, karena berhubungan dengan efisiensi dan produktivitas penduduk.
Modal manusia (human capital) yang menjadi sumber pertumbuhan
terpenting dalam pandangan model pertumbuhan endogen. Modal manusia tidak hanya mencakup jumlah populasi penduduk dan angkatan kerja, namun juga merepresentasikan kualitas atau keterampilan/skill dan pengetahuan yang dimiliki oleh pekerja. Barro (1991) menyatakan bahwa modal manusia mencakup aspek pendidikan angkatan kerja yang dapat diukur melalui rata-rata lama sekolah penduduk usia produktif dan aspek kesehatan yang diukur dengan usia harapan hidup. Rata-rata lama sekolah menurut gender penting diteliti untuk melihat kesenjangan pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Ketimpangan gender di pendidikan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi karena efisiensi dan produktivitas penduduk akan berkurang. Ketimpangan gender di pendidikan juga dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Semakin tinggi rata-rata lama sekolah perempuan menyebabkan investasi semakin tinggi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi meningkat.
2. Pertumbuhan penduduk
Pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap standar hidup tergambar dalam pendapatan perkapita. Negara yang memiliki pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempunyai pendapatan perkapita yang rendah. Ketimpangan gender di pendidikan menyebabkan efek eksternalitas terhadap demografi (jumlah penduduk). Lagerlof (1999) menguji dampak ketimpangan gender di pendidikan terhadap tingkat kelahiran dan pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menyatakan bahwa ketimpangan gender di pendidikan akan menyebabkan tingkat kelahiran yang tinggi dan perlambatan ekonomi. Pertumbuhan
penduduk yang tinggi dapat menyebabkan tingginya dependency ratio
sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi.
3. Angkatan kerja
Pertumbuhan tenaga kerja diserap oleh peningkatan pekerjaan, maka pertumbuhan perkapita akan meningkat walaupun upah dan produktivitas tetap sama. Selain itu, pendidikan tenaga kerja dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendidikan juga menentukan tinggi rendahnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat. Variabel angkatan kerja meliputi partisipasi angkatan kerja laki-laki, dan partisipasi angkatan kerja perempuan.
4. Investasi
Investasi merupakan variabel penting sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Investasi menjadi determinan paling fundamental dari pertumbuhan ekonomi berdasarkan identifikasi model neo-klasik maupun model endogen. Model neoklasik menyatakan bahwa investasi memiliki dampak sementara, namun model endogen menyatakan bahwa investasi
terutama investasi human capital memiliki dampak yang permanen (Barro
22
manusia kemungkinan besar dapat mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi.
5. Openness (Keterbukaan perdagangan)
Keterbukaan ekonomi memiliki kontribusi yang cukup penting dalam meningkatkan pertumbuhan melalui jalur promosi, transfer pengetahuan, peningkatan skala ekonomi dan efisiensi. Keterbukaan dapat diukur dengan rasio volume perdagangan atau jumlah ekspor dan impor dengan output nasional (Barro 1991). Variabel yang lainnya adalah level pendapatan perkapita pada kondisi awal (initial variable).
Tinjauan Empiris
Ada beberapa model yang secara eksplisit mempertimbangkan ketimpangan gender dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Klasen dan Lemanna (2009) menguji dampak ketimpangan gender di pendidikan dan pekerjaan
terhadap pertumbuhan ekonomi dengan menggunakan analisis cross-country dan
panel di 124 negara selama periode 1960-2000. Penelitian tersebut meng-update
hasil penelitian tahun 1999 dengan menguji dampak ketimpangan gender di pendidikan dan ketenagakerjaan terhadap pertumbuhan ekonomi dengan analisis regresi data panel. Ada beberapa persamaan model OLS (persamaan 13-16) dan regresi data panel (persamaan 17) yang digunakan antara lain:
INV = α + β1Popgro + β2LFG + β3Open + β4ED60 + β5GED + β6RED60 +
dimana g: Pertumbuhan PDRB riil perkapita, Inv: Tingkat investasi, Popgro: Pertumbuhan penduduk, LFG: Pertumbuhan tenaga kerja, ED60: Rata-rata lama sekolah tahun 1960, RED60: Rasio rata-rata lama sekolah perempuan terhadap laki-laki tahun 1960, GED: Pertumbuhan rata-rata lama sekolah, RGED: Rasio pertumbuhan rata-rata lama sekolah perempuan terhadap laki-laki, LnPDRB_Initial: log natural PDB perkapita 1960 untuk menguji kondisi konvergen, D: variabel dummy regional, RACT: Rasio aktivitas ekonomi perempuan terhadap laki-laki, MACT: Tingkat aktivitas ekonomi laki-laki.
Penelitian ini juga menghitung besarnya efek (magnitude) dengan
membandingkan pertumbuhan aktual di Middle East and North Africa dengan
negara yang kesenjangan gendernya lebih rendah seperti kawasan East Asia and
the Pasific. Titik estimasi menunjukkan biaya (costs) pertumbuhan dari kesenjangan gender di pendidikan sebesar 0.7 persen perkapita per tahun, dan
23
Klasen (1999) menguji dampak ketimpangan gender di pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi dengan
menggunakan analisis cross-country dan panel di banyak negara selama periode
1960-1999. Penelitian ini menemukan ketimpangan di pendidikan berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, dibuktikan dengan mengubah spesifikasi model dan mengontrol potensi endogenitas. Hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan gender di pendidikan berdampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui rendahnya rata-rata kualitas modal manusia. Pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi secara tidak langsung melalui dampak ketimpangan gender terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi. Titik estimasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan pertumbuhan sebesar 0.4-0.9 persen antara Asia Timur dan Sub Saharan Africa, Asia Selatan, dan Middle East dihitung dengan kesenjangan gender di pendidikan antar lintas kawasan negara.
Baliamoune-Lutz dan Gillivray (2007) menggunakan analisis data panel 41 negara Afrika dan Arab dan estimasi Arellano-Bond secara empirik menunjukkan dampak dua indikator utama MDG3 yaitu rasio pendidikan dasar dan menengah perempuan terhadap laki-laki dan rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki berusia 15-24 tahun terhadap pertumbuhan ekonomi. Model yang digunakan: lnIncit=a+b1lninvestit+ b2openit+ b3lnylitit+ b4gapylitit+ b5democit+ b6fertilityit+
b7flaborfit+ b8Dit+ it (18)
dimana Invest: investasi, open: keterbukaan ekonomi, gapylit: rasio angka melek huruf perempuan terhadap laki-laki, democ:demokrasi, fertility: angka kelahiran, flaborf: kontribusi angkatan kerja perempuan, i: negara, t: tahun
Hasilnya menunjukkan bahwa ketimpangan gender dalam melek huruf berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketimpangan gender yang tinggi mempunyai dampak yang kuat terhadap pertumbuhan pendapatan di negara Arab. Dampak ketimpangan gender di pendidikan dasar dan menengah kurang menunjukkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Barro dan Sala-i-Martin (1995) menunjukkan hasil penelitian yang berbeda dimana persamaan regresi mengandung koefisien lama pendidikan laki-laki dan perempuan dalam pendidikan dasar dan menengah perempuan bertanda negatif. Mereka menyatakan bahwa kesenjangan yang besar antara pendidikan laki-laki dan perempuan berarti keterbelakangan (backwardness) dan diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Temuan ini mungkin berhubungan dengan multikolinearitas. Di beberapa negara, pendidikan laki-laki dan perempuan sangat berhubungan erat dimana membuatnya sulit untuk mengidentifikasi dampak masing-masing individu. Kecurigaan adanya multikolinearitas didukung oleh fakta dalam beberapa spesifikasi pendidikan laki-laki sepertinya berdampak negatif terhadap pertumbuhan, sementara pendidikan perempuan juga berdampak negatif, dan standar error besar untuk semua persamaan regresi jika kedua variabel dimasukkan.
24
investasi kesehatan perempuan lebih sedikit daripada laki-laki, hak legal perempuan dalam ekonomi dan perkawinan lebih lemah daripada laki-laki, dan hak berpolitik perempuan juga lebih rendah daripada laki-laki. Berbeda dengan Barro dan Sala-i-Martin (1995), Dollar dan Gatti menemukan pencapaian pendidikan menengah perempuan (diukur dari rasio penduduk dewasa yang memperoleh pendidikan menengah) berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, sementara pencapaian pendidikan menegah laki-laki berhubungan negatif dengan pertumbuhan ekonomi. Di semua sampel, kedua efek tidak signifikan, tetapi negara dengan pendidikan perempuannya rendah akan menghambat pertumbuhan ekonomi, sementara negara dengan pendidikan perempuannya tinggi akan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hasil menyimpulkan bahwa investasi yang rendah pada pendidikan perempuan bukanlah pilihan ekonomi yang efisien, karena ketimpangan gender di pendidikan akan merugikan pertumbuhan ekonomi.
Blecker dan Seguino (1999) fokus pada kondisi makro dipengaruhi oleh dampak diskriminasi gender dalam akses memperoleh pekerjaan dan pembayaran upah. Kondisi Asia Timur yang memperlakukan perempuan secara terpisah dalam insentif tenaga kerja di sektor industri manufaktur orientasi ekspor menyebabkan upah perempuan lebih rendah daripada upah laki-laki, sehingga biaya ekspor rendah daripada yang seharusnya. Upah tenaga kerja rendah ini menggantikan devaluasi mata uang, sehingga ekspor lebih kompetitif, diasumsikan pertumbuhan ekonomi negara Asia tinggi orientasi ekspor. Ekspor menghasilkan devisa yang diperlukan untuk membeli teknologi canggih dari negara-negara industri, yang dapat meningkatkan produktivitas dan mendorong pertumbuhan. Secara bersama-sama, efek ini mengarah pada hipotesis bahwa perbedaan upah gender yang mencerminkan tingkat diskriminasi terhadap perempuan akan berkorelasi positif dengan pertumbuhan, dengan asumsi upah laki-laki secara akurat mencerminkan
produktivitas tenaga kerja dan dengan demikian berfungsi sebagai benchmark.
Berikut model yang digunakan:
g = φ + Σλi + α1WGAPit + α2dlogKit + α3dlogLFFit + α4dlogLFMit +
α5dlogHKit + it (19)
dimana: g: Pertumbuhan PDRB riil perkapita, d adalah operator perbedaan, φ
adalah tingkat pertumbuhan perubahan teknologi ketika variabel diukur pada
rata-rata, Σλi: efek tetap, WGAP: kesenjangan upah gender, K: stok capital, LFF:
penawaran tenaga kerja perempuan, LFM: dan tenaga kerja laki-laki, HK: modal manusia, i: negara, t: tahun.
25
signifikan antara ketimpangan gender dengan pertumbuhan ekonomi. Secara statistik ketimpangan gender yang diwakili proksi GII tidak sekuat proksi dari dua indeks pembangunan gender lain.
Kerangka Pemikiran
Ketimpangan gender tidak hanya merugikan perempuan saja tetapi akan merugikan perekonomian suatu negara. Jika ketimpangan gender khususnya di pendidikan dan pekerjaan dapat diperbaiki, maka akan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam perekonomian Indonesia. Berdasarkan teori pertumbuhan endogen (Lucas dan Romer), pertumbuhan ekonomi dihasilkan dari peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga kerja, peningkatan kapital, dan
peningkatan teknologi. Kualitas (human capital) tenaga kerja tercermin dari
pendidikannya. Pendidikan baik langsung maupun tidak langsung melalui investasi, pertumbuhan penduduk, dan angkatan tenaga kerja memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami perkembangan yang pesat dalam mengurangi kesenjangan di bidang pendidikan, namun tingkat produktivitas dan partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah. Ini menunjukkan bahwa potensi tenaga kerja Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal. Dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis regresi data panel, ingin diketahui keterkaitan variabel makro
ekonomi dan human capital gender dengan pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat
ditarik kesimpulan dan dirumuskan implikasi kebijakan. Secara ringkas alur pemikiran diatas dapat dilihat pada Gambar 12.
Kesetaraan dan keadilan gender merupakan salah satu tujuan MDGs dan INPRES No. 9 Tahun 2000. Namun, ketimpangan gender masih terjadi di Indonesia terlihat melalui angka rasio IPG/IPM cenderung tetap, rata- rata
lama sekolah dan TPAK perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.
Deskripsi pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan gender (pendidikan, pekerjaan, dan indeks ketimpangan gender)
Faktor-faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi
Analisis boxplot Analisis kuadran Analisis regresi data panel
UNDP (2010) menyatakan bahwa perempuan menanggung beban paling berat akibat ketimpangan yang terjadi, namun pada dasarnya
26
Gambar 12 Kerangka pemikiran
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang, permasalahan, dan tinjauan pustaka, maka beberapa hipotesis yang diuji melalui penelitian adalah sebagai berikut:
1. Pendidikan (rata-rata lama sekolah laki-laki) mempunyai pengaruh positif
terhadap pertumbuhan ekonomi
2. Ketimpangan gender di pendidikan (rasio rata-rata lama sekolah perempuan
terhadap laki-laki) mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
3. Tenaga kerja (tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki) mempunyai
pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
4. Ketimpangan gender di tenaga kerja (rasio TPAK perempuan terhadap TPAK
laki-laki) mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
5. Indeks ketimpangan gender (rasio IPG terhadap IPM) mempunyai pengaruh
positif terhadap pertumbuhan ekonomi
6. Investasi mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
7. Pertumbuhan penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan
ekonomi
8. Openness/keterbukaan perdagangan mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi
9. PDRB kapita initial mempunyai pengaruh negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
10.Kontribusi angkatan kerja perempuan mempunyai pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
11.Indeks pemberdayaan gender (IDG) mempunyai pengaruh positif terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Dampak variabel makro dan ketimpangan gender terhadap pertumbuhan ekonomi